taek

Aku mempunyai sebuah keluarga kecil yang bahagia, aku merasa kami adalah salah satu keluarga paling bahagia di dunia ini. Istri cantik, dan gadis kecil yang cantiknya tak kalah dari ibunya. Aku adalah perantau yang hidup berkecukupan di kota besar Jakarta. Bekerja di salah satu perusahaan ternama di bidangnya, dan aku pun menikmati hasil yang ku kerjakan. Aku merasa adalah manusia yang sempurna melebihi superhero yang ku saksikan di TV sewaktu kecil. Hingga aku tak ingin kehilangan kebahagiaan sedikitpun dalam hidupku, sekecil apapun itu, aku tak ingin merasakan kesedihan.

Sampai suatu saat, aku mendengar kabar bahwa teman sekantorku bercerai dengan istrinya, padahal jika kulihat kehidupan keluarga temanku itu, termasuk keluarga yang tak bahagianya. Sama sepertiku. Dan kini, keluarga temanku yang tadinya bahagia itu harus mengalami sisi pahit dalam hidupnya yang harus mereka kenang sampai nanti ajal menjemput mereka. Aku tidak tahu permasalahan apa yang menyebabkan mereka harus sampai berpisah, aku tidak perlu tahu, karena aku tidak ingin seperti itu.

Tapi kesedihan yang mereka alami berubah menjadi ketakutan dalam pikiranku, entahlah, semuanya datang begitu saja, hingga bayang-bayang kehancuran hidupku seakan-akan menggerogoti tulang ini hingga habis. Dalam beberapa hal, aku mulai kehilangan fokus. Aku tak bisa tidur nyenyak, aku menjadi lebih pendiam, dan aku mulai terlihat cuek. Termasuk keluargaku sendiri.

Aku menyadari itu semua, pekerjaan yang mulai melambat, hingga aku mendapat teguran dari Bos, lalu aku mulai sering berdebat dengan Istriku, dan aku menjadi lebih emosional saat aku tak bisa menunjukkan apa yang sedang ku alami. Aku memilih untuk tidur agar bisa menenangkan pikiranku. Aku seakan ingin mencekam mimpiku sendiri.

*****​

Aku terbangun di pagi hari setelah semalaman aku bertengkar dengan Istriku, dari dalam kamar aku mendengar suara tawa yang riang di taman samping kamar. Aku berdiri menyingkirkan selimut tebal yang menutupi tubuhku, lalu berjalan kearah jendela dan membuka gorden bercorak bunga-bunga mawar. Sinar matahari menyongsong lembut ke arah mataku, dan aku dapat menyaksikan di luar sana, keceriaan yang sedang dilakukan oleh Istri dan Anakku. Mereka selalu terlihat bahagia, dan Istriku selalu bisa menutupi kekecewaannya pada diriku. Senyum keduanya begitu indah, ingin rasanya memeluk senyum itu. Aku tak ingin kehilangan mereka.

Hari itu aku libur dari kerjaku, karena Bos sebenarnya menyarankan aku untuk mengambil cuti setelah melihat kekalutan yang kualami, jadi aku memutuskan untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluargaku, agar bayang-bayang ketakutan ini hilang. Karena besok, aku dan keluarga kecilku ini akan berlibur ke kampung halamanku. Selain untuk menyegarkan pikiran dan menghabiskan waktu dengan Istri dan anakku, tentunya aku juga ingin bertemu dengan Ibuku yang sudah hampir tiga tahun ini belum sempat aku menengoknya.

"Morning, My Queen...," sapaku kepada gadis kecil yang bernama Mia Fritz.
"Hey, Daddy...,"ia membalas dengan suara lembut yang membuatku ingin terus mendengarnya di pagi hari.
"Mah, buatkan kopi dong?" kataku meminta tolong kepada Istriku, aku lalu menggendong Mia saat Istriku berjalan ke dapur tanpa menyapaku.
"Maaf...," ucapku pelan. Dan ia masih menghiraukanku.

Pagi itu kuhabiskan waktuku bersama Mia, walaupun Istriku Emily masih tidak mau bicara denganku, tapi aku tetap berusaha agar aku dapat mengembalikan senyum indahnya lagi.

*****​
Esoknya, pada jam delapan pagi, aku beserta keluargaku sudah berada di Bandara International Soekarno-Hatta, untuk penerbangan tujuan Jakarta-Manado. Tiga jam perjalanan, dan Istriku masih dalam keadaan menghukumku. Semoga ini bukan menjadi perjalanan yang paling menyedihkan dalam hidupku. Kalian tahu mengapa Istriku masih marah sampai saat ini? Ya, itu karena kebodohanku, yang menuduhnya telah berselingkuh dengan lelaki lain, tanpa bukti apapun. Jujur itu hanya buah kebodohan dari rasa ketakutanku. Dan aku sedang berusaha menghilangkannya, tapi aku tak tahu bagaimana caraku agar Istriku mau memaafkanku, mungkin nanti disana, setelah perjalanan ini, aku dapat menemukan cara meminta maaf kepadanya.

Hingga saat kami sudah berada di dalam pesawat, dan pesawat telah terbang, aku pun memutuskan untuk tidur sejenak, agar perjalanan ini dapat kurasakan lebih singkat.

Dalam tidurku, aku bermimpi buruk. Aku teringat saat aku memaki-maki Istriku, lalu setelah aku puas menuduhnya, aku pergi meninggalkannya, dan aku bertemu dengan mantan Istri temanku, hingga berakhir dengan sebuah perselingkuhan. Mimpi itu terasa nyata, aku seakan menikmati tubuh mantan Istri temanku itu, waktu berjalan terasa lambat, seakan mengizinkan kami untuk lebih saling memuaskan malam itu.

Dan saat percintaan itu semakin panas, aku melihat wajah Istriku di balik jendela sambil berteriak kepadaku. Dia begitu marah, sangat marah. Ia memukul-mukul kaca jendela hingga memberikan guncangan hebat di dalam hotel, aku ketakutan. dan saat itu juga, aku terbangun dari tidurku.

Keadaan pesawat yang saat berangkat terlihat tenang, kini mulai berisik karena teriakan panik para penumpang. Pesawat mengalami guncangan hebat. Aku melihat keluar dari jendela kecil. Cuaca mendung mengakibatkan hujan lebat, dan badai yang tak terduga. Aku melihat ke kursi disampingku, dan tidak mendapati Istri dan anakku, aku bertanya kepada orang-orang yang masih teriak-teriak ketakutan, dan itu adalah hal sia-sia yang kulakukan. Saat aku mencoba melangkah untuk mencari Istri dan anakku, guncangan pesawat melemparku. Aku terjatuh, pesawat ini akan jatuh. Dan aku belum menemukan dua orang yang teramat kucintai.

"Emil! Mia! Di mana kalian?!" teriakku sekencang-kencangnya. Dan aku sempat tersenyum saat dari kejauhan, aku melihat Emil yang sedang memeluk Mia, mengangkat tangannya yang meminta untuk kugapai.

Dan itu terlambat. Pesawat jatuh menabrak permukaan bumi, entah dimana, yang jelas kami tidak terjatuh di tengah laut. Kepalaku membentur benda keras yang membuatku berpikir inilah akhir kehidupanku, akhir kebahagiaan keluarga kecilku.

*****​

Aku terbangun saat air hujan membasahi wajahku, aku mengalami mimpi yang panjang. Saat ini aku berada di pinggir Danau besar di Tondano, Kampung halamanku. Langit mulai gelap, sepertinya sudah sore, dan hujan semakin deras. Aku masih dalam keadaan bingung, dan berdiri menatap tajam ke arah air hujan yang jatuh di tengah Danau. Mimpi apa yang baru ku alami. Kenapa mimpi itu begitu menakutkan, dan kenapa itu begitu tragis. Aku seperti telah mengalami kejadian itu. Tapi aku tidak bodoh, aku tahu itu mimpi. Sangat jelas itu mimpi, tapi?

"Lian! Ayo pulang, jangan sampai badai yang nanti menggendongmu!" teriak salah seorang warga kampung kepadaku.

Aku tak menjawabnya, aku hanya melambaikan tangan dan tersenyum kepadanya. Ia lalu kembali berlari bersama yang lain dan meninggalkan aku. Jika itu hanyalah mimpi, lalu mengapa saat ini. Disini. Aku tidak bersama Istri dan anakku.

"Kau sudah pulang?" tanya Pamanku saat aku sudah tiba di rumah panggung besar dengan keadaan basah kuyup. Ia tinggal bersama anak perempuan dan adik kandungnya. Ibuku.

"Mamah mana?" tanyaku.

"Masih di kebun, aku pulang sebelum hujan," jawabnya. "Lebih baik kau keringkan tubuhmu, ibumu sudah terbiasa dalam keadaan seperti ini, jadi kuyakin, ia bisa menjaga dirinya," jelasnya mencoba menenangkanku.

Aku pun menyetujuinya, dan tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan ibuku, aku lebih mempertanyakan tentang apa yang baru saja kualami, mengapa mimpi itu datang, seperti memaksaku untuk mencoba mengingat yang sampai sekarang aku tak mengerti.

Aku segera mandi, lalu menghangatkan tubuhku di dalam kamar berdinding kayu. Teh hangat sudah ada di meja kamarku. Kuyakin Siska yang membuatnya. Anak perempuan Pamanku.

Aku terus membayangkan mimpi itu, tapi aku tak mendapatkan kesimpulan apapun. Hingga akhirnya aku memutuskan bertanya kepada pamanku.

"Paman," kataku memanggilnya. "Aku ingin bertanya sesuatu?" lanjutku.

"Apa?" jawab Pamanku dengan suara beratnya. Aku sempat berpikir untuk membatalkan niatku itu, karena aku yakin, Paman akan menganggapku aneh. Tapi....

"Kapan dan bersama siapa aku datang kesini?" tanyaku cepat, tanpa berani menatapnya.

"Hahahahaha! Kau sudah gila, Lian? Apa yang terjadi denganmu?" tepat dugaanku, pasti ia akan menganggap keponakannya ini gila.

"Tidak ada, aku hanya--, aku mengalami kejadian yang aneh, Paman!" jawabku terbata-bata.

"Apa itu?" jawabnya tegas. "Jelaskanlah!" pintanya.

"Aku bermimpi. Saat tadi siang aku tertidur di Danau, aku bermimpi buruk yang seolah-olah aku pernah mengalami kejadian itu, Paman!" kataku menjelaskan.

"Apa yang kau mimpikan?" tanyanya.

"Pesawat jatuh, entah dimana. Aku mati, begitupun Istri dan anakku...." aku mulai sedikit menjelaskan.

"Lalu siapa yang berbicara padaku, sekarang?" tanyanya lebih tegas dari sebelumnya. Matanya memandangku dengan cara yang aneh.

"Mungkin hantu." jawabku pelan.

"Hahahahaha!" ia kembali menertawakanku. "Kau becanda, Lian. Apa kau tidak ingat tujuanmu datang kesini?"

"Hilang. Mimpi itu menelan ingatanku," ucapku.

"Kau datang kesini, karena kau ingin menjernihkan pikiranmu pasca kegagalan pernikahanmu dengan Istrimu, kau begitu stress saat datang kesini, memeluk ibumu seperti anak kecil yang kehilangan mainannya," ia lebih gila, dan jelas kalau Paman sedang mengajakku becanda.

"Hahaha-" kini aku yang tertawa. "Kau becanda, Paman."

"Tengoklah Realita, Lian. Kau datang kesini untuk bangkit. Bukan untuk mengingatnya lagi," katanya begitu tegas dan jelas.

"Lalu mimpi itu?" tanyaku.

"Itu hanya mimpi, Lian. Jemput Ibumu, dan peluk dia, supaya kau bisa tenang. Aku mengerti beban yang kau alami." ia memberi saran kepadaku. Dan, ya. Sudah hampir sejam ibu belum juga pulang.

"Eh-, Mamah, ya. Aku akan menjemputnya!" jawabku. Aku pun dengan cepat berlari keluar rumah dengan menbawa satu payung besar. Hujan masih begitu deras, dan keadaan Ibuku yang masih belum pulang ini membuatku melupakan hal yang sedang kupikirkan. Ibuku yang harus diutamakan sekarang.

Saat aku tiba di kebun, aku tidak mendapati siapapun disana, dan keadaan begitu gelap. Tak ada cahaya, tak ada tanda-tanda keberadaan orang disana. Aku terus memperhatikan sekeliling. Aku melihat sebuah gubuk kecil. 300 meter dari tempatku berdiri saat ini, aku pun berjalan mendekati gubuk kecil itu. Semakin dekat malah terlihat semakin gelap. Aku terperosok jatuh kebawah, karena keadaan yang licin, diiringi bunyi petir yang begitu keras bergemuruh. Lalu kilatan cahayanya memberikanku sebuah jawaban yang ada di dalam gubuk itu.

Cahaya kilat itu memberikan sebuah bayangan seorang wanita yang sedang dalam keadaan tidur di dalam gubuk itu. Kuyakin itu Ibu, aku pun bergerak cepat menuju gubuk itu. Tapi alangkah terkejutnya aku.

Iya, wanita itu adalah Ibuku, dan saat kudapati keadaannya, ia sudah tidak bernyawa lagi. Tubuhnya sudah membiru, wajah cantik Ibuku seakan memudar karena pucat keadaannya. Kuraih wajah cantiknya, lalu kupeluk seraya mencium keningnya. Aku menangis, dan langit tahu itu.

Aku menggendong mayat Ibuku sambil berteriak minta tolong, dan itu adalah hal yang sia-sia. Berteriak di tengah gemuruh yang begitu berisik. Sesampainya di rumah Paman, Siska yang menyambutku, mulutnya terbelalak di sertai wajah terkejutnya setelah melihat keadaan Ibuku yang sudah tidak bernyawa lagi.

Hanya dalam beberapa menit saja, suasana kampung menjadi sangat mencekam, begitu cara duka menyambut malam ini. Aku menangis di sebelah mayat Ibuku yang sudah terlihat cantik dengan gaun putih serta make-up yang menghilangkan raut pucat di wajahnya. Ia seakan tersenyum kepadaku, seakan ia ingin menyampaikan sesuatu.

"Kasihan, ya, Lian. Dicerai Istrinya, dan sekarang ditinggal Ibunya," bisik-bisik tetangga yang datang melayat Ibuku, bukannya bersimpati, malah menghinaku. Aku tidak butuh dikasihani. Asal kalian tahu, jangan-jangan suami kalian ada dibalik kematian Ibuku.

Kuyakini satu hal, kalau Ibuku bukan mati karena kedinginan. Dibunuh. Diperkosa sebelum ditinggalkan begitu saja di gubuk derita itu, membiarkan tubuh lemahnya meronta-ronta hingga letih dengan sendirinya, sampai hawa dingin membantunya untuk lebih cepat menuju surga.

Kenapa aku berpendapat seperti itu?

Karena saat aku menggendongnya, aku mendapati bercak-bercak sperma di paha belakangnya, aku yakin. Bukan hanya satu orang yang memperkosanya. Dan hujan serta gemuruh itu adalah tanda untukku agar menolong Ibuku, tapi aku malah terlalu terfokus dengan mimpi bodoh yang menakuti perasaanku.

Maafkan aku Ibu, aku menangis sekarang bukan untuk meminta mainan, ini murni tangisan penyesalan karena aku tak ada disaat susahmu. Aku terlalu egois memikirkan ketakutan ini.

Maaf....

*****​

Hari-hari berlalu, dan bayang-bayang ketakutan itu malah semakin menyiksaku, aku tak berani memejamkan mata, aku takut bermimpi. Aku mengurung diri di kamar, membiarkan setiap bayang-bayang itu menghabisi tubuhku. Ada satu tujuan yang harus kulakukan sebelum aku melawan bayang-bayang itu. Menemukan siapa yang orang-orang tak beradab yang memperkosa Ibuku.

"Sudah tiga hari kau mengurung diri, keluarlah!" ajak Pamanku dari luar kamar.

Dengan malas aku membuka pintu, lalu berkata. "Aku hanya sedang berpikir."

"Apa yang kau pikirkan? Adikku sudah pergi dengan tenang."
"Ha? Tenang? Dia membawa penderitaan di saat kematiannya, Paman!"
"Maksudmu?"

"Apa Paman tidak melihat sesuatu yang mencurigakan?!" aku mulai meninggikan suaraku, emosiku terlontar begitu saja. Aku benci melihat ketenangannya yang tak menunjukkan kepedulian sama sekali.

"Jangan coba-coba membentakku, Nak!" ucapnya tegas dengan nada mengancam disertai tatapan yang mengerikan. Seketika itu aku takut.
"Maaf..., aku hanya belum bisa menerima ini semua."
"Tenangkan pikiranmu, jika kau sudah tenang, kau boleh bicara lagi denganku."
"Iya."

Aku kembali masuk ke dalam kamar, mengurung diriku lagi. Memikirkan apa yang seharusnya kupikirkan, membayangkan apa yang tak harus kubayangkan: Menemukan siapa yang memperkosa Ibuku di dalam ketakutanku.

Aku terus berpikir, dan berpikir tanpa bergerak dari tempatku saat ini, tanpa melakukan sesuatu. Hingga aku merasa seperti mati. Apa itu lebih baik? Tidak, aku masih ingin dendam ini terbalas. Lalu..., aku tertidur.

Aku bermimpi tentang cara Ibuku diperkosa di gubuk itu, sangat kejam, mereka memaksanya, menarik tangan Ibuku, menamparnya. Dan secara bergantian menggauli Ibuku yang masih dalam keadaan lelah setelah bekerja di kebun seharian. Sungguh laknat. Kelima orang itu sungguh tak beradab.

Tapi....

Disaat mimpi itu terus berlanjut dengan kejadian pemerkosaan Ibuku, tiba-tiba Istriku muncul menggoda kelima lelaki itu. Ia meminta agar tubuhnya juga bisa dipuaskan seperti mertuanya yang sudah tak berdaya itu. Tidak. Ibuku secara tiba-tiba tersenyum dan mengeluh menahan nikmat, serta mengajak Istriku agar bisa berbagi kenikmatan. Keduanya seakan menatapku.

Seakan mengejekku.

"Lelaki tak berguna!"
"Anak yang tak tahu balas budi!"
"Apa yang kau lakukan selama ini? Sudah bisa kau bahagiakan Ibumu ini?
"Jangan menatapku seperti itu! Aku benci pengecut yang hanya bisa mengoceh-oceh tanpa bukti."

Mereka berdua terus mencemoohku, hingga kelima lelaki yang tak terlihat wajahnya di mimpiku itu tersenyum padaku. Menghina. Iya, senyum mereka menghinaku. Senyum berupa pedang tajam yang seakan membelah tubuhku menjadi beberapa potongan-potongan kecil, lalu di gerogoti anjing-anjing hutan yang tampak bahagia seakan hewan itu sedang berpesta. Dan, anjing itu pun tersenyum kepadaku.

Aku hanya dapat menangis, aku mengucapkan maaf, tapi mereka hiraukan. Mereka seakan tidak mendengarku. Hingga aku berteriak sekencang-kencangnya.

"Cukup! Kubilang cukup!" pita suaraku seakan tertarik keluar saat aku berteriak sejadi-jadinya.
"Kak Lian!" sebuah hentakan di pipiku menyadarkan aku. Membangunkanku dari mimpi itu.
"Siska," kataku dengan raut wajah yang tak bisa kugambarkan betapa takutnya aku.
"Kakak, kenapa?"
"Hanya mimpi, Sis."
"Sebentar kuambilkan air putih."
"Tunggu," Siska menatapku. "Tolong ambilkan rokok juga," pintaku.
"Iya, Kak."

Aku berdiri di balik jendela kayu rumah ini, membuka gordennya, dan hujan masih seperti beberapa hari kemarin. Sama seperti malam kematian Ibuku, aku merasa tiap malam disini begitu mencekam. Saat aku masih memandang keluar, aku melihat Istri dan anakku sedang bermain di tengah hujan. Kulekatkan mataku, dan mereka semakin ceria. Aku menangis, menangis dan menangis.

Kepalaku mulai sakit. Sungguh aku merasa kepalaku di sebelah bagian kiri seakan terserang ribuan peluru. Aku merintih, lalu menunduk sambil memegang rasa sakit di kepalaku, memejamkan mata. Dan...

"Kak, ini di minum dulu," Siska datang membawakanku air putih dan sebungkus rokok.

Dengan tergesa-gesa aku ambil gelas berisi air putih itu dan menenggaknya hingga habis.

"Pelan-pelan, Kak."

Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku sendiri, lalu melihat keluar, dan bayang-bayang Istri dan anakku sudah menghilang. Aku lega, rasa sakit dikepalaku pun menghilang.

"Mana rokoknya?"
"Ini."
"Makasih, Sis."

Setelah Siska menyerahkan sebungkus rokok itu, aku lalu mengambilnya sebatang, dan membakarnya. Aku terbatuk-batuk saat menghisapnya, sudah lama aku tak merokok. Emil tidak suka aku merokok, begitupun anakku Mia.

Aku hanya mencoba melawan bayang-bayang itu, memastikan kalau mereka tak perlu lagi menakutiku, mengganggapku lelaki bodoh, seakan akulah yang salah. Tidak..., aku hanya--, aku tak tahu harus berbuat apa.

"Kak, kenapa?"
"Tidak apa-apa, Sis."
"Kakak, seperti orang yang--"
"Kebingungan?"
"Iya. Kakak terlihat kacau. Kak, ikhlaskan Tante, aku juga merasa kehilangan, kok. Tapi aku percaya, ini sudah jalannya. Takdir selalu punya rencana hebat dalam semua kejadian apapun, Kak."
"Tidak, sebelum aku menemukan siapa yang tega memperkosa, Mamah."
"Ha? Maksud Kakak?"
"Sis, kau pikir meninggalnya Tantemu, karena apa? Penyakit? Apa dia pernah terlihat seperti orang sakit? Bahkan pagi hari sebelum dia berangkat ke kebun, dia masih terlihat cantik dan kuat, dan aku tahu siapa Ibuku. Dia selalu kuat dalam hal apapun!"

Aku terlihat emosi saat itu. Terlalu berlebihan memang. Siska terlihat murung.

"Maaf, Aku terlalu berlebihan. Tapi aku yakin, Sis. Aku yakin!"
"Siapa yang tega melakukan itu?"
"Aku pasti akan menemukannya, Sis. Mengakhiri hidupnya lebih kejam dari yang mereka lakukan ke Ibuku. Tantemu!"
"Kakak."
"Ya?"

Siska hanya menarik nafas, dan tidak melanjutkan omongannya, ia menundukkan wajah cantiknya, menghindari tatapanku. Aku tahu ia takut mengucapkan sesuatu. Lalu aku memegang pundaknya.

"Aku juga begitu takut, Sis."

Dan membawanya kedalam pelukanku. Kami menangis. Siska mengerti bagaimana perasaanku saat ini. Tidak seperti Ayahnya yang terlihat cuek, dan sekarang sudah bisa tidur dengan tenang, dan nyenyak di kamarnya.

Muram. Langit disini selalu membawa malam penuh kemuraman. Dibalut suasana mencekam yang seakan meminta aku untuk menjadi temannya. Aku tidak tahu harus darimana aku memulainya. Besok pagi, aku harus ke kebun untuk bertanya pada orang-orang disana.

"Sudah malam, Sis. Tidurlah, besok kamu harus sekolah, 'kan?"
"Iya, Kak."
"Makasih...,"

Dia tak menjawab lagi, ia anggukan wajahnya, lalu pergi meninggalkan kamarku. Sementara aku. Aku takut untuk tertidur, dan aku tak sabar menunggu pagi.

Hey, Malam! Hinalah aku. Hina keadaanku yang begitu lemah!

*****​

Hari-hari berikutnya, aku malah tidak dapat melangkah maju mengejar tujuanku, aku tak berhasil menemukan siapa pemerkosa yang membuat nyawa Ibu melayang, tak ada bukti satupun. Beberapa hari ini pun aku sering berdebat dengan Paman, aku terus meyakinkannya jika kematian Ibu adalah pembunuhan, tapi ia tidak percaya, dan malah menyuruhku agar bisa mengikhlaskan kepergiannya. Anehnya, aku mulai sedikit curiga dengannya sekarang. Pamanku sendiri.

Tak ada bukti yang kuat, dan semuanya semakin terasa membingungankan. Ada beberapa warga yang katanya melihat Ibuku di malam hari sedang bernyanyi sambil membawa gendongan yang berisi daun-daun cengkeh yang ia kumpulkan. Ada juga yang berkata kepadaku, kalau Ibuku belum mati, Ia hanya pergi ke jakarta untuk menengok cucunya. Sangat aneh, bagaimana mungkin ia pergi untuk menengok cucunya tanpa mengajakku. Lalu mayat siapa yang dikubur?

Kumpulan-kumpulan pertanyaan aneh mulai mengumpul di otakku dan semakin membuatku bingung. Bayang-bayang Istriku dengan lelaki lain juga terus membawaku dalam ketakutan. Begitu juga mimpi yang terus mendatangi tidurku. Mimpi buruk yang tak kunjung hilang.

Hanya Siska yang mengerti keadaanku dan terus menenangkan aku. Adik sepupu yang cantik. Walau ia masih muda sekalipun. Wangi tubuhnya daat berada di kamarku selalu bisa menenangkanku.

Esoknya, saat kecantikan senja telah hampir hilang, aku yang sedang berada di danau berniat untuk pulang ke rumah. Hari ini berjalan cepat dan juga sia-sia, aku tidak dapat menemukan apapun tentang kejadian-kejadian aneh di daerah ini. Bahkan aku malah dianggap sebagai orang gila oleh seorang warga kampung saat aku bertanya apakah ia tahu siapa yang memperkosa Ibuku. Entahlah....

Aku pun berjalan melewati beberapa rumah-rumah panggung sebelum sampai di rumah Pamanku. Saat aku hendak sampai di rumah, aku mendengar suara dari beberapa orang yang mungkin sedang bertamu di rumah itu. Perbincangan mereka terdengar serius, membuatku merasa tidak enak untuk masuk ke dalam melalui pintu depan. Akupun memutuskan untuk masuk melewati pintu belakang.

Langit sudah gelap sepenuhnya, dan cahaya bulan masih malu untuk sepenuhnya bersinar.

Aku melepaskan sandal dan menaiki anak tangga dan membuka pintu sepelan mungkin. Aku terkejut melihat Siska yang telah berada di dapur rumah. Saat aku mendekatinya, Siska yang mungkin mendengar langkahku memintaku untuk ikut berdiri disampingnya. Seperti orang yang sedang menguping pembicaraan Ayahnya dan teman-temannya itu, atau memang ia sedang menguping.

"Ada apa?" tanyaku berbisik kepadanya.
"Kita dengarkan saja, Kak," jawabnya.

Lalu akupun mulai fokus mendengarkan pembicaraan di ruang tamu itu, seperti Siska. Dan alangkah terkejutnya aku setelah sedikit mendengar pembicaraan mereka.

"Adikmu beberapa hari ini terus menghantuiku, aku takut!" ucap salah satu teman Paman yang bernama Frans.

Mungkinkah 'Adikmu' yang dimaksud itu adalah Ibu?

"Aku juga mengalami hal yang sama, gadis jalang itu seakan-akan ingin membunuhku!" kali ini John yang angkat bicara dengan nada kotor yang menyebutkan kalau Ibu dengan sebutan Gadis Jalang. Bangsat, umpatku dalam hati.

"Jaga ucapanmu, John!" Paman mengingatkan temannya itu.

Siska mulai menangis, dan aku mulai semakin emosi mendengar ucapan-ucapan mereka. Aku mundur beberapa langkah mendekat ke rak tempat penyimpanan Pisau. Secara kebetulan misteri ini terkuak, dan seperti dugaanku, Paman ikut terlibat.

Siska menyadari maksudku setelah melihatku membawa dua bilah Pisau berukuran 15 cm. Dia terlihat takut dengan tatapanku, tapi ia mencoba mencegahku.

"Kak, tenang, kak!" ucapnya pelan, seraya tangannya memegang pundakku.

Aku tak membalas ucapannya, tapi tatapanku semakin kubuat menakutkan, dan itu berhasil, karena tangan Siska tak lagi menahanku. Dan saat aku hendak berjalan ke ruang tamu, Siska berteriak kencang tepat sebelum aku muncul dihadapan para pembunuh Ibu.

"Jangan, Kak!" teriak Siska.

Teriakkan itu tentu saja membuat para pembunuh itu langsung terkejut, lalu aku muncul dengan membawa dua buah Pisau. Aku menatap ke arah para pembunuh itu yang ternyata berjumlah empat orang, termasuk dengan Pamanku.

Paman menatapku. Begitupun yang lainnya.

"Apa maumu, Lian?" tanya Paman dengan polosnya.
"Nyawa kalian, Bangsat!" balasku dengan penuh emosi. Nada suaraku terdengar kencang.

Tapi keempat orang itu masih berdiri ditempatnya dan mereka terlihat tenang, seakan mereka meremehkan aku.

"Lakukan apa yang kau mau?" kata Pamanku diiringi dengan senyum-senyum menjijikkan darinya.
"Anjing!" teriakku seraya berlari dengan mengangkat Pisau di tangan kananku, dan menuju ke arah Pamanku sendiri. "Mati kau, Pembunuh!"

Duuuaaaarrrrr...

...

....

...Aku tersungkur seketika, saat sebuah peluru mendarat di punggungku. Sebuah tembakan yang menembus dadaku. Dari arah belakang, aku menengok kebelakang, dan melihat Siska yang berdiri disana, sambil memegang sebuah pistol berwarna hitam di tangannya, lalu sebuah tawa terdengar samar, dan semakin kencang setelah pria-pria pembunuh itu melihatku sudah tak berdaya.

"S-siska...," ucapku terbata-bata.
"Maaf, Kak."

Duuuaaarrrrrr....

*****​

"Hehehe..., Mah, liat Mah, bunganya udah mekar."

Suara gadis kecil yang riang terdengar begitu lucu. Suara itu terlihat begitu menyenangkan.

"Mana, mana?"
Lalu suara perempuan yang merdu membalas ucapan suara gadis kecil itu.

"Tuh, lihat, tuh."

Suara gadis kecil itu terdengar lagi. Tawanya yang lepas terdengar hangat.

"Cantik, kan bunganya?"

Lalu dibalas lagi oleh suara perempuan dewasa. Terdengar indah, seperti sebuah sentuhan hangat dalam bait-bait beethoven.

"Kaya aku ya, Mah?" Gadis kecil itu memuji dirinya sendiri.
"Iya dong."

Dan, perempuan dengan suara yang indah itu, meng-iya-kan ucapan anaknya. Aku yakin ia tersenyum.

Seperti Mimpi rasanya mendengar suara mereka. Ya, mereka adalah Istri dan Anakku. Suara yang membangunkanku dari tidurku. Dan, dari jendela kamarku, aku melihat keceriaan mereka di taman kecil rumah kami ini.

Comments


EmoticonEmoticon