Cerita seks - Memek nikmat Dina

Hubungan kami berawal dari dimuatnya surat pembacaku, ketika aku masih mahasiswa, di suatu surat kabar yang beroplah nasional tentang kesulitan mengirim surat ke luar negeri. Seminggu kemudian datang surat kepadaku mengomentari suratku dan menceritakan hal yang sama dengan yang kualami. Ia mengatakan hobinya juga surat-menyurat (korespondensi) dan mengajak bertukar hobi denganku. Semenjak itu kami rajin saling berkirim surat. Walaupun belum pernah saling ketemu,karena saling pandai menyusun kata-kata, kami serasa sudah akrab.

Dina, sahabat penaku itu, waktu itu bekerja sebagai asisten apoteker di kota Cikampek. Ia memang lahir di situ, ayahnya mempunyai penggilingan beras. Seperti lazimnya pengusaha di kota kecil, ayahnya keturunan Cina. Ia sulung dari 6 bersaudara dan akhirnya aku juga akrab dengan keluarganya akibat sering main ke sana kalau liburan. Ia lebih tua 1 tahun dariku. Waktu itu aku sendiri punya pacar di fakultas dan Dina beberapa mempunyai “teman dekat”, seperti diceritakannya kepadaku lewat surat-suratnya.
Tiga tahun setelah kami akrab, ia pindah ke Jakarta dan diserahi pekerjaan mengelola apotik di daerah Jakarta Barat. Waktu itu aku sendiri sudah selesai kuliah dan mulai mencari pekerjaan di ibukota. Hubunganku dengannya sudah cukup akrab. Beberapa kali aku menginap di rumah kostnya. Ia kos bersama adik laki-laki tertuanya, yang kuliah di salah satu fakultas kedokteran. Waktu itu ia sedang pacaran dengan seorang bule, Peter, karyawan suatu perusahaan Belgia. Aku, Peter, Dina dan Andre (adiknya), sering berjalan bersama. Waktu itu aku sendiri juga bekerja di daerah Jakarta Barat dan kos di dekat camer (calon mertua). Pacarku sendiri sedang kuliah di Gajah Mada, Yogya.
Sampai akhirnya si Peter meninggal dunia, karena kecelakaan pesawat ketika sedang pulang ke Belgia. Ayah Dina waktu itu sedang masuk RS dan aku setiap malam menunggui, bergantian berdua dengan Erik atau dengan Dina, sampai juga meninggal setelah 10 hari dirawat. Kesedihan karena ditinggal si Peter dan ayahnya, membuat Dina memintaku banyak mendampinginya. Kalau selesai bekerja, kalau Andre sibuk kuliah, Dina memintaku menjemput ke apotik. Kalau ia dinas malam, aku biasa menungguinya sebelum ia selesai bekerja. Sering aku dan Dina (kalau sudah pulang kuliah), menunggui berdua lalu pulang bertiga. Semua teman kerja dan induk semang kosnya sudah mengenalku semua. Dan di antara kami semuanya berjalan biasa saja. Dina ini tinggi badannya lumayan, ada 5 cm di atas tinggi badanku. Jadi orang pasti tidak mengira kalau kami sedang pacaran. Dina tahu mengenai pacarku di Yogya.
Walaupun demikian, kedekatan kami lama-lama membuat adanya “rasa lain”. Kami biasa menonton berdua kalau Dina pulang sore. Dia juga biasa jalan bergayut di lenganku, itupun kalaubertiga dengan Andre. Sore itu, hari Sabtu, ia pulang jam 2 dari apotik. Dinasedang pulang ke Cikampek dan ia kelihatannya sedang sedih (“Aku ingat Peter”, katanya), maka tangannya tak mau lepas dari lenganku. Kesedihan itu dibawanya masuk gedung, selama filmia menyandarkan kepalanya di bahuku. Spontan, kalau ia terdengar mengeluh sedikit, aku mengelus-elus kepalanya. Setelah beberapa saat, tiba-tiba saja, aku sudah menciumi pipinya. Ia mengeluh lirih dan merangkulku sambilmulutnya bergeser mencari bibirku. Kami berpagutan bibir cukup lama, ia seakan sedang menumpahkan semua beban pikirannya kepada pagutan bibir-bibir kami. Aku betul-betul terhanyut, tetapi masih dapat “menjaga kesopanan” dengan hanya memegangi pipinya saja. Di taksi pulang ia diam saja. Hanya pegangan di lenganku semakin bertambah erat.
Sampai di kosnya, ia memintaku masuk kamarnya. Tante kos sudah kenal baik denganku dan aku memang biasa masuk kamar mereka. Hanya saja kali ini ia langsung memelukku dan mengulangi kembali pagutan di bibirku. Aku sedikit bingung, sebelum kemudian memutuskan untuk mengikuti keinginannya.
Kupeluk erat-erat ia yang sedang duduk di pinggir tempat tidur. Aku duduk di sampingnya sambil memegangi kedua pipinya. Otomatis, saking serunya ciuman kami, Lia akhirnya terdorong ke belakang dan posisinya menjadi tertidur. Tiba-tiba saja tanganku sudah pindah ke dadanya dan dari luar (ia masih memakai bajunya) mengelus payudara sebelah kanannya. Dina melenguh (bukan hanya mengeluh!) dan tangan kirinya menaikkan posisi kaos yang dipakainya.Lalu aku sudah menggenggam payudara kanannya tanpa halangan apa-apa. Wow…, tak begitu besar, tetapi putihnya mulus. Aku mengelus payudaranya sambil sekali-kali memijit bundaran di bawah ujung putingnya. Dina seakan kesetanan, ia langsung melepas kaos yang dipakainya. Dadanya telanjang dan…..Aku tak dapat lagi menahan diri. Sejenak kuteliti wanita di hadapanku ini. Lehernya putih, anak-anak rambut yang menggerai di sekeliling lehernya membuat penisku mengejang. Bahunyayang pualam menyangga mulutnya yang sedikit menganga dan mengeluarkan desis lirih yang memburu. Matanya terpejam. Rok bawahnya masih terikat, tetapi pantatnya sudah membuat gerak memutar-mutar sedikit.
Lalu kutelusuri lehernya. Tanganku turun ke arah payudara kanannya. Ia menempelkan badan erat-erat ke badanku. Kuputar telapakku di payudara kanannya. Ia mengelinjang. Ketika tanganku pindah ke payudara sebelah kiri, gelinjangannya bertambah dan tangannya langsung ke bawah badanku, mencari sela-sela pahaku.
Ketika aku mulai menjilati puting susunya, tangannya menerobos ritsleting celanaku dan…, aku sedikit menggelinjang ketika ia mulai menggenggam penisku.
Kedua tangannya berusaha menurunkan celana dalamku, tetapi masih sulit karena celana panjangku masih bertengger di sana. Sementara itu mulutku mulai mengulum puting susunya bergantian. Dilepaskannya penisku dan, karena kegelian dan merasa nikmat, ia merengkuh kepalaku, ditariknya ke arah puting susunya. Lalu tiba-tiba didorongnya badanku, sambil nafasnya terburu, dilepaskannya rok yang masih dipakainya. Lalu tanganku diraihnya, dimasukkannya ke dalam CD-nya. Pelan-pelan kuelus bulu vaginanya. Wah, lebat betul. Dari sekian wanita yang pernah “kutelanjangi”, baru kali ituaku melihat pubis (rambut vagina) yangdemikian lebat. Lebat, panjang, ketat. Hitam bukan main.
Kuelus-elus bulu vaginanya, kugelitik-gelitik rambut-rambutnya mencari lubang vaginanya. Tidak mudah ketemu, tetapi sudah basah karena air nikmatnya sudah keluar. Dina sendiri membantuku dengan menekan-nekan tanganku yang di permukaan vaginanya.
“Euuuhh…, eeuuuhh..”, gelinjangnya. 
Lalu, tak sabar, diturunkannya CD-nya yang sudah di pahanya. Telanjang bulatlah ia. Gila, putihnya! Pantatnya yang bulat, yang biasanya kupegangi (dari luar) kalau ia lagi bergelayut di lenganku, betul-betul indah. Pinggulnya apalagi. Penisku langsung berdiri menegang melihat itu semua dan mengantisipasi “tugas lanjutannya”. Kugosok-gosokkan ujung hidungku ke pinggul itu, pelan-pelan kujilati memutar menuju ke pantatnya yang indah. Kuremas-remas bulatan pantatnya, sambil kugesek-gesekkan ujung hidungku terus.
Harum baunya, harum sekali. Penisku yang tegang bergerak-gerak terus. Ia tak sabar, dipegangnya tanganku, dibimbingnya untuk kembali menusuk-nusuk vaginanya. Ia sendiri seakan kesetanan menunggu lubang vaginanya dimasuki jari-jariku. Tetapi aku kembali berkonsentrasi pada puting susunya. Kujilat, kuelus memakai lidah, kusedot pelan-pelan sambil ia melenguh-lenguh dan menggelinjang-gelinjang. Akhirnya ia sudah tak sabar lagi. Tangannya mulai menurunkan celana panjangku. CD-ku langsung dipelorotnya ke bawah. Lalu tangannya menggenggam-genggam penisku.
Aku serasa melayang. Sebagai laki-laki, selama ini kalau ia bergayut di lenganku sambil berjalan-jalan, aku sering membayangkan tangannya yang putih dengan jari-jarinya yang panjang mengelus-elus penisku. Atau kujilati puting susunya yang sering membayang kalau ia memakai baju tipis. Hanya, selama itu aku hanya berani membayangkan, karena aku menghormatinya sebagai rekan akrab. Rupanya sore itu lain.
Ia langsung membalik, mengarahkan mulutnya ke penisku. Lalu tanpa basa-basi di kulum penisku. Aku sendiri langsung meneroboskan muka ke arah vaginanya. Tanganku memisahkan rambut-rambut di situ dan kulihat clitorisnya sudah kelihatan di luar. Kugosok-gosok perlahan permukaan clitorisnya. Dina menggelinjang-gelinjang. Kujilati clitorisnya sambil kuisap-isap.
“Ouww …,. ouw nikmattttt”, lenguhnya, “Terusss.., teruuuss”, lenguhnya dalam.
Isapannya di penisku melemah akhirnya. Kupikir ia sudah selesai. Tiba-tiba, ia membalikkan badan lagi dan langsung berbaring di atasku. Penisku dipegangnya dan dicoba dimasukkannya ke dalam vaginanya yang sudah sangat basah. Rasanya oouw, ketika kepala penisku mulai masuk. Aku yang kegelian hampir tak tahan. Maklum, waktu itu penisku baru punya jam terbang yang dapat dihitung dengan jari, dan karena masih muda, jarang memakai “pendahuluan” yang cukup lama.
Saking gelinya, aku yang di bawah sampai mengangkat kepala tak tahan geli dan mau bangkit. Pas saat itu, kepalaku dipegang Dina, dibawanyake payudara sebelah kiri. Melihat ada gumpalan daging kenyal putih menantang, langsung kujilati dan kuisap-isap. Baru sebentar, Dina mengerang, 
“Ohh…, Dina nyampeee”.
Gile, baru sebentar ia sudah nyampe!
“Kamu belum apa-apa, ya?”, tanyanya sambil menciumi mulutku. Aku diam tak bisa menjawab karena mulutnya menyerang sana-sini.
“Gantian Dina di bawah, deh, biar kamujuga nyampe!”.
Ia membalikkan badan. Melihat sekilas badannya yang indah dan putih itu, penisku terasa nikmat-nikmat nyeri, rasanya ada yang akan mengalir keluar dari ujung penisku. “Gile, aku udah maukeluar…”, pikirku. 
Ketika aku baru tiga kali memompa, spermaku keluar. Kupeluk erat-erat badannya, ia juga memegangi pantatku erat-erat sambil berbisik, “Masukkan semua…, masukkan semua..”.
Kutekan erat-erat penisku ke dalam vagina bidadariku ini,kumasukkan semua benih hidupku ke dalam jaringan tubuhnya.Ketika aku mau berguling ke sebelah badannya, dilarangnya aku. Ia ingin akutetap di atas tubuhnya, dengan peniskumasih di dalam vaginanya. Kunikmati saat itu dengan mempermainkan dagunya, menjilati payudaranya dan menggesek-gesekkan penisku ke dalam vaginanya. Ia tetap menciumiku.
Penisku sendiri tetap tegang di dalam vaginanya.
Lima menit kemudian nafsunya bangkitlagi. Ia mengerang pelan, sambil menggoyang-goyangkan pantat. 
“Dina nafsu lagi, nihh”, erangnya. Penisku sendiri yang tadi sempat sedikit mengecil menjadi besar kegelian tergesek-gesek permukaan dalam vaginanya. 
Lalu…, “Uuuuuuhh..” Bibir vaginanya seakan memijat penisku. Aku merasa penisku kegelian, geli-geli nikmat sampai seakan-akan badanku meronta-ronta di atas badan Dina. Dinasendiri terangsang dengan gerakanku, memelukku erat-erat sambil keras menggoyangkan pantatnya memutar.
Dalam 20 menit kemudian, 2 kali lagi ia mengalami orgasme. Gila, pikirku. Pijatan vaginanya membuatku seakan melayang ke surga, tetapi aku sendiri baru sempat orgasme sekali. Lalu ia mulai melemas seakan tak berdaya. Habis itu lalu terjadi “perkosaan”. Aku tidak tahan lagi. Dina kugulingkan ke sana ke mari menuruti nafsuku. Kadang kucabut penisku dari vaginanya, kumasukkan ke dalam mulutnya, lalu kucabut dan kugesekkan di antara lembah tetek-teteknya, lalu kumasukkan mulutnya lagi, lalu kumasukkan ke dalam vaginanya. Aku orgasme 2 kali lagi. Sekali di mulutnya, sekali di ujung vaginanya. Dina sendiri pasrah saja kuperlakukan seperti itu. Ia seakan sudah tidak berdaya. Ku gulingkan ikut saja, kusuruh mengulum penisku yang basah mau saja, mengurut-urut kepala penis di dadanya juga ikut, membantu memasukkan penisku ke vaginanya juga turut saja.
Ketika kami berdua sudah tidak berdaya lagi, kulihat jam. Dua setengah jam sudah berlalu sejak kami masuk kekamar itu. Akhirnya kami tak kuat lagi dan terkapar kepayahan. Mata terpejam rapat, kelihatannya ia lelah sekali dan mengantuk berat.
Aku bangkit dan barulah tercium bau sperma bercampur keringat di kamar itu. Dina sendiri sudah tidak berdaya lagi. Ia sudah tergeletak begitu saja telanjang bulat. Kuselimuti badannya dan aku mulai memunguti pakaianku yang terserak di sana-sini. Kusemprotkan Bayfresh ke dinding-dinding kamar untuk mengurangi bau “mesum” itu. Untung Andre sedang pulang ke Cikampek. Kucium dahi Dina, kututup pintu kamar dan aku pamit ke tante kos.
Esoknya aku datang lagi. Hari Minggu ini Dina mengaku sakit kepada tante kos dan minta, “Si Willy ngerawat saya, ya tante”. Jadinya kami berdua berbulan madu di kamarnya sepanjang hari. Dan terjadi perkosaan lagi, yang ternyata disenanginya.
Dalam perjalanan pulang aku berpikir bahwa hubungan kami sudah berubah. Kalau selama ini aku menganggap dia sebagai kakak, karena lebih tua 1 tahun, lagi pula ia lebih tinggi dibandingkan badanku, malam ini hal itu sudah berubah. Kakakku sayang itu telah membuatku merindukannya sebagai orang lain.

Comments


EmoticonEmoticon