Cerita Seks - Ritual SEKS Suku PEDALAMAN
Chapter 1 : TRIP TO TRIBAL
Dua tahun yang lalu, saat aku masih kuliah semester akhir dan sedang menyelesaikan skripsiku. Oleh Dosen pembimbing, aku disarankan mendatangi salah satu daerah di pedalaman yang masih terhitung daerah yang tertinggal, baik dari segi ekonominya maupun pendidikannya. Sebagai mahasiswa jurusan Fisika, aku disarankan khusus untuk meneliti tentang keadaan alamnya lalu berusaha menciptakan sesuatu yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk di daerah itu.
Untuk menentukan daerah mana yang harus aku datangi, aku berusaha mencari informasi dari berbagai seumber. Tak ada yang cocok dengan hati dan keinginanku. Emang sih, untuk menentukan daerah mana yang akan aku jadikan objek tak perlu menggunakan hati dan keinginanku, tapi yang dibtuhkan adalah kesamaan kultur daerah itu dengan apa yang disarankan oleh Dosen Pembimbing.
Setelah mengacak-ngacak kediamannya mbah google, akupun menemukan satu daerah yang kulturnya sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh Dosen Pembimbingku. Daerah itu terletak di pedalaman Sulawesi. Sebuah Dusun yang dihuni oleh suku yang mempunyai budaya dan peradaban berbeda dengan penduduk lain di belahan bumi Nusantara. Dusun Lihito (nama Dusun ini aku samarkan) terletak di perbatasan Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Tengah.
Setelah berhasil mengumpulkan bahan dan literatur tentang daerah itu serta menyiapkan segala kebutuhan selama melakukan penelitian, akupun siap untuk berangkat. Perjalanan kesana kuperkirakan akan memakan waktu selama 3 hari, dengan menggunakan bis antar kota.
Aku berangkat dari terminal Kota Makassar menggunakan bis antar kota, 1 hari lamanya aku tiba di terminal Palu, lalu perjalanan kulanjutkan ke daerah tujuanku, perbatasan Gorontalo. Perjalanan kesana pun memakkan waktu sehari semalam. Tengah hari esoknya aku tiba di perbatasan daerah itu, Desa Moutong (nama Desa ini juga aku samarkan). Sesuai petunjuk yang kudapat, Dusun Lihito terletak di daerah kepolisian Desa Moutong.
Setelah melapor kepada Ayahanda (Istilah yang dipakai untuk menyebut Kepala Desa di daerah itu) dan menjelaskan maksud kedatanganku, Ayahanda pun menyambut baik apa yang akan aku lakukan di Dusun itu. Akupun dipersilahkan untuk menginap di rumahnya, karena perjalanan ke Dusun itu akan memakan waktu sekitar 4 jam jalan kaki. Tak ada kenderaan yang bisa digunakan kesana. Artinya jika aku memaksakan diri pergi kesana sekarang, maka bisa dipastikan akan tiba disana menjelang Magrib.
Tak perlu aku ceritakan secara detail proses aku menginap dirumah Ayahanda malam itu. Pagi harinya akupun berangkat dengan ditemani Pak Juna, salah satu penduduk Desa Moutong yang ditugaskan oleh Ayahanda mengantarkan aku ke Dusun Lihito.
Perjalanan kesana sangat menguras tenagaku. Jalannya berbatu dan kadang harus memanjat pohon besar yang tumbang ditengah jalan. Empat jam kemudian kami sampai ke Dusun Lihito. Ternyata Dusun Lihito adalah Dusun yang terletak dilembah sebuah gunung.
Lembah itu adalah lembah yang subur, dengan pepohonan hijau yang berderet dari puncak gunung hingga lereng gunung. Sebuah danau dengan airnya yang sejuk membelah pemukiman penduduk yang rata-rata adalah petani, dilihat dari banyaknya perkebunan dan sawah-sawah di pemukiman itu. Rumah-rumah yang sederhana ala perkampungan pedalaman berjejer tak begitu beraturan di sepanjang danau. Jalan-jalan berbatu yang hanya berupa rintisan-rintisan kecil tanpa aspal memanjang diantara deretan rumah. Perkebunan yang sebagian besar hanya ditanami umbi, rumbia juga pohon-pohon yang mirip pohon ganja serta kandang-kandang ayam yang ada disetiap samping rumah penduduk menambah kesan bahwa pemukiman ini adalah sebuah Dusun yang cukup subur, namun sayang jauh dari kehidupan kota.
Jika pandangan diarahkan kebawah dari puncak gunung, nampaklah sebuah pemandangan alam yang sangat luar biasa indahnya. Lebih-lebih pegunungan hijaunya, makin menambah indahnya suasana alam di pemukiman yang dihuni oleh kurang lebih 100 KK itu.
Penduduk dipemukiman itu masih tergolong terbelakang dalam segala hal. Para lelakinya tak beraktivitas apapun. Mereka hanya duduk-duduk saja sambil merokok lintingan tembakau diteras rumah yang rata-rata dindingnya terbuat dari pelepah rumbia yang disusun dan beratap daun rumbia yang dianyam sedemikian rupa dijadikan atap. Para wanitalah yang sibuk bekerja, melakukan aktivitas yang rata-rata di wilayah Indonesia dilakukan oleh para pria. Keadaan disini seperti terbalik, pria dirumah dan wanita bekerja.
Cara berpakaian penduduk disinipun agak aneh dan cukup membuat yang hidup didaerah perkotaan akan merasa janggal melihatnya. Para wanita berpakaian seadanya, hanya memakai secarik kain yang cukup menutupi payudara mereka, semacam celemek, hanya bagian depan saja yang ditutupi sementara bagian punggungnya kelihatan. Rok yang mereka pakai pun boleh dibilang sangat minim, hanya berupa tiras-tiras kain tanpa dijahit satu sama lain, yang hanya menutupi sejengkal saja dari pangkal paha, sehingga jika saat berjalan rok itu ditiup angin maka akan kelihatan pangkal paha dan pantat mereka . Sepatu yang hanya berupa kulit kayu membungkus kaki sebatas lutut diikat tali-tali dari ijuk. Sementara Para prianya memakai pakaian yang utuh. Celana sebatas betis dan kemeja yang menutupi seluruh badan.
Agak janggal memang, tapi itulah kehidupan dan tradisi disana yang sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun.
Aku berjalan menyusuri jalan berbatu dengan terseok-seok. Peluh terus mengucur diseluruh tubuhku. Didepanku Pak Juna berjalan dengan langkah panjang, tak nampak kelelahan ditubuhnya, padahal usianya sudah sekitaran 50 tahunan.
"Kita sudah sampai. Nak Anton akan saya antarkan kerumah Kepala Suku disini." Ucap Pak Juna sambil terus berjalan. Aku mengikutinya dari belakang. Sesekali Pak Juna menyapa orang-orang yang lewat, sebagian besar para wanita dengan pakaian seperti yang aku gambarkan, akupun menganggukkan kepala memberi salam pada mereka yang dibalas dengan senyuman. Sebagian dari mereka ada yang menatapku dengan heran, ada yang saling berbisik dalam bahasa yang tak ku mengerti sambil cekikan. Sama seperti cekikan wanita yang lagi membicarakan hal-hal seronok tentang seorang pria. Aku tak peduli dengan tingkah mereka.
Di tengah-tengah perkampungan itu berdiri sebuah rumah yang agak besar dengan sebuah bangunan seperti balai pertemuan yang terletak terpisah dari rumah. Kami berjalan ke arah situ. Tempat itulah yang disebut-sebut oleh Pak Juna sebagai tempat tujuan kami.
Kedatangan kami disambut oleh seorang pria bertubuh besar dengan pakaian kebesaran. Kepalanya memakai penutup kepala dari kain warna hitam, agak membumbung seperti topi feel comander marching band. Dipinggiran topi itu dihiasi seperti renda kain dipadukan dengan bulu-bulu burung. Bagian tengahnya memanjang dari jidat hingga ke puncak bubungan topi dhiasi kain berwarna kuning keemasan yang ditatah dengan lempengan-lempengan kecil dari perak berjajar sepanjang kain itu. Tak jauh dari Pria itu seorang wanita cantik dengan pakaian yang kuyakini itu adalah pakaian kebesaran juga. Penutup kepalanya agak berbeda dengan yang dipakai oleh si Pria. Kepalanya dililit oleh kain berwarna putih. Ditengah kain putih itu dililit lagi oleh kain berenda warna kuning emas, serta manik-manik mutiara warna-warni.
Aku meyakini pria itu adalah kepala Sukunya, dilihat dari penghormatan orang-orang yang ada disekitarnya, dan Wanita itu kuyakini juga adalah isterinya.
Setelah mengucapkan sesuatu yang aku tak mengerti apa maknanya, kamipun masuk ke dalam gedung itu mengikuti Sang Kepala Suku. Kami dipersilahkan duduk bersila diatas tikar pada ruangan luas ditengah rumah itu. Tak ada kursi atau bangku disitu, hanya tikar yang ada. Tak lama kemudian seorang wanita yang berpakaian setengah telanjang datang membawa baki dari anyaman bambu. Diatas baki terdapat minuman dan sedikit makanan khas suku itu. Setelah meletakkan baki, perempuan yang kuperkirakan berusia sekitar 35 tahun itu pergi meninggalkan baki dan seluruh isinya. Sejenak kuperhatikan wanita itu hanya memakai baju sekenanya lebih mirip celemek menutupi sebagian dadanya dan masih menampakkan gundukan payudaranya yang montok.
glekkk... aku menelan ludah. Ternyata ada juga wanita seksinya disini, pikirku mulai mesum.
"Toduwolo..." ucap kepala suku mempersilahkan dalam bahasa yang tak kumengerti apa artinya. Belakangan ku ketahui dari Pak Juna bahwa itu ucapan mempersilahan yang artinya "dipersilahkan". Aku mengeluarkan buku dan bolpoint, mencatat setiap ucapan kepala dusun itu, dengan niat akan aku tanyakan pada Pak Juna nanti semua artinya.
Aku mengambil potongan ubi goreng dan kentang goreng lalu memasukkan ke dalam mulutku. Enak juga rasanya.
"Tanu ma wolo palalu olanto dulota sambe ma yilumapalo ode diya, Ju ?" (ada kepeluan apa anda berdua datang kesini tanya kepala dusun membuka percakapan diantara kami.
Selanjutnya aku akan tuliskan dalam bahasa Indonesia setiap ucapan semua warga suku ini, terjemahan ini aku dapat dari Pak Juna
"Begini Tapulu, (seperti yang telah aku search lebih dahulu, bahwa "tapulu" adalah sebutan untuk seorang pemimpin di daerah ini) Aku hanya hendak mengantarkan adik ini kemari. Dia adalah seorang mahasiswa dari Makassar, hendak melakukan penelitian disini, siapa tau dapat sedikit membantu apa yang dibutuhkan oleh penduduk disini" Pak Juna mulai menjelaskan.
"Oh begitu. Silahkan nak...." Tapulu memandangku
"Anton, Tapulu..." sambungku
"Silahkan nak Anton. Tapi di sini semuanya terbatas. Tak seperti daerah perkotaan. Penduduk sini banyak yang tak bisa berbahasa Indonesia. Jadi harus bisa menyesuaikanlah"
Aku manggut-manggut seperti orang yang mengerti saja. Pak Juna saat itu brtindak sebagai Juru Bahasaku.
Malam itu, Tapulu memberi tahu berbagai macam hal yang ada di Dusun ini. Dari perilaku warga dusun, cara mereka bertani, bergaul, dan segalanya yang berhubungan dengan kehidupan penduduk di Dusun ini.
Saat makan malam, aku dan Pak Juna disuguhkan makanan tradisional daerah itu. Ada makanan dari ubi kayu yang diparut lalu direbus yang di suku itu dinamakan soko, ada juga makanan dari sagu yang dibungkus daun pisang lalu dibakar, sungguh nikmat.
Dilantai beralas tikar, kami makan berenam. Aku, Pak Juna, Kepala Dusun, isterinya dan dua anak perempuannya. Ada sedikit hal aneh yang mereka lakukan. Air yang ku minum, makanan yang baru kugigit sebagian langsung diambil oleh mereka dan dibagi kepada isteri dan anak-anak sang kepala suku untuk dimakan. Mereka seperti berebutan. Aku tak mencoba bertanya kenapa itu mereka lakukan, dan Pak Juna pun tak menjelaskan kelakuan mereka padaku sama sekali. Ah, biarlah. Pikirku.
Rumah itu dihuni oleh keluarga yang diangkat menjadi kepala suku di pemukiman itu, mungkin lebih tepatnya disebut kepala suku. Dalam sehari-harinya kepala suku di panggil dengan sebutan "Tapulu" yang artinya Pemimpin atau Kepala atau Raja dalam suatu Kerajaan. Pakaian keluarga kepala suku berbeda dengan mereka yang hanya penduduk biasa. Pakaian kebesaran keluarga istana, seperti itulah kira-kira jika dalam sebuah kerajaan.
Cerita disingkat, sudah tiga hari aku tinggal di Pemukiman itu. Pak Juna sudah kembali, beliau hanya menemaniku selama dua hari, namun selama itu beliau selalu menemaniku melakukan pekerjaanku dan mengajariku bahasa daerah di pemukiman itu. Pak Juna berjanji akan kembali lagi dalam waktu dekat untuk menemaniku di dusun itu.
Tiga hari telah berlalu, aku mulai melakukan survei ke seluruh wilayah pemukiman. Untuk memudahkan pekerjaanku, aku dibuatkan tempat tinggal khusus di atas puncak gunung oleh kepala suku. Sebuah pondok yang agak lega dengan satu kamar. Dindingnya dibuat dari pelepah rumbia, lantainya dari pohon seperti kelapa, di suku itu dinamakan ombulo atau woka, yang dibelah-belah hingga bisa dijadikan alas. Untuk makanan dan minuman, putri-putri kepala suku selalu mengantarkan makanan dan minuman, kadangkala pula warga lain mengantarkannya. Setiap aku makan, pasti saja mereka minta untuk disisakan, lalu dengan berebutan mereka makan dan minum dari sisaku itu.
Seperti siang itu, saat aku baru tiba dipondokanku kulihat kedua putri kepala suku sudah ada disitu, menungguku. Mereka membawakan makanan untukku. Kedua putri kepala suku ini manis-manis dan cantik-cantik. Yang kakak bernama Muna dan adiknya bernama Muni. Kami sudah sering ngobrol bertiga. Ya, meskipun dalam mengucapkan bahasa Indonesia mereka masih kaku, tapi bisa mengerti apa yang aku ucapkan. Begitu juga aku, meskipun dalam berbahasa suku ini aku masih belum fasih, tapi setidaknya aku mengerti apa yang mereka ucapkan.
"Kenapa kalian selalu memperebutkan sisa makanan dan minumanku ? " Tanyaku pada mereka setelah aku selesai makan, dan sisa makananku kembali diperebutkan oleh mereka.
"Ini tradisi kak. Kami yakin bahwa sisa makanan dan minuman orang berpengetahuan seperti kakak membawa berkah bagi yang memakannya ataupun meminumnya" jawab Muna menjelaskan dalam Bahasa suku itu.
Aku terkekeh. Sungguh warga suku ini sangat percaya pada mitos seperti itu. Dilihat dari aktivitas mereka, dari tradisi mereka atau dari sudut pandang agama, nampaknya suku ini tidak memeluk agama manapun. Mereka hanya mempercayai apa yang sudah menjadi tradisi turun temurun.
"Orang seperti kakak itu mestinya dimuliakan disini. Segala keperluan kakak harus kami sediakan. Dari makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan juga wanita untuk menemani kakak setiap tidur" Muni adik Muna memberi penjelasan lagi...
"Menemani tidur ?" aku heran dan sedikit takjub (dan ngacceng... hehehehe) dengan penjelasan yang satu itu.
cobalah kakak berkunjung ke salah satu rumah warga di dusun ini" tambah Muni.
Oh, aku baru faham sekarang. Dua hari yang lalu...............
Cerita Seks - Ritual SEKS Suku PEDALAMAN
CHAPTER 2 : PERSEMBAHAN YANG TERTUNDA
Dua hari yang lalu aku memulai survei ke seluruh pelosok hutan Lihito, ditemani Pak Juna. Beliau sebenarnya hanya ditugaskan mengantarkan aku ke Dusun ini, bukan untuk menemaniku melakukan survey, namun beliau bersikeras menemani aku survey meskipun aku melarangnya. Mungkin beliau khawatir karena aku belum menguasai medan di Lihito.
Survey terus kami lakukan di area pemukiman dan hutan Lihito.
Sore hari baru kami kembali ke pemukiman, singgah sebentar di salah satu rumah warga. Di rumah itu sepasang suami isteri tinggal, Pak Lapu dan Bu Panio.
Hingga saat itu aku belum juga menemukan apa yang bisa aku ciptakan untuk membantu para warga disini. Awalnya terbersit ide hendak membuat semacam saluran air dari pipa lalu membuat penampungan air dari tong ditengah pemukiman, dirancang seperti bejana berhubungan. Pipa PVC akan masuk melalui bagian atas tong yang penutupnya dilubangi lalu diberi lem pipa agar air tak keluar lewat celah pipa di penutup tong. Bejana dari tong itu akan diisi air penuh, tak boleh ada udara yang masuk. Lalu bagian bawah tong dilubangi dan dipasang keran. Jika keran dibuka maka air akan turun keluar lewat keran yang secara otomatis saluran pipa bagian atas akan menyedot air dari sumber air, karena tekanan udara dan berat air dalam tong akan memaksa air masuk mengisi tong. Demikian kira-kira, tak perlulah secara detail aku jelaskan, karena hanya dosen pembimbinglah yang seharusnya menerima penjelasan secara detail dariku. :D :D
Ide itu tak mengena, karena pemukiman ini berada dekat danau. Jadi masalah air tak jadi masalah. Aku harus mencari ide lain.
OK, kembali pada keadaan dimana kami duduk bersila dilantai rumah Pak Lapu.
Kami disuguhi air putih yang diisi dalam wadah yang terbuat dari potongan pohon sejenis bambu (warga suku itu menyebutnya "Tomula"), dan sepiring soko.
Pak Lapu bertubuh kekar dengan kumis dan cambang yang lebat. Bu Panio, isteri Pak Lapu, bertubuh kecil mungil dan padat. Kulitnya kecoklatan dengan rambut yang keriting, namun mempunyai tubuh yang seksi (dalam ukuranku sih) dan payudara yang montok.
Bu Panio saat itu hanya memakai pakaian seperti celemek, payudaranya nongol sebagian. Aku sempat terkesma dengan caranya duduk. Dia jongkok didepanku..., dan kulihat bagian terlarangnya tak diututupi apapun selain rok yang tersingkap. Tak tersingkap sekalipun jika duduknya seperti itu pasti rok itu tak akan sanggup menutupi selangkangannya.
Aku mencoba memusatkan perhatian pada piring, mengambil gumpalan soko dan memakannya. Kulirik sekali lagi Bu Panio, dia menatapku, biasa saja tanpa rasa jengah atau risih karena barang terlarangnya kelihatan. Pak Lapu pun seperti tak memperdulikan cara duduk isterinya. Hadeh..., makin pusing aja kepalaku (kepala bawahku juga...hehehe):D :D
"Pak Anton sudah mendapatkan Bundato dari kepala suku ?" tanya Pak Lapu sejurus kemudian.
Aku menatap Pak Lapu heran, tak faham dengan maksud "Bundato".
"Nak Anto.., Bundato maksudnya merintis atau memulai " Pak Juna menjelaskan padaku ketika melihat kebingungan diwajahku. "ada satu tradisi disini yang Nak Anton tak tahu..."
"Segala sesuatu yang akan diberikan kepada Nak Anton sebagai tindakan memuliakan tamu harus kepala suku yang memulainya, dan itulah yang dinamakan Bundato, jika tidak maka semua warga tak boleh melakukannya" lanjut Pak Juna.
"Saya sedikit faham, Pak Juna. Tapi tolong jelaskan pada saya tentang hal ini, Bundato apa yang dimaksud Pak Lapu tadi ?" tanyaku meminta penjelasan lebih jauh.
"Jika Pak Anton sudah mendapat Bundato dari kepala suku, maka mohon terima Isteri saya. Ini kemuliaan besar bagi kami " Pak Lapu menyela penuh harap.
"Apa maksudnya ini, Pak Juna ?" aku mulai bingung. Bundato..., isteri..., apalagi ini ?
Kegugupanku makin menjadi, kebingungan makin besar, ketika Bu Panio mulai melucuti pakaian minimnya. Dari celemeknya, lalu rok pendek berjumbai, hingga bugil. Waw...! darahku segera berlomba naik ke kepala, mengusik otak dan memaksanya memerintahkan Si Otong untuk bereaksi. Payudara Bu Panio cukup besar dan montok. Perutnya agak gendut, pahanya kencang tanpa lemak, dan diantara kedua pahanya itu... mamaaaaaaaaa,,,, indah benar Vagina itu.
Srrrrrrrrr...... glekkkkk.....! aku menelan ludah yang mulai banyak memancar dari lubang kecil di mulutku.
Dalam (konak) tegang dan bingung, aku menatap Pak Juna dan Pak Lapu bergantian. Mencoba mencari penjelasan dari keduanya. Mereka hanya tersenyum.
"Silahkan Pak Anton. Terimalah isteri saya sebagai tanda hormat dan tanda telah memuliakan Pak Anton " ucap Pak Lapu. "jika tidak, maka seluruh warga suku ini akan dihukum oleh Penguasa Darat dan Langit"
Satu lagi yang bikin aku tambah bingun, lebih kepada kaget. Aku tak pernah tahu sama sekali tentang tradisi ini. Tak tahu sama sekali, dan tak pernah menemukan info ini di internet atau di buku-buku terbitan manapun.
Pak Juna menganggukkan kepala ke arahku., mengatasi kebingunganku.
"Tapi Pak, kepala suku belum memberikan Bundato kepadaku..." kataku menampik penuh khawatir.
Preeeeet! Kenapa pula aku mengatakan itu ? bukankah lebih baik aku diam saja dan menerima "pemberian" itu ? (Padahal kata pepatah Diam itu adalah Emas, ya kan ?) :D :D
Tapi ini adalah kepercayaan mereka yang tak boleh mereka langgar ! aku mencoba menentang keinginan otak mesumku. Harus ada Bundato dari kepala suku dulu baru boleh melakukan itu. Meskipun sesuai dengan pemahaman keagamaan itu hal yang salah, tapi aku yakin dengan kepercayaan dan keyakinan mereka yang kuat, itu mungkin akan jadi bencana bagi merek jika dilanggar. Boleh jadi.
"Oh...." Pak Lapu berucap agak serak. Ada nada kecewa disana. Aneh.... "Baiklah kalau begitu. Nanti jika kepala suku sudah memberikan Bundato kepada Pak Anton, maka saya harap isteri sayalah yang pertama Pak Anton terima" sambung dan dengan harap Pak Lapu.
Aku mengangguk setuju. Siapa yang tak mau menikmati binor gratis ? (tunjuk tangan yang tak mau) :D :D :D
Pak Lapu lalu menepuk paha isterinya yang tengah terlentang bugil. Bu Panio pun bangun dan memandangku penuh tanya. Setelah diberi penjelasan oleh Pak Lapu, Bu Panio pun memakai kembali "celemek" dan roknya.
Skip.... Skip... Skip.... (pada ngeres.... hahaha)
Kamipun pamitan, segera menuju ke pondokanku setelah menghabiskan sepiring soko, dan berjanji akan kembali lagi ke rumah itu setelah aku menerima Bundato dari kepala suku.
....................................
Esok harinya, aku kembali melakukan survey, Pulang sore hari, dan Pak Juna pun pamitan pulang ke Desa dan berjanji akan kembali beberapa hari lagi untuk menemaniku di sini.
Esoknya lagi aku survey, hanya sendirian. Lalu pulang siang. Aku tak berani sendirian melakukan survey di hutan Lihito itu.
Ketika kembali ke pondokku, kulihat dua bersaudara putri kepala suku sudah menungguku dengan makanan yang rutin mereka antarkan padaku (meskipun kadang-kadang ada warga lain yang mengantarkan makanan untukku).
Dari mereka aku mendapat penjelasan tentang maksud Bundato. Dalam pemahamanku bahwa Bundato itu semacam Pengresmian. Sama seperti jika hendak membuka satu cabang perusahaan atau semacamnya yang baru, maka akan dilakukan gunting pita tanda bahwa Kantor itu diresmikan pengoperasiannya. Seperti itulah kira-kira maksud dari Bundato.
Dan, artinya aku akan menikmati isteri atau putri kepala suku yang cantik-cantik dan bohay itu. Begitulah kira-kira........ :D :D
"Kak Anton harus genap tiga hari disini, barulah Bapak akan memberikan Bundato itu kepada kakak" begitu penjelasan lebih lanjut dari Muna.
Bah...! Tiga hari ! bukankah ini hari ketiga ?
"Jadi aku harus datang ke rumah kalian hari ini ?" tanyaku dengan semangat (dan tegang tentunya) :D " ini sudah hari ketiga kan ?"
Muna tersenyum menganggukkan kepalanya. "Bapak sudah menunggu, Kak Anton di persilahkan datang ke rumah."
Semangat, senang, gugup (dan konak) bercampur aduk dalam dadaku. Ku ambil buku harianku yang sudah hampir penuh dengan catatan perjalananku kesini, lalu dengan terburu-buru ku tarik tangan Muna, hendak engajaknya pergi.
"Tunggu Kak " Muna menahan tanganku. Semangat benar aku rupanya. "Sore hari baru kita kesana. Kakak istirahatlah dulu. Kami mohon pamit mau duluan kesana. Sampai jumpa disana ya, Kak..."
Muna menarik tangan adiknya, bergegas pulang.
Cerita Seks - Ritual SEKS Suku PEDALAMAN
CHAPTER 3 : MIMPI NIKMAT
Aku mencoba memejamkan mata. Berbaring sambil mengkhayal Bundato yang akan diberikan oleh kepala suku. Bagaimanna rasanya, bagaimana prosesinya, aku masih belum jelas.
Udara siang itu terasa sangat gerah, agaknya angin sejuk enggan bertiup. Tak juga mata mau terpejam, entah karena udaranya yang agak panas atau karena membayangkan Bundato seperti apa yang akan aku terima, ah....., mungkin karena kedua-duanya.............
"Kak Anton..........." sebuah suara membuyarkan lamunanku.
Muna..........
Putri kepala suku berdiri menatapku dengan jarak yang tak jauh dariku. Agak terkejut dan langsung bangun. Ku tatap Muna penuh tanya, kenapa pula dia kembali kesini ? Mataku mencari-cari keberadaan Muni, adiknya. Tapi tak nampak adiknya itu disini.
Muna langsung mendekatiku tanpa ragu lalu duduk disampingku. Tangan kirinya bertumpu pada bantal guling, sedang tangan kanannya diletakkan dibahuku. Tak ada kesan asing, seperti sudah sangat mengenal dan sangat akrab denganku. Tak biasanya dia seperti ini...
"Kau sendirian ?" tanyaku. Muna tersenyum. Diperbaikinya posisi duduknya lalu menghadap ke arahku. Masih sambil duduk di atas tikar yang aku gunakan sebagai alas tidur dia mengambil bantal dan diletakkannya dipangkuannya. Berdehem sedikit lalu melapaskan tangannya dari pundakku.
"Tapulu menyuruhku segera datang ?" kembali aku bertanya setelah Muna tak kunjung menjelaskan apa-apa perihal kedatangannya yang hanya sendirian itu. Muna hanya menggeleng mendengar pertanyaanku yang penuh harap.
"Terus ada apa, Muna ?"
".................." Muna diam saja. Hanya mata yang memancarkan sorot yang tajam, menandakan dia sedang serius dengan sesuatu hal, hanya saja aku tak tahu apa itu.
Lalu ? aku bingung lagi (bingung mulu nih dari kemaren) :D
"Kakak akan mendapatkan Bundato dari Bapak..." ucap Muna tiba-tiba sambil menerawang. Rona gelisah terpancar dari raut wajahnya.
"itu sudah menjadi tradisi dan keyakinan kalian. Kenapa harus dirisaukan ?"
"Iya, Kakak akan menerima Bundato itu" ucap Muna masih dengan kalimat yang hampir sama. "Kakak sudah tahu apa itu Bundato ?"
"Yang aku tahu aku harus menerima itu " ucapku sambil memegang pundak Muna. "Kalau tidak, penguasa darat dan langit akan murka pada kalian. Begitu kan ?"
Muna mengangguk.
"Tapi aku menginginkan kakak..." hah ? meninginkanku ????? siapa takut ??? mau..mau..mau... :D :D :D
"Aku ingin akulah yang jadi persembahan buat kakak, bukan ibu..., Aku menginginkan Kakak." Aku agak kaget juga mendengar kalimatnya barusan. Ada apa sebenarnya dengan gadis ini ? apa pula masalahnya dengan Bundato yang akan aku terima ?
Muna mulai terisak. Aku merengkuh pundaknya. Meski kurang begiu faham kenapa dia menangis, namun aku merasa ada nada tulus dan keinginan untuk dikasihi disana.
Sepertinya ini adalah hal yang sangat serius. Muna tak main-main dengan apa yang diucapkannya. Seperti sebuah ungkapan perasaan cemburu, dan takut kehilangan seseorang yang dicintai, seperti itulah. Ungkapan hati seorang gadis yang sedang jatuh cinta.... mungkin begitu.
"Sudahlah, Muna. Ini keyakinan dan faham yang harus kamu taati untuk menghindari bencana." Aku mulai membelai kepalanya yang ditutupi oleh kain penutup khas putri suku itu.
"Kakak lihat ini. " Ucap Muna sambil memperlihatkan sebuah kalung perak selebar jari telunjuk melingkari lehernya. "Kalung ini belum ada bandulnya..."
"Iya, terus kenapa ?"
"Kakak juga lihat kalungnya Muni. Dia sudah memiliki bandul"
"Kenapa begitu ?"
Aku makin dibuat bingung... (tuh kan, bingung lagi) :D :D
"Bandul itu menandakan sudah berapa kali kita mendapatkan kemuliaan dijadikan persembahan untuk tamu yang agung" Jelas sudah ! "Itu kebanggan wanita Suku Lihito" lanjut Muna menjelaskan.
"Muni sudah memiliki bandul ?" tanyaku mulai penasaran
"Sudah, Muni sudah punya satu Bandul. Ibu punya 2 bandul. Aku belum satupun !"
"Jadi Muni....?" aku tak meneruskan ucapanku.
"Beberapa purnama yang lalu, dua orang pria datang kesini. Mereka tamu agung kami. Ibu dan Muna yang menjadi persembahan untuk mereka." Muna berucap pelan, menerawang.
"Kali ini, pasti Ibu lagi yang akan jadi persembahan buat kakak. Ibu yang akan jadi Bundato itu" Muna kembali melanjtkan kalimatnya "Bagi seorang Putri kepala suku, ini adalah kehormatan besar. Anehnya Bapak tak memberiikan itu padaku. Hanya Muni...., hanya dia..... "
Aku menepuk pelan pundak Muna. Ku pegang kepalanya, kuangkat dagunya, kutatap matanya...
"Baiklah Muna. Aku akan mencoba memintamu untukku kepada Tapulu " ucapku menghiburnya.
"Tak Mungkin Kak. Bapak tak bolehkan itu " Muna menatapku tajam. Matanya menyiratkan keputus asaan. "Apa yang sudah ditetapkannya tak boleh dibantah, memohon sekalipun tak akan dikabulkannya..."
"Lalu...? apa yang harus aku lakukan untukmu ?" tanyaku
"Aku ingin jadi persembahan buat kakak " Muna menatapku lekat-lekat, menatap wajah yang dipenuhi rasa kaget dan heran. "Sekarang..." lanjutnya tegas.
"Tapi kau tak akan mendapatkan bandul itu, Muna. Kau melakukannya tanpa perintah Tapulu..."
"Aku tak butuh bandul. Aku menginginkan kakak.." tegas dan penuh harap.
Terhenyak aku dibuatnya. Bengong.....
Masih dalam keadaan tak tahu harus bagaimana, aku semakin terkesima dengan apa yang tengah dilakukan Muna di depanku.
Perlahan Muna melepas pakaiannya satu persatu. Penutup kepala, baju, rok, pakaian dalam...., bugil total didepanku. Mataku melotot, dadaku berdebar, gemetaran melihat tubuh indah seorang perawan suku pedalaman yang masih polos tak pernah disentuh pria manapun.
glekkk!.... Srrrrrr....
Aku menelan ludah, darahku berdesir, jantungku berdetak kencang memompa darah dan mengalirkan lewat pembuluh darah menuju otak, lalu memberikan kekuatan penuh pada Penisku yang sejak tadi ngacung...lunglai...ngacung lagi...lunglai lagi...., lalu ngacung dengan gagah perkasa, membuat si Penis kesakitan oleh jepitan celanaku.
Tak satupun aktivitas Muna yang kulewatkan. Payudaranya montok, putih bersih dengan puting kemerahan, tepatnya merah muda. Kencang dan padat. Dadanya rata tak berlemak, perutnya singset dengan satu lubang ditengahnya, lalu paha, betis, kaki dan...., yang diantara dua pahanya...., bwahhhhh......, gundukan daging dengan sedikit bulu dan belahan yang masih rapat, bikin aku semakin konak.
Benarlah kata seorang ahli seks, bahwa seks itu tumbuh secara naluriah, tanpa diajar pun setiap manusia akan tahu dengan sendirinya. Begitu pula dengan Muna, gadis pedalaman itu seperti sudah faham benar tentang seks.
"Muna....." suaraku terdengar serak.
"Ayo Kak, ambillah aku sebagai persembahan untukmu..." dengan menggigil Muna membaringkan tubuhnya, terlentang dengan kaki mengangkang memperlihatkan vagina mulus, indah dan menawan hati si Otong.
Aku laki-laki normal, laki-laki yang akan mudah terangsang dengan suguhan seperti ini. Tanpa mempedulikan aturan dan norma di suku itu, aku segera membuka pakaianku, telanjang, lalu menindih Muna.
Ku cium kedua keningnya, lalu matanya. Muna memejamkan matanya, seakan menikmati ciumanku. Tak lama ciumanku kupindahkan ke lehernya. Ku cium dengan nafsu yang sudah di ambang batas, kugigit hingga meninggalkan bekas merah disana. Tanganku meraih payudaranya. Kenyal dan padat. Kuusapkan telapak tanganku, kucubit dan kupelintir puting payudaranya yang meninjol kecil, hingga erangan kecilpun terdengar dari mulut Muna.
"Hmmmm,,, kakak..." erang Muna
Aku tak mempedulikan Muna yang menggigil, pinggulnya yang bergerak-gerak menahan kenikmatan yang melandanya.
Puas bermain-main dengan payudaranya, aku langsung mengangkangkan kakinya, kepalaku kuposisikan berada diantara pahanya, lalu mengeluarkan jurus mautku, jurus lidah berbisa...., kusibak belahan vaginanya lalu kujilati dengan penuh nafsu.
Muna menjepitkan pahanya erat di kepalaku. Tangannya menjambak rambutku dengan keras...
"Jangan disitu Kak, aku malu..." ucap Muna parau. Meski kalimatnya melarangku, namun gerakan tubuhnya seakan tak mau melepaskan letupan kenikmatan yang kuciptakan dari jilatan lidahku di belahan vaginanya.
Cairan khas kewanitaan keluar dari belahan itu, wangi, khas aroma vagina seorang perawan. Iya, aku tau gimana aroma vagina perawan, lha aku sudah berhasil memerawani tiga orang gadis, sebuah rekor yang cukup membanggakan... :D :D
"Ayo, Kak. Cepat ambil persembahanku. Aku ingin memberikannya, cepatlah kak..."
"Baiklah, Muna."
Ku renggangkan kedua kakinya, kusibak belahan vaginanya, lalu kupegang kepala penisku yang sudah mengacung dan tegak dengan sempurna. Kuarahkan ujung Rudal Scud itu ke belahan vagina Muna. Kugosok-gosok sebentar pada klitorisnya, erangan Muna semakin meningkat dan keras. Matanya dipejamkannya. Aku tak bisa bersabar lama, aku harus segera mengaduk-ngadduk liang senggama gadis perawan ini. Ku tekan penisku sedikit, kucabut, lalu kutekan dengan sekuat tenaga.
"Kak Anton..." suara Muna terdengar. Tak ada jerit kesakitan keluar dari Muna. Dia nampak biasa-biasa saja.
"Kak, Anton" Suara Muna terdengar lagi. Pelan. "Ayo bangun, Kak. Bapak sudah menunggu. Sudah sore, kita harus segera berangkat"
Akupun terbangun dari tidurku. Hadeh...! aku hanya bermimpi. Mimpi indah yang bikin celanaku basah. Muna dan Muni nampak berdiri memandangku, bukan...! memandang wajahku yang memerah, tapi memandang ke arah tonjolan di celanaku. Segera aku bangun, lalu bergegas membasuh wajahku dengan air, dan berangkat bersama kedua putri itu dengan gerak cepat, menyambut Penganugerahan Bundato...
Cerita Seks - Ritual SEKS Suku PEDALAMAN
CHAPTER 4 : TITAH TAPULU
Kami berjalan beriringan menyusuri jalan berbatu menuju rumah kepala suku. Aku berjalan paling belakang. Didepanku Muna berjalan dengan pinggul montoknya yang bergoyang-goyang. Pantatnya yang semok sungguh sangat menggairahkan. Kadang-kadang roknya tersingkap saat dia harus melompati jalan berlubang. Mulusnya paha itu bikin si Otong mulai bereaksi. Aku memperbaiki letak si Otong yang sudah mulai tak karuan dalam jepitan celanaku, terbayang mimpiku tadi, mungkinkah tubuh Muna se seksi seperti yang kullihat dalam mimpiku ?
"Uhhh... " tak sadar aku mengerang.
Muna yang berjalan di depanku menoleh ke belakang. Sebuah senyuman manis tersungging dibibir tipisnya yang kemerahan.
"Ada juga cewek secantik ini dipedalaman seperti ini.... " ucapku membatin.
"Ada apa kak ?" Muna bertanya tiba-tiba mengejutkan dan membuyarkan hayalan mesumku.
"Ah, ga apa-apa " aku membalas senyumannya, berusaha menyembunyikan gejolak nafsu yang mulai menyelimutiku.
Muna kembali mengarahkan pandangannya ke depan, melangkah cuek.
Di depannya Muni, adiknya yang tak kalah cantik dan seksi, melangkah dengan cepat. Tubuh Muni sangat aduhai, dengan dada yang montok dan pinggang ramping serta pinggul dan pahanya yang bikin siapa saja yang melihatnya pasti akan membayangkan hal-hal yang mesum.
Sempat aku memperhatikan kalung Muna dan Muni. Seperti kata Muna dalam mimpiku tadi, Muna memang hanya memakai kalung tanpa bandul, sedangkan Muna kalungnya digantungi sebuah bandul kecil yang terbuat dari perak. Aku berfikir, mungkinkah mimpiku tadi akan terealisasi menjadi suatu kenyataan nikmat ?
Setelah berjalan sekitar 20 menitan, akhirnya kami tiba dirumah mereka. Tapulu dengan pakaian "kebesaran" duduk diatas sebuah benda yang setelah aku cermati ternyata sebuah bantal kecil. Disampingnya duduk bersimpuh isterinya dengan pakaian yang hanya menutupi dada hingga atas lututnya. Mulus benar pahanya.
oh ya. Isteri Tapulu tak kuketahui siapa namanya, tapi sering dipanggil dengan "Mbu'i bungale", mungkin itu gelar baginya. Selanjutnya aku akan sebut saja dengan "Mbu'i" yang dalam bahasa suku Lihito artinya nona.
Pemandangan indah nan merangsang seperti ini sebenarnya sudah pernah kulihat, bahkan setiap kali aku melakukan survey, aku melihat paha gadis-gadis di suku ini, tapi entah kenapa pemandangan yang disuguhkan Mbu'i menaikkan suhu tubuhku (suhu nafsu lebih tepatnya...hehehehe).
"Pak Anton sudah tiba. Mari kita mulai..." Tapulu membuka pembicaraan setelah aku duduk di tempat yang nampaknya sudah disiapkan di depan Tapulu. " sebelum kita mulai, saya akan memberitahukan hal ini secara jelas kepada Pak Anton" lanjut Tapulu
Aku mendengarkan ucapan Tapulu dengan tegang.
"Untuk menambah berkah bagi suku kami, maka kami harus menyempurnakan pelayanan kami kepada Pak Anton"
"........." aku makin deg-degan
"Pelayanan ini adalah kehormatan bagi kami, dan hendaknya Pak Anton bersedia menerimanya"
"........" Tegangan makin naik.
"Pak Anton sudah tiga hari bermukim di sini. Saya sebagai kepala suku akan memberikan Bundato kepada Pak Anton. Mohon tidak menolaknya" Ucap Tapulu dengan sorot mata berwibawa " Sebelumnya akan dilaksanakan ritual, saya akan memimpin ritual itu "
"Hmmmm,,, berputar kesana-kemari. Bikin kentang..." rutukku dalam hati.
Tapulu kemudian berdiri dari tempat duduknya, diikuti oleh isterinya. Dengan menjura Tapulu mempersilahkan aku berdiri untuk mengikuti mereka. Dengan penasaran akupun mengikuti Tapulu dan isterinya berjalan keluar rumah. Kami melangkah beriringan menuju Danau yang tak jauh dari situ.
Di tepi danau kulihat dua buah batu yang berbentuk kotak, permukaannya mengkilat, bersih sepertinya sering dirawat. Kedua batu itu sama bentuk dan permukaannya.
Mbu'i naik keatas salah satu batu itu, lalu duduk dengan kaki terlentang, mungkin ini ritualnya. Aku berdiri saja, tak tahu apa yang harus aku lakukan.
Tak lama kemudian Tapulu mempersilahkan aku untuk duduk diatas batu lainnya, duduk seperti posisi duduk isterinya. Dari atas batu itu aku hanya diam saja sambil melihat apa yang sedang diakukan oleh Tapulu.
Tapulu mengambil sebuah gayung yang sepertinya memang sudah disiapkan disitu, menciduk air dari danau lalu menyiramkan ketubuh isterinya. Ini mungkin bagian dari ritualnya.
Setelah menyiramkan air ke tubuh isterinya, Tapulu mendekatiku dengan gayung berisi air, lalu ritual yang sama pun dilakukan padaku. Nampak mulut Tapulu komat-kamit melafalkan sesuatu, seperti sedang membaca mantera. Segar terasa ketika guyuran air mengenai sekujur tubuhku. Perlahan rasa nyaman menjalariku. Aku mengusap wajahku, lalu ku sedekapkan tanganku diperut seperti orang yang sedang berdiri Sholat. Aku memang diarahkan untuk melakukan gerakan seperti itu.
Perasaan aneh perlahan mulai muncul dalam diriku, ganjil dan seperti sedang diangkat ke awang-awang. Kubuka mataku yang tadinya terpejam, kulirik Mbu'i, matanya terpejam dengan bibir terbuka.
"Ritual telah selesai. Pak Anton boleh melakukannya sekarang " ucap Tapulu.
Aku menatap Tapulu. Senyum tersungging di bibirnya. Aku mengalihkan pandanganku ke arah Mbu'i. Nampak senyuman penuh arti dibibirnya, sama seperti Tapulu.
"Pak Anton silahkan mengawini isteri saya, sebagai Bundato dalam menggauli wanita-wanita lain suku Lihito ini."
"Saya harus mengawini isteri Tapulu ? saya harus menjadi suaminya ?" tanyaku penuh rasa heran dan agak khawatir. Aku tak ingin menikahi wanita pedalaman ini, apalagi dia sudah bersuami, isteri seorang Tapulu.
"Maksud saya bukan menjadikan dia isteri Pak Anton, tapi bersetubuh seperti suami isteri" kata Tapulu menjelaskan. "Inilah yang namanya Bundato. Dengan menyetubuhi isteri saya, maka Pak Anton sudah boleh menyetubuhi wanita manapun di pemukiman ini sesuka Pak Anton. Siapa saja dan kapan saja. Semua wanita wajib melayani Pak Anton dengan baik" Tapulu menjelaskan panjang lebar.
"Siapa saja, Tapulu ? " tanyaku memperjelas
"Ya. Siapa saja. Kecuali putri-putri saya"
Kecuali Putri-Putri Tapulu. Hadeh...! padahal ini yang aku inginkan. Bercinta dengan putri-putri yang cantik itu. Masih banyak yang mesti aku tanyakan, termasuk tentang bandul dan kemungkinan aku memohon agar Muna diizinkan untuk jadi persembahan buatku. Aku ingin mewujudkan mimpiku.
Tapi pertanyaan dan permohonan itu tak sempat kuucapkan, Tapulu pergi meninggalkan kami. Aku memandang Mbu'i, isteri Tapulu. Pakaian yang dikenakannya masih saja melekat ditubuhnya.
"Pak Anton maunya disini saja terima Bundato ?" tanyanya dengan wajah menunduk.
"Boleh disini ?" aku balik bertanya.
"Dimana saja boleh, Pak Anton" jawabnya singkat." Pak Anton mau disini atau dirumah ?"
Aku memandang sekelilingku. Sepi. Rasanya akan lain sensasinya jika aku menyetubuhi wanita ini di alam terbuka seperti ini. Pasti lebih terasa nikmat ketimbang dalam rumahnya.
"Disini saja. Saya lebih suka disini " ucapku mantap.
"Baiklah, disini saja " ucap Mbu'i sambil turun beridiri.
Perlahan (namun pasti) dia membuka pakaiannya. Ternyata selain kain itu tak ada lagi kain lain seperti BH dan CD yang melekat di tubuhnya. Begitu dibuka langsung bugil. Ahhh....., tubuh yang aduhai. Betapa pintarnya Tapulu memilih wanita ini untuk menjadi isterinya. Tapi bukankah dia seorang kepala suku yang bebas memilih wanita mana saja yang dijadikan isteri ? Tak usah dijawab. Aku sedang konak...! :D :D
Kujelajahi tubuh wanita didepanku dengan penuh gairah. Matanya, bening memancarkan kelembutan yang sangat menyejukkan hati. Bibirnya, merah merekah bak delima, sensual dan menantang untuk dipagut. Lalu bagian tubuhnya yang lain..., ah sudahlah.
Aku tak tahan hanya sekedar menatap saja. Mbu'i mendekatiku dengan tubuh telanjangnya. Payudaranya bergoyang menantang untuk diremas dan dihisap dan dikemot dengan kencang. Lalu segumpal daging yang ditumbuhi bulu tebal diantara kedua pahanya memanggil-manggil si Otong untuk segera memasukinya. Akupun langsung melucuti semua pakaianku, membiarkan si Otong berdiri dengan gagah perkasa.
Tatapan Mbui terpokus pada penisku. Peralatan tempur kebangganku yang telah menaklukan tiga ladang perawan itu mengacung bak pedang tempur. Alat tempur yang sering bikin para gadis ngeri karena ukurannya yang sanggup mengisi penuh liang senggama mereka hingga mentok ke dasar rahim ini mengkilat dengan ujungnya yang membesar laksana topi baja tentara.
Mbu'i meraih penisku, berusaha menggenggamnya dengan erat. Dikocoknya penisku dengan perlahan, berirama dan periodik. Aku mengerang menahan rasa nikmat. Hebat sekali kocokannya, seperti seorang WP yang sudah sangat berpengalaman dalam hal kocok mengocok.
Aku tak tinggal diam menerima serangan yang dahsyat itu. Ku pagut bibirnya dengan ganas, sambil kuremas payudaranya yang tergantng bebas. Tak kusangka serangan balasan darinyapun sangat ganas, dahsyat penuh birahi.
Mbu'i menyusupkan lidahnya ke dalam mulutku, tak kubiarkan lidah itu bebas menari-nari dalam mulut, Kuhisap, ku belai dengan lidahku hingga pergesekan lidah itu melecutkan birahi dalam tubuh.
"Milik Pak Anton sungguh besar" bisik Mbu'i disela kulumannya dibirku. Sebuah remasan kencang kurasakan pada batang penisku. "Aku ingin segera merasakannya, Pak Anton"
Wuah...! binal juga isteri Tapulu ini. Heran juga aku, di tempat terpencil seperti ini adakah pendidikan seksnya ? Yang jelas disini seks bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan. Setiap wanita bebas melakukannya dengan siapa saja sepanjang mendapatkan restu dan telah melalui ritual yang dipimpin oleh Tapulu.
Mbu'i menarik tanganku ke arah batu kotak tempat kami melaksanakan ritual tadi. Direbahkannya tubuh sintalnya sambil ngangkang lebar-lebar. Sebuah belahan kemerahan terpampang. Dijulurkan tangannya ke arahku meminta dipeluk. Aku faham dengan keinginannya, dia menginginkan aku segera memasukkan penisku ke dalam liang senggamanya. Aku tersenyum dan menggeleng. Kurenggangkan kakinya lebih lebar, kusibak goa sempit diselangkangannya dengan kedua jempol, lalu...........
slruppppp...!
Kuhisap dengan kencang daging kecil yang menonjol dalam belahan vaginanya, kususuri belahan itu dengan jilatan lidah yang panjang, sesekali kugigit kecil klitorisnya sambil mencucukkan telunjuk kedalamnya. Basah, licin, beraroma khas.
"hmmmmhhh...." erangan kecil mulai terdengar kluar dari mulutnya. "enak Pak Anton... enakkkkk..!"
Goyangan pantatnya semakin liar. Erangan-erangan dan desahan terdengar makin keras.
"Ssshhhh... Pak Anton...! ini enak Pak Anton. Ini namanya apa. Kenapa enak sekali begini ??" Mbu'i menjerit keras. Tak peduli sama sekali pada keadaan sekelilingnya.
"Gantian, Bu. Coba masukkan milik saya ke mulut" aku menghentikan aktivitasku lalu mengarahkan penisku ke mulut Mbu'i setelah rasa pegal kurasa di leherku karena keasyikan menjilati vaginanya begitu lama.
Segera digenggamnya batang penisku lalu dimasukkannya ke dalam mulutnya. Dengan rakus dilahapnya batang penisku, dijilat, disedot, menimbulkan letupan kenikmatan yang maha dahsyat. Enak benar kenyotan bibir isteri sang kepala suku ini. Beberapa menit kemudian dia melepaskan penisku, lalu menggenggamnya erat, menuntunnya ke dalam liang kenikmatannya. Sesaat aku menggesekkan ujung penisku pada klitorisnya, kembali erangan nikmat keluar dari mulutnya...
"hsssshhhh...., Pak Antonhh hh behhnar-whhbennnhar shhh.. tamhu hagung. Punyhakhu,,, ssshhhh jadi enakkkkkkk..., whennnaaaaaakkkkk " desahnya.
Melihat gerakan dan erangan erotisnya aku jadi tak tahan lagi menahan diri untuk tak menggenjot vaginanya. Segera ku tekan penisku, masuk melesak ke dalam vaginanya yang sudah banjir dengan cairan kenikmatannya. Kudiamkan sebentar, meresapi kenikmatan jepitan vagina yang terasa sempit.
"Wawwww,,,,, nanaaaaaaaa....!" jeritnya keras. (nana=mama)
Kugenjot penisku keluar masuk vaginanya. Sensasi birahi yang sangat luar biasa kurasakan. Sensasi yang merupakan wujudan dari imajinasiku dulu yang kuanggap gila, betapa tidak ! aku akhirnya bisa menyetubuhi isteri orang tanpa ada perasaan was-was, terlebih dia adalah isteri seorang kepala suku, raja di pemukiman itu, ditambah lagi persetubuhan ini sedang terjadi di alam bebas. Tempat yang bisa saja orang-orang akan melihat kami dengan leluasa.
sekitar 20 menit kemudian....
"Aku tak kuat lagi, aku tak kuat, Pak Antooooooooon...! Ssstt... Ahhh..."
Makin ku percepat genjotanku, menghentak selangkangan Mbu'i hingga menimbulkan suara plok...plok menambah tingkatan sensasi birahi.
Tak lama kemudian kejutan-kejutan kecil terjadi di tubuh Mbu'i, tangannya mencengkeram lenganku dengan kuat. Tubuhnya bergetar disertai nafas yang tertahan Mbu'i menggeram. Cairan hangat seperti memancar membasahi batang penisku yang tertancap dalam vaginanya. Rupanya dia mengalami orgasme pertamanya.
"Arrrrggghhhh...." jerit Mbu'i keras.
Aku terus memompa batang kejantananku, tak mempedulikan tubuh Mbu'i yang terus bergerak seperti cacing kepanasan. Pikiranku aku fokuskan pada genjotan di vagina Mbu'i. Semakin cepat dan keras, dan ....
crotttt....crotttt...
Semprotan sperma tak dapat kutahan keluar dari ujung penisku mengisi penuh rahim Mbu'i. Ku tekan sedalam-dalamnya. Tubuh Mbu'i kembali bergetar hebat. Mungkin orgasme keduanya, aku tak tahu. Hanya saat itu juga dia menjepitkan pahanya ke pinggangku dengan erat.
"nikmat benar..., ughhh " desahku. Ku cabut penisku dari liang vagina Mbu'i. Cairan putih lengket meleleh dari lubang nikmat itu, menetes dan mengalir ke pahanya menuju ke belakang paha mulusnya.
"hufffhhhh... ini benar-benar nikmat. Belum pernah aku seperti ini. Tak pernah aku merasakannya sebelumnya. Pak Anton sungguh hebat " ucapnya terengah-engah.
Aku berbaring letih disampingnya, diatas batu kotak tempat kami ritual.
Agak lama kami berbaring berdampingan melepas lelah karena pertempuran. Sejenak kemudian Mbu'i bangkit, lalu mencium bibirku dengan lembut penuh gairah.
"Ayo, Pak Anton. Kita kerumah sekarang. Kita harus minum ramuan yang sudah disiapkan disana. Ayo..." ajaknya. "Jangan dulu dipakai bajunya. Tapulu masih harus memantrainya dalam ritual dirumah nanti"
Aku memandang Mbu'i. Apa lagi ini....
Tak ingin berdebat aku mengikuti Mbu'i yang berjalan tanpa busana menuju ke rumah kepala suku. Betapa kagetnya aku ketika kulihat banyak warga berpasangan tengah duduk bershaf menghadap Tapulu di bangunan yang mirip Balai Pertemuan. Segera kututupi kemaluanku dengan pakaian yang kubawa. Kulirik Mbu'i, sambil tersenyum dia memberi isyarat agar aku tak menutupi bagian manapun dari tubuh telanjangku. Akupun dengan ragu dan agak malu melangkah maju berdampingan dengan Mbu'i.
Kami diperintahkan duduk didepan Tapulu diiringi tatapan senang dari warga yang berkumpul. Tapulu meraih sebuah kotak yang terbuat dari anyaman rotan, lalu membuka penutupnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Dari bungkusan itu diambilnya gumpalan berwarna kecoklatan, lalu di usapkan pada jidat kami.
"Wahai warga Lihito. Dengarlah Titah Tapulu...." Tapulu berucap lantang sambil berdiri dari duduknya. Warga yang hadirpun hening mendengarkan "Titah Tapulu" itu.
"Satu lagi keberkahan dan kasih sayang Penguasa Darat dan Langit kita terima. Ritual Bundato telah selesai dilaksanakan. Pelayanan Kasih sayang telah diberikan pada titisan Penguasa ini (sambil menunjujku). Maka mulai saat ini, para wanita bukanlah milik para lelaki Lihito, tapi milik titisan Penguasa ini. Hormatilah dia, layani dia, jangan menolak atau berniat menolak, karena jika demikian maka murka penguasa akan menimpa kita semua."
"Kami setia pada Titah Tapulu" gaung suara terdengar dari mulut warga. Mereka bangkit berlutut lalu menyembah, entah menyembah siapa.
"Pulanglah ketempatmu. Jangan sekali-kali melanggar Titah ini" ucap Tapulu lantang.
Warga pun kembali meninggalkan kami yang duduk tanpa pakaian sehelai pun. Tapulu bangkit berdiri lalu memandangku penuh wibawa.
"istirahatlah. Kalian baru saja menyelesaikan tugas mulia. Makan dan minumlah untuk memulihkan tenaga kalian, setelah itu istirahatlah" Selesai mengucapkan kalimat itu, Tapulu melangkah pergi meninggalkan aku dan Mbu'i.
"Pak Anton, Aku ingin sekali lagi melakukan ritual nikmat itu. Aku ingin melakukannya Disini....."
"Apakah Boleh..?" tanyaku polos.
"Sangat diperbolehkan." Jawabnya sambil tersenyum genit.
CHAPTER 5 : MUNA DAN MUNI -1
Ritual Bundato telah aku jalani, dengan jamuan nikmat yang diberikan oleh Mbu'i atas perintah Tapulu. Aku sangat menikmati hal ini, ritual yang menghapuskan segala batasan dan norma dalam kehidupan suku Lihito.
Seusai Ritual seks antara aku dan Mbu'i, dia kembali meminta dan meminta untuk disetubuhi tanpa kenal tempat dan waktu. Sepanjang hari kami habiskan bersetubuh hingga rasanya ruas-ruas tulangku seperti kosong dan tak lagi bertenaga untuk digerakkan. Ada lebih dari sepuluh kali kami bersetubuh dari siang itu hingga esok harinya, dan Tapulu sebagai suaminya tak pernah melarang atau menegur kami, bahkan terkesan cuek dan malah seperti senang melihat persetubuhan kami.
Menjelang hari ketiga menikmati tubuh Mbu'i, aku pun kembali ke tempatku. Muna dan Muni menemani perjalananku yang sebenarnya tak perlu.
"Kembalilah ke tempat tinggal Pak Anton. Muna dan Muni akan mengantarkan Pak Anton kesana " ucap Tapulu memerintahku.
"Iya, Pak Anton. Istirahatlah di rumahnya Pak Anton. Kembalilah jika Pak Anton masih menginginkan saya... " Mbu'i berbisik pelan di telingaku.
Aku tersenyum, mengangguk setuju.
Kami tiba ditempatku yang sepi. Muna dan Muni tak lama kemudian pamit pulang setelah meletakkan banyak makanan dan minuman pemulih stamina. Tinggallah aku sendiri di rumah kecil itu, merebahkan tubuh diatas alas tidur. Terasa lelah dan lemas. Dua hari aku harus memuaskan dan dipuaskan Mbu'i, bersetubuh dengan ganas dan penuh nafsu. Vagina Mbu'i telah penuh terisi spermaku, bahkan prutnyapun pasti kekenyangan karena sering menelan cairan spermaku.
Anehnya, Mbu'i seperti tidak terpengaruh dengan kehadiran suaminya maupun kedua putrinya saat kami bersetubuh. Desahan, erangan, goyangan pinggul, cengkeraman ditubuhku, tek pernah dihentikan meskipun suami dan putri-putrinya didekat kami, bahkan sambil menjawab pertanyaan suaminya dia tetap melakukan aktivitas seks bersamaku. Akupun lama kelamaan terbiasa dengan suasana itu, tak peduli dengan keadaan sekitar...
Matahari baru berada di atas zenith, akupun melepaskan lelah ditempat tidur. Aku berencana bahwa hari ini akan aku gunakan untuk tiduran saja agar stamina yang telah terkuras selama dua hari penuh setidaknya sebagian akan pulih kembali.
Udara siang yang sejuk menambah rasa kantuk di mataku, perlahan aku mulai hanyut dan tenggelam dalam hybernasi yang cukup panjang. Menjelang sore hari (waktu hampir Maghrib) aku terbangun dari tidurku. Ku gerak-gerakkan badanku dan meregangkan tangan dan tubuh yang terasa mulai segar.
Biar lebih segar aku pergi ke danau untuk mandi. Sesampai di danau aku lihat beberapa warga sedang mandi. Diantara warga yang sedang mandi itu nampak Pak Lapu dan Bu Panio. Melihat kedatanganku warga yang sedang mandi itu melambai padaku, sebagian menyapaku sambil tersenyum, senyum tulus. Aku tersenyum membalas sapaan mereka. Tanpa perasaan canggung sedikitpun aku langsung membuka seluruh pakaianku, telanjang dengan Junior yang tergantung lemas diapit dua buah telur....
Mereka yang sedang mandi tak satupun yang menutupi tubuh dengan kain, semuanya bugil, dan tak satupun juga yang peduli dengan ketelanjangan yang lainnya. Mereka asyik beraktivitas tanpa memandang konak tubuh telanjang orang lain, atau mencoba grepe-grepe tubuh wanita disampingnya yang lagi bugil, mereka tak seperti aku atau para agan, langsung grepe-grepe jika ada wanita seksi yang sedang berdiri menantang setengah bugil aja didekatnya... :D :D
"Pak Anton... sebuah suara memanggilku. Nampak Bu Panio berjalan mendekatiku. Payudaranya yang masih montok bergoyang pelan, namun tak dipedulikannya karena memang semua saat itu sedang bugil seperti dirinya.
Aku mengalihkan pandangan pada tubuh Bu Panio. Memandang takjub ke arah selangkangannya yang begitu indah menawan hati (puihhhh,,,, dasar mesum...) :D :D
"Sebentar nanti Pak Anton datanglah ke rumah kami " ucap Bu Panio singkat namun mengandung arti.
"Iya, saya akan usahakan "
"Kalau Pak Anton tak bisa datang, biarlah saya yang akan datang ke rumah Pak Anton "
"Iya. Saya masih capek. Mungkin saya akan istirahat dulu malam ini. "
"Tak minum ramuan ?
"Sudah, tapi masih capek "
"Oh... Bu Panio tersenyum penuh arti.
Bu Panio melangkah pergi. Akupun meneruskan mandiku. Setelah puas berendam di air danau yang sejuk, akupun bergegas kembali ke rumah. Ingin tidur sepuasnya.
-----------------------------------------
----------------------------------------
(Bagian berikut ini adalah bagian 75% fiksi)
POV MUNA
Beberapa hari yang lalu seorang pemuda tampan datang ke pemukiman kami. Saat itu dia datang ditemani oleh Pak Juna. Pak Juna adalah seorang pria paruh baya yang sudah sering datang berkunjung ke tempat ini. Soal ketangguhan Pak Juna, jangan ditanya lagi. Pernah dia bertarung dengan Ibu seharian tanpa kena lelah. Perkasa benar pria satu ini. Soal pria sebenarnya aku tahu banyak, tapi bukan karena aku sudah pernah bersetubuh dengan pria, bukan ! tapi karena aku sudah sering menyaksikan persetubuhan yang dilakukan wanita-wanita dipemukiman ini.
Bagi kami, persetubuhan bukanlah hal yang tabu, tapi justeru hal ini menunjukkan bahwa kami wanita suku Lihito lebih tinggi derajatnya daripada pria. Buktinya kami bisa menaklukkan para pria.
Kembali ke pria tampan tadi.
Namanya Anton. Dia datang dari Kota, entah kota mana aku tak tahu. Maklum aku tak pernah kesana. Kata Bapak orang kota itu berbahaya, entah kenapa Bapak bisa mengambil kesimpulan seperti itu.
Kak Anton, begtulah aku memanggilnya. Dia diberi tempat tinggal oleh Bapak ditepi Danau perbatasan hutan rimba dengan pemukiman. Kasihan juga, dia hanya sendirian disana. Aku sebenarnya ingin menemaninya disana, memasak untuknya, mencuci baju untuknya, dan kalau bisa menghangatkan tidurnya. Tapi memang tak boleh, karena Kak Anton pekerjaannya tak boleh diganggu. Konon katanya dia hendak membuat sesuatu yang berguna untuk warga suku Lihito.
Aku sering mengantarkan makanan dan minuman untuk Kak Anton. Meskipun agak jauh, aku rela melakukannya, ada seperti perasaan senang dan damai jika memandang wajah Kak Anton dan berdekatan dengannya. Adikku Muni juga sepertinya merasakan hal yang sama. Kadang aku berusaha menahan Muni agar tak ikut denganku untuk mengantarkan makanan dan minuman buat Kak Anton, tapi Muni tetap ngotot mau ikut. Hadeh..., dasar si anak manja...!
Kemarin Kak Anton menjalani prosesi Bundato. Seharian dia bercinta dengan Ibu, seperti tak ada habisnya tenaga mereka. Aku ingin teriak keras ketika melihat kemaluan Kak Anton, Wow ! panjang, besar dan berurat. Aku tak pernah melihat penis sebesar ini. Punya Bapak saja kalah, padahal Bapak sering menggunakan ramuan special suku Lihito yang berfungsi untuk memperbesar alat kejantanan, tapi masih kalah gede juga, pantesan Ibu tak pernah mau berhenti untuk bertempur dengan Kak Anton.
Aku memang tak pernah merasakan bagaimana vaginaku ditusuk oleh benda panjang dan keras seperti itu, tapi dari erangan dan desahan mereka aku yakin kalau mereka sedang keenakan.
Hmmmm..., Muni sangat beruntung dibandingkan aku. Dia sudah pernah merasakan kenikmatan itu. Kata Muni awalnya terasa sakit ditusuk oleh benda itu, tapi lama kelamaan akan terasa nikmat. Entah bagaimana rasanya kenikmatan itu, aku hanya sanggup untuk membayangkannya saja tanpa pernah merasakannya.
Seharian Ibu dan Kak Anton melakukan persetubuhan. Dan aku ? aku mengurung diri dalam kamar. Suara desahan dan erangan mereka semakin membuatku sakit. Iya sakit ! karena aku sangat menginginkan akulah yang jadi persembahan buat Kak Anton, bukan Ibu. Tapi Bapak telah menetapkan pada musyawarah kecil keluarga kami.
Kemarin saat aku dan Muni pergi ke tempat Kak Anton, aku sangat ingin menyuruh Muni untuk segera pulang. Tapi Muni tak mau. Entah kenapa dia begitu, tak mau taat padaku. Ikh !
Saat kami bertiga berjalan beriringan menuju rumah, kulirik Kak Anton berjalan sambil mencuri-curi pandang ke arah bokongku. Aku yakin dia sedang membayangkan hal mesum tentang aku. Sempat kudengar dia mendesah dibelakangku.
"Ahhhhh...
Aku menoleh ke arahnya. "Ada apa Kak Anton ?
"Ah, tak apa-apa " dia berbohong. Padahal jelas-jelas kulihat jakunnya turun naik. Sayang sekali ada Muni, andai dia tak ada pastilah aku meminta Kak Anton untuk menyetubuhiku ditempat itu. Meskipun Muni berjalan paling depan, tapi aku tak ingin Muni ikut-ikutan minta bersetubuh dengan Kak Anton. Kupendam keinginan itu, hingga akhirnya Ibulah yang menerima kenikmatan itu.
Malam itu, aku keluar rumah diam-diam. Aku hendak pergi ke rumah Kak Anton. Malam ini aku akan menemaninya tidur, dan akan memintanya untuk mengajariku bersetubuh.
Kulihat Muni sedang terlelap dikamarnya. Dengan mengendap-ngendap aku keluar rumah. Repot juga. Andai tradisi Rumah Cinta tak dihilangkan, maka pasti aku akan bebas pergi kemana saja, meminta Kak Anton mendatangiku dan semuanya...., tapi sayang tak ada lagi rumah cinta. Kami telah ditempatkan dirumah ini dengan kamar-kamar besar pengganti rumah cinta.
Kegelapan malam aku susuri dengan langkah yang tergesa-gesa. Aku tak perlu khawatir akan tersesat, karena jalanan ini sudah sangat aku hafal. Aku setengah berlari menuju rumah Kak Anton. Nampak lampu Rumah Kak Anton masih menyala pertanda bahwa Kak Anton belum tidur.
Lamat-lamat kudengar suara orang. Mungkin Kak Anton kedatangan tamu. Ada warga yang datang berkunjung untuk memberikan ucapan selamat padanya.
Ketika hendak mengetuk pintu rumahnya.....
"Sssshhhh...., Pak Anton....., sungguh nikmatnya... terdengar erangan seperti saat Kak Anton dan Ibu bersetubuh.
Aku melangkah hati-hati. Kukuak sedikit pintu rumahnya, mengintip ke dalam, dan....ugh..
"Bu Panio..., jepitanmu kencang benar. Seperti perawan... uhmmm... suara Kak Anton.
"Habis milik Pak Anton besar. Aku selama ini hanyahhh,,, uhhhh.... ditusuk dengan...hssshh barang suamiku yang kecil,,, hsssshhh "
Nampak olehku Kak Anton sedang menggoyangkan pantatnya, seperti apa yang dilakukannya tadi bersama Ibu. Mereka saling berpelukan, kaki Ta Panio dilingkarkan ke pinggang Kak Anton, mulutnya tak lepas dari pagutan Kak Anton.
Aku menggeram marah. Kenapa Kak Anton malah memilih Ta Panio dari pada aku ? Teganya Kak Anton. Seharusnya sebelum dia bersetubuh dengan Ta Panio, dia harus mengajariku dulu.
Aku kembali mengintip, kelihatannya mereka sudah mendekati ahir dari permainan. Kulihat Ta Panio berhenti menggoyangkan pinggulnya, Tinggal Kak Anton yang terus menggenjot. Genjotannya makin cepat, dan ....
BRAKKKKKK !
"Aku juga pengen, aku mauuuuuu....
Aku terkejut. Dobrakan pintu dan suara keras terdengar. Lebih terkejut lagi ketika kulihat Muni berdiri didekat Kak Anton dan Ta Panio yang sedang bersetubuh. Bagaimana bisa Muni ada disini ? bukankah dia tadi sedang tidur ?
"Tunggulah sejenak, Muni. Aku mau menyelesaikannya dulu " ucap Kak Anton sambil terus menggenjot Ta Panio.
"Tapi setelah ini Kak Anton harus menyetubuhiku. Muni merengut manja.
Aku semakin tak karuan. Rasanya aku hendak masuk dan menarik tangan Muni dan menyuruhnya pulang.
Tapi....., ada apa denganku ? Bukankah Kak Anton bebas dinikmati oleh siapa saja di pemukiman ini ? Dia telah selesai mmenjalani prosesi Bundato.....
POV MUNI
Aku heran dengan perubahan Kak Muna. Tak biasanya dia seperti ini. Selalu saja dia ingin menemui Kak Anton, seakan-akan Kak Anton miliknya. Huh...!
Ketika Kak Anton datang ke pemukiman ini, aku berharap Kak Anton akan menjalani prosesi Bundato denganku. Sudah lama liang kenikmatanku tidak diterobos oleh benda panjang dan licin milik pria. Sudah hampir lima purnama.
Beberapa purnama yang lalu seorang pria datang kepemukiman kami, lalu seperti Kak Anton, dia menjalani prosesi Bundato. Akulah yang dipilih Bapak untuk menjadi persembahan. Nikmat benar prosesi itu, meskipun pada awalnya terasa nyeri, tapi lama kelamaan setelah persetubuha itu diulang kesekian kalinya, perasaan nyeri hilang berganti kenikmatan yang tiada tara.
Kak Muna sempat menanyakan bagaimana rasanya diteobos oleh benda itu, aku jawab saja sekenanya. Kasihan juga Kak Muna, sebagai kakak tentunya dia pasti merasa dianak tirikan. Dia tak dipilih Bapak untuk menjalani prosesi nikmat itu.
Dengan kedatangan Kak Anton kulihat ada terbersit harapn dihatinya, semua nampak dari perubahan sikapnya, ingin terus berdekatan dengan Kak Anton. Sayangnya bukan dia yang dipilih Bapak, melainkan ibu.
Aku yakin Kak Muna menginginkan Kak Anton. Terbukti malam itu.
CHAPTER 6 : MUNA DAN MUNI -2
Malam itu saat semua penghuni rumah sudah masuk ke kamar masing-masing, termasuk Kak Muna dan Aku, tiba-tiba ada perasaan tak enak dalam hatiku ketika aku mencoba memejamkan mata. Akupun bangun dan berjalan keluar kamar. Benar saja, nampak sesosok bayangan mengendap-ngendap keluar dari rumah menuju pintu samping. Saiap ya ? jangan-jangan Ibu...,
Ah, tak mungkinlah ibu, buat apa ibu jalan sambil mengendap-ngendap ?
Aku mengikuti bayangan itu hingga keluar rumah. Aku terkejut saat samar-samar saat kukenali bayangan itu. Kak Muna ! Mau kemana dia ? mengapa juga dia jalan mengendap-ngendap ?
Kulihat Kak Muna berlari keluar halaman rumah, menuju tepian Danau. Aku makin penasaran. Kuikuti terus, ah....! pasti dia hendak ke rumah Kak Anton, karena jalan yang sedang dia lalui menuju ke arah sana. Aku harus mengikutinya, ingin tahu apa yang akan dia lakukan.
Aku hanya khawatir, jangan sampai dia hendak meminta Kak Anton menyetubuhinya akibat rasa yang terus menggebu dalam dirinya karena melihat persetubuhan yang dilakukan Ibu dan Kak Anton kemarin. Jika Kak Muna melakukan itu, pasti Bapak akan menghukumnya, bukan hanya dia tapi juga Kak Anton karena melanggar "Titah Tapulu yang melarang Kak Anton dan Putri-Putri Tapulu untuk berhubungan badan .
Gerakan Kak Muna semakin cepat, setengah berlari menembus jalanan yang gelap. Hmmm..., aku harus melakukan sesuatu. Kuambil jalan pintas menuju rumah Kak Anton, pas benar. Pasti Kak Muna akan tiba setelah aku berada disitu, akan aku minta Kak Anton untuk menyetubuhi aku, pastilah jika Kak Muna melihat Kak Anton sedang menyetubuhiku dia akan terkejut dan tak menyangkanya, lalu dia akan pulang karena marah dan kecewa.
Kupercepat langkah kakiku, rumah Kak Anton sudah nampak dengan cahaya lampu yang masih terlihat. Dia belum tidur rupanya, pas benar.
Tapi, ketika aku sampai, aku mendengar suara desahan dan erangan. Suara orang yang sedang bersetubuh. Ah..., aku terlambat rupanya. Kak Muna sudah berhasil tiba lebih dahulu sebelum aku. Segera ku dobrak pintu.....
BRAKKKKKK !
"Aku juga pengen, aku mauuuuuu.... teriakku mengejutkan Kak Anton yang sedang menyetubuhi Kak............
Aduh...! aku salah. Ini ternyata bukan Kak Muna. Tapi Ta Panio....
POV ANTON
(Kembali ke pelaku utama)
BRAKKKKKK !
"Aku juga pengen, aku mauuuuuu....
Bunyi pintu ddi dobrak dibarengi suara yang lebih mirip bentakan terdengar tiba-tiba saat aku sedang mempercepat genjotanku pada liang senggama Bu Panio.
Muni...! putri bungsu Tapulu sedang berdiri tak jauh dari kami yang sedang bergumul dalam persetubuhan panas. Mulanya aku kaget dann hampir menghentikan aktivitasku. Tapi mungkin karena lagi tanggung dan sudah hampir mencapai puncak, maka aku biarkan saja Muni berdiri menatap kami dengan wajah yang agak marah.
Aku tak mempedulikan Muni yang tegang menatap kami, pikiran aku fokuskan pada genjotanku di vagina Bu Panio yang terasa sangat nikmat, sempit dan legit.
Hmmmmm,,,,, yummiiii :D :bacol:
"Tunggulah sejenak, Muni. Aku mau menyelesaikannya dulu " ucapku pada Muni sambil terus memompa.
Bu Panio kembali menggerakkan pinggulnya setelah tadi berhenti bergerak. Mungkin birahinya terpecut lagi. Erangan dan rintihan kembali keluar dari bibirnya yang terbuka dengan nafas yang terengah-engah
"hufffhhh...wennaaaakkk Pak Annntooon..., argggghhhh "
Aku mempercepat kocokan penisku di liang vaginanya yang mulai mengeluarkan cairan licin dan hangat.
Beberapa saat kemudian...
"Grrrrr.... arrrrggghhhhh...., " dan sodokan keras penis kuhantamkan ke vaginanya yang berkedut-kedut, ada lebih dari lima kali kusemprotkan cairan sperma ke dalam rahimnya diiringi dengan kejang-kejang ditubuh Bu Panio.
Setelah mendiamkan penisku beberapa lama, akhirnya aku mencabutnya. Lalu melorotkan tubuhku berbaring disamping Bu Panio yang tergolek lemas.
Muni bersimpuh disamping tubuh Bu Panio. Ditatapnya Bu Panio sambil tersenyum, lalu pandangannya beralih padaku dan pada penisku yang masih berdiri tegap memberi penghormatan padanya.
"Aku ingin Kak Anton menyetubuhiku juga " ucapnya dengan kerlingan manja.
"Tak boleh ... ! Kalian tak boleh melakukan itu.... ! "
CHAPTER 7 : GADIS PEDALAMAN - Muna
Sudah hampir seminggu aku melakukan survey ke seluruh daerah pemukiman, namun sepertinya tak menghasilkan inspirasi ataupun ide yang bagus, tepat guna, dan sesuai dengan kebutuhan warga pemukiman.
Dalam suntuk, akhirnya terpikir satu ide di otakku. Aku hendak membuat alat penyuling air, karena sumber mata air yang digunakan warga pemukiman berasal dari air danau, yang kehigienisannya tidak terjamin. Mereka memanfaatkan air danau untuk mandi, minum, mengairi tanaman, dan segala aktivitas yang membutuhkan air terpokus ke danau itu. Jadi, tak ada salahnya dan menurutku pembuatan penyulingan air menjadi air bersih dan layak guna adalah ide yang baik buat warga pemukiman itu.
Akhirnya, setelah berkonsultasi dan membicarakan hal itu pada Tapulu, beliau menyetujuinya. Akupun mulai melaksanakan proses pembuatan penyulingan air yang sederhana dengan dibantu oleh beberapa warga.
Aktivitas sehari-hariku selama beberapa hari kedepannya terpokus pada pembuatan penyuling air. Aktivitas seks pun terhenti, karena aktivitas itu akan berjalan lagi jika aku memintanya, berhubung setiap hari aku kelelahan, maka harus beristirahat dari melakukan aktivitas seks.
Tak perlulah aku ceritakan proses pembuatannya serta alat dan bahan yang digunakan. Semua hanya memanfaatkan bahan-bahan alam.
Setelah semua selesai, Pak Juna juga telah datang menemuiku, akupun berencana hendak kembali pulang melaporkan hasilnya kepada Dosen pembimbing secara lisan dan tertulis.
Setelah dirasa semuanya rampung, dan aku telah memberikan petunjuk cara penggunaan dan perawatannya, Kamipun berpamitan kepada Tapulu dan keluarganya, terutama kepada dua putri Tapulu, Muna dan Muni, serta seluruh warga. Mereka melapaskan kepergian kami dengan berat, setelah sebelumnya menyalamiku.
Ada sesuatu yang kulihat di mata Muna, sebersit harapan yang menjulang, harapan untuk dikasihi dan disayangi. Matanya berkaca-kaca saat kuucapkan kalimat selamat tinggal padanya.
------------------------------------------
------------------------------------------
Sudah seminggu aku kembali dari pemukiman Suku Lihito. Seminggu itu pula aku tak melakukan aktivitas apa-apa, tidak juga pergi ke kampus. HP ku yang terus berdering tanda SMS masuk aku abaikan. Ada hampir seratusan SMS masuk, dari teman-temanku, mereka mungkin SMS aku sejak beberapa minggu lalu sejak aku ke pemukiman suku Lihito. Tak satupun SMS itu ku buka. Aku ingin istirahat total.
..............................
Hari itu aku keluar dari halaman kampus dengan langkah kaki yang kurang bersemangat. Betapa tidak ! Bahan yang aku ajukan kepada Dosenku ditolak ! Huh...! katanya apa yang aku lakukan dipemukiman itu bukanlah hal yang bersifat Tepat Guna. Penyulingan air bukanlah sesuatu yang prioritas di daerah itu, karena warga daerah itu sudah menggunakan air danau sudah bertahun-tahun dan belum ada satupun fakta bahwa air itu tidak layak digunakan. Fakta, analisis dampak lingkungan, serta segala argumen yang aku berikan tidak cukup kuat dan tidak cukup meyakinkan.
Aku mesti bagaimana lagi ? apakah aku mesti kembali lagi ke pemukiman itu ? Hadeh...., disana ada Muna, Muni, Mbui, Bu Panio, dan warga-warga yang terus menyodorkan isteri-isteri mereka buatku. Bisa mati aku melayani hasrat GILA mereka...!
Dengan perasaan tak menentu aku melajukan sepeda motorku menuju ke Taman Kota. Di sebuah bangku beton yang terletak di sebuah pohon rindang aku menghempaskan tubuhku. Nafas kecewa dan kesal ku hembuskan sekuat-kuatnya.
Tak jauh dari tempatku nampak beberapa pasangan muda dan mudi sedang duduk berduaan, entah mereka sepasang kekasih atau hanya teman aku tak tahu. Pandanganku ku alihkan lagi ke tempat lain, ke arah orang-orang yang sedang berkerumun. Ah, penjual obat keliling barangkali. Biasanya mereka menjual obat sambil melakukan trik-trik sulap yang bikin kagum orang yang melihatnya. Trik yang cukup jitu untuk menjerat calon pembeli.
Boleh juga tuh. Daripada bete, mending aku turut berdesakan disana, siapa tahu atraksi si penjual obat bisa menghilangkan stress.
Wow..., hebat juga sang penjual obat. Pantesan banyak yang berkerumun, ternyata dia menggunakan jurus dahsyat. Si penjual obat itu memanfaatkan seorang wanita cantik dengan pakaian seksi, pakaian minim yang bisa memancing birahi pria-pria mesum disana.
"Gabung ahhh..." aku tersenyum (agak mesum) sambil mendekat.
Seorang gadis dengan pakaian yang agak aneh, persis seperti pakaian yang dipakai oleh ...
"Kak, Anton..?! " Gadis yang sedang menjadi pusat perhatian itu tiba-tiba berteriak kegirangan sambil berlari ke arahku.
"Hah ??!..., Munaaa ?? "
Tak peduli dengan orang-orang disekelilingnya, gadis yang ternyata Muna berlari memelukku. Rasa canggung yang luar biasa menghinggapi perasaanku.
Orang-orangpun menatap kami dengan penuh tanya. Rasa heran mungkin, seorang gadis dengan pakaian aneh kini memeluk seorang pria yang memakai Jas biru berlogo sebuah Perguruan Tinggi.
Segera kutarik Muna pergi menjauh dari tempat itu.
"Ayo kita pergi dari tempat ini.." kataku sambil menyeret Muna.
Muna tak menjawab, lengannya terus digayutkan ke lenganku meskipun terus ku tepiskan.
Segera aku bonceng Muna, melaju menuju ke kosanku.
Tak banyak cakap, setelah tiba disana, dikamar kosku, aku menyuruh Muna mandi membersihkan tubuhnya yang sudah berbau keringat.
Agak kesal juga aku dengannya. Muna mandi tanpa melepaskan bajunya, langsung nyemplung dibak mandi yang penuh berisi air, walhasil akupun memberikan bajuku untuk dipakainya, juga celana jeansku tanpa pakai CD dan BH karena pakaian Muna otomatis basah.
Biarlah, daripada dia harus berpakaian aneh dan basah seperti itu. Bisa-bisa memancing perhatian dari seluruh penghuni kos. Untung saja saat kami tiba tak ada seorangpun di kosan ini. Maklumlah, rata-rata adalah Mahasiswa dan pekerja kantoran yang masih single dan pendatang.
Ketika malam aku membeli dua bungkus nasi di warung dekat kosan, lalu kami makan berdua di dalam kamar. Aku tak mengijinkan Muna keluar kamar, karena khawatir jangan sampai dia melakukan hal-hal aneh.
Sambil duduk ditepi ranjang, aku mulai menginterogasinya dengan berbagai macam pertanyaan, mulai dari kenapa dia datang kemari, bagaimana perjalanannya, bagaimana bisa dia nekat pergi sendirian dan apa tujuan utamanya datang. Muna menjawab semuanya sambil berbaring di atas ranjang.
Ada sedikit rasa senang dihatiku ketika ku tahu ternyata kepergian Muna dari Dusunnya karena ingin bertemu denganku.
Setelah kepergianku, Muna terus mengurung diri dalam kamarnya. Dan dua hari lalu dia pergi diam-diam dari pemukiman dengan tekad hendak mencariku. Nekat juga....... :D :p :p
Muna mendatangi Pak Juna di Desa Moutong, lalu dengan memaksa dia minta Pak Juna menemaninya mencariku. Pak Juna yang tidak tega padanya akhirnya bersedia dengan syarat Muna tak boleh cerita kepada Tapulu bahwa dialah yang telah menemani Muna mencariku.
Setibanya di Baraya (letak Kampusku dulu, sejak tahun delapan puluhan dipindahkan ke Tamalanrea ) Muna dan Pak Juna terpisah. Saat itu Muna melihat seseorang yang mirip denganku diseberang jalan. Diapun berlari ke arah itu tanpa sepengetahuan Pak Juna.
Setelah terus berjalan Muna akhirnya tiba di Taman kota. Disana dia bermalam di baruga (rumah singgah) yang terdapat di salah satu penjuru taman. Siangnya kembali dia berjalan mencariku dengan keyakinan penuh akan menjumpaiku, hingga akhirnya ketemu denganku di Taman itu.
**************
**************
"Hahahahaha...., seorang Anton panik hanya karena ada cewek dalam kamar kosnya ?" gelak tawa Lusi terdengar keras diseberang ketika aku telepon dia dan menceritakan tentang kepanikanku karena Muna sudah dua hari nginap di kosanku dan tidur seranjang denganku.
"Jangan ketawa mulu...!" bentakku membuat Lusi menghentikan tawanya.
"Lha iyalah, Ton. Kamu kok panik ? aku aja sampe berhari-hari nginep disana, tidur seranjang denganmu, kamu ga pernah panik. Lagian dia itu Cuma gadis pedalaman kan ?"
"Itu beda, Lusi sayang....."
"Beda apanya ? Toh aku dan dia sama-sama perempuan.."
"Udah...! berhenti bercanda. Aku serius nih..."
"Trus apa yang bisa aku bantu ?"
"Bantu mikir nyari solusi. Ga mungkin dia terus disini. Bisa lama skripsiku terbengkalai"
"Oke, mending aku kesitu sekarang"
klik sambungan terputus. Lalu.....
Lusi pun tiba dikosanku tak lama kemudian.
Sedikit tentang Lusi. Dia adalah temanku, bukan pacar. Kami sama-sama mahasiswa di jurusan yang sama. Aku dan Lusi terbiasa mengerjakan segala hal, baik tugas kuliah maupun pekerjaan lainnya yang tak ada hbungannya dengan kuliah selalu bersama-sama. Ada kedekatan tercipta diantara kami, kedekatan yang terlihat sangat akrab lebih dari sekedar teman ataupun pacaran.
Berulang kali Lusi menginap dikosanku, lama, sampai seminggu. Tak ada rasa canggung diantara kami jika berada dalam kamar. Mandi bersama, tidur seranjang, telanjang dalam kamar sambil nonton film bokep dari laptopku, sudah bukan hal yang luar biasa. Untuk urusan seks ? apalagi ? melakukan hubungan badan? itu sudah sering kami lakukan tanpa ada beban tanggung jawab apapun.
"Mana gadis pedalaman yang bikin kau panik itu ?" tanya Lusi sambil kakinya terus melangkah masuk kamarku. Akupun segera menyusul Lusi masuk.
"Owh, pantesan kamu panik..." bisik Lusi pelan sambil tersenyum menggoda padaku.
Muna sedang tertidur diatas ranjang tanpa selimut, tanpa kain apapun melekat dibadannya. Bugil ...! Aku tambah panik.
"Eh..., ini..i-ni..., kenapa kok ni anak bugil gini " ucapku gugup.
"hehehe..., bagus tuh badannya. Pasti kamu ngaceng tiap hari ya.." Lusi malah menggodaku. Dicubitnya pinggangku dengan keras, aku mengaduh hingga membuat Muna yang sedang tertidur bangun.
"Kak Anton..." sapanya pelan. Pandangannya berganti tertuju pada Lusi.
"Ini Lusi, temanku. " aku mencoba menjelaskan. Lusi mengangguk dan tersenyum pada Muna.
Tanpa perasaan jengah, Muna bangkit duduk ditepi ranjang tanpa menutupi tubuhnya yang telanjang. Kulirik Lusi, raut wajah cemburu terpancar dari sana. Ah, mending aku keluar. Ini perbincangan antara wanita..., ya kan mas bro ??? :D :D :D :p :p
"Malam ini aku akan nginap disini, bersama kalian...."
Hah ????!
Sontak aku menoleh ke asal suara. Muna...! tiba-tiba saja dia masuk dan langsung menarik tangan Muni.
Hadeh...! Kok bisa kedua putri Tapulu ini berada disini sekarang ?
"Kalian berdua kenapa bisa kesini ??? bukankah kalian juga sempat mendengar apa kata Tapulu ? Aku tak boleh menyetubuhi kalian. Itu yang dikatakan Tapulu, Bapak kalian. Ingat ? "
Muni diam saja, terlebih Muna. Dengan keras di tariknya tangan Muni keluar dari rumahku, lalu pergi.
Aku menarik nafas panjang. Tak habis pikir dengan tingkah kedua putri Tapulu itu. Mungkinkah mereka jatuh cinta padaku ? ataukah itu hanya sekedar obsesi seks yang suntuk dalam diri mereka ?
Ah, biarlah. Aku tak peduli, setidaknya untuk malam ini, karena ada Bu Panio disampingku yang akan menemaniku sepanjang malam.
Aku memeluk tubuh telanjang Bu Panio, sambil kumainkan vaginanya. Dan kukenyot susunya yang menggairahkan.
Ssssttt.... Ahhh..
Memeknya terasa basah dan dia orgasme. Kulakukan terus sampai dia orgasme kembali. Ku ulangi terus seperti itu. Samapi dia sudah tak mampu bergerak. (pingsan keenakan dan kelelahan).
Setelah puas membuat Bu Panio orgasme berkali-kali untuk kesekian kalinya dengan permainan nakal mulut serta jari-jemariku.
Lalu mencoba memejamkan mata sambil meresapi kenikmatan perstubuhan tadi, dan juga merenungi segala tingkah kedua putri Tapulu, terutama tingkah Muna yang agak aneh.
CHAPTER 7 : GADIS PEDALAMAN - Malam Yang Melelahkan-
Malampun tiba. Lusi dan Muna sudah agak akrab. Mungkin selama aku tinggal keluar tadi Lusi sudah banyak menanyakan segala hal kepada Muna.
Sambil berbaring diatas ranjang, kami bertiga ngobrol dengan Muna berada ditengah dalam keadaan bugil. Tak ada perasaan risih, jengah atau apa saja didirinya. Dan akupun tak berusaha menjahilinya meskipun bahasa tubuhnya seperti ingin dimanja, dicumbu dan sebagainya.... :p
Obrolanpun sampai pada kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi jika terus membiarkan Muna berada disini. Pasti warga Suku akan panik, terlebih Tapulu dan Mbu'i.
"Ton..., kayaknya kita harus mengantar Muna pulang ke Desanya " Usul Lusi saat itu. "Aku khawatir ini akan buruk bagi kalian berdua.."
"Kita.....?, maksudmu kau juga ...?"
Aku menatap tajam wajah Lusi. Ni anak mengusulkan sesuatu yang tambah bikin pusing kepalaku saja. Lagian buat apa dia mau ikutan kesana ?
"Ya, iyalah..." Lusi menjawab dengan tegas, menandakan bahwa ia serius dengan apa yang diucapkannya.
"Tapi..., kau tak tahu bagaimana keadaan disana. Aku hanya tak ingin kau kenapa-kenapa disana."
"Tenang saja, Ton. Kan ada kamu..." ucap Lusi manja.
"Muna yang dari tadi diam saja tiba-tiba bangkit dari tempat tidur, berdiri lalu melangkah masuk ke kamar mandi. Tak lama kemudian terdengar dipratan air.
"Hey, Ton. Bisa-bisanya kau ya ? masa tubuh gadis sebagus itu dianggurin ? " goda Lusi berbisik.
"Wew..., dia masih perawan, Non..."
"Lha, malah bagus to ? dapet perawan gratis....hehehehehe.."
"Ih.., kau pikir gampang dan mudah ngambil keperawanan gadis-gadis suku ?"
"Emang kenapa...?"
"Ada konsekwensinya, Non "
Lusi mengernyitkan keningnya.
"Konsekwensinya seperti apa ?" ucapnya tak faham dengan konsekwensi yang kukatakan.
"Di suku itu untuk menyetubuhi wanita manapun bebas sesuka hati" ucapku mulai menjelaskan " tapi harus melalui suatu prosesi. Nah, prosesi itupun harus disyahkan dengan suatu ucapan bertuah yang disebut dengan Titah. Titah ini hanya Tapulu yang berhak mengeluarkannya. Jika Titah itu dilanggar maka akan menyebabkan suatu bencana pada diri dan seluruh warga suku"
Lusi manggut-manggut.
"Tapulu mengizinkan aku menyetubuhi seluruh wanita suku, kecuali kedua putrinya..."
"Artinya kau sudah mencicipi seluruh wanita suku itu. Ton ?"
"Ya ga semua sih..." aku tersenyum.
Obrolan kami pun terhenti saat melihat Muna keluar dari kamar mandi. Masih bugil tanpa sehelai benangpun.
Sejujurnya, aku selalu ngaceng jika menatap tubuh bugilnya. Namun entah mengapa aku tak pernah berani menyentuhnya.
Tubuh Muna sangat bagus, bahkan lebih bagus dari tubuh Lusi. Payudaranya kencang dan imut, vagina yang tembem dengan bulu-bulu halus menghiasinya, dan pinggul yang sangat proposional.
"Kak Anton. Aku ingin bundato..." Muna berdiri menatapku. Tangan kanannya memegang pentil payudaranya yang menonjol, tangan kirinya mengusap lembut selangkangannya, memancing si Otong bergerak bangkit dari tidurnya. Dia menginginkan Bundato ?
Selama ini aku tak pernah berani menatap tubuh bugil Muna. Masih ada perasaan takut melanggar Titah Tapulu. Tapi kini..., tak bisa kuhindari pemandangan indah ini.
"Bundato ? itu sudah selesai Muna..., ritualnya sudah dilaksanakan " ucapku gugup.
"Nah, tunggu apalagi ? kau tinggal menyempurnakannya saja kan ? " Lusi yang menjawab. "Jangan bodoh, Anton. Jangan sok alim kau..."
"Aku... aku.... " gelagapan aku menanggapi ucapan Lusi. Suasana ini sungguh sangat membuatku tak tahu harus berbuat apa. Dan Lusi mengerti akan perang dalam batinku.
"Baiklah. Kita mulai..." Lusi tersenyum padaku sambil turun dari ranjang. Dibukanya seluruh pakaian yang melekat ditubuhnya, lalu bugil seperti Muna tanpa penghalang apapun.
Menyaksikan dua gadis cantik yang tengah bugil didepanku, Juniorku menegang sempurna.
Lusi menarik tangan Muna dan mendorongnya perlahan hingga rebah terlentang di atas rannjang. Kepalanya langsung diarahkan ke selangkangan Muna, perlahan dan lembut dikecupnya vagina mulus gadis pedalaman itu. Aku terpana melihat hal itu.
"Wangi kok, Ton. Ga pengen nyoba ?" tanya Lusi sambil tersenyum menggoda padaku.
"Ayolah..., buka pakaianmu. Jangan dianggurin. Nanti nyesel lho..."
Pertahanankupun jebol. Muna mulai mengerang dan mendesis mendapat serangan Lusi. Tangannya menggapai-gapai entah mencari apa. Tersenyum aku melihat Muna, Sungguh suatu pemandangan yang sangat memacu birahi.....
Segera ku tanggalkan pakaianku, polos tak menyisakan apapun. Sebuah tonggak kokoh yang panjang dan berurat mengacung, membuat tatapan mata Muna terpokus ke benda itu.
Akupun naik ke atas ranjang dan mendekati Muna, lalu kudekatkan senjata andalanku ke mulutnya. Muna diam saja. Matanya mendelik, kadang ke bawah, kadang keatas, kekanan dan kekiri. Suara desisan terdengar dari mulutnya. Lusi dengan sigap memegang tangan Muna lalu mengarahkan ke batang penisku. Agaknya secara naluriah Muna mengerti. Digenggamnya batangku lalu dikocoknya perlahan. Nikmat pemirsa....!
Tak berhenti sampai disitu. Ku buka bibir Muna dengan jariku, Muna mengerti, masih secara alamiah barangkali. Dengan pelan ku dorong penisku masuk ke dalam mulutnya, sesaat Muna memundurkan kepalanya enghindari penisku, namun setelah aku membujuknya akhirnya Muna bersedia menerima batngku masuk ke mulutnya, Muna pun mulai mengemut batang penisku dengan bibir mungilnya. Lidahnya menyapu lembut ujung penisku. Nikmat lagi pemirsa....!
"Uhhhmmmm...." hanya itu suara yang keluar dari mulutnya.
Agaknya service yang diberikan Lusi kepada Muna semakin membuat gadis itu menggelinjang hebat dilanda birahi yang aku yakin belum pernah dirasakannya seumur hidupnya.
"Ayo, Ton. Kayaknya dia udah siap.." Lusi menarik tanganku menyuruh untuk segera melakukan penetrasi ke vagina Muna.
Agak ragu aku menatap Muna. Gadis itu hanya menatapku penuh birahi. Tangannya mengelus selangkangannya, vaginanya nampaknya yang sudah banjir dengan cairan dan ludah Lusi.
Dengan lembut aku menatap mata beningnya, meminta persetujuan. Muna mengangguk pelan seakan mengerti arti ttatapan mataku. Tangannya mengusap lembut belahan vaginanya.
"Tahan ya Muna ..." Lusi berbisik pelan kepada Muna. Direnggankannya kedua kaki Muna hingga makin menampakkan belahan vagina yang kemerahan. Sambil memijit lembut payudara Muna, Lusi mencium bibir gadis itu.
Ku genggam batangku lalu kuarahkan ke belahan vagina Muna. Kugesek-gesekkan sebentar pada daging kecil yang menonjol di belahan itu, lalu dengan pelan kudorong masuk kepala penisku. Muna agak terhentak. Kepala penisku masuk setengah, terlalu sempit. Kudorong lagi..., Muna terhentak lagi, kudiamkan sebentar lalu dorong lagi... dan berulang kali kulakukan hingga akhirnya dengan hentakan kuat aku coblos liang kemaluan sempit gadis perawan pedalaman itu.
Muna terpekik.
"Waw..., nanaaaaaaaaaaaaaaaaaa...!"
Air mata meleleh dari sudut mata Muna, giginya gemeretak, tangannya mencengkeram kuat tengkuk Lusi yang sedang membantu memberikan rangsangan pada payudaranya.
Kudiamkan sejenak penisku dalam vaginanya, membiarkan otot-otot vaginanya beradaptasi dengan penisku.
Setelah kurasa Muna mulai bisa beradaptasi dengan sumpalan penisku di vaginanya, kugerakkan lagi maju mundur penisku.
Sepuluh menit kemudian tak ada jerit kesakitan lagi keluar dari mulut Muna. Semua mulai berganti dengan erangan nikmat.
"Shhhh....hmfhhh..." Muna mulai mengerang lagi.
Tusukan penisku dan jilatan lidah Lusi pada puting payudaranya semakin menambah birahinya. Vaginanya mulai licin oleh cairan yang mengalir dari dalam vaginanya.
"Masih sakit, Muna ?" tanyaku sambil terus memompa.
Muna menggeleng sambil memejamkan matanya.
"Tak sakit, Kak. Rasanya seperti sesuatu menjalar dari ujung kaki sampai kepala. Enak..." Muna berkata sambil menjilat-jilat bibirnya.
Akupun mempercepat kocokanku diliang senggamanya. Kurasakan semakin Sempit dan enak vaginanya.
Tak lama kemudian.....
crottttt.....crotttt.....
Semprotan spermaku memancar dahsyat mengisi rahim Muna. Muna tersenyum puas. Lusi pun menghentikan kenyotannya di payudara Muna.
Entah berapa kali aku orgasme dan menyemprotkan sperma ke dalam liang kenikmatan Muna malam itu, dan Muna pun tak kutahu berapa kali kejang-kejang orgasme. Dan Lusi ? diapun tak luput dari seranganku.
Malam itu kami bertiga bertempur habis-habisan hingga menjelang subuh. Lalu tidur sampai siang, saling berpelukan dengan tubuh telnajang dan sperma yang belepotan ditubuh mereka dan mengalir dari belahan vagina mereka.
Capek.... pemirsa....!
CHAPTER 8 : BACK TRIP TO TRIBAL
Kesepakatanpun terjadi antara aku, Lusi dan Muna. Kami akan mengantarkan Muna kembali ke suku Lihito dengan segala resiko yang mungkin akan Muna atau bahkan kami bertiga terima.
Muna tak ingin kembali ke suku itu pada awalnya. Dia ingin tetap bersamaku, bukan Cuma sekedar takut untuk kembali lagi kesana karena kepergiannya tanpa sepengetahuan keluarga Tapulu tapi hanya karena tak ingin pisah dariku. Sebagai seorang laki-laki tentu aku sangat senang dan merasa bangga, betapa tidak...! seorang gadis perawan cantik (menurut ukuranku sih) rela meninggalkan keluarganya hanya karena ingin selalu di dekatku. Namun sebagai pria yang berfikir jernih tentang hari esok aku merasa was-was dengan apa yang telah Muna (lebih tepat kami) lakukan, terlebih sebagai seorang Mahasiswa aku mana mungkin bisa tinggal di pedalaman yang segalanya terisolasi dari keramaian dunia luar ?
Jauh di lubuk hatiku aku merasa layak disalahkan, dan memang aku turut bersalah atas segala yang telah terjadi ini. Rasa takut karena telah melanggar larangan Tapulu tek sediktipun kurasakan.
Kembali ke Laptop.....
Kami bertiga akhirnya kembali ke Pemukiman Suku Lihito. Kembali perjalanan yang melelahkan aku lakukan, namun kali ini aku ditemani Lusi dan Muna, tak lagi mengajak Pak Juna karena aku sudah mengenal medan jalan menuju pemukiman, lagian ada Muna.
Kami berangkat dari kosan pagi hari, dan sore hari kami sudah tiba di pemukiman.
Apa yang ditakutkan oleh Lusi ternyata tak terbukti sama sekali, dan ini cukup aneh buatku. Tak sedikitpun Tapulu mempersoalkan kepergian Muna dari pemukiman, tak marah atau minimal menegur Muna dengan keras soal kepergiannya.
Malahan ......
"Wah, Pak Anton kembali lagi. Kami sangat senang Pak Anton mau kembali lagi ke pemukiman ini..."
Tapulu menyambutku, maksudku menyambut kami dengan segala rasa sukanya.
"Pak Anton harap bersedia tinggal untuk beberapa hari lagi bersama isteri....."
"Ini namanya Lusi, Tapulu. Dia teman kuliah saya..." aku memberi penjelasan atas dugaan salah Tapulu, meskipun aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Tapulu tak faham apa itu Kuliah.
"Ya, Pak Anton..." Kata Tapulu berdehem kecil sambil melirik Lusi. "Itu isteri Pak Anton..."
Ah, mungkin disini tak ada namanya teman, saudara. Yang ada hanyalah isteri, satu untuk semua.... hehehehehehe
Kami disuguhi lagi dengan makanan dan minuman khas suku Lihito, dengan peralatan makan dan minum yang masih sama seperti dulu. Makanan dan minuman pun masih diantarkan oleh seorang pelayan yang berpakaian sama seperti dulu aku pertama kali datang. Tak ada yang berubah, kecuali cara Tapulu menatap aku..., eh maksudku menatap Lusi.
Aku pun diminta untuk tinggal di tempatku dulu. Bersama Lusi...? tidak...! Lusi tinggal dalam rumah Tapulu. Untuknya disediakan sebuah kamar bersebelahan dengan kamar Muna.
#POV LUSI#
Suasana alam yang sangat sejuk dan indah serta nyaman, juga warga yang memperlakukan kami dengan sangat hormat dan dimuliakan membuatku merasa ingin lama tinggal di pemukiman ini. Apalagi tadi kulihat ada danau dengan airnya yang segar..., wuih..., rasanya ingin mandi setiap hari di danau itu.
Sebelum kami memutuskan untuk mengantar Muna kembali ke pemukiman ini, aku agak ragu. Campur aduk, takut, ngeri dan penasaran. Takut karena aku bukanlah seorang perempuan yang memiliki jiwa petualang (kecuali petualang sex...hihihi), ngeri karena membayangkan sesuatu yang akan dilakukan oleh kaum suku ini terhadap kami yang telah menyebabkan perginya Muna dari suku itu, penasaran karena aku ingin melihat langsung peradaban suku itu seperti yang diceritakan Anton padaku.
Malam itu setelah kami menyantap hidangan khas suku Lihito, aku dipersilahkan menempati sebuah kamar bersebelahan dengan kamar Muna. Sedangkan Anton dipersilahkan menempati kembali tempat yang dia tempati dulu ketika datang ke pemukiman ini.
Muna yang sudah akrab denganku memperkenalkan seluruh penghuni rumah. Ibunya yang bernama Mbu'i, cantik dan seksi, setidaknya dalam ukuran wanita pedalaman. Lalu adiknya Muni, tak kalah cantiknya dengan Muna.
Dari pakaian dan perhiasan yang mereka pakai, hampir tak ada perbedaan, kecuali kalung yang mereka pakai. Ibu dan adik Muna dihiasi oleh semacam medali yang berbentuk bandul terbuat dari perak. Kalung ibunya digantungi dua buah medali, sedangkan Muni satu medali.
"Kakak akan mendapatkan itu juga, besok..." itu penjelasan Muna ketika aku tanyakan perihal medali itu padanya.
Kenapa aku ? lalu Muna ???
"Aku tak punya medali itu. Untuk mendapatkannya ada syaratnya. Dan kakak akan mengerti setelah kakak mendapatkan medali itu..."
Muna kembali menjelaskannya padaku.
Bingung juga..., tapi kenapa aku harus memikirkan perihal medali itu ?
Kedatanganku ke suku ini bukan demi medali kan ? tetapi untuk mengetahui dan melihat langsung semua tradisi "aneh" suku ini, menghilangkan rasa penasaran dari semua cerita Anton.
Dan.....
Tak ada yang aneh, tak ada yang janggal, dan tak ada yang istimewa seperti cerita Anton. Mungkinkah karena kami tiba disini menjelang sore sehingga segala aktivitas kaum di suku itu telah berakhir, ataukah ???
Skip..... Skip.... Skip....
Pagi harinya aku terbangun dengan suara-suara yang cukup asing di telingaku, namun seperti sangat indah dan natural. Burung-burung berkicau, ayam-ayam berkokok, semua penguni pemukiman mulai beraktivitas lagi. Semuanya membuat aku seperti hidup dalam sebuah dunia yang sangat nyaman dan indah.
Kulihat Anton sudah ada. Dia tengah duduk berbincang-bincang dengan Tapulu. Sesekali wajahnya menampakkan ketegangan, sesekali tersenyum, lalu tertawa dan seterusnya, silih berganti, aku tak tahu apa yang sedang mereka perbincangkan. Akupun berjalan mendekati mereka.
"Lusi sudah bangun ?" sapa Tapulu melihat kedatanganku.
Aku tersenyum. Lalu duduk bersimpuh disamping Anton. Tak ada Muna disitu, tak ada ibunya, hanya kami bertiga.
"Bagaimana tidurmu ? nyenyak" tanya Anton sambil menatapku menyelidik.
"Iya. Nyaman tidur disini..." jawabku. "Kalian lagi ngomongin apa tadi ? Kulihat kau sepertinya tegang ?" tanyaku pada Anton dengan berbisik pelan.
"Lagi ngomongin kamu" jawab Anton dengan berbisik pula.
Nampaknya Tapulu tengah memperhatikan kami yang saling bisik tanpa kami sadari. Suara deheman Tapulu membuatku agak sedikit merasa gugup.
"Lusi akan segera menjalani ritual penyambutan tamu pagi ini..." Tapulu berkata datar. Sangat datar hingga membuatku terkejut. Ritual di suku ini pasti aneh, seperti cerita Anton.
"Ritual ? Ritual seperti apa itu, Tapulu ?" Penasaran aku bertanya pada Tapulu
"Sama seperti yang dijalani oleh Pak Anton...." datar dan makin membuatku gugup.
"Kamu jalani saja, Lusi " bisiki Anton pelan.
"Aku tak mengerti, apa itu berhubungan sex seperti yang kau lakukan ?"
"Mungkin saja...."
"Hah ???!" tanpa sadar aku berteriak. Tapulu menatap tajam padaku.
"Saya dan Lusi harus berhubungan badan. Ini penyambutan tamu perempuan, penghormatan kami untuk Lusi, sekaligus menghindari kemarahan penguasa darat dan langit..."
Waduh ? Apa yang akan dilakukan Tapulu ? menyetubuhiku ? apa aku tak salah dengar ?
Membayangkan disetubuhi pria pedalaman yang kasar membuatku bergidik, ngeri....!
"Sejenak lagi setelah isteri saya kembali dari mengambil air suci, maka ritual akan segera kita mulai"
Tapulu berucap dengan rona tegang, Seakan ini adalah prosesi suci yang sangat penting. Ah, ini kan tradisi mereka...
"Muna bersama isteri saya sedang mengambil air suci. Setelah itu ritual suci akan segera kita laksanakan. Muna juga akan ikut dalam ritual ini. Pak Anton harap bersedia menjalani ritual kembali bersama Muna..."
Mati aku...! pasti senjata pria pedalaman ini sangat besar, lebih besar dari milik Anton yang sering "menginap" dalam vaginaku. Hah..., kenapa bukan Anton saja yang melakukannya untukku ? kenapa harus Tapulu ?
Ini kan tradisi mereka..., oh iya ya ? hihihihi... batinku berkecamuk.
Kulirik Anton yang dari tadi diam saja. Dia tersenyum padaku, sedang menertawakan aku dalam hatinya mungkin. Brengsek kau Anton ! awas kau... !
"Nah, itu mereka sudah datang..." Ucap Tapulu tiba-tiba.
Nampak Muna dan ibunya datang sambil membawa dua buah bambu berukuran sedepa. Isinya sudah bisa kutebak. Pasti air suci yang dikatakan Tapulu tadi.
"Ayo..., kita ke dalam. Tempat ritual sudah disediakan." Tapulu berdiri dari tempat duduknya lalu melangkah ke tengah ruangan rumah. Kami pun mengikuti langkahnya. Aku diam saja, namun seribu pertanyaan berkecamuk dalam hatiku. Apa yang akan terjadi nanti ?
"Ayo Lusi. Ikuti ritual ini " ajak Mbu'i sambil menggandeng tangaku. "Muna akan menjalani ritual bersama Anton, dan Lusi bersama Tapulu..."
Di tengah ruangan telah disediakan semacam altar. Diatasnya diletakkan dua buah wadah besar yang terbuat dari daun lebar. Mbu'i mengandeng tanganku menuju tempat itu.
"Silahkan dibuka seluruh pakaian.." ucap Mbu'i ringan
Aku menatap Mbu'i. "telanjang bulat ?"
"Ya. Seperti ini " jawab Mbu'i sambil membuka pakaiannya hingga bugil. "Lihat Tapulu. Dia sudah siap..."
jreggggg...! wowwwww..!
Tapulu berdiri ditengah wadah, bugil...., dan tongkat sakti di selangkangannya itu...... !
Ritual penyambutan tamu suku ini memang agak aneh. Sebuah cara penyambutan tamu yang diluar dari tradisi suku bangsa manapun didunia ini, mungkin begitu.
Aku pernah membaca posting disebuah blog tentang tradisi suku yang ada di suatu negara Asia. Suku itu mempunyai kehidupan seks bebas. Tradisi free sex, incest dan segalanya bukanlah hal yang tabu bagi mereka. Para Wanita bebas memilih siapa saja pria yang akan menjadi pasangannya dalam melakukan hubungan seks, dan hak memilih ini hanya dimiliki oleh wanita. Seorang pria tak boleh memaksakan kehendaknya, dia mesti menerima keputusan sang wanita. Jika wanita itu menerimanya menjadi pasangan berhubungan seks, maka boleh si pria berhubungan seks dengan wanita itu, namun jika si wanita menolaknya, maka si pria harus mundur dan tak boleh mengganggu si wanita. Hal ini bukanlah melecehkan wanita dalam arti para pria boleh dengan sesuka hati melakukan seks dengan wanita manapun, malah sebaliknya, wanitalah yang bebas melakukan seks dengan pria manapun yang diinginkannya. Tradisi ini justeru dianggap merupakan pengakuan kekuasaan Wanita atas pria.
Agak sedkit berbeda dengan tradisi suku Lihito. Disini para pria yang berkuasa atas wanita. Namun bukan berarti para pria bebas melakukan hubungan seks dengan wanita manapun yang disukainya. Semuanya ada syarat dan ketentuan.
Pria boleh melakukan seks dengan wanita manapun asalkan dia telah melalui suatu ritual yang dijalaninya yang dinamakan "Bundato", dipimpin oleh orang yang dianggap diberi mandat oleh "Penguasa darat dan Penguasa Langit".
Bundato maksudnya merintis jalan. Dalam bahasa suku Lihito artinya "memutuskan batasan" atau "mengresmikan". Dalam hal ini seorang tamu pria akan menjalani ritual "Bundato" seperti yang telah dijalani Anton, dan seorang tamu wanita akan menjalaninya juga seperti yang akan aku jalani.
Ya...., aku akan menjalani ritual itu. Ritual yang lebih asyik jika aku namakan ritual nikmat... hehehehehe :D :D
**********************
Kulihat Tapulu berdiri ditengah wadah, bugil...., dan tongkat sakti di selangkangannya itu...... !
Meskipun vaginaku sudah berulang kali menjadi tempat bersarangnya penis Anton, namun ketika melihat kepunyaan Tapulu....., agak ngeri juga....
Tongkat sakti dengan urat-urat besarnya, kepala yang mirip topi baja tentara yang sangat besar, panjang dan kokoh.... nampaknya begitu.
Mbu'i perlahan menarik tanganku berjalan melangkah naik ke atas altar. Tubuh bugilpun mendekati Tapulu yang dengan gagahnya berdiri dengan tongkat saktinya yang sangat luar biasa. Agak gugup aku mendekat, lalu duduk disebuah bangku kecil yang sudah tersedia. Wajahku menghadap ke arah Tapulu, dan otomatis tongkat sakti Tapulu mengacung tepat sejajar dengan wajahku.
Dadaku berdebar kencang, ada rasa penasaran dalam hatiku, kira-kira seperti apa rasanya jika dihujami oleh benda yang super seperti ini.
Dihujami oleh penis Anton saja aku sudah setengah mati menahan rasa lemas karena orgasme berulang kali serta rasa penuh di vagina, apalagi jika benda panjang gede berurat dengan kepalanya yang mengerikan itu mengaduk-ngaduk liang kenikmatanku...., wuah.. pasti liangku tak akan sanggup menampungnya, mungkin butuh tambahan perluasan wilayah dalam liangku itu.... hihihi.
Guyuran air sejuk menyirami kepalaku, membasahi rambut dan wajahku. Tapulu dengan pelan menyiramkan air dari bambu sambil mulutnya komat kamit melafal mantera, entah mantera apa dan untuk apa.
Air mengalir membasahi seluruh tubuhku. Satu tabung air habis, dilanjutkan lagi dengan tabung kedua, dan habis lagi.
"Nah, Lusi berbaringlah..." Perintah Tapulu.
Aku menuruti perintahnya tanpa protes. Setelah aku membaringkan tubuhku terlentang, Tapulu merenggangkan kedua kakiku berjauhan, hingga belahan vaginaku agak terkuak.
Tapulu meraih sebuah kantung yang terbuat dari serat kayu yang dianyam, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil. Dicelupkannya dua jarinya di kotak itu, kulihat jarinya kini berwarna kecoklatan. Tapulu pun mengoleskan cairan yang menempel dijarinya ke seluruh batang penisnya. Berulang kali dioleskan hingga seluruh batangnya telah dilumuri oleh cairan kecoklatan. Entah caran atau minyak apa itu, aku tak tahu.
Aku menanti apa yang akan dilakukan Tapulu selanjutnya dengan dada berdebar. Dengan pelan Tapulu jongkok sambil memegang batangnya dengan tangan kanannya, lalu tangan kirinya perlahan mengusap vaginaku, lalu dengan dua jarinya dia menyibak belahan vaginaku. Digesekkannya dengan pelan ujung penisnya pada clitorisku, menimbulkan sensasi luar biasa, seperti aliran listrik yang menyengat dan mengirimkan sinyal-sinyal aneh ke seluruh tubuhku.
Cairan kewanitaanku mulai keluar, sebagai reaksi dari gesekan penis Tapulu. Kupejamkan mataku, mencoba menikmati letupan birahi yang datang dengan cepatnya.
"Uhhhmmmm....," tak ada kalimat lain yang sanggup kuucapkan selain desahan itu.
Sungguh nikmat.
Tak lama kemudian saat vaginaku semakin banjir, aku mulai merasakan belahan vaginaku terkuak sedikit demi sedikit. Ada sebuah benda yang sedang berusaha menerobos masuk. Rasanya seperti sedang berusaha memasukkan kepalan tangan ke dalam mulut, agak sulit masuk karena liangku sempit, atau mungkin benda itu terlalu besar untuk ukuran liangku.
"Uhhhgghhhggg... hsshhhhshhh..." desahku.
blessssshhhhhh
awwwwwwwwwhhhhh...!
Benda besar panjang berurat itu masuk dengan paksa kedalam vaginaku. Perih terasa. Oh no..!, Tapulu sudah berhasil mendorong masuk penisnya. No.. No..., aku tak percaya...! It's imposible...! aku tak sanggup...! tak sanggup menahan rasa perih, tapi ada juga rasa nikmatnya. Liang vaginaku terasa sangat penuh, sangat penuh, tak ada celah sedikitpun yang ada, sesak..., mentok ....!
Tapulu mendiamkan penisnya. Wow ! luar biasa sensasi nikmat yang ditimbulkan oleh penisnya yang berdenyut-denyut dalam liang vaginaku. Dengan cepat otot-otot vaginaku beradaptasi dengan benda asing yang sedang menggeseknya. Reaksi baliknya adalah cairan pelumas yang mulai mengolesi penis Tapulu keluar dari dinding-dinding rahimku.
Ada sedikit rasa asing dan aneh, dan tak pernah aku rasakan selama ini, termasuk dari gesekan penis Anton setiap kali kami bersetubuh. Liang vaginaku seperti sedang berkontraksi dan penis yang diam tak bergerak itu seperti sedang mengaduk-ngaduk liangku, vaginaku seakan mersepon sendiri denyutan itu tanpa perintah otakku. Ada seperti rasa dingin dan hangat, rasa seperti mint, namun perlahan menciptakan getaran birahi yang sangat dahsayat, menjalar dari ujung kakiku menyebar ke seluruh tubuh. Owh,,, ini mungkin cairan yang dioleskan oleh Tapulu pada penisnya tadi.
Luar biasa..! tanpa memompa penisnya keluar masuk Tapulu sanggup membuatku seperti ini. Rasa perih berangsur hilang, berganti rasa nikmat yang tak bisa dilukiskan. Getaran yang semula kecil itu mulai berubah menjadi sebuah gelombang dahsyat yang menggetarkan seluruh tubuhku, lalu semburan cairan vaginaku keluar dengan dahsaytnya.
"Arrrgggghhhh......." aku orgasme.
Aku orgasme ? iya aku orgasme. Dahsyat, nikmat luar biasa. Senikmat inikah penis pria pedalaman ? dan aku tak percaya, tanpa memompa sedikitpun bisa menghasilkan orgasme yang sangat luar biasa padaku ?
Belum selesai aku menikmati orgasme pertamaku, Tapulu mulai memompa penisnya keluar masuk. Awalnya perlahan, lama kelamaan semakin cepat. Tubuhku bergoyang seiring hentakan paha dan penis Tapulu.
Aku tak menghiraukan dimana dan lagi apa Anton sekarang. Aku tak menghiraukan Mbu'i yang sedang asyik menonton kami, aku juga tak peduli dimana Muna, Muni, pelayan rumah, dan lebih tak peduli lagi pada tubuhku yang sudah makin lemas oleh serangan-serangan orgasme yang diciptakan oleh gesekan penis Tapulu.
Aku terus menjerit keenakan, meracau tak karuan, mengejan, teriak, terus begitu selama lebih dari sejam kira-kira, hingga sebuah semprotan keras diliang vaginaku menyempurnakan kenikmatan dahsyat yang tengah aku alami.
Tapulu mencapai klimaks setelah lebih dari sejam menghajarku dengan penis gagahnya. Banyak dan lama cairan spermanya menyemprot.
Tapulu mendiamkan penisya dalam vaginaku. Tubuhnya mengejan, namun tidak roboh di atas tubuhku. Dia masih saja dalam posisi jongkok diantara kedua pahaku. Penis itu masih menancap sempurna dan masih keras. Tak ada sedikitpun cairan spermanya yang kurasa mengalir keluar dari belahan vaginaku, saking besarnya hingga tak ada celah sedikitpun untuk menjadi jalan keluar cairan spermanya. Sungguh permainan yang sangat luar biasa, dan aku yakin tak satupun wanita diluar sana yang pernah merasakan kenikmatan orgasme sperti ini.
"Ohhh...Tapulu..., sekali lagi bikin aku lemas..., bikin tulangku lepas dengan hentakanmu, penuhi vaginaku dengan spermamu...." ucapku menatap Tapulu dengan birahi.
Aku ingin lagi dan lagi. Kenikmatan langka ini tak boleh aku biarkan sedetikpun berhenti. Tak peduli persendianku yang terasa mau copot. Aku ingin dan ingin terus sepanjang hari.
Dan Tapulu pun seakan tak pernah habis tenaganya terus melesakkan penisnya kedalam vaginaku. Terus dan terus...., Aku orgasme berulang kali, tak sempat kuhitung, lebih dari belasan kali kenikmatan itu menyerangku. Hingga sore hari menjelang barulah kami menghentikan kegiatan dan ritual yang Maha Nimat itu.
Dengan dipapah Mbu'i aku dimandikan lagi ditepi danau. Tubuhku dibersihkan, bukan olehku, tapi Mbu'i. Aku hampir tak lagi sanggup berdiri dengan tegap. Lemas se lemas-lemasnya..., dan rasa nikmat masih terus kurasa...., pada malamnya, hingga menjelang pagi.
Antoooonnnn....! Terima kasih kau telah mengijinkan aku mengenal mereka...!
#POP ANTON#
Pagi itu Lusi hendak menjalani ritual penyambutan tamu, dan aku sudah menduga ritual macam apa itu, pasti tak jauh berbeda dengan ritual yang aku jalani.
Ingin aku menyaksikan jalannya prosesi itu langsung, namun Muna menahanku. Aku tak boleh kesana katanya, karena hanya akan mengganggu jalannya ritual. Akupun membatalkan keinginanku tersebut. Benar-benar tradisi yang aneh menurutku. Tadi kata Mbu'i aku akan menjalani ritual lagi bersama Muna, ritual macam apa lagi ? tak mungkin ritual yang bernama Bundato, sebab aku sudah pernah kesini dan telah menjalani ritual itu.
Entah apa yang sedang terjadi pada Lusi. Entah ritual model apa yang dia jalani, aku tak tahu. Aku mencoba bertanya pada Muna tentang hal itu, tapi Muna malah menyuruhku bertanya pada ibunya, Mbu'i. Dia tidak banyak tahu meskipun dia adalah putri kepala suku. Dia tahu tentang ritual Bundato karena Muni menceritakan padanya bagaimana prosesi itu berlangsung.
"Ritual yang dijalani Kakak Lusi beda dengan ritual yang kak Anton jalani." Muna sedikit menjelaskan.
"Bedanya dimana ?"
"Aku tak tahu persis, Kak" Jawabnya singkat.
"Setahuku bahwa ritual untuk tamu wanita berbeda dengan tamu pria. Soal perbedaannya dimana aku tak tahu" lanjutnya.
Aku manggut-manggut, sedikit faham.
Biarlah, nanti aku akan tanyakan langsung pada Lusi tentang ritual yang dijalaninya.
Dan pagi pun berlalu, berganti siang, dan siang pun mulai melaju menuju petang, sambil berbaring diatas tikar yang terbuat dari batang tumbuhan kecil yang disuku itu dinamakan [i[ti'ohu[/i], aku menunggu Lusi selesai menjalani ritual, namun tak ada tanda-tanda Lusi selesai menjalani prosesi itu. Makanan dan minuman yang diantarkan oleh pelayan rumah sudah habis ludes tak tersisa. Sudah kucoba memejamkan mata, tidur sebentar, namun seakan si kelopak mata atas tak mau ketemu sama sahabatnya si kelopak mata bawah. Jadilah aku kekurangan ion negatif yang memicu terjadinya "ritual" menguap tanpa henti namun tak bisa tidur.
Menjelang malam barulah Tapulu menemuiku. Tak kulihat Lusi bersamanya. Dimana dia ?
"Pak Anton..., Lusi sedang istirahat di kamar, Pak Anton belum bisa menemuinya karena ritual masih akan berlanjut sampai besok pagi" ucap Tapulu saat itu.
"Oh, iya Tapulu " aku menjawab lesu.
"Setelah makan malam nanti, Pak Anton akan segera menjalani ritual."
Aku hanya menatap Tapulu tanpa berkata apa-apa.
"Muna akan menemani Pak Anton malam ini sampai pagi"
Aku tetap diam.
"Muni juga akan membantu Muna menjalani ritual bersama Pak Anton..."
Nah, ini aku baru kaget. Lalu memperbaiki posisi duduk.
"Tapi sebelumnya, Pak Anton terima ini..." Tapulu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil, dan didalam bungkusan itu terdapat dua buah pil berwarna hitam, kecil seperti butiran kacang hijau. Aku ingin menanyakan kegunaan pil itu, namun Tapulu kembali bicara..
"ini Pil kami menamakannya Pil Palengge, Pak Anton. Minumlah, dan Pak Anton akan merasakan perubahan pada salah satu bagian tubuh Pak Anton"
Aku menatap benda kecil ditelapak tanganku yang disodorkan Tapulu. Perubahan bagian tubuh ? apa aku akan mempunyai sayap ? ataukah bagian tubuhku yang sering ku sapa dengan panggilan "Otong" akan mengalami perubahan ??? hihihihi... penasaran juga...
"Minumlah sekarang Pil itu, Pak Anton, bagian tubuh Pak Anton akan mengalami perubahan jika terkena air suci nanti. Nanti setelah selesai makan malam kita akan menjalani ritual. Saya tinggal dulu..." ucap Pak Anton sambil beriri dan melangkah pergi.
Aku memandang Pil kecil itu. Apa pula ini ? ah, tanpa ragu aku menelan pil itu. Tak ada rasa, hambar. Dan reaksi yang timbul setelah pil itu kutelan ? tak ada sama sekali, aku tak merasakan apapun......
Dan, makan malampun selesai.
Tapulu lalu mengajakku ke tepi danau, hendak menjalani ritual katanya. Tapi yang agak aneh bagiku adalah tentang kepergian kami berdua. Tak ada Muna, Muni atau Mbu'i yang ikut bersama kami. Jangan-jangan.... hahhhhh ?????! apakah Tapulu akan menjadi pasanganku dalam berhubungan seks ? Mahokah dia ? Ah..! tak mungkin...!
Tapulu menyuruhku melakukan hal seperti dulu aku menjalani ritual Bundato. Hanya bedanya aku saat itu berdua bersama Mbu'i.
Selesai diguyur dan dimantrai, dengan berdebar aku menunggu apa yang akan dilakukan Tapulu nanti. Semoga saja Tapulu bukan maho, semoga ini prosesinya memang seperti ini, berbeda sedikit dengan bundato, semoga saja "sang penguasa darat dan laut" tidak membisikkan hal gila kepada Tapulu dan menyuruhnya menyodomi aku...., hiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...!
Dan syukurlah, kepanikanku tak terbukti. Tapulu mengajakku kembali ke rumah. Disana sudah menanti Muna dan Muni. Pakaian mereka nampak basah kuyup.
"Muna dan Muni telah menjalani ritual bersama isteri saya, Pak Anton" Tapulu seakan bisa mendengar semua pertanyaan-pertanyaan yang terus berkecamuk dalam hatiku. " Kali ini saya hanya bertugas memandikan Pak Anton dengan air mantera suci, dan isteri saya bertugas memandikan Muna dan Muni dengan air mantera suci"
Huffffhhhh..... lega rasanya mendengar penjelasan itu.
Muna dan Muni sama-sama tersenyum padaku, senyum penuh arti yang berbeda tentunya... hehehe.
"Nah, Pak Anton..., silahkan menjalani ritual bersama kedua putri saya. Maaf, saya tak bisa menemani Pak Anton, karena saya harus melanjutkan ritual bersama Lusi" ujar Tapulu. Kemudian Tapulu pun pergi, masuk ke salah satu kamar. Mungkin disana ada Lusi. Selamat bersenang-senang Lusi....... hehehehehehe
Muna dan Muni mulai melucuti pakaian mereka satu persatu, dari baju, rok, bh, cd dan...., uppppssss, salah..! mereka melucuti pakaian mereka satu persatu, baju, rok dan bugillah mereka dengan sempurna dihadapanku.
Tubuh Muna sangat sempurna, aku sudah pernah melihatnya bahkan menikmatinya, namun masih juga membangunkan si Otong dari tidurnya. Tubuh Muni tak kalah menariknya, padat, mulus dan.. pokoknya seksi abisssss....
Melihat mereka bugil, akupun segera melucuti pakaianku hingga tak ada satupun yang masih melekat, artinya sama bugil seperti mereka.
"Waw..., Kak Anton..?!?!, punya Kak Anton Kok jadi gitu ?" hussssyy ! ni anak malah teriak melihat penisku yang pernah keluar masuk di vaginanya. Dia tak menyadari bahwa kalimatnya itu akan membuat Muni tahu bahwa aku sudah memerawaninya ? tapi kok dia bisa teriak begitu ya ?
"Hah ???!???!" aku terpekik kaget. Kok bisa gini ? penisku berubah ukuran. Super......!
"ini kok jadi gini ?" aku bingung.
Muni yang melihat kepanikan Muna dan aku malah tersenyum.
"Kak Anton diberi Bapak sebutir Pil ?" tanyanya.
"Iya...."
"Jangan panik gitu kak. Itu efek dari pil setelah kena guyuran air suci."
Ooooohhhh.... ini to yang dimaksud Tapulu. Hihihihihi...., hebat juga. Aku mau minta banyak nanti, buat bekal ekse sama WP nanti... hihihihi
***(ini benar-benar kulakukan, aku meminta pil itu, tapi sayang tak boleh. Tapi Tapulu mengatakan bahwa ukuran itu akan bertahan selama lima tahun, dan memang dua tahun berlalu penisku masih berukuran super seperti itu, sehingga Lusi masih terus menginginkannya meskipun dia sudah menikah)***
Muna masih belum menampakkan tanda-tanda hendak mendekatiku, matanya masih saja menatap si Otong yang telah ber evolusi, :D :D
Tak ada gerakan, Muna masih mematung...
"Kenapa Muna ?" tanyaku mencoba menyelidik
"Apa itu bisa berubah secepat itu, Kak Anton ?" Muna balik bertanya sambil menunjuk ke arah si Otong.
Aku tersenyum. Muni mulai beraksi. Bunyi gemerincing kalung yang tergantung dilehernya mengiringi gerakan tubuhnya yang mulai perlahan berjongkok didepan si Otong yang mengacung dengan sempurna. Sejenak dia menoleh ke arah Muna yang masih berdiri mematung...
"Ayo ..... " ajaknya pada Muna
Agak ragu kulihat Muna berjalan mendekatiku. Mungkin perubahan bentuk tubuh si Otong membuat dia agak ngeri, maklumlah..., meskipun sudah tak perawan lagi, tapi Muna mungkin masih merasakan bayangan perih pada vaginanya.
Berbeda dengan Muni. Agresif, lihay, cekatan, rajin dan pintar. Lho kok pake cekatan, rajin dan pintar segala ? hehehehe
Muna ikutan jongkok disamping Muni. Tangannya dipegang Muni lalu diarahkan ke batangku. Pelan namun pasti, Muna mulai mengocok batangku. Kuraih payudara Muni yang montok dengan tangan kananku, lalu payudara Muna dengan tangan kiriku. Hmmmm, aku memonopoli kedua gadis ini.
Ku raih kepala Muna kemudian, aku arahkan penisku ke mulut gadis itu. Sejenak Muna dan Muni bertatapan, setelah Muni menganggukkan kepala tanda mempersilahkan, Muna langsung membuka mulutnya dan... happppp....! masuklah si Otong kedalam mulut Muna, ekh... tidak...!
Si Otong menggeliat, hanya sebagian kepalanya saja yang sanggup menengok ke dalam, melihat barisan gigi dan lidah. Ujung penisku terasa sangat geli ketika menyentuh gigi Muna. Ughhh..
Merasa tak berhasil memasukkan si Otong, Muna menjilati kepala si Otong. Nikmat saudara-saudara ..! hufffh...! capek rasanya dijilati dalam keadaan berdiri meskipun rasa nikmat menyelinginya.
Akupun lalu berbaring terlentang, diapit Muna dan Muni. Aktivitas Muna masih belum berubah. Dengan memposisikan tubuhnya diantara pahaku dia terus menjilati si Otong, kepalanya, batangnya, lalu kembali lagi ke kepalanya. Tangannya yang satu menggenggam si Otong dan yang satunya lagi asyik mempermainkan buah pelir.
Sementara itu Muni mulai merayap diatas dadaku. Payudaranya yang montok menggesek dadaku menimbulkan sensasi birahi yang hebat. Perlahan Muni mendekatkan wajahnya ke wajahku, lalu bibirnya pun mengecup bibirku. Hmmm, sensasi basah dan hangat. Dengan buas aku melumat bibirnya, lalu kusisipkan lidahku masuk ke mulutnya dan menyapu lidahnya yang juga dengan spontan membalas sapuan itu dengan lilitan yang penuh nafsu. Setelah lama saling mengecup dan menghisap, Muni menghentikan aksinya. Ditariknya Muna agar menggantikan posisinya, lalu dia menggantikan posisi Muna.
Sebelum Muna mendekatkan wajahnya ke wajahku, aku mendorong tubuhnya, memintanya mengangkangi wajahku. Muna menurutinya.
Belahan vagina yang merah dan ranum terpampang dengan sangat jelas di depan wajahu. Semakin dekat ke wajahku seiring Muna mulai menurunkan pantatnya.
Slurrrrrppp...., kujilati dengan rakus belahan berlendir itu. Ku cucukkan lidahku, lalu menari-nari menyentuh klitorisnya yang mulai membesar dan mencuat keluar.
"Uhhhhmmmm.... arrrrggghhh.... sshhhhhsshhh.." Muna mulai mengerang. Pinggulnya digoyangkan hingga klitorisnyapun semakin kuat menggesek dan menekan lidahku yang berusaha terus membelah vaginanya. Seiring dengan itu juga, kocokan Muni pada penisku semakin cepat dan berirama. Kadang lambat kadang cepat.
Setelah dirasa cukup, Muna bangit berdiri, lalu maju ke depan, hingga vaginanya tepat diatas penisku yang semakin sempurna mengacung. Dengan bantuan Muni, Muna mengarahkan penisku ke belahan vaginanya. Digesek-gesekkan ke klitorisnya sesaat, lalu dengan perlahan penisku mulai menguak belahan vagina itu, menyusup dengan gagah berani dan menancap setengah tiang di lubang kenikmatan itu.
"Kak Muna ??!" tiba-tiba Muni berseru. "Kenapa langsung amblas seperti itu ? bukankah Kak Muna belum pernah disetubuhi oleh pria manapun ?"
Muna terdiam, gugup. Tubuhnya tiba-tiba menegang dengan penis yang masih menancap setengah diliang senggamanya
"Itu artinya Kak Muna sudah disetubuhi Kak Anton ?" tanya Muni menyelidiki.
Muna makin gugup. Tubuhnya menggigil pelan.
"Kak Muna telah melanggar pantangan Bapak. Ini bisa jadi bencana...." Muni mulai terisak penuh ketakutan.
Melihat suasana yang berubah seperti ini, birahiku yang tadinya meletup-letup mereda dengan cepat.
"Dan...., mana bandul pemberian Ibu ? Mana Kak Muna ? "
Muna mulai terisak diatas tubuhku. Wajahnya ditutupinya dengan kedua telapak tangannya.
"Jawab Kak Muna... ! Jawab !" bentak Muni. Suaranya melengking keras.
Segera aku bangkit dan mendorong tubuh Muna yang duduk diatas selangkanganku dengan penis yang masih menancap di vaginanya. Muna terhempas. Tubuh bugilnya berguncang-guncang menahan isakan yang semakin jelas terdengar. Aku panik, gugup, takut... dan apalagi nama lainnya..., pokoknya aku menjadi panik tak terkira.
"Kak Muna kenapa melanggarnya ????!" sangat keras bentakan itu. Pasti terdengar hingga ke kamar tempat Tapulu dan Lusi sedang mengadu kekuatan.
Aku semakin gugup, Muna pun semakin terisak. Kulihat Mbu'i datang berjalan dengan cepat menuju ke arah kami. Mati aku... ! sebentar lagi akan terjadi sesuatu di rumah ini. Pada Muna, padaku, pada Lusi juga mungkin....!
"Ada apa dengan kalian ? teriak-teriak ! bagaimana jika didengar oleh Bapak ?" ucap Mbu'i dengan nada gusar.
"Kak Muna ! dia telah melanggar pantangan dari Bapak !" ucap Muni.
"Melanggar bagaimana ?"
"Mereka sudah bersetubuh sebelumnya tanpa izin Bapak !"
"Hah ?" Mbu'i terpekik. "Benar Muna ? dan... hey...! kenapa kau tak memakai kalungmu ? Mana kalung pemberian Ibu ? Hah ?!"
Sambil menguncang-guncang tubuh Muna, Mbu'i berteriak keras. Menghardik, mencaci dan ...
"Dan Kau...., kau menyebabkan bencana di suku ini. Kau sungguh durjana..."
Mbu'i mengancungkan telunjuknya ke wajahku dengan geram.
Keringat dingin membasahi tubuhku. Teramat panik, gugup dan takut....!
CHAPTER 9 : AKHIR SEBUAH KENANGAN
Rasa takut dan merasa bersalah yang teramat sangat membuatku tak bisa berfikir dengan jernih, tak bisa lagi mencari peluang untuk membela diri...
Sungguh mudah bagiku untuk melarikan diri sebelum Tapulu tahu semua ini, tapi bagaimana dengan Lusi ?
"Pergilah kalian dari rumah ini...! sebelum Tapulu tahu ..., cepat..!" bentak Mbu'i.
Aku diam tak bergeming. Muna pun sama. Isakan yang berusaha disembunyikannya membuat tubuhnya kadang berguncang.
Hahhhh ! kenapa dengan warga suku ini ? Bukankah melakukan sex bukanlah hal yang tabu buat mereka ? kenapa juga mereka harus terikat dengan bisikan Si Penguasa darat dan langit yang entah benar keberadaannya atau tidak ? kenapa juga mereka terikat dengan Titah Tapulu, air suci, kamar cinta... dan sebagainya ? benar-benar kacau dan tak bisa diterima oleh akal dan norma yang sesungguhnya...!
"Hey..! kenapa belum pergi ? " bentak Mbu'i lagi.
Aku masih tetap diam. Ku tatap Mbu'i dengan tajam. Bagaimana mungkin aku harus pergi dan meninggalkan Lusi sendiri disini ? akan bagaimana nasibnya nanti ? Tidak ! Apapun yang terjadi aku tidak akan pergi.
"Kami tak akan pergi, Mbu'i. Kami akan tetap disini, menunggu keputusan Tapulu..!" Ucapku mantap.
"Baiklah. Itu keinginan kamu. Tunggulah, hukuman apa yang akan Tapulu berikan pada kalian berdua nanti.." ucap Mbu'i dingin.
Mbu'i melangkah pergi meninggalkan kami bertiga. Mungkin dia akan melapor kepada Tapulu tentang apa yang diketahuinya ini.
"Sudahlah, Kak Muna. Tak usah menangis lagi. Semua sudah terjadi, kalian harus siap menanti apa yang akan Bapak berikan kepada kalian sebagai hukuman.." Muni mencoba menghentikan Muna, namun dengan kalimat yang ujungnya bernada menakuti.
"Muni.." panggilku pelan pada Muni.
"Ya, Kak.."
"Kau tak menyayangi kakakmu ?"
"Aku sayang..."
"Kenapa kau buat Ibu dan Bapak tahu masalah ini jika kau sayang pada kakakmu ?"
Muni terdiam sejenak. Wajahnya menyiratkan kebingungan.
"Tapi ini semua demi kedamaian warga suku kami, Kak "
"Dengan mengorbankan kakakmu sendiri ?"
Muni semakin bingung. Antara harus membela kakaknya dan membela "kedamaian" sukunya.
"Aku seorang manusia yang hidup di alam modern, Muni. Bagi kami justeru apa yang sering kalian lakukan dengan Tradisi Bundato seperti yang pernah aku jalani serta Tradisi penyambutan tamu yang sedang dijalani temanku Lusi, itu malah akan membuat Sang Penguasa kehidupan, penguasa alam serta langit menjadi murka...." ucapku panjang tanpa mempedulikan apakah Muni dapat mengerti dengan apa yang kujelaskan.
"Tapi itu sudah menjadi tradisi kami selama bertahun-tahun. Tak ada yang bisa menentang itu " Muni masih membela tradisi sukunya.
Perdebatan pun terus terjadi antara aku dan Muni hingga pagi menjelang yang disaksikan oleh Muna dengan isakannya yang belum berhenti juga.
Perdebatan terhenti setelah Tapulu datang menghampiri kami. Nampak keletihan tersirat diwajah serta tubuhnya. Langkahnya agak gontai. Tak lama Lusi pun datang dengan pakaian yang seperti berusaha di rapikan.
'hmmmm.., mereka pasti bertempur terus sepanjang malam. Hebat juga kau Lusi' bisikku dalam hati.
Aku yang hanya memakai celana segera memperbaiki posisi dudukku. Sementara Muna masih bugil, sama seperti Muni.
Dengan dada berdebar, aku menanti apa yang akan diucapkan Tapulu. Lusi segera mendekatiku, lalu duduk disampingku. Tapulu mengambil tempat tepat dihadapan kami berempat.
Tatapan matanya yang tajam terasa menusuk relung hatiku, memecut debar dijantung, perlahan-lahan rasa takut mulai menderaku.
"Pak Anton.." Tapulu memulai pembicaraan. Suaranya terkesan sangat berwibawa. Ah, sesungguhnya biasa-biasa saja, hanya karena rasa takut dan rasa bersalah padaku hingga membuat semuanya seperti berubah.
"Saya telah memberi penyambutan pada temannya Pak Anton. Lusi..." Tapulu terdiam sejenak. "Dan Pak Anton pasti telah menjalani ritual itu bersama kedua putri saya"
Nadanya biasa-biasa saja. Nampaknya Tapulu belum diberitahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kulirik Lusi, dia tersenyum.
"Tapi, Pak Anton....." Tapulu memperbaiki posisi duduknya yang sebenarnya memang sudah seperti itu. "Ada satu hal yang perlu saya utarakan. Ini menyangkut putri saya, Muna..."
Hahhhh! Ini dia pasti.
"Saya telah mendengar apa yang terjadi antara Pak Anton dengan Putri saya, Muna"
Aku menundukkan wajah. Tak berani menatap wajah Tapulu. Andaikan ini adalah pengadilan diluar sana, bukan di suku ini, maka pasti aku tak akan pernah merasa takut. Tapi ini adalah pengadilannya Tapulu yang mengandalkan bisikan "Sang Penguasa darat dan langit"
"Kami sangat menyayangkan tentang hal itu. Dengan terpaksa kami harus menjalankan hukum adat yang berlaku disini"
Aku menelan ludah yang teramat pahit.
"Maafkan kami, Tapulu " aku mencoba memohon.
"Hukumannya sangat berat, Pak Anton...."
"Mohon ampuni kami, Tapulu..." makin gugup aku mendengar ucapan Tapulu.
"Pak Anton dan putri saya Muna akan menerima hukuman ini. Dan ini harus kami laksanakan hari ini juga..."
Muna makin terisak. Muni diam saja. Dan aku makin gugup.
"Kecuali ada satu syarat....."
Byurrrrrrrr
Ada secercah harapan pada kalimat itu. Aku menatap penuh harap pada Tapulu. Berharap syarat itu tak berat.
"Ampuni kami Bapak..." Suara Muna tiba-tiba keluar menghiba. Dengan merangkak dia berjalan lalu memeluk kaki Tapulu.
"Ampuni kami...hikk...hikk..."
"Kenapa kalian langgar pantangan itu. Kenapa kalian berani hah ??!" Suara Tapulu meninggi.
"Kami...ka..mi..., hik..hik.."
"Menjauh dariku..., sana..! duduk dekat Anton..!" bentak Tapulu. Nada suaranya penuh amarah, hingga kebiasaannya memanggilku dengan "Pak Anto N" pun hilang
Muna pun segera mundur dan duduk disampingku. Aku yang tengah diapit oleh Muna dan Lusi merasakan hal yang sangat menakutkan.
"Atas dasar apa kalian melakukan itu, hah ?!" masih dengan nada suara tinggi Tapulu menanyakan alasan kami.
Aku diam saja. Tak berani menjawab.
"Muna....Muna...., sssaa...ssaayyaang sama Kak Anton..."
Hah ?!?!
"Sayang ??!, sayang seperti apa ???" bentak Tapulu
"Seper-tiii....Muna.. ssayang Bapak......dan Ibu.."
"Baiklah kalau begitu..." Ucap Tapulu dengan suara agak mereda. "Panggil sepuluh orang warga laki-laki kemari, Muni. Cepaaaattt..!"
Aku tercekat, kaget. Mau apa Tapulu dengan sepuluh orang laki-laki ? apa maksudnya ? Kulihat Muni keluar dengan tergesa-gesa, pakaiannya dipakai sambil terus berjalan. Ingin rasanya aku mencegahnya, tapi apa kuasaku ?
"Berterima kasihlah kepada Bapak. Hanya karena memandang engkau putriku, maka Sang Penguasa darat dan langit meringankan hukuman untukmu..."
Keringanan hukuman. Keringanan macam apa ? terus ada apa dengan sepuluh lelaki yang dipanggil kemari ?
Tak lama berselang Muni kembali bersama sepuluh lelaki. Tubuh mereka hampir sama. Tegap, kekar dan berotot.
"Kemarilah" Perintah Tapulu pada kesepuluh lelaki itu. "Kalian akan mendapatkan titah untuk melaksanakan hukuman untuk putriku "
Kesepuluh lelaki itu berjalan dengan langkah penuh hormat.
Muna yang mungkin tahu apa yang akan dilaksanakan memandang Bapaknya dengan wajah memelas penuh permohonan. Namun kesan iba dari wajah Tapulu tak ada sama sekali.
Aku mengenggam erat tangan Lusi. Penuh debar aku menunggu hukuman apa yang akan dijatuhkan padaku. Lusi pun tegang. Tangannya terasa dingin dan kaku. Hanya Muni yang kelihatan tenang, tak ada kesan khawatir sama sekali.
"Bawalah Muna ke altar. Setubuhi dia hingga seluruh tulangnya tak lagi menyambung, hingga membuka matanyapun dia tak akan mampu. Lakukanlah, setubuhi putriku sesukamu...."
Kejam benar ! bapak macam apa dia ? rutukku dalam hati
Kesepuluh lelaki itu segera mengangkat tubuh Muna, lalu membawanya masuk menuju altar. Selanjutnya, aku tak tahu apa yang mereka lakukan. Hanyalah suara jeritan Muna sering terdengar, jeritan kesakitan, jeritan permohonan ampun...
"Dan Kau, Pak Anton.." Tapulu menatapku dengan tajam. "Mulai saat ini dan seterusnya, kau tak diizinkan bertemu dengan Muna. Bicara dengan dia, ataupun melihat wajahnya..."
Hukuman macam apa ini ?
"Mengingat jasamu pada warga suku ini, maka penguasa darat dan langit berkenan mengampunimu, tapi ingatlah, kau tak boleh ketemu Muna, karena jika itu terjadi, maka hukuman berat akan dijatuhkan padamu..."
hufffffffhhhhhhh
Lega rasanya. Tapi..... bagaimana dengan Muna ? juga dengan Lusi ?
"Malam ini kau harus menjalani pembersihan diri. Kau harus mengekang dirimu untuk tidak boleh makan dan minum hingga pagi"
"Lalu bagaimana dengan Lusi, Tapulu ?"
"Lusi akan bebas memilih. Mau melanjutkan bersama aku, atau bersama Pak Anton"
Maksudnya tidur bersama ?
"Tapi Pak Anton akan tidur bersama isteri saya, Muni, dan pelayan rumah ini. Itu hukuman terringan yang Pak Anton terima." Ucap Tapulu sambil berdiri dari duduknya. "Lusi akan bebas memilih"
Hukuman ? itu mah bukan hukuman..., itu jamuan kenikmatan.... hehehehehe..
"Anton..." bisik Lusi. Aku memandangnya. "Aku sama Tapulu ya ?"
Aku mengangguk. Lusi pun berjalan mengikuti langkah Tapulu yang masuk ke bagian dalam rumah.
"Ayo masuk, Kak Anton..." Muni mendekatiku lalu meraih tanganku mengajakku berdiri. Lalu masuk mengikuti Tapulu.
Nasib apalagi ini ????
Aku dan Muni masuk ke sebuah ruangan yang agak lega. Belum pernah selama aku tinggal di pemukiman dan rumah ini masuk ke ruangan ini. Penataan dalam ruangan terkesan sangat tradisional dan agak berbau mistik. Di setiap sudut ruangan tergantung kepala rusa. Di tengah ruangan ada sebuah tempat mirip ranjang kerajaan namun tanpa kelambu.
Tempat apu pula ini ?
Aku menebak, pasti ruang tempat Muna menjalani hukumannya ada disebelah ruang ini. Jeritan diselingi desahan dari mulut Muna terdengar hingga ke ruangan aku berada sekarang.
Muni melepaskan tanganku lalu berjalan menuju ke sebuah sudut ruangan. Tangannya seperti menggapai-gapai sesuatu, lalu menekan dinding ruangan dengan telapak tangannya. Mulutku ternganga dengan pemandangan yang terjadi setelah Muni menekankan tangannya ke dinding. Sebuah pintu masuk rahasia terbuka di dinding itu.
Muni memberi isyarat kepadaku agar mengikutinya. Akupun mendekati Muni lalu berjalan dibelakangnya mengikuti langkahnya masuk ke balik pintu itu. Sebuah lorong yang agak gelap terpampang didepan kami, lorong pendek. Dikiri kanan dinding lorong itu digantungi obor-obor kecil yang menyala mengeluarkan sinar yang temaram.
Tanpa banyak tanya aku mengikuti Muni dari belakang. Dengan langkah pelan aku dan Muni menyusuri lorong itu, hingga tiba diujung lorong yang membelok ke arah kanan. Di sana terdapat lagi sebuah pintu yang terbuat dari batangan-batangan kayu yang keras.
Muni membuka pintu itu lalu terus masuk. Akupun mengikuti Muni. Tak tahu kemana arah dan tujuan kami pergi, dan ada apa sebenarnya disini dan mau apa.
"Ayo, Kak..."
Muni memberi isyarat agar aku mempercepat langkahku. Muni berjalan agak tergesa-gesa, entah ada apa, aku tak pernah menanyakan hal itu padanya.
Kami berjalan menyusuri lorong yang semakin sempit, hingga akhirnya tibalah kami pada ujung lorong yang bentuknya sudah semakin mirip tabung.
"Kita sudah sampai, Kak..." ucap Muni.
Aku melihat ke sekilingku. Sudah tiba ?
"Di dalam ruangan tabung ini tujuan kita ? mau apa disini ?" aku keheranan dengan hal yang kulihat.
"Bukan disini, Kak. Tapi disana " Muni menunjuk ke ujung lorong yang berupa pintu berbentuk bundaran. "Di bawah sana...." tambahnya.
Kuperhatikan dengan seksama ujung lorong itu. Aku mendekatinya dan mencoba melihat dari pintu lorong yang berbentuk bundaran itu.
Disana ternyata berupa sebuah ruangan yang luas, hanya jalan menuju ke ruangan ini terlalu sempit. Ini pasti ruang rahasia yang hanya keluarga Tapulu saja yang boleh kesini atau mengatahui tempat ini.
"Masuk, Kak " Muni mendorong tubuhku masuk.
Lega rasanya setelah berjalan di lorong yang sempit dan kini berada di ruang yang luas.
Ruangan yang hanya disinari oleh cahaya temaram tiba-tiba menjadi terang. Aku terkejut. Api-api yang menyala di ujung obor tiba-tiba menjadi besar sehingga ruangan luas itu menjadi terang. Jelas sekali apa yang ada dalam ruangan yang lebih tepat aku sebut gua....
"Ini ruang rahasia keluarga pemimpin. Ayo kak, beri penghormatan..." Muni memerintah.
"Untuk apa dan untuk siapa ?"
"Untuk seluruh kakek buyut yang sedang bersitirahat disini..."
"Mana .... ?"
Sebuah gelegar suara yang cukup mengejutkan aku terdengar tiba-tiba. Seperti sebuah kekuatan yang maha dahsyat tiba-tiba melandaku, memaksaku untuk berlutut.
"Hormat kami Kakek ...." Suara Muna terdengar penuh hormat sambil berlutut seperti aku.
Aku masih belum bisa menerka siapa yang tengah diberi penghormatan oleh Muni. Aku diam saja sambil terus berlutut. Ku ikuti saja apa yang dilakukan Muni. Bersedekap dan menundukkan kepala.
Jika hendak mencari kekuatan....
Hendaklah singkirkan segala rintangan...
Jangan pedulikan rasa lelah...
Segala derita haruslah dijalani...
Pesan para pendahulu...
Jangan kau tinggalkan ...
Sebab akan terhalang...
Oleh mereka yang sedang menahan derita...
Anakku janganlah salah...
Janganlah menambah kesalahan...
Dari mereka pengembara...
Yang menerima kekuatan yang maha terang...
Sebuah senandung syair terdengar mengalun lembut namun mengandung sebuah kekuatan dahsyat. Dadaku terasa sesak, keringat dingin menetes.
"Muni....." bisikku pelan
Muni menoleh ke arahku. Dia mengedipkan mata memberi isyarat agar aku diam.
"Hormat kami kakek. Maafkan kami mengganggu ketenangan kakek. Kami datang untuk memberi penghormatan sekaligus untuk berkeluh kesah pada kakek...." suara Muni terdengar bernada sedih dan memohon.
"Kami tahu, cucu..." suara lain terdengar. Suara seorang wanita tua.
"Kami mohon Eyang..." Muni memohon, sesuatu yang entah apa.
"Bapakmu sudah sangat terlalu memberi hukuman pada cucu kami...." suara nenek tua itu terdengar kembali.
"Suruh lelaki bersamamu itu untuk mengambil bandul emas di peti, lalu berikan pada ayahmu. Katakan itu dari kami...." kali ini suara kakek terdengar.
"Baik, Kakek. Lalu apa lagi yang akan kami lakukan ?"
"hanya itu. Segera ambil. Hey,,, bukan kau Muni..., tapi pria itu yang harus mengambilnya sendiri.."
Muni yang hendak melangkah maju menuju peti yang dibilang kakek buyutnya berhenti. Lalu dia menoleh padaku, memberi isyarat agar aku segera mengambilnya.
Akupun dengan agak ragu menuju peti itu. Sebuah peti yang terletak di atas batu berbentuk meja di tengah ruangan itu mengeluarkan cahaya terang ketika aku membuka penutup atasnya. Kugunakan tanganku menutupi sebagian wajah dari silaunya cahaya itu.
Peti yang berukuran sedang itu sepertinya terlalu mubazir, isinya hanyalah sebuah bandul kecil yang terbuat dari emas.
"Tak usah berkata seperti itu...., anak muda..." suara nenek mengejutkan aku. Dia tahu apa yang aku bisikkan dalam hati ?
"Ya, kami mendengar semua kata hatimu. Cepatlah ambil...."
Segera aku mengambil bandul itu dengan gemetaran. Setelah penutup peti aku tautkan, aku segera beringsut mundur sejajar dengan Muni yang sedang berlutut.
"sekarang pergilah...." nada suara memerintah diiringi sebuah gelombang gaib yang cukup dahsyat bergulung menghantam tubuhku dan tubuh Muni. Dadaku terasa sangat sesak menerima hantaman gelombang gaib itu. Kepalaku terasa pening, gelap, pandanganku kabur..., kabur.... dan tak ingat apa-apa lagi.
******************************
"Kak Anton...., bangung kak" sentuhan lembut pada pipiku mulai menyadarkan aku dari pingsanku.
Kulihat Lusi, Muni, Muna, Mbu'i dan Tapulu tengah mengelilingi aku.
"Ada apa ini ? kenapa aku begini ? dan...., Muna ? " aku menanyakan keberadaanku. Bingung apa yang terjadi.
"Ya, Kak Anton. Syukurlah Kak Anton tidak apa-apa..." ucap Muna sambil tersenyum.
Dia hanya bersimpuh, tidak menyentuhku. Hanya Muni..., hanya Muni yang kini tengah menyentuh kedua sisi pipiku.
"Istirahatlah dulu, Pak Anton...." Tapulu meletakkan tangannya di dadaku sambil tersenyum.
"Boleh saya ngobrol dengan Muna sebentar saja, Tapulu ?"
Tapulu mengangguk, mengiyakan permintaanku.
"Baiklah, Pak Anton. Silahkan mengobrol dengan Muna. Kami tinggal dulu..."
Tapulu dan isterinya beranjak pergi meninggalkan kami. Tinggallah aku,Lusi, Muni dan Muna.
Muna merapatkan tubuhnya sambil meletakkan tangannya di dadaku. Sedangkan Lusi hanya diam saja sejak tadi.
"Kamu tidak apa-apa, Muna ?" tanyaku penuh khawatir akan keadaan Muna.
"Aku baik-baik saja, Kak " Muna tersenyum padaku. Kupandangi wajahnya yang nampak tak ada kesan sedang menanggung derita.
"Apa sebenarnya yang terjadi ?" gumamku.
"Sudahlah, Kak. Istirahatlah dulu. Kakak butuh istirahat sekarang. Sebentar malam kita akan berkumpul di ruang keluarga, membicaraan tentang segala hal.... "
Segala hal ? hal apa dan kenapa harus denganku...? ah, aku makin bingung.
*************************
"Semua hukuman yang diberlakukan kepada Muna dan Pak Anton sudah dihapuskan..."
Tapulu memulai pembicaraan saat kami berkumpul di ruang keluarga.
Tapulu, Mbu'i, Muna, Muni, aku dan Lusi.
"Ruangan yang Pak Anton dan Muni masuki kemarin adalah ruang khusus para pemimpin suku. Setiap pemimpin yang meninggal akan disemayamkan di ruangan itu..."
Jadi ????? Muni dan aku telah masuk ke ruangan yang sebenarnya tak boleh kami masuki ?
"Tak boleh orang lain masuk ke raungan itu selain para pemimpin suku dan isterinya. Anda dan Muni sesungguhnya telah melakukan hal yang paling beresiko...."
Tuh kan ? kenapa Muni mengajakku kesana ? apa maksudnya ? apa dia hendak mencelakaiku ?
"Aku ingin menghukum Muni karena berani masuk ke ruangan itu tanpa izinku. Aku marah padanya saat aku melihat Pak Anton dalam keadaan tak sadar tergeletak di ruang itu..."
Tapulu berhenti sejenak. Lalu melanjutkannya lagi setelah menghirup udara sebanyak-banyaknya ke dalam kantong paru-parunya...
"Tapi bandul itu...., bandul itu adalah benda keramat di suku kami..., dan Pak Anton di anugerahi untuk bisa memegang benda itu....."
Aku menganga dan terkejut dengan penjelasan ini...
"Pak Anton sesungguhnya telah layak dan telah dipercayai untuk memimpin suku ini...."
Hah ???????????????????????????????????????????????????
Hebat juga candaan Tapulu, membuat aku tak sanggup menahan rasa geli di hatiku...
"Hahahahahahaha......," badanku terguncang-guncang. Rasa geli dalam hati tak sanggup kutahan. "Tapulu jangan bercanda...., saya ini tak ada hubungan darah dengan seluruh warga suku ini..., bagaimana mungkin saya layak memimpin suku ini ? lagi pula........."
Aku terhenti berbicara saat kulihat semua mata ditujukan padaku dengan penuh harap dan sangat serius, termasuk.... Lusi...!
"Baiklah, saya percaya..." ucapku kemudian. "Tapi saya tak mungkin tinggal dan menetap disini. Saya punya kehidupan sendiri, saya seorag mahasiswa...."
"Pak Anton..." sela Tapulu. "ini bukan keharusan. Seperti kata saya, Pak Anton telah layak jika Pak Anton mau...."
"Ooh..."
"Jika Pak Anton menolak, maka itu hak Pak Anton"
"........"
"Pak Anton punya hak di suku ini. Segalanya...."
"Saya memilih kehidupan saya sendiri, Tapulu..."
"Silahkan Pak Anton..., anda bebas memilihnya"
"Baiklah. Saya telah memutuskan akan menjalani kehidupan saya di luar sana, di dunia saya sendiri. Saya tak bisa disini..."
Tapulu menganggukkan kepalanya.
Dan...................
Semuanya telah diputuskan..., semuanya telah diselesaikan..........
"Kami akan kembali lusa. Dan setelah ini kita tak akan bertemu lagi...." suaraku agak terdengar serak saat mengucapkan kalimat itu pada kedua Muna dan Muni.
Ya. Dua hari lagi aku dan Lusa mesti kembali ke kota. Kembali menjalani hari-hari yang normal, sebagai komunitas masyarakat yang modern, bukan terbelakang seperti pemukiman ini. Yang terpenting adalah aku telah memberikan sedikit karya yang dapat digunakan oleh masyarakat suku ini.
Namun harus kuakui secara sukarela, bahwa pemukiman ini telah memberikan banyak hal padaku. Termasuk kenangan pada kehidupan kebebasan seksuil terkendali. Maksudku terkendali adalah sebebas-bebasnya mereka melakukan aktivitas seks, mesti taat pada aturan yang dititahkan oleh pemimpin mereka. Segalanya harus melalui suatu ritual. Ritual suci dalam pandangan mereka. Dan ini tak boleh disalahkan. Itu adalah budaya mereka, tradisi mereka yang sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin beratus-ratus tahun yang lalu.
Di pemukiman ini aku telah mengalami banyak hal. Dan khusus semproters semua, aku sajikan hanya bagian yang mengandung erotis dan yang berhubungan dengan Trip yang aku lakukan. Hal-hal lain yang agak kurang menarik untuk dituliskan disini aku hilangkan.
Kembali ke pokok masalah dan pokok cerita.
Muna telah menerima bandul. Sebuah bandul telah melingkar dilehernya. Bandul emas.
Bandul yang aku ambil dari dalam peti di ruangan tempat para leluhur mereka bersemayam, kini telah menjadi miliknya. Hak miliknya seutuhnya, sesuai perintah dari sang penguasa darat dan langit, begitulah kata Tapulu.
Sebuah tanggung jawab kepemimpinan sesungguhnya sudah dipikul oleh Muna. Selayaknya beban itu mesti berbagi bersama suaminya, dan sesungguhnya itulah aku. Lelaki yang kata Tapulu telah diberi kepercayaan oleh leluhur untuk bersama Muna memimpin suku ini.
******
******
"Hsssshhhhh.... yyaahhhhsss...hmmmm...., ayo terussshhh.... wheeennnnaakkk.."
"gila..., enak benarrr...., iissshhhh.."
"Masih enak ya, Kak...."
"Iya.... masih. Lebih enak malahhhh...."
[/i]Plokkk....Plokkkk...Plokkkk ![/i]
"Antooooon.... Antoooonn.... Buka pintunya. Aku nih...! "
Suara Lusi terdengar nyaring memanggil-manggil sambil menggedor-gedor pintu dengan keras membuat aktivitas seks yang sedang aku lakukan terhenti. Hadeh ! bisa rusak tuh pintu kosan ini.
Sial benar ! aku kok selalu sendirian di kosan ini ? ga ada siapa-siapaaaaa...! pada keluar semua penghuni-penghuni kosan.
Dengan setengah kesal aku mencabut penisku yang sudah tertancap dengan sempurna mendekati finish. Setelah memakai celana pendek dan masih bertelanjang dada aku keluar kamar dan membuka pintu kosan. Lusi tampak berdiri dengan sebuah tas yang bermerek nama sebuah Super Market ditangannya. Wajah cemberutnya membuat aku tertawa. Dasar anak gadis urakan...!
"Heh..! malah senyam senyum..! ada apa ?" tanyanya sambil meninju dadaku dengan lembut.
"Gak apa-apa. Yuk masuk..."
"Wew..., ga disuruh juga aku pasti akan masuk. Tadi aja Cuma karena pintunya kau kunci..." katanya aga kesal "Kenapa sih pintunya mesti ditutup terus ? gak mau diganggu ya...."
Masih saja nih anak sensi. "Bukan gitu, Non. Aku kan lagi di kamar...."
"Huh...! kamar mulu..! apa ga ada tempat lain di kosan ini selain kamar ?"
Aku menggelengkan kepala, nih anak gak pernah mau mendengar apapun alasanku jika dia sedang kesal atau bete padaku.
"udah ah. Gak usah marah-marah. Kamu bawa apaan, Lusi ?" tanyaku
"Baju sama makanan...." jawabnya singat.
"Waduh..., baik amat kamu, mau beliin aku baju sama makanan. Umm..." ucapku sambil menyosorkan bibir hendak menciumnya.
"Eits..! enak aja. Ini bukan kamu tau..!" Lusi menahan kepalaku sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya.
"Terus buat siapa ?"
"Ih. Kamu pikir yang ada di kosan ini kamu seorang ? Ya jelas buat si cewek yang lagi kelelahan diatas ranjang kamar kamu...," ucapnya sambil memonyongkan mulutnya. " Kamu pasti ngentot lagi ma dia kan ?"
"Hehehehe... iya, tapi putus gara-gara kamu teriak-teriak..."
"Sykurin. Kenapa sih ga mau nunggu aku ? bertiga itu lebih enak dari pada berdua tauuuu.."
"Hayyyoooo...., siapa takut ?"
Segera ku seret Lusi masuk ke dalam kamar. Sambil menjerit kecil Lusi ikut juga melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar sesosok tubuh bugil sedang terlentang dengan vagina yang terpampang basah.
"Kak Lusi ?"
"Yew..., kalian jahat. Mau enak berdua aja. Ishhh !"
"Kak Anton tuh, Kak. Ga sabaran..."
"Hehehehe..." aku terkekeh. " Udah. Ntar nyobain baju barunya sama nyicipin makanan yang dibawa Lusi. Sekarang kita nyobain sesuatu yang lebih enak lagi..."
"Ayo, Kak Lusi. Muni pengen lanjutin yang terputus tadi...."
Lusi tertawa. Segera dibukanya pakaiannya dan langsung menindih tubuh Muni. Si gadis pedalaman itu pun segera menggerakkan badannya, berputar dan menindih Lusi.
Dan permainan itu kembali kami lanjutkan. Three some.
Muni. Dia memaksa pergi bersama dengan kami. Dan dia bersama Lusi selalu memberikan kenikmatan yang sangat luar biasa padaku. Setiap malam, setiap ada waktu kami melakukan hubungan seks.
*********************************************************************************************************************************************************************************************************
TERIMA KASIH
Sampai jumpa pada kisah selanjutnya tentang Muni