Cerita Sex - Pesugihan Susi si Janda Bohay

BAGIAN 1 (PEMBUKA)

Cerita Sex
Sosok Susi (pemeran utama)

Malam itu, petir menggelegar mengiringi derasnya hujan yang mengguyur dusun Losawah. Ditengah suasana malam yang dingin dan sunyi itu, Tono kecil terbangun dari tidurnya. Ia tak tahu jam berapa itu, yang pasti terlalu larut untuk anak seumuran dia terbangun. Namun ia tak peduli, kebelet pipis memaksanya bahkan untuk pergi ke kamar mandi yang letaknya di belakang rumah. Tono kecil turun dari tempat tidurnya, bergegas keluar kamar, dan langsung membuka pintu samping rumah yang mana lebih dekat dengan kamarnya. Di ambang pintu itu dia mengeluarkan pipisnya yang langsung mancur jatuh tergenang bersama air hujan. Selang beberapa waktu dirasa hampir habis, ia menggoyangkan sedikit tititnya untuk menuntaskan sisa-sisa pipisnya.Kemudian saat ia ingin menaikan lagi celana kolornya, di semak-semak ia melihat sesuatu bergerak-gerak.

Meskipun masih dalam keadaan setengah ngantuk, Tono kecil penasaran kenapa semak-semak yang terletak di antara rumahnya dan tetangganya itu bergoyang-goyang. Ditengah guyuran hujan lebat dan deru geledek, sesosok tubuh putih pucat muncul dari balik semak-semak. Tubuhnya kecil mirip anak-anak.

"Mungkin seumuranku...", begitu batin Tono.

Kepalanya botak, kulitnya pucat, dan anehnya kok dia cuma pakai cawat yang lebih mirip popok bayi. Makhluk itu kemudian menoleh kearah Tono kecil, wajah makhluk itu sepucat kulitnya, dengan mata bulat hitam kelam dan telinga sedikit runcing seperti peri dalam dongeng yang sering ia baca di buku. Makhluk itu tersenyum, lebih tepat dikatakan menyeringai sebenarnya, menampakan gigi-gigi tajamnya, tepat kearah Tono dan masih dengan tatapan kosongnya.


Sebelum sempat Tono berpikir lebih jauh, makhluk tersebut lari secepat kilat dan hilang begitu saja seperti ditelan hujan. Tono kecil cuma bisa melongo, tidak tau apa yang barusan terjadi. Ia mengucek-ucek matanya memastikan ini bukan mimpi. Entah apa itu tadi, satu hal yang pasti adalah dia punya bahan cerita heboh yang bisa diceritakan pada teman-temanya di sekolah besok pagi.

----------------------------------------------------------------------------------

Pagi cerah di dusun Losawah, matahari menyinari tanah dan dedaunan basah bekas hujan semalam. Masih sekitar pukul 7 pagi, setiap warga sibuk dengan aktifitas harianya.



"Sayure bu... sayur... sayur...", teriak Totok, tukang sayur andalan dusun Losawah yang setiap pagi giat mengitari kampung sambil mendorong gerobak sayurnya.

"Tok, ada kangkung ndak kowe?", seorang ibu-ibu bertubuh gempal langsung menghampiri dan mengubek-ubek isi gerobak Totok.

"Oh ya tentu ada tho, Bu Denok...".

Tak lama kemudian datang satu persatu ibu-ibu langganan sayur Totok. Gerobak Totok pun jadi rame seperti biasa.

"Seger-seger ndak?"

"Wah, masa iya Totok ndak bawa yang seger Bu, hehehe", cengir Totok dengan pedenya.

"Alah, gayamu kuwi...", cemooh Bu Denok sambil tetap memilah kangkung dan wortel.

"Kalo gosip yang seger ada ndak?", timpal Bu Mimin sembari memilih ikan asin.

Seketika ibu-ibu lainnya langsung berbinar matanya, ya karena memang ini yang ditunggu-tunggu, menu segar utama di pagi hari adalah gosip ibu-ibu. Dan sumber utamanya tentu saja Totok si tukang sayur, secara dia orang yang paling pagi mengitari kampung, berdagang sambil mendengar celotehan ibu-ibu. Alhasil dia tau segala obrolan fresh seputar kampung, ditambah mulutnya yang penuh bumbu gosip, jadilah ia infotainment berjalan.

"Ooo lhadalah ibu-ibu ini, beli sayur wae belum, udah minta gosip...", kata Totok.

"Wis tho, ada ndak? Kalo ada, tak beli dobel deh ini daging sapinya", jawab seorang ibu yang biasa dipanggil Yu Jum.

"Iya nih, Tok, kalo gosipmu yahud, kangkungmu tak beli banyak deh, ya ndak Jeng Yenni?", timpal Bu Denok sambil menyenggol bahu perempuan kurus di sampingnya.

"Eh, eh iya Bu Denok", jawab perempuan itu sedikit kaget karena sedari tadi sedang sibuk menghitung kacang panjang.

"Bener ya, ibu-ibu...", kata Totok memastikan, lalu sebelum ibu-ibu menjawab ia langsung melanjutkan "...Yaa, kalo gosip sih kayaknya masih lama semua, belum ada yang seger, cuman tadi pagi-pagi pas saya nyampe RT 4, ada rame-rame..."

Belum sempat Totok melanjutkan ceritanya, matanya teralihkan dengan kedatangan sosok wanita manis yang lewat disamping gerobaknya. Wanita dengan paras ayu itu bermata bulat, kulitnya putih bersih, rambutnya ikal hitam dan lebat digelung sewajarnya. Ia terlihat menenteng tas belanja di tangan kirinya, dengan kemeja kotak-kotak pudar dan celana jeans. Tiada kesan terbuka dari baju yang ia kenakan, namun entah bagaimana memancarkan aura seksi. Kemeja dan celana jeans itu terlihat penuh di bagian dada dan pantatnya.



Dengan sedikit menyunggingkan senyum manisnya, wanita itu menyapa dengan santun

"Monggo ibu-ibu semua...".

"Oh iya, monggo Sus, darimana kok pagi-pagi begini udah bawa tas gede?", tanya Bu Denok sembari menjawab salam.

"Oh dari pasar Bu, beli tirai buat jendela di rumah", jawab wanita molek itu,

"Monggo..."

"Monggo....", Jawab ibu-ibu semua hampir serempak.

Setelah wanita itu berjarak lumayan jauh Bu Mimin berceloteh,"Wah wah, Si Susi makin semok wae ya."
"Iya ya, jadi iri, coba badanku kayak gitu, pasti suamiku betah dirumah, hihihi", sambung Yu Jum.

"Ngomong-ngomong Susi itu kerjanya apa ya?"

"Wah kurang tau Jeng, denger-denger sih bisnis kain atau apa gitu."

"Ihhss, malah ngomongke Susi, gimana tadi ceritanya Totok kan belum selesai...", kata Bu Denok yang masih penasaran dengan cerita Totok tadi.

"Hoeh! Tok! Bangun! Malah ngalamun wae, nonton bokonge Susi kowe ya? hahaha", gertak Bu Denok mengagetkan Totok yang melongo sedari tadi.

"Eh, eh, ndak. Bukan Kok", kilah Totok.

"Ah, ngaku wae Tok, lihat juga ndak apa-apa, orang Susi juga udah ndak ada yang punya," goda Bu Denok.

"Hehehehe....", Totok cuma cengar-cengir.
"Oke lanjut ya ibu-ibu... Jadi tadi pagi di RT 4, tepatnya di rumah Haji Udin lagi ada geger, yaa bukan persoalan gede sih, cuman kan tau sendiri Haji Udin kayak gimana orangnya. Cuman kehilangan duit 200 rebu aja pagi-pagi udah teriak maling, pake acara nuduh-nuduh tetangga kiri-kananya lagi. Bahkan sampe pembantunya dimarahin abis-abisan, lhawong emang dasarnya kikir bin pelit tuh orang."

"Hah? Kehilangan?", tanya Bu Mimin sambil merogoh dompetnya hendak membayar ikan asin.

"Iya, kecurian duit 200 rebu. Buat orang kaya kayak dia duit segitu kan kecil yak", jawab Totok.

"Alah palingan juga cuma keselip".

"Ya lumayan gede tuh 200 rebu, bisa buat belanja berapa hari coba".

"Gede sih gede, cuman ya ndak perlu nuduh sembarangan to, sampe pembantunya dicaci abis-abisan", jelas Totok lagi.

"Kenapa to Bu Mimin, dari tadi kok kayak panik gitu?", tanya Bu Denok tiba-tiba karena dilihatnya Bu Mimin sibuk ngubek-ngubek dompetnya.

"Waduuh, perasaan saya ndak enak ini...", celoteh Totok.

"Jangan-jangan maksudmu Bu Mimin kecurian duit juga, Tok?", tanya Yu Jum.

"Bukaaan, takut Bu Mimin ngutang hehehehe....", jawab Totok cengengesan.

"Huuuuu...."

"Eh tapi kok duitku yang 50rebuan ilang ya?"

"Nahloh...".

"Hayo lho Bu Mimin...".

"Keselip kali, hihihi..."

"Waduuh, apa lupa aku narohnya ya?", gumam Bu Mimin makin panik, "Utang dulu ya Tok!", serunya masih tetap mengubek-ubek dompetnya.

"Lhadalah, bener tho... ujung-ujungnya utang", cibir Totok.

"Halaaah, sekali ini aja deeh...", rajuk Bu Mimin.

Totok yang pandai bersilat lidah menyahut "Ah Bu Mimin apa ndak malu sama ibu-ibu lain, wong ikan asin 12 rebu doank masa bayarnya di pending?"

Merasa gengsi Bu Mimin akhirnya mengalah untuk mengambil uang dirumahnya. Segera ia berlagak melupakan uangnya yang hilang entah kemana.

"Ya wis, tunggu sebentar, tak ambilke dirumah".
"Hehehehe...", Totokpun cengengesan.

Setelah Bu Mimin kembali untuk membayar, proses belanja diiringi candaan ibu-ibu berlalu seperti biasanya. Selaras dengan pagi itu yang juga berlalu dengan damai seperti biasanya. Ibu-ibu yang habis belanja sayurpun mulai kembali ke rumah masing-masing untuk menunaikan kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Memasak, mencuci, mengurus keperluan rumah dan sebagainya. Tak terkecuali Bu Denok, sesampainya dirumah ia segera menaruh kangkung belanjaanya di kulkas, kemudian masuk ke kamar bersiap untuk mandi pagi. Namun ketika ia membuka lemari untuk menyiapkan baju ganti, tas kecil merah marun yang biasa ia gunakan untuk menyimpan uang terjatuh dari rak lemari paling atas dan menumpahkan semua isinya. Uang, surat-surat perhiasan, dan beberapa kartu berserakan. Bu Denokpun memungutnya dan menumpulkanya. Namun dia merasa ada yang aneh dengan uang yang dikumpulkan.

"Perasaan duit 100ribuanku ada 14 lembar, kenapa sekarang cuma 13", gumam Bu Denok.

Beberapa kali Bu Denok mencoba menghitung dan memeriksa barangkali terselip diantara surat-surat dan nota, bahkan sampai melongok ke bawah lemari dan kolong tempat tidur. Namun hasilnya nihil. Tidak ingin kebingungan Bu Denok mencoba berfikir positif, mungkin suaminya yang mengambil untuk suatu keperluan. Maka tanpa ada curiga apa-apa Bu Denok melanjutkan aktifitasnya.

Sementara itu... Di rumah lain, tak jauh dari rumah Bu Denok...

"Buneeee.....!", teriak seorang pria tua kurus dari arah depan rumahnya.

"Ada apa tho, Pakneee...?", jawab seorang perempuan tua tergopoh-gopoh dari arah belakang rumahnya.

"Duitku kok ndak ada? Kowe tau ndak Bune?"

"Wah yo ndak tau to Pak, lhawong semalem kan Pakne cuman ngasih ini aja buat belanja", jawab perempuan itu sambil menunjukan sisa uang belanja sayur tadi pagi.

"Lha kok ndak ada yo?", tanya si suami kebingungan.

"Emang ilang berapa?"

"50 Bune".

"Oalah, Pakne Pakne, duit segitu goheman (sayang banget) kalo ilang".

"Jangan-jangan diambil si Jono buat nonton dangdut lagi..., Huh, makin gendeng itu anak", curiga pria itu nampak sedikit geram.

"Ya jangan langsung nuduh gitu to Pakne, nanti aja kalo Jono sudah pulang tak tanyain", isterinya mencoba menenangkan.

"Yo wis Bune, tak berangkat narik dulu, wis siang ini...."

"Ya Pakne, ati-ati".

----------------------------------------------------------------------------------

Pada pagi yang sama...
Di dusun yang sama...

Seorang wanita cantik memasuki halaman rumahnya, langkahnya tenang, kakinya mengayun sunyi bagaikan makhluk tak kasat mata. Berjalan pelan menuju pintu rumah yang sendirian ia tempati sejak suaminya meninggal 6 bulan lalu. Wanita itu segera masuk dan mengunci pintu rumah dari dalam. Satu hembusan nafas panjang ia keluarkan sambil memejamkan mata sekedar untuk melepas lelah.

Susi namanya...
wanita berusia genap 28tahun. Seorang janda tanpa anak yang ditinggal wafat suami. Susi memiliki paras ayu khas wanita jawa. Kulitnya bersih dan cerah yang mana diidam-idamkan oleh setiap wanita. Matanya bulat dengan warna kornea hitam berukuran sedikit lebih lebar, sangat kontras dengan bagian putih matanya. Garis matanya teduh dan dalam, sehingga menjadikan sorot matanya menggoda sekaligus menenangkan. Alisnya berbentuk garis lembut alami, tidak tipis tidak pula tebal. Hidungnya mancung diapit oleh pipi yang sedikit tembem, dagunya menggemaskan apalagi kalau sedang tersenyum. Senyum yang terbentuk dari bibirnya yang memiliki lekuk seksi, dengan bentuk bibir bawah sedikit lebih tebal daripada bibir atasnya. Dihiasi tahi lalat kecil yang samar di dekat ujung bibir bawah sebelah kiri. Wajahnya mulus tanpa cela bermahkotakan rambut ikal yang hitam pekat dan tebal, yang sangat ia sukai untuk digelung keatas, menyisakan beberapa helai rambut yang menjuntai turun melalui lehernya yang putih.

Tubuhnya cukup tinggi untuk wanita disekitarnya, ditopang tulang punggung dan pundak yang tegap. Payudaranya besar, ukuran besar yang mana kalau Susi memakai baju apapun tidak dapat disembunyikan ukurannya. Karena juga bentuknya yang membulat kencang, montok, dan sedikit berguncang ketika Susi bergerak atau berjalan. Faktor lain untuk payudaranya yang nampak membusung adalah perutnya yang rata, lekukan tubuh atasnya meramping pada bagian yang pas di pinggangnya, titik yang sejajar dengan posisi pusar Susi. Lekuk tubuh Susi terbentuk lagi mulai dari pinggang kebawah. Pantatnya membulat naik membuat celana jeans yang dipakainya selalu nampak ketat di bagian pinggul meskipun ukuran kakinya pas. Dan karena itu pula sepasang pantat bahenol Susi tak mau kalah berguncang setiap Susi bergerak. Di bagian depan hampir sama, hampir setiap celana apapun yang dipakai, gundukan memek Susi selalu nampak munuk-munuk. Selebihnya, Susi dilengkapi dengan tangan berjemari lentik dan sepasang kaki belalang yang berkulit tak kalah mulusnya dengan bagian tubuh Susi yang lain.

Tak ada makhluk yang sempurna, tapi tak akan ada seorangpun yang membantah kemolekan sosok Susi...

Susi masih terdiam mengamati interior rumahnya yang sudah mulai berubah. Banyak upgrade disana-sini untuk membuat rumahnya lebih indah. Lalu ia beranjak menaruh tas berisi tirai di meja dekat TV. Susi langsung berjalan ke sebuah ruangan. Ruangan itu tidak seterang ruangan lain dirumah Susi karena tanpa lampu. Ruangan itu juga tanpa jendela dan hanya disinari sebuah lilin temaram. Terdapat ranjang dengan sprei kebiruan dan berkelambu. Hampir sebagian besar corak ruangan itu berwarna biru gelap. Di pojok ruangan terdapat berbagai mainan dari kayu. Di seberang ranjang ada meja kecil berisi kendi, vas dengan bunga warna-warni, dan sebuah peti kayu berukir emas.



Susi langsung beranjak mendekati kotak kayu yang menyeramkan itu. Ia duduk bersimpuh, memejamkan mata, memangku kotak tersebut di pahanya sambil menggumamkan sesuatu. Telapak tanganya tepat berada diatas kotak tanpa menempel. Selang beberapa saat Susi mengernyitkan dahi masih tetap dengan mata terpejam, tanganya bergetar pelan...

Kemudian ia perlahan membuka kotak tersebut.
Dilihatnya tumpukan uang pecahan 100ribu dan 50ribu memenuhi kotak itu. Mata Susi berbinar. Di bibir ranumnya tersungging senyum mengerikan...

Puas akan apa yang dilihatnya, tangan Susi beralih ke arah pojok kotak kayu, disitu terdapat botol bening dengan penutup botol berupa sumbat kayu berukir batik terbungkus kain kafan putih. Diraihnya botol itu dan dikeluarkanya dari dalam kotak kayu. Kemudian ia kembali menutup kotak kayu dan menaruhnya kembali ke dalam lemari. Susi membawa botol itu keluar dan menuju ke kamarnya sendiri. Sampai di kamar tidurnya yang lebih terang itu ia mulai membuka pakaianya. Dicopotnya satu persatu kancing kemeja kotak-kotaknya, sehingga nampak bagian tubuh atas Susi yang memakai kemben camisole berwana abu-abu sebagai pengganti Bh yang pas di bagian pinggang namun ketat di bagian dada. Kemben itu hanya sanggup membungkus separuh daging buah dadanya yang montok. Kemudian menurunkan resleting celana jeansnya dan menanggalkanya melewati kaki mulusnya meskipun sempat macet di bagian pinggul karena pantat semoknya. Maka nampak celana dalam abu-abu senada dengan kemben yang membungkus gumpalan memeknya yang menyembul ketat. Setelah terbuka seluruhnya, Susi melepas gelungan rambutnya dan membiarkanya terurai. Lalu ia duduk di sofa dan mengambil lagi botol bening yang sempat ia taruh tadi.



"BONG!"

Setelah penutup botol berlapis kafan tersebut ditarik, muncul kepulan asap putih dari dalam botol mengalir keluar. Meskipun secara kasat mata itu adalah botol bening tanpa isi apa-apa. Asap yang mengepul mulai bergerak berkumpul membentuk sesosok makhluk. Makhluk itu kerdil, tingginya mungkin tak lebih dari 70cm, berkepala botak, berkulit pucat, berkaki tangan kurus, bergigi ompong dengan mulut keriput, matanya hitam kosong tanpa pancaran kehidupan, telinganya runcing. Sekilas mirip goblin namun hanya memakai cawat lusuh yang berwarna hampir sama dengan kulitnya. Mata Susi berbinar sekejap lalu mendadak sayu dan tersenyum menatap makhluk itu.



"Mama..."

Makhluk itu memanggil Susi sambil merangkak mendekati kaki mulus Susi.

"Mama..."

Air liurnya menetes dan tubuhnya mulai merayap memanjat kaki mulus Susi sampai kelututnya.

"Mimik... Mama..."

Kini makhluk itu menduduki paha Susi sambil tanganya mencoba meraih gumpalan dada Susi yang padat. Susi tersenyum, dielusnya kepala botak makhluk itu dengan penuh kasih sayang.

"Iya sayang..."

Susipun menarik tali camisole yang berada dipunggungnya. Setelah terlepas, membuncahlah sepasang payudara Susi yang putih bulat tanpa cela. Kulitnya bersih dan lembut dengan pori-pori kecil. Buntalan dadanya itu naik turun seiring nafas Susi yang tenang. Putingnya sebesar ujung kelingking, berwarna coklat kemerahan, warna yang langka untuk perempuan jawa, dilingkari areola cokelat gelap tepat berada di pucuk gundukan dada.

Tak ayal, makhluk kerdil itu seketika mangap hingga liurnya menetes di paha dan perut Susi, kemudian langsung mencaplok payudara kanan Susi.

"Aaaih...", rintih Susi kaget.

Makhluk tersebut terlihat menyedot dengan lahap, cakupan mulut ompongnya cukup lebar hinga areola payudara Susi tertutup seluruhnya. Payudara Susipun bereaksi mengeluarkan cairan putih yang merupakan nutrisi bayi. Dihisapnya kuat-kuat susu Susi yang muncrat dengan deras bagai bayi kehausan. Muka Susi merona merah, mulutnya menahan rintihan karena rasa geli yang ditimbulkan oleh kenyotan makhluk tadi.

"A' a... aiihh..., pelan-pelan sayang...", kata Susi dengan lembut pada makhluk yang sedang menyusu padanya itu.

Sambil tetap mengelusi kepala botak makhluk itu, Susi menahan rangsangan yang timbul di payudaranya. Gairah kewanitaanya langsung bangkit setiap payudara jumbonya terkena rangsangan. Memang buah dadanya itulah titik rangsang utama pada tubuh Susi. Namun ia tetap menahan diri, ia menyusui makhluk kesayanganya itu dengan penuh kasih sayang. Ia mengesampingkan kebutuhan biologisnya demi memuaskan dahaga makhluk kerdil kesayanganya itu. Baginya seks adalah hal mudah yang bisa dilakukan kapan saja. Karena yang ditutamakan adalah kewajibanya sebagai induk makhluk pencuri uang itu. Ya, makhluk gaib kerdil yang bekerja mencuri uang untuk kebutuhan majikanya. Makhluk yang sudah terikat lahiriyah dan batiniyah dengan Susi. Yang harus ia susui dan kasihsayangi sebagaimana ia menyayangi seorang anak, yang tak lain sebagai imbalan pesugihan yang ia mulai lakoni beberapa bulan terakhir. Makhluk yang orang-orang sebut sebagai...

TUYUL

Bagian 2



Mendung bergelayut di langit makam umum dusun Losawah siang itu. Tepat setelah jenasah dimakamkan dan doa-doa pengiring dilantunkan, rombongan warga dusun yang melayat kepergian almarhum kembali pulang. Namun sosok wanita cantik masih berdiri mematung memandang kuburan almarhum suaminya yang baru saja dikebumikan. Mata bulatnya sembab dan menimbulkan kantung mata akibat tangis kesedihan atas kepergian suami yang amat dicintainya. Sesak masih dalam dada. Ia memang ikhlas pada kehendak Tuhan ini, namun ia masih belum ingin beranjak pulang. Tubuhnya serasa masih ingin berdekatan dengan jasad suaminya yang telah tertidur selamanya.

"Sudah Sus, ikhlaskan saja...", kata seorang ibu-ibu yang mendekati Susi sambil memeluk bahunya.

Susi cuma mengangguk pelan namun masih tak bergeming. Sesaat lalu, ketika jenazah almarhum dikubur dan doa-doa mengiringi, Susi memang masih sesenggukan, namun ia sekarang nampak lebih tegar.

Bu Siti, seorang kerabat jauh Susi dari pihak suaminya merasa iba. Sore itu, seperti halnya pelayat yang lain, dengan busana serba hitam dan kacamata hitam Bu Siti tetap tinggal sebentar di pemakaman untuk sekedar menemani Susi. Secara penampilanya nampak angkuh dan parlente untuk ukuran warga dusun. Meski begitu Ia merasa simpati kepada Susi yang kini hidup sebatangkara.

"Ayo kita pulang, Sus... Wira sudah tenang di alam sana..., ndak perlu kowe meratapi takdir Tuhan ini terus-terusan...", kata Bu Siti dengan pelan sambil mengajak Susi beranjak pergi dari pemakaman.



Lagi-lagi Susi hanya mengangguk pelan namun kali ini menurut untuk mengikuti langkah Bu Siti pulang kerumahnya. Dengan langkah pelan kedua wanita itu berjalan beriringan menuju rumah Susi. Selama perjalanan ke arah rumah Susi, Bu Siti berusaha untuk menenangkan Susi dengan mengajaknya mengobrol.

"Wira itu memang sosok lelaki yang baik. Aku inget pas masih remaja dulu, dalam keluarga besar kami dia anak kecil yang sopan dan menurut pada orang tua. Yah.. meskipun kami jarang berjumpa langsung karena memang kami kerabat jauh. Tapi denger-denger dari keluarga, Wira tumbuh jadi lelaki yang bertanggung jawab. Lelaki baik seperti dia memang beruntung mendapatkan wanita cantik kayak kowe Sus", cerita Bu Siti dengan lembut dan berusaha menghibur hati Susi.

Sejujurnya Susi tidak terlalu terkejut dengan pujian yang diberikan Bu Siti pada suaminya, karena memang benar adanya bahwa almarhum suaminya itu adalah sosok suami yang sangat baik dan bertanggung jawab. Namun ia tetap menghargai niat baik Bu Siti.

"Terima kasih Bu...", jawab Susi lirih.

Selang tak berapa lama akhirnya mereka sampai di depan rumah Susi. Di depan rumahnya sudah mulai sepi pelayat, para tetangga dan peralatan pemakaman juga sudah dibereskan oleh warga sekitar. Kendaraan pelayatpun sudah mulai habis, tinggal satu mobil mercedes klasik mewah milik Bu Siti masih terparkir di depan pagar rumah Susi. Tidak banyak di dusun Losawah yang memiliki kendaraan mobil, apalagi mercy mewah, maka itu jadi suatu pemandangan langka di lingkungan Susi. Beberapa bocah kecil masih mengerubungi mobil Bu Siti namun Bu Siti tidak ambil pusing.



"Terima kasih Bu Siti, atas bela sungkawa dan simpatinya..., maaf saya ndak bisa membalas apa-apa...", ucap Susi.

"Owalah ndak apa-apa Sus..., ya wis kalo gitu aku pulang dulu...", jawab Bu Siti sambil tersenyum kemudian menghampiri Susi untuk memeluk dan mendaratkan ciuman di pipi kanan kiri Susi.

"Baek-baek ya Sus..., yang tegar..., yang sabar...", pesan Bu Siti sekali lagi.

Susi kembali terharu namun air matanya sudah terlanjur habis. Ia lalu melihat Bu Siti berbalik badan untuk pergi. Susipun tak ingin berlama-lama di depan rumah, ia segera berjalan kearah pintu depan rumahnya. Baru ketika Susi memegang gagang pintu.

"SUS!"

Ia menoleh dan mendapati Bu Siti belum pergi untuk menyerukan namanya. Kacamata hitamnya sudah dilepas dan menatap penuh arti ke arah Susi.

"Iya Bu... ada apa? Apa ada yang ketinggalan?"

"Hmm... ada sesuatu yang ingin kubicarakan", kata Bu Siti sambil mendekati tubuh Susi yang lebih tinggi darinya.

"Kalau begitu monggo masuk kedalem Bu...", jawab Susi mempersilahkan.

"Ndak usah, disini saja..., aku buru-buru juga soalnya ini..."

"....."

"Jadi gini, minggu lalu sebenernya Wira dateng kerumahku menemui suamiku dan aku. Dia cerita soal segala kesulitan yang rumah tangga kalian alami. Aku tau mayoritas soal ekonomi, juga soal dirinya yang ditipu rekan kerjanya sampe dia kena PHK. Trus dia bermaksud buat pinjem duit buat bayar utang-utang kalian, ya walopun dia keliatan rada sungkan. Aku maklum. Trus suamiku ngasih 10 juta dan..."

"Akan saya bayar secepetnya Bu, mohon pengertianya", potong Susi tiba-tiba.

"Eh lho lhadalah... bukan itu maksudku Sus. Kalo soal pinjeman itu sih ndak usah mbuk pikir..."

Susi jadi mengernyitkan dahi karena bingung.

"Hahaha, maaf maaf karena aku banyak basa-basi. Langsung aja ya, lagian udah mulai gerimis ini...
Aku mau nawarin padamu jalan buat memperbaiki keuanganmu. Ini jalan yang instan dan cepet tapi dengan resiko dan pengorbanan yang besar..."

Susi mulai curiga dan takut.

"Kowe ndak usah takut, ini bukan jual diri kok...", tambah Bu Siti seolah bisa membaca isi pikiran Susi.

Susi malah semakin takut dengan sikap Bu Siti itu, namun di sisi lain ia penasaran juga.

"Ya wis, kalo kowe tertarik, besok sore dateng wae kerumahku ya, langsung masuk aja ndak apa-apa, aku dirumah terus kok besok. Soal duit yang dipinjem Wira itu ndak usah mbuk pikir, aku dan suamiku ikhlas", kata Bu siti sambil berlari kecil menghindari gerimis dan meninggalkan Susi yang jadi bengong.

Lalu Bu Siti langsung masuk kedalam mercy mewahnya dan segera menghidupkan mesin mobilnya. Namun sebelum memacu mobilnya, sekali lagi... Bu Siti membuka jendela kemudinya. Kacamata hitamnya sudah mnempel lagi di matanya.

"Sesuatu yang kutawarin padamu ini emang berat di awal, tapi dengan itu kowe bisa keluar dari segala kesulitan yang mbuk alami. Bahkan seterusnya bisa mencukupi semua yang mbuh butuhke..."

Setelah itu, Bu Siti segera memacu mobilnya meninggalkan jalanan depan rumah Susi... Meninggalkan dusun Losawah... dan meninggalkan Susi dengan sejuta tanya...

Tak mau berlama-lama dalam kebingungan Susi segera membuka kunci pintu depan untuk masuk kerumah. Namun apa yang didapatinya di bawah pintu rumahnya ada tumpukan kertas dan amplop. Diambilnya, lalu ia mulai mengamatinya satu persatu sambil duduk di kursi kayu, satu-satunya kursi yang sekarang ia punyai karena perabotanya sudah habis ia gadaikan untuk mencicil hutang. Apa yang diharapkan Susi setelah kesedihan yang mendalam atas kepergian suaminya dan rasa lelah karena mengurusi pemakaman suaminya adalah istirahat. Akan tetapi rona kesedihan kembali menaungi wajahnya yang ayu ketika memperhatikan isi amplop dan kertas yang ia bawa.

"Surat tunggakan listrik..., tunggakan air dan telepon, tagihan pinjaman dari koperasi, dan... hemmmhh", Susi menghela napas dari suaranya yang serak.

"...Surat Pemberitahuan Eksekusi Penyitaan Aset Rumah dan Sertifikat Hak Milik tanah dari Bank XXX..."

Tak terasa air mata kembali menetes dari kelopak mata Susi yang bulat, mengalir membasahi pipi tembemnya yang mulus.

"Hiks... hiks... Ya Tuhan... lalu aku harus tinggal dimana..."

Seiring rintik hujan yang mulai turun seakan ikut menangisi nasib mengenaskan Susi, Susi menangis terisak sambil memeluk foto almarhum suaminya yang kini pergi meninggalkanya selamanya.



Hari itu... adalah hari paling memedihkan dalam perjalanan hidup Susi. Malamnya ia lalui dengan rasa putus asa. Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam dirinya. Segala hal seolah menekan dirinya dengan keras, membuatnya kehilangan harapan hidup. Sampai ia akhirnya berpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri, ia ingin segera menyusul belahan jiwanya yang terlebih dulu berpulang pada Yang Maha Kuasa.

"Apakah tak ada cara lain...", begitu batin Susi.

"Cara lain..."

"Cara lain...?"

"Cara... BU SITI!"

Tiba-tiba Susi terhenyak ketika ingat perkataan Bu Siti tadi sore.

"Tak ada salahnya kucoba menanyakan dulu... Ya, itu... Masih ada harapan disitu..."

Kembali mata bulatnya memancarkan secercah harapan kecil.

BAGIAN 3


Hari berikutnya, sekitar pukul 3 sore Susi menyambangi kediaman Bu Siti yang berada di kampung sebelah dusun Losawah. Tidak sulit bagi Susi setelah bertanya kemari karena suami Bu Siti merupakan orang terpandang di daerahnya. Setelah ia sampai ke sebuah rumah yang tergolong megah dan besar, ia berdiri di depan pagar rumah itu.

"Kulo Nuwuun", seru Susi berharap didengar oleh empunya rumah.

Susi teringat pesan Bu Siti tempo hari yang bilang bahwa tidak usah sungkan masuk kerumahnya. Lagian juga Pak Karto, suami Bu Siti yang seorang pengusaha meubel juga pasti sedang tidak ada di rumah jam segini. Maka Susi bergegas masuk ke halaman rumah Bu Siti, tak lupa menutup kembali pagar rumah itu. Namun baru dua langkah maju, susi mendengar suara wanita mengerang. Khawatir Bu Siti kenapa-napa Susi berlari kecil kearah teras, dan betapa terkejutnya ia, ketika yang didapati ternyata adalah suara...

"Aaah...oooh...oooghh... ouuuh.... nikmaat... sodoook Maan sodddokk!"

"Huoooohhh, aku mau ngecrot Buliiik, ...... OOOOGGGHHH OOOHH!"

"CROOOT CROOOT CROOOOT.........."

"Hiyaah Maaaan.... Bulik juga ngecrot lagiiiii.... OOOHH"

"CRUUUUTT CRUUURRSSH"



Susi berjingkat untuk mengintip melalui jendela disamping pintu. Tak percaya apa yang sedang dilihatnya, Susi melongo. Herman, keponakan Pak Karto sedang menyemprotkan pejunya ke tubuh Buliknya, yaitu Bu Siti. Kontolnya yang panjang terlihat jelas dari balik jendela tempat Susi mengintip. Diatas karpet ruang tamu, tubuh Herman yang telanjang bermandikan peluh dengan posisi tegak bertumpu pada lututnya, kepalanya mendongak, matanya terpejam merasakan nikmat sambil tanganya terus mengurut kontolnya, mengeluarkan sisa-sisa pejuh ke paha Bu Siti. sedangkan Bu Siti tepat dibawah Herman nampak terengah-engah, tubuhnya bergetar kecil, pasrah menerima semburan sperma keponakanya itu.

"Hah..hah..hah.. Hebat kamu Man, Bulik sampe ngecrot 3 x," puji Bu Siti dengan sisa nafas ngos-ngosanya.

"Hah..hah.. Bu Lik juga, nikmat sekali ngentotin Bulik..., Herman puas, Bulik," kata Herman sambil mengambilkan baju Bu Siti yang berserakan di karpet.

Susi masih tidak percaya dan mengucek-ucek matanya, namun hal itu memanglah nyata. Bu Siti habis disetubuhi oleh orang yang bukan suaminya! Ia sempat berpikir untuk beranjak pulang saja, namun saat mengingat keperluanya yang mendesak Susi jadi nekat.

"Persetan dengan yang kulihat barusan, Ndak mau tau sajalah, lagian bukan urusanku. Masalahku sendiri jauh lebih penting untuk dipikirkan," begitu batin Susi dalam hati.

Maka dengan berlagak tidak tau dan cuek, Susi pura-pura menuju pintu depan teras rumah Bu Siti, kemudian memencet bel.

"Ting Tong!"

"GLODAK..! GEDEBUK...! Sreet!",

Susi mendengar suara gaduh dari ruang tamu Bu Siti.

"Pastilah mereka kaget dan kabur tunggang langgang," batin Susi sambil menahan geli.

"Ting Tong!", sekali lagi Susi membunyikan bel.

Masih senyap.

Baru yang ketiga kali Susi hendak menekankan jarinya pada bel pintu lagi, pintu sudah keburu dibuka. Bu Siti membuka pintu dengan gelagat tenang yang dibuat-buat, daster rumahnya sudah terpasang ditubuhnya meskipun acak-acakan. Keringatnya masih bersimbah dan sanggulnya miring tidak rapi. Sangat berbeda dengan bu Siti yang nampak elegan kemarin. Lucu sekali pikir Susi. Dengan nafas yang masih belum teratur Bu Siti mencoba berbicara.

"Oh, kowe to Sus..., ayo ayo, mari masuk".

"Inggih Bu, nuwun sewu...", jawab Susi dengan sedikit membungkukan tubuhnya yang tinggi untuk masuk ke rumah Bu Siti.

"Monggo duduk lho...".

Susi cuma tersenyum sambil menghenyakan pantat bulatnya ke sofa Bu Siti. Sengaja ia memilih bagian sofa yang bukan zona persetubuhan tadi. Namun sesaat setelah duduk, ia merasakan lengket di telapak kaki kirinya. Ia langsung tahu benda apa itu, dan ia memastikanya dengan melirik kearah kakinya. Benar saja, sedikit lelehan sperma Herman menempel di kaki Susi yang putih bersih. Disekitarnya bercecer diatas karpet meskipun sebenarnya samar untuk dilihat. Tapi Susi memilih untuk cuek dan tidak mempedulikan itu.



"Tak ambilke minum dulu ya, mau minum apa kowe?", Bu Siti seperti biasa dengan ramah menawarkan.

"Eh, eh, ndak usah Bu...", tolak Susi segan, yah meskipun dia sempat berprasangka mungkin Bu Siti ingin kebelakang untuk menemui Herman, melaporkan keadaan terkendali, atau mungkin bilang bukan Pak Karto yang pulang, atau mungkin bilang kalau Herman sudah bisa pergi dengan aman.

"Saya cuma mau menanyakan tentang hal yang Bu Siti bilang kemaren lalu...", lanjut Susi tanpa banyak basa-basi.

"Oh itu tho... hmm, jadi kowe tertarik?".

"Yah, dengan keadaan saya yang kayak gini, barangkali itu yang bisa memberi solusi bagi saya Bu, saya sudah ndak tau musti ngapain lagi. Saya sudah putus asa. Hutang dan tunggakan saya dimana-mana dan saya ndak punya apa-apa lagi buat digadaikan. Saya juga ndak enak kalo numpang pinjem duit Bu Siti lagi".

"Tapi ini awalnya berat lho Sus...".

"Berat seperti apa Bu?".

"Yah selain mengesampingkan soal agama yang memang itu modal utamanya, tekadmu harus bulat, kowe harus berani, kowe harus siap segala resikonya. Ditambah lagi, kowe melakukan ini sendiri lho, beda denganku yang jadi begini karena suamiku. Semua prosesi akan mbuk jalani dan rasakan sendiri."

Susi menelan ludah, ia terkejut sekaligus bingung. Apa-apaan soal agama, resiko, berat, sendiri... Ia jadi ragu atas hal yang pada akhirnya nanti akan merubah hidupnya ini.

"Tapi...", lanjut Bu Siti.

"Tapi apa Bu?", sahut Susi seketika.

"Tapi imbalan yang akan mbuk dapatkan tidak akan ternilai harganya. Kowe ndak hanya bisa ngembaliin duit yang dipinjem suamimu. Kowe bisa membayar semua hutangmu di tempat lain. Kowe bisa memenuhi kebutuhan hidupmu yang carut marut itu. Membeli semua yang mbuk butuhkan, yang mbuk pengen. Kowe tak jamin idup bergelimang harta. Bahkan kalo mau, mungkin kowe bisa jadi rentenir malah".

"Ehem...", suara Herman yang tiba-tiba muncul dari arah dapur Bu Siti.

"Oh kamu Man, sudah mau pulang tho?", basa-basi Bu Siti seolah tidak pernah ada apa-apa.

"Nggih Bulik, mobilnya sudah Herman cuci, ini Herman mau langsung pulang saja", kata Herman yang juga berpura-pura.

"Sus, ini Herman ponakan suamiku dari kota, kesini tadi nganterin mobil yang dipinjemnya kemaren, sekalian tak suruh nyuci di halaman belakang", jelas Bu Siti pada Susi.

Susi yang terheran-heran karena dia pikir buat apa dijelasin padanya, nggak ada urusan juga. Lucu juga Bu siti ini sandiwaranya. Mungkin Si Herman ini sudah tidak tahan menunggu terlalu lama dan akhirnya keluar sendiri. Susi jadi merasa geli dan tersenyum kecil. Herman sendiri yang baru pertama kali melihat Susi langsung takjub. Dilihatnya wanita semolek ini, diperhatikan tubuh Susi yang lebih kencang dan montok daripada Bu Siti. Terutama payudaranya yang kelihatan membusung dan lekukan pantat Susi yang menekan busa di sofa. Herman menelan ludah, ditambah beruntungnya melihat senyum Susi yang menawan dari parasnya yang manis. Herman melongo dan hampir lupa berkedip.

"Hayo lho Man..., matamu jangan jelalatan!", sontak Bu Siti.

"Eh, ng... ndak Bulik...", kilah Herman.

"Halah... inget lho kowe itu mau menikah. Tak laporke Disty lho kalo kowe bandel!", ancam Bu Siti lagi.

"Hehehe... tapi kalo bandelnya sama Bulik boleh dong...", Herman malah cengengesan.

"HUS! Bocah gendeng, wis sono pulang...!", usir Bu Siti sambil melotot.

"Yah... uang sangunya mana Bulik?"

"Kowe iki lho, wis mau menikah kok kayak bocah cilik wae, ya wis nanti tak transfer", jawab Bu Siti sambil ngomel.

"Hehehe maturnuwun Bulik yang galak tapi cantik...", kata Herman sambil menuju pintu depan untuk pergi.

"Halah gombal!", ejek Bu Siti meskipun dalam hati ia senang dipuji oleh keponakan sekaligus pemuas nafsu birahinya itu.

Masih sempat Herman menyapa Susi.

"Monggo Mbak Sus... Susi... Hehe..."

"Monggo mas...", jawab Susi dengan senyum manisnya.

Selepas Herman pergi, Bu Siti kembali melanjutkan obrolan dengan Susi.

"Sampai mana tadi aku ngomong ya Sus?"

"A, anu Bu... langsung ke intinya saja, saya musti ngapain biar bisa ngatasin masalah keuangan saya?"

"Hahaha... iyo nduk cah ayu, aku paham, maaf karena berbelit belit. Tapi sebelum kukatakan dengan jelas dan gamblang, kowe harus berjanji merahasiakan yang mau kubilang ya..."

"Inggih"

"...................
Aku menyarankanmu untuk melakukan pesugihan seperti yang aku lakukan".

"DEG"

Susi tertegun. Ia tidak tahu harus merespon seperti apa. Mata bulatnya terbelalak.

"Pesugihan tuyul", tambah Bu Siti lagi.

Susi bergidik hingga bulu kuduknya meremang. Bukan cuma karena ucapan Bu Siti yang mengejutkan, tapi juga tatapan Bu Siti yang tiba-tiba berubah tajam. Memandang lurus ke mata Susi seperti mengintimidasi. Seakan Bu Siti berubah menjadi sosok lain, beda dengan pembawaanya yang biasanya ramah dan riang.

"Akan kubilang tanpa basa-basi karena maumu begitu nduk. Di kaki gunung kidul, suamiku punya kenalan seorang dukun sakti bernama Mbah Jenggot. Kesaktianya bukan abal-abal. Dia yang membantu suamiku dan aku melakukan perjanjian dengan bangsa goib untuk menjalankan pesugihan. Ndak perlu aku menceritakan atau mengiming-imingi hasil pesugihan kami. Kowe bisa lihat sendiri".

Memang benar, Pak Karto, suami Bu Siti adalah pengusaha meubel yang sukses dan termasuk terkenal di kabupaten ini. Bu Siti sendiri adalah figur ibu-ibu kaya yang tampak tak pernah punya masalah soal uang. Mobilnya berjejer empat, tidak ada yang murah. Rumahnya sendiri tergolong mewah untuk ukuran orang desa, dengan berbagai perabot antik dan bahan bangunan yang mahal. Susi tidak pernah melihat pengusaha meubel sekaya ini, bahkan orang kaya yang pernah ia temui juga tidak semewah Pak Karto dan Bu Siti.

"Maaf Bu, jadi Bu Siti punya emm... maaf... seekor, eh seorang... tuyul?"

"Iya. Aku dan suamiku memelihara satu tuyul yang kami rawat kayak anak sendiri. Memelihara jin jenis tuyul ndak susah kok Sus, apalagi kalau sudah biasa. Cuman kayak punya balita, ya dikasih kamar sendiri, mainan, sama nyusuin kalo si tuyul lagi laper".

"Eh...?"

Seakan tanpa beban dan cerewet, Bu Siti menceritakanya dengan enteng, yang mana bagi Susi itu hal yang sangat tidak lazim.

"Lho kok "eh"...? Lhaiya tho ya, kalo kowe punya tuyul ya harus mbuk susuin, alias minum susu dari susumu itu. Apalagi Susumu itu gede lho, lebih gede dari susuku ini kayaknya yo... waah", kata Bu Siti masih dengan entengnya malah meremas gundukan payudaranya sendiri.

"Tunggu sebentar..."

Bu Siti beranjak masuk ke kamarnya dan keluar lagi membawa sebotol minyak bening yang terbungkus kain putih. Namun anehnya botol itu tidak berisi apa-apa, nampak kosong dari luar. Susi yang tidak mengerti memilih diam saja dan menyimak apa yang hendak dilakukan Bu Siti. Botol itu ditaruhnya dikarpet dan kemudian Bu Siti duduk bersimpuh didepanya sambil memejamkan mata dan menggumamkan sesuatu yang tak dimengerti Susi. Telapak tangan Bu Siti menempel satu sama lain seperti gerakan hendak bersalaman. Tak lama Bu Siti membuka penutup botol itu dan seketika asap putih keluar dari dalam botol dan mengepul membentuk satu sosok makhluk cebol. Makhluk itu muncul dengan mata hitam yang terpejam, tubuhnya yang kurus dan kulitnya yang pucat nampak mengerikan bagi Susi yang pertama kali melihatnya. Bulu kuduk Susi merinding dan keringatnya keluar dari pori-pori kulitnya yang mulus. Ia tercekat seiring detak jantungnya yang menderu. Makhluk dari dunia lain yang selama ini ia tau cuma lewat cerita atau sandiwara televisi kini nyata ada di depanya. Perasaan takut, ngeri dan kaget bercampur aduk. Meski begitu Susi langsung tahu makhluk apa yang yang sedang berdiri didepanya.

"...Tu... Tuyul....", Kata Susi terbata.

Seketika makhluk itu membuka mata dan melihat Susi.

"AAAAKK NYUSUUU... NYUSUUUU!", tuyul itu langsung melompat menerjang tubuh Susi hingga ambruk di sofa.

"AAAAIIIIIHHH..... AAAAAWWWWHHH....", Susi yang tidak menyangka dan tak berdaya ditindih oleh tuyul kerdil yang kini malah mulai menjamah payudara besar Susi dari luar bajunya.

"KREEEK...", dengan kasarnya tangan kurus si tuyul merobek kerah leher Susi yang terbuka hingga dada sampai memperlihatkan sebagian payudara Susi yang putih mulus.

"AAAAUHHH... ADUUUH....."

"NYUSUUU.... NYUSUUU... NYUSS...HAMYH....", si tuyul berhasil mendaratkan bibir keriputnya di daging kenyal buah dada Susi. Air liurnya menetes bagai binatang kelaparan, tapi tanganya masih tak puas dan berusaha mengoyak BH Susi untuk mencari puting susunya. Lidahnya menari-nari menyapu kulit dada Susi yang empuk. Akan tetapi...

"BERHENTI!"

Si tuyul terdiam dan menoleh ke arah sumber suara itu.

"LANCANG KOWE! AKU INDUKMU! JANGAN GANGGU ORANG LAIN! CEPET KESINI!", Bu Siti nampak berdiri dengan murka yang membahana. Matanya melotot pada si Tuyul penuh ancaman. Dan satu gertakan itu berhasil, Si Tuyul nampak tertunduk dan merangkak turun meninggalkan tubuh Susi yang gemetaran. Sampai di kaki Bu Siti yang sedang berdiri, si tuyul berjongkok meringkuk memeluk kaki Bu Siti.

"Dasar tuyul! Idukmu kwi aku! Cuma aku yang berhak nyusui kowe! Jangan sekali-kali cari susu wanita lain!", omelan demi omelan dilancarkan Bu Siti pada tuyul peliharaanya itu. Bagaikan seekor hewan peliharaan yang dimarahi majikanya. Namun tak disangka, si tuyul malah menangis karena takut akan amarah Bu Siti.

"Hiks... hiks...",

Susi sendiri yang masih shock dengan tubuh gemetaran mencoba merapikan bajunya yang sobek. Tapi diluar itu ia tak mengira bahwa makhluk yang baru saja dengan ganasnya melumpuhkan dia, tiba-tiba bisa menangis seperti anak-anak. Bu Siti yang marah akhirnyapun iba juga, diangkatnya si tuyul dan digendongnya seperti menggendong seorang anak.

"Maaf ya Sus, sebenernya dia ndak begitu kok. Ini semua salahku karena hari ini dia belom tak susuin".

Susi tak tau harus berkata apa, dirinya masih merasa tidak lazim dengan segala keanehan yang tiba-tiba terjadi ini.

"Sebenernya aku cuma mau nunjukin kayak gimana wujudnya. Aneh memang karena dia bukan dari alam kita. Tapi dialah yang bikin aku dan suamiku sekaya ini sekarang. Dan bagiku imbalanya ndak berat kok, aku cuma perlu nyusuin tuyul yang semakin lama kuanggap kayak anak sendiri ini", sambil menjelaskan, Bu Siti menimang si tuyul yang kini menggelayutkan tanganya di leher Bu Siti. Kemudian tanpa disangka Bu Siti menurunkan tali daster kirinya dan mengeluarkan payudaranya yang lumayan padat berisi itu.



"Cup.. cup sayaang... maafin mamah... sini mimik dulu", sambil mengarahkan kepala botak si tuyul mendekat ke payudaranya, Bu Siti dengan telaten tampak sangat keibuan.

Susi masih melongo, ia tidak menyangka hari ini dia melihat banyak hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sambil dilihatnya si tuyul mulai mengenyot puting susu Bu Siti dengan lahap. Diperhatikanya kasih sayang yang diberikan Bu Siti pada Situyul membuat si tuyul jadi kalem dan tidak beringas seperti tadi. Perlahan-lahan Susi mulai bisa menerima keanehan ini dan bahkan ketakutanya beranjak hilang.

Ia mengamati si tuyul yang sangat bersemangat menyedot-nyedot air susu yang keluar dari puting Bu Siti. Semakin kuat sedotanya membuat wajah Bu Siti bersemu merah karena terangsang. Susi tahu itu karena payudaranyapun sangat sensitif jika terjamah, apalagi jika dikenyot dengan kuat seperti itu. Namun Susi berpikir bagaimana bu Siti mengatasi rangsangan yang bisa membangkitkan birahi wanita itu? Apakah setelah itu dia selalu melampiaskanya dengan bersetubuh dengan suaminya atau.... Ah bodoh sekali, itulah sebabnya Bu Siti berselingkuh dengan Herman, keponakanya. Itu karena Pak Karto tidak selalu berada di rumah. Semua ini jadi lebih masuk akal.

"Aaaakh.... aaah... pelan-pelan sayaang... hihihi", sambil cekikikan Bu SiIti nampak menikmati menyusui si tuyul. Tidak terlihat rasa kesakitan atau ketakutan, malahan bu Siti sangat menikmati menyusui tuyulnya. Pelan-pelan Susi mulai bisa mengerti dan mencoba untuk menenangkan dirinya sambil merapikan bajunya yang sobek. Sementara Bu Siti menimang dengan mengelus-elus kepala gundul si tuyul yang agak keriput. Menjijikan sebenarnya, tapi Bu Siti nampak sudah terbiasa dengan itu.

"Nah, kalau memang kowe berminat, akan kuberi alamatnya. Ndak perlu lewat aku atau suamiku, kowe harus datang sendiri dan buktiin sendiri. Aku juga ndak mengharuskanmu "harus mau", keputusan semua ada ditanganmu. Yang kuminta cuma jangan bilang ke siapapun semua yang kutunjukan ini. Kowe boleh saja ndak berminat dan pulang, aku menawarimu karena aku sangat iba sama keadaanmu. Tapi JANGAN SEKALI-KALI MENCERITAKAN PADA ORANG LAIN BAHWA AKU DAN SUAMIKU PUNYA PESUGIHAN ATAU KAU AKAN TERIMA AKIBATNYA!"

Dengan satu perkataan penutup yang gamblang, Susi merasa ancaman Bu Siti bukanlah sekedar kata-kata. Ia mengangguk saja.

Namun setelah itu ekspresi Bu Siti kembali mengendur, matanya berkedip pelan kemudian tersenyum.

"Bagus... ndak perlu buru-buru, pikirin saja dulu".

Untuk beberapa waktu hanya ada keheningan antara Susi dan Bu Siti. Bu Siti paham betul apa yang dirasakan susi dalam diamnya. Susi pasti sedang menimbang-nimbang, penuh keraguan, penuh ketidakyakinan. Dan untuk itu ia sengaja membiarkan Susi berdiam diri dan berpikir, sembari dirinya menimang si tuyul yang terus menyusu dengan lahap.

"Kowe ngerti dulu aku bukanlah siapa-siapa, cuman gadis ndeso biasa sampe suamiku meminangku. Memang dia keturunan orang kaya, namun kekayaanya sempet habis karena bangkrut setelah mengawiniku. Pihak keluarga suamiku bilang aku bawa sial karena habis kawin denganku bikin suamiku jatuh miskin. Untungnya suamiku ndak menggrubis itu dan tetep mencintaiku apa adanya. Kami hidup miskin selama hampir 8 tahun. Namun masalahnya, suamiku ingin membuktikan bahwa kami bisa bangkit menjadi orang kaya lagi pada keluarga yang mencemoohnya. Dan semua orang tau ndak ada cara instan, kecuali..."

"Pesugihan...", sahut Susi.

"Ya.... Sekarang kowe bisa liat sendiri tho, semua ini... Rumah, tanah, harta benda, aset, usaha, ndak perlulah kusebutin semuanya. Bahkan sekarang banyak yang dari pihak keluarga suamiku hidupnya tergantung sama kami berdua karena terus meminjam duit pada kami, Semua ini berkat dia... Cup", jelas Bu Siti sambil tanpa risih mencium kepala si tuyul yang masih menyusu.

Setelah mendengar penjelasan Bu Siti panjang lebar, ia berpikir sangat keras. Menimbang segala sesuatunya, berusaha mengira-ngira hal-hal apa yang akan terjadi padanya, apakah ia sanggup. Apakah ia bisa menjalaninya seperti Bu Siti. Susi nampak menghela napas panjang. Mengingat semalam lalu ia sempat berpikir untuk bunuh diri, nampaknya sekarang ia sudah memilih untuk pasrah dan ingin mencoba. Ia pikir sudah siap dengan segala resikonya. Namun ada satu hal yang jadi kendala Susi, yang akhirnya membuat ia berani mengutarakan isi pikiranya.

"Maaf Bu..., anu... saya kan belom pernah punya anak Bu jadi ndak bunya emm... ndak punya ASI".

"Ah kalo soal itu nanti urusanya Mbah Jenggot. Bisa diatur. Aku dulu juga ambil tuyul sejak sebelum hamil anak keduaku. Nyatanya bisa keluar susunya, hihihi... Kata Mbah Jenggot dulu itu gampang kalo punya susu gede kayak aku gini, 34D asli lho ini, hihihi...", dengan santai dan vulgarnya Bu Siti malah cengengesan sambil membanggakan payudara montoknya. Sedangkan Susi hanya tersenyum kecut.

"Kalo cuma itu masalahnya, ndak usah kawatir. Kuliat susumu kwi gede tenan kok... ckckck, sebagai sesama wanita aku tau. Pasti dulu Wira seneng banget ya punya istri yang susunya gede... hihihi. Jangankan Wira, tuyulku aja langsung nemplok padamu gitu kok... hihihi", ujar Bu Siti menggoda Susi.

Susi cuma tersipu malu.

"Nggih mpun Bu, saya minta alamatnya".

BAGIAN 4

Minggu siang menjelang sore, setelah naik bis dan berganti angkot, sampailah Susi di sebuah wilayah Gunung Kidul. Di pinggir jalan besar yang aspalnya rusak disana-sini, di salah satu pelosok wilayah dimana jarang ada bangunan di sepanjang jalan, hanya beberapa rumah yang jaraknya berjauhan satu sama lain, sisanya cuma sawah dan perbukitan sejauh mata memandang. Susi menenteng tas berisi keperluanya, sedikit uang terakhir yang ia punya, dan secarik kertas di genggamanya. Ia berdiri di depan sebuah gang diantara persawahan. Gang tersebut adalah jalan setapak ke arah kaki gunung. Sebuah palang kayu yang sudah lapuk dengan tulisan yang mulai memudar ia baca.

"Wila...yah...dus...un...wati...ngi--...", ejanya dengan ujung kata yang sudah hilang dari gapuknya papan itu.

Ya benar itu alamat yang ditunjukkan oleh kertas yang ditulis oleh Bu Siti. Dusun Watingin, sebuah dusun pelosok dikaki gunung kidul dengan wilayah yang mayoritas lahannya adalah persawahan, hutan, bukit, dan sisanya adalah kampung dusun itu sendiri. Namun peta yang dituliskan oleh Bu Siti tidaklah melewati gapura utama masuk Dusun Watingin. Susi harus melalui salah satu jalan alternatif setapak yang menuju ke arah perbukitan. Karena tujuan Susi adalah kediaman Mbah Jenggot, seorang dukun sakti yang mampu membantu perjanjian dua alam berupa pesugihan, yang berada di lereng gunung kidul.



Untungnya tak jauh dari tempat Susi berdiri ada pangkalan ojek, bukan pos ojek yang sering ia lihat di tv tapi cuma gubuk berisi tiga orang pengojek.

"OJEK MBAAK?!", tawar seorang pengojek berkumis yang berseru dari kejauhan.

"Wueelhadalah... Ayu tenan bro!", celoteh seorang pengojek lain yang bertubuh bantet.

"Mana? Mana to?", seorang temannya lagi yang botak gelagapan bangun dari tidurnya, "Uediaaan! Montok meen!", sambil mengucek matanya dan memainkan selipan rumput di mulutnya.

"Huu! Matamu kuwi ngacengan!", seloroh si bantet sambil menoyor jidat si Botak.

"Yo matamu kuwi yang picek! Cewek bahenol gitu apa kowe ndak liat?!", Si Botak kini membalas mencengkeram kepala si Bantet dan membelalakan matanya untuk melihat sosok Susi di kejauhan. "Tuh liat, ndak cuma ayu tapi susune guede! Bodyne jugak gede duwur...! Apalagi itunyaa lho... wuiiih semok meen!", ucap si botak sambil menatap tubuh Susi seolah tanpa berkedip.

"Widiiih, yoi Bro! Ckckck, ayu tenaan... itu bener manusia apa bidadari yo? atau jangan-jangan bangsa lelembut?!"

"Lelembut kontolmu bisulan! Mana ada setan siang siang panas gini! Tapi kalopun dia setan, aku mau ngawini, khahahaha".

"Ah persetan kowe kowe pada! Yang penting sekarang giliranku narik, Mangkaaaat..... "KRRRUUUUNGGG"...", tak mempedulikan dua temanya yang masih takjub, si pengojek berkumis langsung ngegas motor dua tak-nya mendekati Susi.

"Wooo dasar bandot!", seru kedua temannya berbarengan.

"Mau kemana mbak ayu? hehehe", setelah sampai di dekat Susi, sambil cengengesan si Kumis menawarkan tumpangan. Si pengojek kumis ini nampaknya sudah cukup berumur, namun gairah lelakinya tetap bergejolak begitu melihat sosok Susi. Susi yang kala itu mengenakan tank top putih ketat yang diselimutinya dengan cardigan putih semi transparan bercorak batik karena hari itu lumayan panas, memang tampak menggoda. Ditambah celana jeans yang membungkus ketat paha dan bokong montoknya sangat terlihat seksi. Namun sejatinya yang membuatnya tampil menarik perhatian bukanlah bajunya, melainkan tubuhnya yang aduhai. Melihat gelagat si pengojek yang melihati tubuhnya dari atas sampai bawah, Susi jadi rada takut.



"Tenang mbak ayu, saya cuma tukang ojek, bukan kucing garong, hehehe...", jelas si kumis sambil mengelusi kumisnya yang tidak tercukur rapi.

"Mm... saya....", belum sempat Susi selesai bicara, tiba-tiba dua motor lain ikut mendekati Susi.

"Wis mbak, sama saya saja... jangan sama dia, si bandot tua ini motornya udah tua, bentar lagi mau ditaroh musium, Mbak", Seru si pengojek botak yang mematikan mesin motornya kemudian menyilangkan tanganya bertumpu pada kepala motornya.



"Bandot gundulmu! Ini kan giliranku narik, ngapain kalian berdua kemari? Huss huss sono pergi ah!", Si kumis mengusir temannya.

"Yah Yon, kowe kan wis punya istri, anakmu juga sudah gede, ndak baek kalo kowe diliat boncengin wanita lain...", tambah si pengojek bantet yang turun dari motornya.

"Ini lagi bantet, malah ikut-ikut... yo namanya kerjaan, ndak ada urusan sama anak istri. Bilang aja kalian berdua ini kesengsem sama mbak e yang ayu ini... heleh, ya to?", sergah si kumis sambil mencibir dua temannya.

"Huehehehe....", keduanya ketawa bebarengan.

Seperti halnya si kumis, kedua temanya begitu melihat sosok Susi dari dekat langsung menelan ludah. Apalagi pada belahan dada Susi yang nampak mengintip akibat digencet tanktopnya. Terutama si bantet yang berdiri di dekat Susi, tingginya yang hanya sampai sebahu Susi membuat matanya sejajar dengan lengan dan area di bawah ketiak Susi yang nampak menerawang. Diamatinya pori-pori kulit Susi yang bersih dan kulitnya yang mulus. Sungguh pemandangan yang sanggup membuat tiga pengojek kampung itu menelan ludah.

"Nama saya Yono mbak, hehe...", si kumis menjulurkan tanganya untuk bersalaman.

"Ndak nanya!", sahut si bantet sambil menampik tangan si kumis dan menyerobot tangan Susi lebih dulu, "Anu... hehe Saya Gembul Mbak... Tapi kalo mbak mau manggil saya Embul juga ndak papa biar kliatan imut, hehehe..."



"Kalo saya Boy mbak!", seru si botak yang masih nangkring diatas motornya, nampaknya agak sedikit malas untuk turun dari motornya. Namun dengan genitnya mengedipkan satu matanya.

Susi yang melihatnya jadi merasa lucu geli dan tersenyum kecil. Mungkin si botak ini pikir dia semacam Don Juan, karena yah... dibanding dua motor temanya, motor si botak memang membuat pengendaranya terlihat macho di jamannya. Sebuah motor dua tak berkopling dengan tangki di depan yang berisik kalau lewat. Mungkin karena itu juga dia menamai dirinya Boy seperti tokoh sinetron yang lagi digandrungi orang-orang itu. Entah siapa nama aslinya Susi tak peduli, tapi melihat tingkah polah ketiga pengojek kampung yang saling menghina, berlomba menarik perhatian Susi seperti dagelan, membuatnya tersenyum-senyum.

"Hihihi, saya Susi mas..."

"Hah? Apa? Sus... Susu?" si Botak berlagak tidak mendengar dengan meletakan telapak tanganya di telinga sambil sedikit mencondongkan badan.

"ES U ES I, SU-SI. SUSI maas...", kata Susi mempertegas.

"Hehehe kirain Susu...", kata si botak yang kembali memainkan selipan rumput dimulutnya.

Sedangkan Gembul yang masih belum mau melepaskan jabatan tangan Susi yang lembut, sengaja menggoyang-goyangkan tanganya keatas kebawah dengan sedikit kencang hingga membuat lengan Susi ikut memantul. Dan bukan hanya itu, saking kencangnya sampai tubuh Susi ikut bergetar dan membuat payudara jumbonya ikut sedikit berguncang. Tak ayal pemandangan nan indah itu jadi santapan mata-mata liar para pengojek.

"Salam kenal mbak Susi, hehehe....", ucap Gembul dengan mata yang menatap nanar ke arah bulatan daging yang mentul-mentul di depanya.

"HOEH! Kalo kenalan yang diliat wajahe, bukan susune!", gertak Si kumis Yono sambil menyingkirkan tangan Gembul. Seketika langsung meraih pergelangan tangan Susi dan menariknya untuk menaiki motornya.

"Wis Mbak Susi, ndak usah diladeni dua curut cabul itu! Sekarang giliran saya yang narik, ayo naik!", ajak Yono dengan membimbing Susi. Sementara Susi sendiri asal menurut saja karena bingung.

"Emang mau kemana to Mbak tujuane?", tanya Si Bantet berusaha agar Susi tinggal lebih lama.

"Iya betul mo kemana? Lhawong tujuane saja belom dikasih tau kok kowe ngebet pengen mboncengke to, Yonoo Yono...", si Boy menimpali.

"A... anu mas... Rumahe Mbah Jenggot", jawab Susi sambil menghenyakan pantat bahenolnya ke jok belakang motor Yono.

"Hah?!", seketika Gembul dan Boy saling pandang dan diam membisu. Sedangkan Yono, nampak tak peduli dan mulai menstater motor dua taknya.

"KRRUNG.. KRRUNG... KRUNGRUNGRUNGRUNG....".

"Ah, kemana saja pokoke tak anter Mbakyu, tenang saja...", kata Yono seiring deru mesin motornya yang sudah memberisik.

"Nggih mas", jawab Susi yang sudah siap berangkat.

Setelah itu, Yono dan Susi meninggalkan Gembul dan Boy yang terdiam pasrah ditinggal oleh pemandangan cantik hari itu.

"Ckckck... Muontok bener yo Boy, mbak Susi.", ucap Gembul sambil geleng-geleng melihat Motor Yono yang semakin jauh.

"Iyo yo... beruntung tenan si Yono, dapet penumpang kaya gitu modele...", tambah Boy dengan menatap ke arah yang sama.

"Kowe liat ndak tadi pas aku salaman, Wuih... susune... gede boy, putih mulus, lhawong tangane saja mulus lho!"

"Weleh-weleh... andai itu jatahku pasti aku curi-curi kesempatan pas mboncengin, hehehe..."

"Wuu dasar! Tapi yo kowe ndak salah kalo mikir gitu, lhawong emang Mbak Susinya bikin ngaceng kok, hehe"

"Kira-kira masih prawan atau bersuami yo Mbul? atau malah Janda?"

"Ndak taulah Boy. Kalo model gitu sih aku rela sekalipun jadi suami simpenan, hahahaha"

"Yonoo Yono... mimpi apa kowe semalem dapet bidadari...", gumam Boy.

"Alah... beruntungnya Yono juga ndak bakal lama Boy, lhawong tujuane rumahnya Mbah Jenggot. Kalo Si Yono macem-macem, biar tau rasa dikerjain Dukun Gendeng itu... hahaha".

Gelak tawa mengiringi kedua pengojek kampung itu untuk kembali ke pos ojek mereka.

--------------------------------------------------------------------



Sementara itu, disepanjang jalan setapak yang masih tanah dan tidak rata, motor butut Yono masih melaju. Motor Si pengojek kampung yang ditumpangi sosok wanita ayu itu menderu melewati sawah demi sawah, ladang demi ladang untuk menuju ke arah kaki bukit gunung kidul. Disepanjang jalan tak ada satupun rumah ditemui, hanya sawah, ladang dan padang rumput atau tanah kosong yang luas. Orang pun hanya satu dua petani yang dilewati dan itupun saat masih didekat jalanan besar tadi. Setelah beberapa kilometer, Yono dan Susi mulai memasuki kawasan hutan. Di sepanjang perjalanan seringkali Yono merasakan henyakan payudara Susi yang menekan punggungnya. Keempukan payudara Susi yang terbungkus BH dan singletnya sangat terasa. Hal itu membuat pikiran Yono melayang kemana-mana, tidak fokus, benar-benar dirasakanya begitu kenyal, sehingga sempat membuatnya berpikir jikalau masih memakai BH saja sebegini kenyalnya apalagi saat bersentuh dagingnya secara langsung. Yono semakin lama malah semakin sengaja sering mengerem mendadak atau sengaja memilih jalur yang bergelombang. Ia tidak peduli dengan ban motornya yang sudah tipis, atau mesin motornya yang sudah tua. Ia menikmati kesempatan dalam kesempitan itu.

Sedangkan Susi yang memang menyadari itu sebenarnya sudah mencoba untuk memundurkan posisi duduknya, akan tatapi apalah daya karena memang ukuran dadanya yang membusung tegak ke depan, membuatnya harus selalu bersentuhan dengan punggung Yono. Dan karena guncangan dan rem yang terus terjadi, gesekan demi gesekan membuat payudara Susi yang sensitif jadi terangsang. Wajah Susi yang putih dan ayu bersemu merah karena itu. Yono yang melihatnya dari spion menyadarinya dan terpesona dengan kecantikan Susi sedang tersipu. Maka dengan gelagat yang dibuat-buat dan sedikit nekat, Yono menyuruh Susi untuk berpegangan.

"Pegangan Mbak".

Susi pun menurut karena memang jalanan bergelombang membuat tubuhnya berguncang dan kalo tidak berpegangan pada sesuatu bisa membuatnya jatuh. Namun modus yang dilakukan Yono sia-sia, Susi memilih berpegangan pada begel motor yang melingkar di bagian belakang Jok.

"Kampret tenan!", begitu umpat Yono dalam hati.

Akan tetapi nafsu yang perlahan semakin besar membuat Yono semakin sengaja memilih bagian jalanan yang lebih ekstrim. Alhasil guncangan pada motor tua itu semakin kuat dan membuat tubuh keduanya sedikit terpental-pental.

"GLODAK GLODAK GLODAK GLODAK..."

"Pegangan saya saja mbak, kalo ndak nanti mbaknya jatoh lho!"

Dengan terpaksa akhirnya Susi mengalihkan tanganya ke pinggang kiri dan kanan Yono. Pucuk dicinta ulampun tiba, akhirnya tubuh sintal Susi kembali mepet ke tubuh Yono. Dicengkeramnya erat pegangan pada pinggang Yono. Yono sendiri keasikan menikmati kekenyalan gundukan payudara Susi yang maju mundur naik turun menekan-nekan punggungnya. Ingin sekali ia balik badan dan menjamah buah dada nan empuk itu. Kontolnya yang sejak awal bertemu Susi sudah ngaceng sekarang semakin berontak di dalam celananya. Kontol itu berenyut-denyut dan membuat celana jeans butut Yono menggembung. Beruntung bagi Yono, sial bagi Susi karena seringkali akibat guncangan motor, tangan Susi terlepas dan sesekali menyentuh gembungan celana itu. Yono yang merasakan gesekan tangan Susi itu jadi merinding tubuhnya karena terangsang. Beda dengan Susi yang malu-malu dan berusaha untuk tidak tersentuh bagian itu. Tapi tetap saja gundukan dadanya yang menempel erat di punggung Yono membuatnya sensitif. Mukanya semakin bersemu merah di kulitnya yang putih.



Ada sudah sekitar 4 km perjalanan sampailah mereka pada bagian hutan yang sepi. Seakan tiada makhluk hidup disekitarnya. Begitu sunyi hanya rimbunya pepohonan yang ada. Di salah satu sudut hutan itu terlihat sebuah gubuk reyot dari kayu. Gubuk itu kecil dan nampak sangat rapuh dangan atap anyaman daun kelapa. Entah kenapa saat itu bulu kuduk Susi merinding, ada perasaan takut dan detak jantungnya berdentum dengan cepat. Namun ia kembali teringat akan tekadnya untuk merubah nasib dan berani menanggung resiko apapun. Kembali ia memantapkan hatinya sendiri, ia harus melakukanya, hanya dirinya sendirilah yang dapat menolongnya.



Ketika sampai di depan gubuk yang berhalaman lumayan luas itu Yono menghentikan motornya dan menyuruh Susi turun.

"Berapa nggih mas?"

"200 ribu mbak".

"HAH?!", Susi terkaget bukan main,"Mosok mahal banget to mas?"

"Ya mahal mbak, jauh lho ini, masuk kedalem hutan. Tau ndak mbak, hutan ini angker, ndak semua orang mau masuk kesini. Emang mbak mau digondol wewe? Hiii...", kata Yono menakut-nakuti.

Susi memang merasakan hawa yang tidak biasa sejak memasuki kawasan hutan tadi. Namun tetap saja harga 200 ribu terlalu mahal untuk ojek dengan motor butut dan pengojek yang tidak bisa memilih jalan halus.

"Walah... apa ndak bisa kurang mas? duit saya ndak cukup".

"Bisa sih mbak, hehehe... asal saya boleh itu... hehehe...", kata Yono sambil mengelusi selangkanganya.

"Bisa apa mas?", tanya Susi mulai curiga.



"Bisa hehe... bisa ngeremes Susu mbak Susi yang gede... hehe".

"Lho lho lho....".

"Wis to mbak, barang megang dikit saja sambil mencet... hehehe, soalnya sejak ketemu tadi saya penasaran sama Susunya mbak Susi yang montok itu. Apalagi di jalanan tadi nempel terus, rasanya empuk dan anget mbak, hehehe..."

Sepertinya Yono sudah dikuasai nafsu setan sepenuhnya, sorot matanya tidak bisa lepas dari payudara besar Susi. Perlahan ia mendekati Susi dan menelan ludahnya.

"Glek..."

Susi mundur satu langkah dan bersiap untuk lari, namun tiba-tiba...

"KHEKHEKHEKHE KHEKHEKHEKHE KHEKHEKEHKHE.........", tawa nyaring tiba-tiba terdengar, suara tawa orang tua yang entah darimana muncul tidak jauh dari tempat Yono dan Susi.

"WELEH WELEH... Sopo iki kok susune guede?! KHEKHEKHE",

Sosok kakek tua berjenggot putih dan berkepala botak dengan sisa-sisa rambut yang dapat dihitung dengan jari, berdiri di halaman gubuk. Tubuhnya tergolong kecil untuk laki-laki dan sedikit bungkuk. Mungkin hanya sekitar 150 cm. Wajahnya keriput khas orang tua dan sorot matanya terkesan nakal. Giginya banyak yang ompong dan mulutnya keriput menyeringai mengerikan, menjijikan, namun juga terlihat lucu. Mengenakan baju hitam tanpa kancing yang memperlihatkan dada dan perutnya yang kurus. Juga celana kolor hitam cingkrang yang hanya sampai di bawah lutut. Tanpa mengenakan sendal atau alas kaki apapun. Ia berjalan mendekati Yono dan Susi.

"Welehweleh... susumu nduk cah ayu... gede tenan!"

Tiba-tiba tanpa dinyana Yono dan Susi, si kakek tua secepat kilat sudah berada dihadapan Susi, meletakan jari-jari kurusnya di sepasang payudara Susi dan meremasnya.

"Nyet nyet nyet..."

"AAAIIIIHHH.......", Susi yang tak menyangka langsung merintih.

"Khekhekhe.... Uediaaan! Iki susu langka! Edan edan... khekheke", tawa si kakek tua dan remasanya membuat Susi merintih-rintih.

"AIIIH AUWH AIIIH AAIH....."

Sebelum sempat Susi menghindar, si kakek sudah melepaskan remasanya dan berbalik badan menghadapi Yono. Susi ambruk bersimpuh dan hanya terngengah-engah memegangi dada montoknya.

"Hmm... namamu Yono kan?"

"Eh, i.. iya Mbah... kok sampean bisa tahu?", Kata Yono yang terkejut dengan kelakuan kakek itu.

"Khekhekhe, semua orang di kaki gunung kidul, aku tau... Khekhekhe... Tapi jangan bilang kowe ndak tau siapa aku!", jawab si kakek sambil terkekeh dengan sombongnya.

"Sampean... Mbah Jenggot...", jawab Yono.

"KHEKHEKHEKHE KHEKHEKHE KHEKHEKHEKHE.....", tawa si kakek kembali menggelegak.

Sebenarnya tawa itu sangat tidak nyaman di telinga, apalagi bagi Yono. Ia sangat tidak suka dengan kelakuan Mbah jenggot kepada Susi barusan, itu membuatnya iri. Yono yang berusaha keras mencuri kesempatan saja belum berhasil malah didahului kakek tengil itu. Bahkan Mbah Jenggot melakukanya dengan tanpa beban dan seenak udelnya. Mungkin benar itu yang membuatnya dijuluki dukun Gendeng oleh warga di kaki gunung kidul.

"Nih duit! Sono pergi! Mulih! Biar si susu gede ini aku yang urusin Wekhekhekhe...", sambil menyodorkan 5 lembar seratus ribuan, Mbah Jenggot mengusir Yono dengan kasar sambil terkekeh-kekeh seperti orang gila.

Meski hatinya masih sebal dengan tingkah tengil si Dukun Gendeng, Yono tak ingin berlama-lama berurusan denganya. Seketika disahutnya uang itu dan segera menstater motornya kemudian pergi meninggalkan Mbah Jenggot dan Susi. Di dalam hatinya Yono mengumpat habis-habisan, namun ia tak berani mengucapkanya karena ia tahu kesaktian dukun gendeng itu jika ia berani macam-macam. Kekecewaan Yono lebih kepada ia tidak bisa berlama-lama berdekatan dengan Susi. Walaupun begitu ia masih beruntung mendapatkan lima ratus ribu dikantong.

"Khekhekhekhe... berdiri nduk cah ayu... Apa kowe sadar si kampret tadi kontolnya sudah ndak tahan pengen ngentotin kowe? Khekhekhe", dengan gaya bicara yang sangat vulgar Mbah Jenggot menanyai Susi.

"Ng... anu... memang tadi dia bilang mau megang ini saya", jawab Susi jujur meski dirinya masih shock dengan perilaku Mbah Jenggot yang ngawur dan seenaknya tadi.

"Susu maksudmu nduk? Khekhekhekhe...", kekeh Mbah Jenggot.

Susi hanya mengangguk karena malu, dalam hatinya ia sangat tidak menyangka bahwa ternyata ini yang namanya Mbah Jenggot, yang katanya dukun sakti itu. Tingkah laku dan kata-katanya yang super cabul memang lebih mirip disebut dukun gendeng. Timbul keraguan dalam diri Susi, apa benar kakek tua ini yang direkomendasikan Bu Siti, apa benar dia yang bisa membantu membukakan jalan pesugihan yang diinginkan Susi.

"Karto yang mengirimu?", tiba-tiba Mbah jenggot menyebutkan nama suami Bu siti, "Khekhekhe... dia ngerti bener seleraku yang muontok-muontok...".

"Tidak salah lagi, kakek mesum ini memang Mbah Jenggot!", begitu batin Susi ,"A..anu Mbah, saya kesini atas rujukan dari Bu Siti, isterinya pak karto".

"Ooohhoho... Si Siti to... weleh-weleh, gimana kabarnya dia? Masih lancar ngindukin tuyulnya si Karto?"

"Ma.. masih Mbah... kayaknya", jawab Susi masih terbata antara tidak yakin dan sedikit takut.

"Khekhekhe, berarti aku salah. Aku pikir kowe gundik yang dikirim Karto buat tak entotin nduk... Khekhekhe, soalnya bodimu bahenol semok tenan, sampe bikin kontolku nyut-nyutan... Khekhekhe", jelas Mbah Jenggot dengan bahasa kotornya yang masih sangat tidak biasa di telinga Susi.

"Saya kemari juga pengen punya tuyul mbah", seakan persetan dengan perilaku mesum Mbah Jenggot, Susi acuh saja dan langsung mengutarakan niatnya. Mbah Jenggot yang mendengarnya agak kaget juga tapi kemudian tertawa terbahak-bahak.

"KHEKHEKHEKHEKHEKHEKEHEKHEKHEKKHE WUEKHEKHEKHE... wueleh weleh weleh... Nduk, cah ayu yang susunya gede..., apa kowe sadar apa yang barusan mbuk katakan?"

"Saya sadar dan paham sepenuhnya Mbah, dan saya siap menanggung segala resikonya!"

"Khekhekhe... baik nduk, kalau memang kowe kemari atas usulan Si Siti, pastilah dirimu sudah siap. Jika begitu, ayo masuk ke gubuk Mbah, akan Mbah jelasin semua ritual yang kowe perlukan".

Sambil memapah tubuh Susi yang jauh lebih tinggi, Mbah Jenggot menggiringnya menuju gubuk kediamanya. Namun memang dasar dukun mesum, ia tetap mencuri kesempatan dengan meremas-remas bokong Susi.

"Aiih... Mbah... aah..."

"Wis to, ayo masuk, hari sudah mulai sore. Ini hutan angker lho, kalo sudah mulai gelap suka banyak siluman, nanti bokongmu dicaplok, Khekhekhe..."

Susi hanya pasrah saja, demi keinginanya memperbaiki nasib. Ia rela tangan Mbah Jenggot meraba-raba paha dan pantatnya yang bulat sambil menggiringnya masuk. Sampai di dalam gubuk, apa yang nampak tidaklah seseram yang dibayangkan Susi, dimana akan ada bnayak ornamen berbau mistis dan barang-barang menyeramkan. Nyatanya gubuk Mbah Jenggot hanyalah gubuk biasa. Hanya satu ruangan berisi bale kayu, meja untuk kendi dan makanan, tikar untuk duduk, pawon untuk memasak, dan rak berisi berbagai botol entah cairan atau minyak. Ventilasipun hanya satu jendela anyaman bambu ditepi bale dan dua pintu gubuk di depan dan belakang.

"Duduk cah ayu..."

"Nggih Mbah..."

Susi bersimpuh di tikar karena hanya itu satu satunya tempat duduk yang ada dan Mbah Jenggot memosisikan dirinya duduk bersila di depan Susi. Karena dirasa tidak nyaman, cardigan transparanya ia lepaskan sehingga ia kini cuma memakai Tanktop dan celana jeans ketatnya. Seketika pandangan Mbah Jenggot langsung auto fokus ke gundukan payudara Susi yang membuntal didadanya. Tanktop putih itu nampak sangat ketat menggencet payudara Susi sehingga sebagian gumpalan dagingnya mecotot disana-sini.

"Ckckckck... montok tenan susumu nduk nduk, pengen tak owot-owot, Khekhekhe...", tanpa sadar Mbah Jenggot lagi-lagi bergerak maju seperti serigala lapar ingin menjamah buah dada Susi. Namun belum sempat ia sampai, Susi sudah merespon cepat,

"MBAH!
Eh... anu, saya musti ngapain biar punya tuyul?"

Cara Susi berhasil menahan Mbah Jenggot hingga kembali duduk tenang bersila.

"Khekhekhe, sabar Nduk... Kalau kowe bener-bener berniat buat melakukan pesugihan, syaratnya kowe harus mau tinggal disini buat sementara waktu.
Khekhekhe..."

"Berapa lama Mbah?"

"Ish, sabar to nduk! Kan sudah Mbah bilang sabar... kok ngeyel tenan to? Aku belum habis ngomong... Jan, ayu-ayu kok ora sabaran", suara Mbah Jenggot meninggi, agaknya sedikit emosi.

"Eh... Ng... Nggih Mbah", Susi jadi takut dan tertunduk.

"Khekhekhekhe... mukamu lucu kalo takut nduk...", malah Mbah Jenggot tertawa, ternyata ia cuma menakuti Susi.

"Huffh...", Susi menghela napas

"Paling ndak ya... 40 hari. Karena kowe pengen pesugihan tuyul. Nanti ada saatnya sendiri akan kujelasin kenapa harus 40 hari. Piye Nduk? Apa kowe sanggup?"

"Sanggup Mbah..."

"Khekhekhe..., sekarang, kalau kowe pengen melakukan perjanjian dengan bangsa ghoib, apapun itu bentuknya, langkah awal adalah membersihkan dirimu. Di salah satu sudut alas Gunung Kidul ndak jauh dari sini ada sendang bernama Toyowengi. Nah di sendang itu aku akan memandikanmu agar kowe mudah menerim aura ghoib nantinya"

Susi mendengarkan dengan seksama.

"Tapi ritual itu harus dilakuin pas malam hari, dan kowe ndak boleh pake apa-apa alias telanjang. Oleh karena itu buka bajumu dan ganti pake selendang batik ini..", Kata Mbah Jenggot sambil mengulurkan sebuah kain batik, "Lagian susumu itu keliatanya kok udah ndak sabar pengen meloncat keluar karena bajumu kekecilan, Khekhekhe...",

Susi tidak mempedulikan guyonan yang dibuat Mbah Jenggot, ia sudah mulai terbiasa dengan ucapan cabul si Dukun mesum itu.

"Ya Wis nduk tunggu sebentar, aku mau ngambil beberapa daun ramuan dihalaman luar"

"Nggih Mbah"

Selama Mbah Jenggot keluar, Susi segera melepaskan semua pakaianya termasuk BH dan celana dalamnya, kemudian melilitkan kain batik pada tubuhnya yang sintal. Akan tetapi Susi agak kesulitan dibagian mana ia akan membuat simpul ikatan kemben. Kain jarit itu terlalu kecil bagi ukuran tubuhnya yang ekstra, terutama dada dan pantatnya. Kalau dia menutup dadanya, maka paha mulusnya dan bongkahan bokongnya akan terlihat jelas. Begitupun sebaliknya. Akhirnya ia acuh saja dan membuat ikatan simpul tepat di belahan payudaranya. Berulang kali terlepas, Susi akhirnya memutuskan untuk memegangi simpul itu terus. Dan saat Mbah Jenggot kembali...



"Weleh-weleh... semok tenan kowe nduuk, kok ganti bajune sudah selese to? Mbah kan juga mau liat yang bulet-bulet, Khekhekhe...".

Susi cuma tersenyum kecut. Setelah itu Mbah Jenggot nampak menyiapkan segala sesuatu untuk ritual mandi di sendang toyowengi.

BAGIAN 5



Hari sudah mulai gelap di kaki bukit gunung kidul. Suasana hutan yang sunyi terasa amat menyeramkan, beda dengan dusun Losawah tempat tinggal Susi yang walaupun hanya dusun tapi masih lebih ramai. Ditengah kegelapan nan pekat dan cuma disinari rembulan yang mengintip disela dedaunan pohon-pohon tinggi yang menjulang perkasa, seorang kakek tua berjenggot putih sedang bersiap. Di tempat yang sama, seorang wanita cantik jelita tengah duduk dan menunggu, ia bersiap untuk diajak Mbah Jenggot melakukan langkah awal pengambilan pesugihanya.

"Ingat nduk, selama perjalanan ke Sendang Toyowengi, kita akan melewati alas gunung kidul yang angker, jikalau nanti di kiri-kananmu ghoib bermunculan kowe ndak usah takut, Mbah sudah membuat jalur khusus dimana ghoib tidak bisa masuk ke dalamnya."

"Nggih Mbah", jawab Susi menurut.

"Tapi, jalur aman itu tidak akan bertahan lama setelah Mbah lewati. Jadi kowe jangan jauh-jauh dari Mbah. Sebenernya Mbah bisa membuat jalur yang awet, namun Mbah kan harus menyimpan tenaga untuk ritual yang kamu lakukan."

"Nggih Mbah", jawab Susi lagi.



Nampaknya Susi sudah siap dengan segala sesuatu demi ritual ini. Termasuk menepis ketakutanya pada penampakan bangsa ghoib yang mungkin terjadi.

Dengan langkah pasti, Mbah Jenggot yang membawa kendi dan sebotol minyak mulai keluar dari gubuk kediamanya, berjalan sambil merapalkan mantra untuk membuat jalur yang aman dari gangguan ghoib. Diikuti Susi yang hanya mengenakan jarit kemben batik, satu tanganya dipakai untuk membawa nampan kecil berisi kembang 7 rupa, satunya lagi memegangi simpul ikatan kemben yang tepat berada di belahan dada montoknya. Hawa dingin langsung menyergap keduanya, terutama Susi yang pundak dan kakinya terbuka. Beda denagan Mbah Jenggot yang walaupun bajunya selalu terbuka, ia sudah terbiasa. Namun sekali lagi dengan modal nekat, Susi mantap untuk maju.

-----------------------------------------------

Sementara itu dari kejauhan kegelapan hutan, sesosok bayangan tinggi besar bertengger di pohon beringin. Matanya merah menyala, mengamati gerak-gerik tubuh indah Susi yang hanya terbalut kemben. Makhluk itu menyeringai, lidahnya menjulur meneteskan liur.



"Ini dia wadon yang akan jadi mangsaku....
Hmm... tapi lagi-lagi si jenggot itu penghalangnya...
Biarlah... akan kuculik wadon itu ketika si jenggot lengah..."

-----------------------------------------------

"Nduk, jangan jauh-jauh lho! Nanti Mbah sulit mengawasi kowe", kata Mbah Jenggot sambil tetap merapalkan mantra.

"I... inggih Mbah...", jawab Susi agak terbata karena sedikit kesulitan mengikuti langkah Mbah Jenggot yang cepat.

Mbah Jenggot dan Susi sudah masuk ke dalam hutan, tiba-tiba hawa menyesakkan datang dari segala arah, perasaan Susi menjadi tidak nyaman. Bulu kuduknya meremang. Di sebelah kiri Susi sekitar berjarak 2 meter, dibalik ilalang yang mungkin cuma setinggi lutut berdiri sosok tinggi berbalut kafan putih. Tangan, kaki dan kepala makhluk itu tersimpul, bagian tubuh yang terlihat cuma wajahnya yang menghitam. Susi tertegun, secara reflek ia berucap



"Po... poc...".

"NDUK! Jangan disebut!", sergah Mbah Jenggot sebelum Susi selesai bicara.

"Nggih Mbah".

Susi langsung berusaha mengalihkan pandanganya kedepan, ke punggung Mbah Jenggot yang berjalan dengan cepat. Ia menyadari mulai bermunculan makhluk-makhluk ghoib seperti yang Mbah Jenggot katakan tadi. Di kiri bawahnya ada sepasang makhluk kerdil bertaring berlarian mencoba meraih kaki Susi tapi terhalang sesuatu seperti barrier yang tidak nampak. Sedangkan di sisi kananya sedari tadi makhluk seperti kuntilanak melayang mengikuti Susi. Entah apa maksudnya Susi tak mau mencoba menoleh untuk melihatnya. Ia memantapkan hati dan fokus mengikuti Mbah Jenggot.



Semakin jauh mereka berjalan masuk ke dalam hutan, semakin banyak pula makhluk-makhluk ghoib yang terkenal di khasanah perhantuan tanah air yang mencoba mengganggu Mbah Jenggot maupun Susi atau sekedar menampakan diri. Bahkan sekarang Susi bisa melihat di depan Mbah Jenggot banyak pocong muncul dari balik pepohonan. Meski begitu Mbah Jenggot nampak tidak gentar dan terus maju. Dikarenakan tempo jalan yang cepat dan buru-buru membuat payudara besar Susi berguncang setiap kali ia menapakan langkah. Sehingga ia kadang harus membetulkan kembennya yang melorot. Beberapa kali ia terpecah konsentrasi antara jangan sampai tertinggal oleh Mbah Jenggot dan menjaga simpul kembennya agar tidak terlepas. Dan pada saat itulah...

"JDUK"

"Awwh..."

Susi tersandung akar pohon beringin sehingga tubuhnya sedikit terhuyung dan menumpahkan sebagian kembang 7 rupa dari nampan yang dikemitnya. Tapi itu bukan masalah besar setelah ia menyadari bahwa ia kehilangan jejak Mbah Jenggot. Buru-buru ia mencoba berlari kecil untuk mempersempit jarak namun sia-sia. Sejauh apapun ia memandang ke depan, yang ada hanya kegelapan. Susi mulai panik. Di saat itulah dari kejauhan nampak sesosok pria. Sesosok pria yang ia sangat kenal bahkan sangat ia cintai. Itu adalah Wira, suaminya yang telah tiada, berdiri nyata tidak jauh dari tempat Susi berdiri. Namun anehnya Wira tidak mengenakan sehelai pakaianpun, ia telanjang bulat. Wajahnya masih tetap tampan, tubuhnya bersih dan nampak bercahaya ditengah hutan gelap ini. Sesaat Susi tidak percaya, namun yang dilihatnya benar-benar raga suaminya, tubuh Wira yang memang tinggi tegap, sedikit lebih tinggi dari Susi. Wajah rupawanya dihiasi sedikit jenggot dan jambang seperti terakhir kali Susi melihatnya. Mata Wira menatap lurus kearah mata Susi. Kemudian Wira tersenyum.

"Mas... Mas Wira...?"

"Kemarilah Dek..."


Entah apa yang terjadi, Susi menurut untuk mendekati Wira tanpa ragu. Bagaikan terhipnotis Susi menerima uluran tangan Wira dan mendekatkan diri untuk didekap oleh suami tercintanya itu. Saat jarak mereka sudah sangat dekat, mata Wira yang tajam bagai elang memandang dalam-dalam ke arah mata Susi. Sedetik kemudian Wira mendaratkan ciuman ke bibir Susi yang lembab merekah. Dikecupnya pelan kulit bibir istrinya yang kenyal dan seksi itu. Susi sendiri merasakan getaran hebat saat bibir mereka bersentuhan, seperti tertarik oleh aura yang kuat dari suaminya. Iapun membalas untuk melumat bibir suaminya. Wira yang menyadari itu mulai memeluk tubuh sintal Susi dengan erat. Satu tangan ia gunakan untuk menahan kepala belakang Susi, sedangkan tangan satunya merangkul erat pinggang Susi yang tertutup kemben.

"Cyuuph... cupph cyuppuah...", suara ciuman mereka mengganas.

Wira dengan buasnya menyosor bibir Susi tanpa ampun, dinikmatinya sungguh-sungguh kelembutan bibir Susi yang menggemaskan. Juga dipeluknya erat-erat tubuh bahenol hingga sepasang payudara Susi yang tertutp kemben menggencet dada Wira yang bidang. Ditengah adu bibir itu Wira sempat melirik ke buah dada Susi yang menggembung akibat gencetan pelukan mereka. Daging kenyal itu terlihat lembut dan empuk. Maka satu tangan Wira meraba kearah simpul kemben Susi, kemudian ditariknya hingga terlepas.

"Maasss... oooh... Mas Wiraaaammmh...", sekali lagi Wira melemot bibir Susi.

Dibiarkanya kain batik kemben itu merosot dari tubuh Susi yang mulus dan jatuh ke tanah. Masih dalam keadaan berdiri ciuman, sejoli itu kini bertelanjang bulat. Serasi sekali tubuh Wira yang tinggi tegap dan tampan berdekapan mesra dengan istrinya, Susi yang bertubuh luar biasa seksi dan berwajah ayu. Pada saat itulah Susi merasakan ganjalan diperut bawah pusarnya. Dilihatnya sejenak kontol Wira yang besar berurat mulai berkedut dan menggesek kulit Susi. Mata Susi terbelalak dan wajahnya bersemu merah.

"Ayo dek, kita lanjutin di tempatku...", ajak Wira dengan suaranya yang berat.

Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Wira langsung meraih punggung dan kaki Susi. Direbahkanya tubuh istrinya yang seksi itu dalam dekapanya dan dibopongnya sambil berjalan. Ditengah lebatnya rimba gunung kidul, entah kenapa Susi merasa Wira sedang membopongnya sambil terbang. Melewati gemerisik pepohonan yang sunyi. Hingga mereka sampai di sebuah gua, direbahkanya tubuh montok Susi diatas tumpukan dedaunan yang terata rapi di dalam gua itu. Tubuh Susi yang aduhai nampak bersinar disorot temaram cahaya bulan yang menembus lubang bebatuan gua. Wira segera mendekati Susi, lalu ditatapnya lekat-lekat mata bulat istrinya itu.
"Aku rindu padamu dek..."

"Susi juga kangen sama Mas Wira, tapi mmfh...."

Tanpa membiarkan Susi meneruskan kalimatnya, Wira sudah mencium lagi bibir Susi. Ia memagut bagai kesetanan, mencumbu setiap jengkal wajah Susi yang ayu. Tubuh Wira menindih tubuh Susi yang montok. Susi merasa sedikit aneh dengan berat badan Wira yang sedikit lebih berat dari saat terakhir kali mereka berjumpa, namun Susi tidak mau memusingkan itu, didepanya kini hadir sosok suami yang sangat dicintainya lebih dari apapun di dunia ini. Karena dekapan erat Wira membuat dadanya yang bidang bergesekan dengan payudara Susi...

"Aiiih... oouuhh... mas... susu adek mas... aiiih"

Sedikit menaikan badannya, Wira melihat gundukan dada Susi yang kembang kempis seiring nafasnya yang memburu. Matanya terbelalak dan mulutnya menganga melihat buntalan dada putih bersemburat kehijauan tipis yang menghiasinya. Sempat Susi melihat air liur di dalam mulut Wira, seperti binatang yang kelaparan. Tiba-tiba...



"CYUUUPPPHH"

"AAAIIII...HHHH AAHHH AAIIHHHHH... AAAHHH... MAASSS WIRAAAHH...."

"NYUUPPPHH... HAAPHMMMMH...."

"Aiiih... awh, diapain susu adek maaash... ooouhh..."

"Montok bener susumu dek Susi... SYLLUURPPH..., Mas jadi ndak tahan pengen ngenyot, uwoohhmmmhhyuummhh..."



Dengan membabi buta Wira langsung menyerang payudara Susi tanpa henti. Dicaploknya setiap jengkal daging yang ia bisa raih dengan mulutnya. Kekenyalan daging itu sangat menggemaskan karena memantul kesana kemari. Satu payudara Susi dicucup habis-habisan oleh Wira, sedangkan payudara satunya diremas-remas dengan jari-jari Wira. Seolah tiada habisnya, Wira memencet-mencet buah dada empuk itu bagaikan meremas balon jelly. Sementara Susi kelojotan bukan main diperlakukan sekasar itu oleh suaminya. Rasa kangen digumuli oleh suami dan birahinya yang bangkit melebur menjadi satu. Kepala Susi menggeleng-geleng dan mulutnya menahan rintihan-rintihan geli. Bagaimana tidak ditahan kalau Wira tidak memberinya jeda untuk mendesah. Di bawah, kontol Wira terasa sangat tegang dan panas mneggesek-gesek paha Susi. Disaat kontol itu mulai menyentuh bibir memek Susi, Susi jadi merinding hingga membuat memeknya mulai lembab. Ia hanya bisa memegangi rambut ikal suaminya dengan kedua tangan dan malah menyodorkan payudara sintalnya semakin mepet ke wajah Wira.

"HUOOOH..... Empuk sekali dek susumu... ooohmmm nyuppphh"

"Aiih aiih aiiih, susu adek buat mas Wira seorang... ayoooh maaass cucup lagi susu adeek... ooouuh"

"HAAMHHHH.. NYOMM NYOMM NYOMMMHH....."

"Ooouhhhssshhh... iyaah bener gitu massshh... aaahhh.... sedot puting adek... sedot yang kenceng.... ooohhh"

"Nyummmppuahh... haah haah... putingmu sudah ngaceng dek... kenceng sekali!"

"Heeh mass... makanya kenyot lagiiihh... Susi rindu dikenyot mas Wira... aaiihh"

"Tentu dek.. akan kupuaskan kowe malam ini.... Nyuuuuu", Wira langsung memonyongkan bibirnya seperti duckface dan mengecup Puting payudara Susi yang mengeras.

"IIIIIIIIHHHSSSHHHHHH....", desis Susi sambil memejamkan mata menahan geli yang luar biasa.

Didetik berikutnya Wira mulai melakukan sedotan pada pucuk payudara Susi. Dan saat itu pula gelombang orgasme tak bisa ditahan oleh Susi.

"CRRRRUUUUSSSHHH.....", satu semburan kecil keluar dari lubang peranakan Susi tanpa Wira, bahkan Susi duga.

"Ooooh... adek ngecrit masshh... aaah... enak..."

"UWOOH... Mana?! Mana?! Mas mau ngerasain lendirmu dek!", seketika Wira langsung melepaskan caplokanya di payudara Susi. Ia langsung memosisikan kepalanya diantara paha Susi, tepat didepan belahan memeknya yang gundul dan bersih.

"Eh...?"

Disela-sela bibir memek yang masih berkedut itu mengalir turun cairan bening yang berbau khas. Tanpa pikir panjang Wira memajukan bibirnya dan menyeruput cairan itu.

"Eh? eh? Lho, lho mas? Mas Wira ngapain?", kaget Susi tidak menyangka Wira tiba-tiba melepaskan caplokanya di payudara Susi dan langsung menuju selangkangan Susi untuk meminum cairan orgasmenya.

"Sluuurppphh... aaahhh.. sluurpphh... ahh, segar dek...", dengan lahapnya Wira menyeruput, seperti menyeruput es teh di siang yang panas.

Susi jadi agak heran dengan perilaku Wira, tidak biasanya suaminya itu doyan meminum cairan kewanitaanya. Namun pada saat Susi hendak bertanya, Wira sudah kembali menindihnya.

"Mas sudah ndak tahan dek, kontol mas pengen bersarang di memekmu yang mulus...", ucap Wira dengan sorot mata elangnya menatap lurus ke bola mata Susi yang bulat.

Entah kenapa Susi jadi lupa dan mengangguk saja. Lalu wira membimbing kontolnya yang besar berurat menuju pintu masuk bbir vagina Susi. Bibir memek Susi yang sudah basah ditempel oleh kepala kontol Wira. Tepat lubang kencing kontol Wira menyentuh keempukan kulit memek Susi.



"Oooohhssshhhhh... anget maaashh....", rintih Susi disela-sela kepelan-pelanan kontol Wira menyeruak masuk.

Akan tetapi, sesaat sebelum kepala kontol Wira masuk ke lubang surga Susi, tiba-tiba...

"ENYAH KOWE GENDERUWO TAI...! JBUAGH....!"

Satu tendangan keras membuat tubuh Wira terpelanting jatuh dari batu tempatnya dan Susi bercumbu.

"Eh....?! Mbah Jenggot?! Apa yang....", kata-kata Susi terputus saat dilihatnya sosok suaminya tiba-tiba bangkit dari jatuhnya dan menggeram. Tapi... dilihat lagi dengan seksama, Wira mulai berubah.

"GRRRRRRRHHHHHH BAAJIINGAAN....!", geram sosok Wira yang kini mulai berubah. Tubuhnya perlahan membesar, mengeluarkan bulu-bulu lebat dari ujung kaki sampai ujung kepala. Bulu hitam yang menutupi seluruh permukaan kulitnya nampak awut-awutan. Kuku-kuku panjang mulai bermunculan di tangan dan kakinya yang juga membesar. Tubuhnya menjulang tinggi sampai lebih dari 2 meter hingga menyentuh atap gua. Sebagian wajahnya mulai berubah seperti binatang buas dengan mata lebar dan mulut yang besar. Meski sebagian lagi masih menyisakan sisa raut wajah Wira. Susi tercekat, ia seperti kehilangan suara saking terkejutnya. Matanya terbelalak begitu melihat wajah mengerikan makhluk besar itu. Wajahnya sungguh menyeramkan, matanya merah, hidungnya mendengus saat bernafas mengeluarkan uap dan lendir, begitu pula mulutnya yang selalu meneteskan liur lewat bibir hitamnya yang besar. Gigi makhluk itu bertaring panjang dan bergemeretak. Namun yang membuat Susi paling bergidik ngeri adalah batang kemaluan yang begitu besar sebesar kaki Susi, sangat hitam dan berbulu dengan kepala merah menyala.

Sekujur tubuh Susi serasa bergetar dan kemudian lemas. Susi ambruk begitu saja, namun matanya masih dapat melihat dan mencium bau busuk dari makhluk itu. Ia masih sempat melihat Mbah Jenggot yang melompat menerjang makhluk itu, sebelum akhirnya Susi kehilangan kesadaran.

BAGIAN 6


"BHUH... BHUH...BHUH...!"

"Ssshh... auuh... ada dimana aku..."

"GREEK GREEK BHUH...BHUH..."

"...mm... mbah...?"

"Khekhekhe... sudah bangun rupanya si susu gede, khekhekhe..."

"Saya... ada dimana ini?" sambil masih memegangi kepalanya Susi mencoba bangun. Didapatinya mbah Jenggot sedang duduk diatas batu besar, tidak jauh dari tempatnya berbaring, sedang memarut sesuatu. Kemudian ia melihat sekeliling.

"Khekhekhe... aku yang membawamu kemari"

Tempat yang sangat indah sekali, sebuah telaga yang terlihat terang karena disinari rembulan. Gemericik airnya berbunyi ditengah lebatnya alam gunung kidul. Air mengalir dengan lembut dan tenang diantara bebatuan. Anginya juga berhembus pelan dan tidak terasa dingin di wajah ayu Susi.



"Kowe tadi sempet mau dikontolin Si Uwo nduk... Khekhekhe..."

"Hah...?" Susi masih bingung, lalu mengingat lagi kejadian yang terakhir kali ia ingat. Tiba-tiba ia merasa takut dan spontan berteriak "HIIIIIII......"

"Khekhekhe.... ndak usah jerit-jerit nduk, Si Uwo sudah kuhajar, wekhekhekhe...
Sepenak udelnya aja mau ngentotin, lhawong aku aja belom sempet icip-icip, khekekhekhe....", gelak tawa keluar dari Mbah Jenggot meski dirinya masih sibuk meracik sesuatu.

Memang, terakhir kali Susi ingat ia sedang bercinta dengan suaminya, dan bahkan nyaris akan digagahi oleh suaminya. Hingga Mbah Jenggot datang kok suaminya yang tampan tiba-tiba berubah jadi makhluk yang mengerikan. Susi juga sekarang sudah bisa berpikir jernih. Ia heran, bukankah suaminya sudah meninggal beberapa hari lalu. Tidak mungkin orang meninggal bisa hidup lagi. Lalu siapakah sosok yang menyerupai suaminya, apakah bangsa lelembut yang menyamar. Dan jika dipikir lebih logis lagi kok bisa-bisanya Susi menurut saja semua kata-kata makhluk yang menyerupai suaminya itu. Apakah dia semacam disirep atau bagaimana. Semuanya nampak memusingkan bagi Susi.

"Ndak usah ngalamun nduk... khekhekhe... biar kuperjelas, yang tadi menculik dan mau mengentotin kowe itu si Genderuwo, penunggu beringin. Dia emang ngacengan khekhekhe... dia nyamar jadi sosok yang paling kowe inginkan untuk bersetubuh, khekhekhe... Tapi ya siapapun kalo liat badanmu yang behenol pasti ngaceng nduk... wekhekhekhe..."

"Apa bener mbah, yang tadi sama saya bener-bener bukan mas Wira?"

"Wira? Sopo kuwi nduk?"

"A... anu... suami saya mbah"

"Dimana dia sekarang?"

"Emm... sudah ndak ada lagi di dunia ini mbah...", Susi mengatakan itu dengan raut wajah yang tertunduk murung.

"Khekhekhe... jelas dia bukan suamimu nduk... Orang mati ndak bisa idup lagi. Berpuluh tahun aku melajari ilmu ghoib, Ndak ada satupun ilmu yang bisa menghidupkan lagi orang mati. Karena idup mati itu urusan-Nya dewe, ndak bisa diganggu gugat"

Susi hanya manggut-manggut seperti anak TK. Dia tak habis pikir sebegitu miripnya makhluk bernama genderuwo itu menyamar jadi mendiang suaminya. Wajahnya, senyumnya, dekapanya membuat Susi terlena dan terbujuk rayu dengan mudahnya. Akan tetapi sejujurnya ia benar-benar sangat merindukan belaian suaminya. Ia rindu bercinta dan digumuli setiap hari oleh suaminya. Gejolak kewanitaanya sekarang seperti hampa dan butuh diisi. Ia mengidamkan dicintai dan dipuaskan secara batin maupun nyata. Namun siapakah yang mampu mengatasi kegalauan hati dan tubuh Susi, ia sendiri bingung. Yang pasti untuk sekarang ia ingin menepis dulu keinginan itu, ia sudah bertekad untuk melakukan sebuah langkah besar yaitu melakukan ikatan ghoib.

"YAK YAA.....", tiba-tiba Mbah Jenggot berteriak kegirangan, "Wis jadi ramuannya nduk, sana cepet basahi badanmu di kucuran aer sana, abis itu baru tak mandikan kowe, Khekhekhe..."



Susi yang terkejut hampir-hampir jatuh karena batuan tempatnya duduk cukup licin. Dia menatap sebal pada Mbah Jenggot yang tiba-tiba mngagetkannya.

"Heh, ngapain malah bengong? Sana cepet, keburu tubuh bugilmu digondol genderuwo lagi, khekhekhekhe....?"

"Hah...? Bugil...? Eh , Eh lho!", baru menyadari tubuhnya tidak terutup sehelai benangpun Susi kebingungan, segera ia menutupi payudara besarnya dan mengapitkan kedua kakinya meski ia tau itu tidak sanggup menyembunyikan kemolekan tubuhnya. Ia kemudian baru ingat bahwa kemben batiknya hilang entah kemana saat digumuli si genderuwo.



"Ndak usah malu cah ayu, lhawong aku sudah liat badanmu yang bahenol itu, Wekhekhekhe... Ndak kusangka ternyata ndak cuma susu sama bokongmu yang gede, memek tembemmu juga ndak ada jembutnya, khekhekhe... Bener-bener wadon idaman, pantes saja si bangsat Uwo ngebet pengen ngontolin kowe nduk, khekhekhe..."
Susi yang mendengarnya jadi malu setengah mati, pipinya bersemu merah.

"Heh! Cepet sono!"

"Eh? Ngapain Mbah?"

"Hadooh... Kayak yang kubilang tadi, basahi badanmu di pancuran sana! Ini ritual pertama kalo kowe pengen ambil pesugihan. Badanmu kudu dekat dengan aura ghoib. Air itu bukan air biasa, itu mengandung energi alam gunung kidul, energi yang kentel sama aura ghoib!"

"Ba... baik Mbah", tanpa berpikir dua kali Susi langsung memposisikan tubuhnya dibawah pancuran air yang keluar dari celah bebatuan di salah satu bagian telaga. Dengan berdiri dan disinari cahaya rembulan, tubuh sintal Susi mulai menerima tetes-tetes air sendang toyowengi. Rambut hitam tebalnya kini mulai membasah. Tetes air mengalir turun ke jidat lalu ke matanya yang terpejam. Kemudian melewati hidung mancungnya dan pipinya yang tembem kemerahan. Mengaliri setiap pori-pori kulit Susi yang lembut.

Dari kejauhan Mbah Jenggot hanya bisa takjub menyaksikan pemandangan luar biasa itu. Dilihatnya bulir-bulir air yang turun dari leher Susi yang jenjang menuju lekukan dadanya yang membulat penuh. Sebagian bulir bergerak melingkar kearah bagian bawah payudara Susi, sebagian lagi menetes dari pucuk putingnya bagaikan kristal karena terefleksi dari cahaya bulan yang terang. Riak air itu bagaikan menari, melewati pusar Susi atau meluncur turun searah tulang punggung susi yang menekuk indah. Membasahi bongkahan pantatnya yang bulat hingga mengalir di sela-selanya, beradu dengan riak air lain yang bermuara di lembah kemaluan Susi. Masih bergerak pelan menuruni pahanya yang kencang, menelusuri lekuk kaki Susi sampai ke mata kaki dan telapak kakinya. Mbah Jenggot seolah terlalu sayang untuk berkedip menatapnya, layaknya lukisan mahakarya berupa seorang dewi yang sedang menikmati siraman cahaya bulan.



Lelaki mana yang tidak terbangun nafsu birahinya kala melihat sosok Susi yang seksi. Apalagi sekarang terpampang nyata telanjang bulat dan basah. Beruntung sekali Mbah Jenggot bisa didatangi wanita secantik Susi. Tak hanya itu, keinginan Susi untuk memiliki tuyul dengan meminta bantuan si dukun gendeng itu adalah suatu rejeki nomplok baginya. Ditambah kesanggupan Susi untuk rela menuruti segala yang dikatakan Mbah Jenggot, membuat dukun cabul itu tidak sabar untuk mencicipi badan seksi Susi. Perlahan batang kontol Mbah Jenggotpun naik melurus mendorong celana gembelnya menggembung maju. Seperti sebuah antena yang menangkap sinyal perempuan berkualitas tinggi. Tak terasa air liurnya menetes saking lamanya mulutnya menganga karena bengong. Matanya yang dipenuhi pancaran hawa nafsu terus melotot.

"Ckckck Edaan, edan, edan... Kok ya ada perempuan sebuagus dia...", gumam Mbah Jenggot sambil geleng-geleng kepala ,"Oooh... kontolku jadi ngaceng nyut-nyutan... khekhekhe".

Setelah dirasa cukup, Mbah Jenggot menyuruh Susi menyudahi membasahi dirinya.

"Wis nduk, sekarang kemari..."

Susipun menuruti perkataan Mbah jenggot, ia sisir rambutnya kebelakang menggunakan jarinya dari pangkal kepala hingga ujung rambutnya. Kemudian ia berjalan mendekati Mbah Jenggot, tapi beda dengan yang tadi dimana ia masih malu-malu dan menutupi tubuhnya. Susi kini tampak lebih santai dan acuh dengan tatapan nakal Mbah jenggot. Entah karena begitu besar tekadnya sehingga dia sudah tak peduli lagi dengan rasa malunya, atau memang karena pengaruh hawa ghoib yang mulai bersemayam dalam diri Susi, yang pasti ia berjalan dengan santainya bertelanjang bulat dengan tubuhnya yang basah.



"Weleh weleh... susu gede, pantat gede, bejo banget suamimu nduk nduk... ckckck..."

"Sampun Mbah..."

"Sekarang masuk dalem air dan merem sampe kubilang buka mata, ndak usah takut, airnya ndak dalem. Paling kalo kowe cuman sebates susumu yang munuk-munuk itu, khekhekhe..."

Tak menjawab, Susi segera mencelupkan tubuhnya ke dalam air sendang toyowengi. Anehnya ia tidak merasakan dingin, tidak pula hangat, tapi rasa nyaman dan enak ketika kulitnya terendam air sendang itu. Dan karena itu memudahkanya untuk rileks dan menutup mata. Tidak lama kemudian ia mendengar suara orang lain yang menceburkan diri.

"CBYUR..."

"Pastilah itu Mbah Jenggot", begitu batin Susi.

"Nduk Cah Ayu...", sebuah suara terdengar mendekati dirinya yang berendam, suara Mbah Jenggot.

"Ng... nggih Mbah", dengan mata yang tertutup Susi menjawab.

"Apa yang mbuk rasain? Nyaman?"

"Nggih Mbah"

"Bagus... Dengerin kata-kataku baik-baik!"

"Spyuk... spyuk..."

Agaknya Mbah Jenggot sedang berjalan mengelilingi Susi yang tubuhnya terendam sebatas dada. Baru kali ini Susi mendengar nada suara Mbah jenggot yang agak tegas. Karena itu Susi hanya mengangguk dengan mata merem. Tiba-tiba ia merasakan sebuah jemari kasar menyentuh kulit bahunya.

"Aiih..."



"Tuyul adalah jin jenis anak-anak, mereka ndak akan pernah menua. Berapa tahunpun berlalu, fisik mereka ndak akan tumbuh dewasa, begitu pula mental mereka".

Sambil tetap mendengarkan, Susi merasakan jari-jari kasar yang menyetuh kulitnya kini menjamah kedua bahunya lebih erat.

"Aiih..."

Jari-jari itu perlahan bergerak mengelusi permukaan kulit pundak dan lengan Susi yang basah.

"Sebagaimana anak-anak, mereka adalah makhluk yang manja dan sensitif. Tuyul gampang ngamuk, gampang seneng, gampang nangis juga."

"Aah..."

Kini jari jari itu terasa mengelusi tengkuk Susi yang jenjang, kemudian bergerak menelusuri punggung atasnya yang tidak terendam air. Sementara suara Mbah Jenggot masih dekat disekitar telinga Susi.

"Melihara tuyul sama halnya punya seorang anak balita. Kowe harus menyayangi dan mengasihi kayak anakmu dewe. Ngerawat serta menyediakan pangan dan papan untuknya. Papan itu tempat tinggalnya, cukup dengan botol khusus yang sudah berisi hawa kewanitaan dari Induknya, tapi disamping itu lebih baik nyediain satu kamar khusus buat dia bermain dan makan"

Suara Mbah Jenggot yang begitu dekat ditelinga membuat hembusan nafas si dukun gendeng itu juga terasa mendengus ditengkuk Susi. Ditambah lagi tangan Mbah Jenggot yang masih mengelus-elus area sekitar leher dan pundak Susi, membuat Susi merinding dan mendesah kegelian. Kepalanya menggeleng pelan kekiri-dan kekanan.

"Sssh... aah..."

"Cah ayu... Pemelihara tuyul boleh lanang boleh juga wadon. Tapi wadon atau perempuan lebih bagus karena bisa langsung menjadi induk si tuyul, sedangkan Lanang atau pria harus cari wanita buat jadi induknya"

"Oooh Mbah... geli mbah... kenapa disebut induk mbah...? Sshh aiiih..."

"Khekhekhe... karena terkait dengan pangan si tuyul, induk tuyul harus menyusuinya secara rutin nduk. Tuyul suka sekali menyusu, apalagi pada wadon yang susunya gede... Khekhekhe..., Jangankan tuyul, lhawong aku wae suka, Khekhekhe..."

"AAAWW..."



Pada saat mengatakan susu, tangan Mbah Jenggot langsung memencet salah satu bagian daging payudara Susi yang empuk dengan satu jari. Anehnya, satu sentuhan kecil itu sangat berasa menjalari sekujur tubuh Susi. Ia menyadari akan datang gelombang rangsangan di dalam dirinya, namun ia mtetap mencoba berpikir jernih.

"Lalu darimana saya memperoleh tuyul Mbah?".

"Tuyul bisa didapatkan dimana saja sebenernya nduk... caranya dengan nangkep jin Qorin dari janin bayi yang sudah meninggal. Di sebuah bagian pantai selatan, bahkan ada juga dukun yang khusus memperjualbelikan atau menyewakan tuyul...
Tapi... Tuyul yang paling baik datang dari rahim induknya sendiri."

"Hah?! Maksudnya mbah?"

"Khekhekhe...", sambil tertawa, kedua tangan Mbah Jenggot kini dicakupkan di kedua buntalan payudara Susi," ya lahir dari rahimmu sendiri..."

"DEG"

"Maksud Mbah saya harus hamil dan menunggu sembilan bulan untuk melahirkan tuyul? Aawh...", Susi merintih saat Mbah Jenggot menekankan pelan jari-jari kurusnya pada buah dadanya.

"Khekhekhe... ndak perlu 9 bulan.... Asalkan sudah tertanam benih dan menjadi janin, si tuyul sudah bisa muncul nduk...," Dirasa cakupan telapak tangannya tidak sanggup melingkupi seluruh permukaan payudara Susi, Mbah Jenggot mulai meremas-remas dengan kasar, "Wooh... empuk bener susumu cah ayu!"



"AAAAAIIIIHH... Geli mbaaah.... AWWHHH..."

"Khekhekhe... Tapi tetap saja kalo ingin hasil tuyul yang terbaik, yang mudah menurut pada induknya, jinak dan gesit dalam menjalankan tugasnya, ya yang berasal dari janin yang tumbuh subur didalem rahim induknya dewe!"

"AAAW..., Berapa lama Mbaaah...?"

"Khekhekhe, Kalo mau hasil paling bagus ya paling-paling antara 40 hari sampai 2 bulan cah ayu..."

"Emm... maaf Mbah, kalau Bu Siti dan Pak Karto dulu dapat tuyul dari hamil juga? Sssh..."

"Betul tul tul khekhekhe..., gimana enak Nduk tak pencetin susumu? khekheke"

"Aaaaah uuuuh... geliiiih mbaah..."

Dengen mata tertutup, Susi tak bisa melihat langsung yang dilakukan Mbah Jenggot terhadap sepasang payudara jumbonya itu. Akan tetapi ia bisa merasakan, daging kenyalnya diremas-remas, diowot-owot, kadang ditarik dengan kasar. Perlahan puting susunya yang merah jambu menegang dan menjadi kencang.



"Wekhekhekhe... pentilmu ngaceng nduk... khekhekhekhe...", dengan girang memeras susu Susi dari pangkal hingga ke putingnya.

"2 Bulan?", Seakan tak menghiraukan perkataan Mbah Jenggot, Susi terus berusaha menggali informasi.

"Ndak sampe, soalnya si Karto ndak sabaran pengen cepet kaya, karena dihina terus sama keluarganya kayaknya..., kenapa nduk?"

"Eh, eng.. ndak apa-apa cuma nanya..."

Sejenak Susi berpikir, apakah ia benar-benar yakin akan mendpatkan tuyul dari rahimnya sendiri. Apakah ia yakin akan mau hamil, secara dia belum pernah hamil semasa berumah tangga dengan almarhum suaminya. Bukan karena suaminya atau dirinya sendiri bermasalah soal kemandulan. Baik Wira maupun Susi pernah beberapa kali memeriksa kesuburan biologisnya dan hasil keduanya sehat-sehat saja. Mungkin memang selama mengarungi rumah tangga bersama itu Tuhan belum memberikan momongan. Dalam hatinya Susi terus membatin...

"Ah iya... kenapa juga Tuhan tidak memberikan anugerah berupa anak kepadaku dan Mas Wira? Apakah Tuhan benar-benar Maha Adil? Aku kan juga ingin menimang buah hati, seorang darah daging yang kusayang sepenuh hati. Mungkin kalau dulu kami diberkahi seorang bayi, aku tidak akan sekesepian ini ditinggal Mas Wira... Ooh Mas Wira... kenapa Tuhan mengambilmu begitu cepat..."

Kembali perasaan Susi menjadi galau, bedanya sekarang tidak hanya kesepian ditinggal belahan jiwanya dan kehidupan ekonominya yang carut marut, namun juga ditambah rasa kecewa yang mendalam kepada Tuhannya karena tidak menganugerahinya seorang momongan.

"Slurrp"

"AAAAAAIIIIHH!"

Tanpa disangka Susi merasakan ujung puting susunya yang sebelah kiri tersentuh oleh sesuatu yang lunak dan basah. Kontan saja bulu kuduknya meremang karena kaget. Secara refleks tubuhnya sedikit mundur. Akan tetapi ia masih belum berani membuka mata.

"A... apa kwi tadi mbah?!"

"Khekhekhe... aku ndak tahan liat pentilmu yang ngaceng nduk... Aku ndak sabar ngerasain nyucup susumu"

"Lhah? Buat apa mbah?"

"Buat apa? Khekhekhe... ya buat ngitung kualitas pabrik susumu, sekuat apa energi yang bisa keluar buat ngendaliin tuyul gitu... khekhekhe"

"Mmm tapi..."

"Tapi apa cah ayu? Apa kowe mau nanti tuyulmu jadi beringas gak bisa diatur? Itu bisa berpengaruh ke mental dan kejiwaanmu, bahaya nduk!"

Sekarang Susi menjadi bingung. Namun untuk kesekian kalinya ia harus berani mengambil resiko apapun.

"Emm... tapi... pelan-pelan saja Mbah..."

"Wekhekhekhekhe..."

Tanpa menjawab dan hanya terkekeh Mbah Jenggot bergerak mendekati Susi lagi. Dilihatnya wajah ayu Susi yang meringis seperti bersiap menerima sebuah kesakitan dengan mata yang masih tertutup. Pandanganya lalu turun kebawah ke gundukan payudara Susi yang separuhnya terendam air. Riak air yang membatasinya membentuk garis yang indah berupa dua lengkungan besar dengan cekungan yang dalam diantaranya.

"Naikan badanmu dikit nduk biar aku bisa liat lagi pentilmu!"

Susi menurut hingga munculah lagi kedua puting susunya yang sempat sedikit mengkerut karena terendam air. Sekarang buah dada nan besar itu terekspos dengan jelas di depan wajah Mbah Jenggot, dihiasi urat-urat kehijauan yang tecetak samar. Bulatan daging yang membuntal itu naik turun seiring nafas Susi, bagaikan menantang untuk dinikmati.



"Baru kesentuh ujung lidah dikit aja kok udah jerit, khekhekhe.... SLUURRPPHH"

"MMMMMMHHHH...", Susi merasakan lagi merinding disekujur tubuhnya meski ia menahan suara dengan mengatupkan mulutnya saat Mabh Jenggot mulai menjilat puting susunya lagi.

"Khekhekhe.. ndak usah ditahan nduk! Bukan berarti kowe ndak boleh njerit... Sluuurphh Claph claph claph"

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHH.... AAAAHHH.... AAAAIIIIIIIHHHH"

Langsung Susi menjerit sejadi-jadinya dan dengan rakusnya Mbah Jenggot menjilati puting susu Susi, menowel nowelnya dengan lidahnya, hingga membuat basah area sekitar areola payudara itu. Sementara Susi menggelinjang karena kegelian sekaligus terbangun birahinya merasakan gerakan lidah Mbah Jenggot di putingnya.

"Sluurrrppphhhaaaahh... khekhekhe... cyupphh cleph clep cleph"

"Sssshhh.... aaiiihh aiiihhh... aaahhh aaaawwh......."

"Claph claph claph clah claph claph... khekhekhe sluph syupph cleph cleph clpeh..."

"Aaaaiihh... geliiih mbaah geliiiih......"

"Khekhekhe uenaak cah ayu.... claph claph claph..."

Untuk menahan tubuh Susi yang secara refleks bergetar, Mbah Jenggot membetot payudara Susi dengan kedua tanganya dengan erat. Hal itu juga membuatnya lebih intens untuk menjilat jilat puting Susi yang kini mengkilap basah.

"Slurph slurph, Claaaph claph clpah claph claph..... claph............................................................."

Tiba tiba Mbah Jenggot menghentikan jilatanya. Ia melihat Susi terengah-engah dengan muka memerah, mata meremnya mengkerut karena menahan geli, sementara peluh keringat mulai keluar dari pori-pori jidatnya.

"Hh... hh... hh... hh... hh... suuuh... sudaah mbaahhh..? hh... hh...", suara Susi pelan kehabisan nafas.

"NYOOPH"

"UAAAAAAAAAHHHHHH"

Sekarang mulut keriput Mbah jenggot mencaplok payudara Susi. Diraihnya daging kenyal itu sebanyak mungkin yang bisa ia raih dengan mulutnya yang menganga. Kemudian ia menguatkan tarikan bibirnya. Susi merasakan guratan gigi-gigi Mbah Jenggot yang tidak rata menggesek kulit payudaranya. Dalam satu tarikan kuat, Mbah jenggot mulai mengenyot payudara Susi.

"AAAAAAAAAAAIIIIIIIIIIHHHHHHH.... UUUUOOOOOOHHHH MBAAAAAHHHH....."

"NYUUUOPPPP NYOOOPPHH NYOOOPP NYOOP NYOOOP"

"GEEEELIIIIHHH MBAAAAHH..... AAAAIIIIIIHHH NGILUUU.... NGILUUU MBAAAH"

"NYUUUOOPPUUAHHHH... Khekhekhekhe.... uenaak uennaaak uenaaakkk ooohhnyoophhh"



Tak peduli dengan rontaan Susi yang kegelian, Mbah jenggot terus saja menyedot dan mencucup-cucup payudara montok wanita itu. Hampir tidak ada jeda sedikitpun seakan ia ingin menghabiskan sedotanya. Pipi Mbah Jenggot sampai kempot saking kuatnya ia mengenyot. Sesekali ia beralih ke payudara sebelahnya. Sedangkan Susi sendiri berteriak-teriak seperti kesetanan.

"UUUUAAAAAAHHHH AAAAAAAWWWHHH.... AAAAAAIIIIHHH...."

"Khekhekhe... teriak saja nduk! Teriak yang keras! Biar semua bangsa lelembut dan makhluk malam di sini mendengar aku sedang menikmati susu wadon seindah kowe........ WEKHEKHEKHEKHEKHE"

"NYOP NYOP NYOP NYOP NYOP NYOP NYOP"

"AAAAAIIIIIIIHHHHH.... hh... hh... hh... AWWWWH"

"Khuooohhhekhekhekhekhe.... Mmmmuuuuoooohh mmmhhhh oohmmm..... nyuppphhh"

Dengan rakusnya, Mbah jenggot mendusel-dusel kedua payudara Susi dengan kepalanya. Dicucupnya setiap jengkal kekenyalan dada Susi dengan beringas. Ia mencium, menjilat, menowel bahkan sesekali menyundul kedua bongkah payudara itu. Susi sendiri tergelinjang bukan main, ia merasakan bukan hanya ssedotan mulut Mbah Jenggot, tapi juga gesekan kumis, janggut, hidung, mata, juga kulit kepala Mbah jenggot yang keriput bergerak-gerak dengan liar di sekitar dadanya. Sekalipun ia meronta dengan keras, ia tak bisa melepaskan diri karena tangan kasar Mbah Jenggot masih membetot payudaranya.

"Khekhekhekhe.... uenaak tenan nyusu kowe nduuuk... Wekhekhekekhe"

Gelombang birahi yang datang menerjang akibat polah Mbah Jenggot tidak bisa Susi tahan. Perlahan namun pasti dinding memeknya berkedut-kedut. Namun ia masih berusaha sekuat tenaga menahanya, meski didalam liang surgawinya semakin lembab dan semakin lembab.

Malam itu, sebuah pemandangan luar biasa terekam di kaki gunung kidul, di sebuah telaga bernama sendang toyowengi. Seorang dukun gendeng tua sedang menggumuli payudara seorang wanita cantik bertubuh indah. Gemericak air mewarnai polah keduanya. Disaksikan oleh berbagai macam makhluk malam yang nyata maupun yang tak kasat mata yang tidak berani mengusik si dukun sinting. Burung-burung gagak berterbangan dari langit untuk bertengger di pepohonan seakan ikut menyaksikan.



"AAAAIIIIIHHHHHH..... AAAAAAHHHHH"

"Khekekhekhekhe.... suegerrr suegerr tenaaaan...!"

"CPOK"

Satu cupangan besar mengakhiri kenyotan Mbah Jenggot yang membabi buta. Meninggalkan bekas kemerahan tepat di sebelah puting payudara kiri Susi.

"Hh... hh... hh... hh... hh... aaampuuun mbaaahh.... hh... hh..."

"Ya wis, sekarang bantu aku buat ngeluarin benih dan energi ghoibku buat badanmu yang semok ini... Khekhekhe, buka matamu!"

Seketika Susi membuka mata, bola mata bulatnya membelalak lebar sekali, dan tanpa sadar ia menjerit pelan...

"AAAAAAIIIIIIHHHH... Gede banget Mbah....!"

Tepat dihadapan matanya berdiri tegak menjulang kontol Mbah Jenggot yang terlihat sangat keras. Kulit kontolnya kehitaman dihiasi urat-urat kehijauan. Di pangkal kontolnya menyerabut jembutnya yang keriting tidak rapi. Belum lagi kantung zakarnya yang keriput juga ditumbuhi bulu-bulu serupa meskipun jarang. Namun yang paling membuat Susi bergidik ngeri adalah kepala kontolnya yang merah pucat mengkilat dengan lubang kencing seperti mulut berbentuk vertikal. Kontol itu terlihat sangat gemuk dan panjang, itulah mengapa meski tampilanya mengerikan entah bagaimana malah terlihat perkasa. Susi tercekat dan menelan ludah, apalagi kontol itu terlihat berkedut kedut seperti hidup. Mbah Jenggot sendiri ternyata sudah memposisikan diri duduk disebuah batu berlumut disalah satu tepi telaga.

"Khekhekhekhekhe... kowe takut nduk? ... Atau malah suka? Khekhekhekhe..."

Susi hanya terdiam, ia seperti kehilangan kata-kata.

"Khekhekhe, benih dan energi ghoib untuk menyirami badanmu berasal dari peju laki-laki Nduk... Aku sudah minum ramuan yang kuracik tadi, dan sedari aku menunggumu mandi di pancuran, ramuan itu sudah merasuk menyatu ke dalem kontolku... Sekarang cuman tinggal siap disemprotin, Wekhekhekhekhekhe...."

"GLEK", sekali lagi Susi menelan ludah.

"A... anu mbah...."

"Wis ayo sekarang pegang... elus-elus... wekhekhekhe..."

Dengan pelan tangan Susi meraih kontol hitam itu. Disamping demi pengorbananya, gejolak birahi juga sudah kepalang menyelimutinya hingga iapun penasaran dengan wujud kontol Mbah Jenggot yang mengerikan namun entah kenapa terlihat kokoh.

"Uwoooohhh.... alus tenan tanganmu cah ayu... ssshhhh ooh", baru dipegang sedikit, Mbah Jenggot sudah mendesis keenakan.

Jemari lentik Susipun mulai mengelus kulit kontol yang berurat itu. Pelan dielusnya seperti mengelus anak kucing hingga membuat Mbah Jenggot merinding badannya sekaligus kegelian.

"Kocok nduuk ssshhh......"

"Slep... slep... slep... slep..."

Dengan satu tangan, Susi mulai menggenggam batang kontol berurat itu. Kemudian perlahan ia naik turunkan genggamanya, membuat kulit kontol Mbah Jenggot tertarik keatas dan kebawah. Susi yang berulang kali menelan ludah benar-benar takjub dengan kekokohan dan ukuran kontol Mbah Jenggot. Sementara Mbah jenggot mendesis desis sambil merem keenakan, Susi melihat kontol didepanya itu lekat-lekat. Diamatinya betapa hitamnya, semburat kehijauan urat-uratnya, dan kepala kontolnya yang mengkilap mulus kemerahan. Bahkan saat Susi sedikit mengendurkan genggamanya, kontol itu terasa berkedut pelan.

"Sleph... sleph... sleph... sleph... sleph... sleph... sleph... sleph... sleph... sleph..."

"Rada cepet nduuukk.... wohohohoh... ueeenaaak tenaaan!"

Seiring dengan keluarnya precum dari mulut kontolnya, gerakan kocokan Susi dipercepat menuruti kata Mbah Jenggot. Apalagi terkena cipratan air disekitarnya, kontol Mbah Jenggot menjadi basah.

"Slok... slok... slok... slok... slok... slok... slok... slok... slok... slok... slok... slok... slok... slok...!"

"Wooohhhh! suegeerrr... uenak uenak uenaaaak....."

Sejurus dengan gerakan kocokan kontol yang makin cepat, juga kecipak air yang makin keras akibat guncangan siku Susi, payudara jumbonya ikut berguncang-guncang. Dua buah dada itu mentul-mentul menampar air hingga menimbulkan efek cipratan yang lebih besar.

"Khuekhekhekhekhe... Susumu nduuk weleeh weleeh...."

"Cpyuk... cpyuk... cpyuk... cpyuk... cpyuk... cpyuk... cpyuk... cpyuk... !"

"Emang kenapa susu saya Mbah?"

"Slok... slok... slok... slok... slok... slok... slok... slok... slok...!"

"Khekhekhe... pake nanya... Susumu itu guedee... khekheke uoohhhsssshhh... enaak kocokanmu nduuk"

Susi hanya tersipu sambil tetap mengocok, namun dalam batinya entah kenapa ia merasa bangga. Ia juga sempat berpikir sebenernya juga Yono si tukang ojek siang tadi seperti sangat terobsesi dengan payudaranya. Sementara Mbah Jenggot melihat wajah Susi yang ayu sedang bersemangat mengocok kontolnya, wajahnya yang putih mulus dengan pipi tembem kemerahan, juga bibirnya yang indah dan sedikit tebal dibagian bawah dihiasi tahi lalat kecil. Juga guncangan susunya yang seolah berjoget di permukaan air, membuat dukun mesum itu semakin kepincut dengan kecantikan Susi.

"Slok... slok... slok... slok... slok... slok..."

"Uoooh... sekarang... hh... hh... hh... emut kontolku nduk!"

"Eh?", seketika Susi langsung menghentikan kocokanya.

"Lha kenapa 'eh'? Kowe pengen cepet tak salurin energiku apa ndak?"

"Kok pake ngemut mbah?"

"Khekhekhe, yo nduk... soale aku liat bibirmu seksi, pengen rasane kontolku diemut sama bibirmu kuwi..."

"Saya ndak paham mbah"

"Khekhekhe... yo kuwi salah satu cara biar pejuhku cepet keluar nduk. Emangnya kowe mau semaleman disini? Khekhekhe..."

Maka dengan sedikit jijik, akhirnya Susi menggenggamkan kedua tanganya pada kontol Mbah Jenggot lalu mendekatkan bibirnya. Langsung saja bau menyengat khas kontol pria menyerebak menusuk penciuman Susi. Bau keringat dan cairan precum yang bercampur menjadi satu. Dengan perlahan ia mulai menyentuhkan bibirnya ke lubang kencing kontol Mbah Jenggot.

"CYUPH"

"Huoooh.... Brrrrrr... Merinding badanku nduk... khekhekhe"

Kemudian ia mengecupi setiap bagian batang kontol Mbah Jenggot. Dari kepala, kulit-kulit berutratnya, hingga kantung pelirnya yang berjembut. Susi sudah tak peduli lagi dengan rasa jijik. Ia mencoba menikmati saja, ia hanya berpikir tak ada bedanya dengan saat mengoral kontol suaminya dulu.



"Cyup cyuph cyup cyupuah cyuppph"

"Wekhekhekhe... pinter tenan kowe cah ayu... ssshhh oooh... terusss... bagusss..."

''Cyuupppuaaahhh... slrppphhh.. slurrrppphh"

Kini Susi mengeluarkan lidahnya, disapunya seluruh permukaan kulit kontol hitam itu dari ujung sampai pangkal zakarnya. Dijilatinya bagaikan menikmati makanan, lidahnya melilit-lilit melingkari batang kontol beserta uratnya. Sambil sesekali mengkilik-kilik dengan ujung lidahnya.

"Clap... clap... sluurrrppph cyup... claap... clap... clap... clap..."

"Hooooh... uenak uenak uenaaak!''

"Cyooopphhh uuufffhhhh... ssshhclap... clap... clap... clap..."

Susi semakin berani untuk mengulum kontol hitam raksasa itu. Dengan seluruh mulutnya, dilahapnya batang nan kokoh itu. Ia mulai gerakan mengulum dari kepala kontol hingga pangkal jembutnya. Susi juga berani mengelomoh pelir Mbah Jenggot tanpa risih sama sekali. Terkadang ia juga mengulum kontol Mbah Jenggot dari samping seperti gerakan orang menggosok gigi. Kontras sekali kontol hitam panjang itu dengan deretan gigi putih Susi.

''NYOOPPHH... SLUUURPPPPUAHH.... AAAHHMMMMYMMMHHH.....
MMMYUUOOOMMHHH.... UUUHHHSSSHHHH... MMMUUAAHHMMMMMYYMMHH..."

Sekarang gantian Mbah Jenggot yang kelojotan menerima permainan lidah Susi. Kontolnya berdenyut denyut dan semakin mengeras. Ia merem melek keenakan. Akhirnya secara reflek tanganya memegang rambut Susi yang basah, dan dalam sekali hentak, meneroboskan bantang kontolnya kedalam mulut Susi.

"HAAAAGHHKKK......"

"HUUUOOOOOHHHH! Ueenak tenan mulutmu nduuuk! Sekarang emuut nduuk emuut!"

Tanpa sempat menjawab karena mulutnya dijejali kontol besar itu, mulut Susi hanya bisa menganga lebar sambil matanya melotot karena tersedak. Akan tetapi, Mbah Jenggot tidak peduli. Ia mulai memaju mundurkan kontolnya mengentoti mulut Susi.

"SLOK... SLOK... SLOK... SLOK... SLOK... SLOK... SLOK... SLOK... "

"AGHK... AGHK... AGH.... GAGHK... AGH.... AGHK... AGH...."

"Wekhekhekhekhe... nikmaat nduk nikmaaat guooohhh .... ssssshhhh...."

Susi pasrah saja karena kepalanya dicengkeram erat oleh tangan kasar Mbah Jenggot. Ia hanya mengangguk-angguk maju mundur seiring hentakan kotol yang menjejali mulutnya. Air liurnya menetes disela-sela bibirnya mengalir turun dan semakin membasahi kontol Mbah Jenggot. Sedangkan mulutnya sendiri memonyong ketika kontol gede itu ditarik dan tertohok ketika didorong.

"Ssshhhh... oooohhh... uenaak tenan ngentotin mulutmu cah ayuuuuhhh!

"AGHK... AGHK... AGH.... GAGHK... AGHK...!"

"SLOK... SLOK... SLOK... SLOK... SLOK... "

Semakin keras dan semakin cepat tempo sodokanya membuat air liur yang menetes menjadi seperti buih. Susi sendiri semakin mendelik, matanya melotot karena tenggorokanya terus disodok oleh kontol sebesar itu. Perlahan-lahan mata bulatnya berair seperti hendak menangis.

"HUOOOOHHH...! KONTOLKU NGILUUU....!"

"GHAGK... GAGH... HAGK... HAGHKG....KH...GHK... HAGGHHKKHPPPPPPPUAHHHHH......"

Tiba-tiba Mbah Jenggot melepaskan kotollnya dari mulut Susi.

"HUUUOOGHH HUOEEKKHHH....."

Susi tersedak dan merasa mual tidak karuan, matanya yang berair akhirnya mulai menitik.

"Sssshh... ooohh kayaknya bentar lagi aku mau ngecrot nduuk... ooohhhssshhh..."

"Uhuk.. uhugk... beneran mbah? Uhukh....."

"Tapi aku pengen ngontolin Susumu yang montok itu dulu nduk... hh... hh... sini deketin kontolku!"

Setelah memposisikan batang kontolnya didekat payudara Susi, Mbah Jenggot mengarahkan kepala kontolnya kearah puting Susi.

"NYUUUT"

"AIIIIHHH......"

Ternyata Mbah Jenggot menekankan kepala kontonya yang berkedut ke puting Susi yang masih keras. Mendorongnya seperti memencet tombol. Bahkan kini menowel-nowelnya dengan kontol seperti mainan.

"Khekhekhekhe.... liat nduk, kita sama-sama ngaceng, wekhekhekhe..."

Memang dasar dukun edan, ia malah bermain-main dengan susu Susi menggunakan kontolnya. Sesekali ia memencet puting maupun gundukan daging kenyal itu dengan kontolnya, atau malah menepuk-nepukanya.

"POK POK POK POK POK..."

"Woooh... ssshhh angeet... susumu anget... juga empuk nduk... kekhekhekhe... uenaaak"

Susi cuma terdiam mengamati tingkah polah mbah Jenggot yang seperti orang gila bermain-main dengan kontol dan payudaranya. Dan kemudian Mbah jenggot menaruh kontol gedenya diantara belahan payudara Susi.

"Jepit"

Tanpa menjawab Susi langsung memencet payudaranya kiri dan kanan kearah dalam untuk memeluk kontol Mbah Jenggot. Batang kontol gede itu nampak tenggelam dalam buntalan daging susu Susi.


"Sssshhhh ooohhh... susumu memang dahsyaat... kenyel nduk... empuk... anget... mulus... ssshh sekarang kocok nduk"

Pelan tapi pasti Susi mengarahkan kedua bongkahan payudaranya bergerak keatas dan kebawah. Menjepit rudal hitam Mbah Jenggot dengan tempo yang makin lama makin cepat.

"SLEP... SLEP... SLEP... SLEP... SLEP... SLEP... SLEP... SLEP... SLEP... SLEP... "

"Aaahh aduuuh nduk... sueger... enak enak enaaaak... Khekhekhekhe"

"SLEP... SLEP... SLEP... SLEP... SLEP... SLEP... SLEP... SLEP... SLEP... "

Gerakan jepitan Susi mulai bervariasi, kadang ia menggerakan payudaranya secara berlawanan arah, payudara kanan keatas sementara sebelah kiri kebawah ataupun sebaliknya. Mbah Jenggot juga tak mau diam, ia hentak-hentakan pinggul tuanya menyodok-nyodok jepitan payudara montok Susi. Hal itu menyebabkan ujung kepala kontolnya sering menghantam dagu Susi.

"SLEP... SLEP... PEK... SLEP... PEK... SLEP... PEK... SLEP... PEK... SLEP... PEK... SLEP... PEK... SLEP... PEK..."

Tak mau tinggal diam akhirnya Susi memberanikan diri menundukan wajahnya dan menerima sodokan kontol yang muncul dari belahan dadanya dengan bibir agak monyong.

"Shhhh... khekhekhekhe... Binal juga kowe cah ayuu ooohhhssshhh..."

"SLEP... SLEP... PEK... SLEP... PEK... SLEP... PEK... SLEP... PEK..."

''OOH OOH OOH... NDUUK AKU MAU NGCROT NDUK! BUKA MULUTMUUUU!"

Tanpa dikomando dua kali Susi langsung mangap sambil menjulurkan lidahnya, dan...

"CRRUUUUUUOOOOOOOTTTTTTT.... CROOOOOTT... CROOOOOOTT.. CROOOT... CRRROOOOTT.... CROOOOOOOT!"

Beberapa kali semburan pejuh muncrat di sekujur tubuh Susi yang tidak terndam air. Cairan putih kental itu masuk kemulutnya dan membasahi giginya, juga tersemprot di pipi dan bibirnya, mengalir menetes dari dagunya. Namun juga sanggup menyemprot pundak dan sebagian payudaranya yang sintal. Seperti lendir yang tumpah ruah membasahi puting susunya juga.



"WEKHEKHEKHEKHEKHEKHE! NIKMAAT NDUUUK... SUEGEERRR TENAAANN!
Sekarang telen nduk! Kuwi energiku! Biar masuk ke dalem tubuhmu!
Yang di susu gedemu itu juga... jangan dibilas air dulu! Pake luluran disekujur tubuhmu!
Wekhekhekhekhekhekhe...."

"Eh... Nggih Mbah...
Glek... glek..."

Susi langsung menurut dan menelan pejuh Mbah Jenggot yang masuk ke dalam mulutnya. Tak hanya itu, ia juga meratakan lendir pejuh Mbah Jenggot ke ara sekitar dada dan pundaknya. Bahkan sisa-sisa yang masih ditelapak tanganya ia pergunakan untuk mengolesi lengannya. Dalam hati Susi membatin...

"Ooh pejuh lelaki... kapan terakhir kali aku dipejuhin Mas Wira... oooh... rasanya begitu kentel, begitu hangat...
Ooh susuku mudah sekali terangsang... oooh aku rindu digumuli, dijamah rasanya enak sekali..."

Sementara itu Mbah Jenggot sedang terengah-engah mengatur napas sambil bergumam.

"Hh... hh... hh... sudah berapa lama aku ndak ngerasain wanita senikmat ini... hh... hh... kowe memang juara Nduk Susi...!"

"Emm... ini sampun mbah"

"Ya wis... sekarang bilas pake air, abis itu kita balik ke gubuk, ada hal yang musti dituntaskan, wekhekhekhekhe...."

"Nggih Mbah"

Sambil membilas badan, Susi merasakan perasaan tanggung dan mengganjal di hatinya. Nafsu birahinya yang sudah terlanjur bangkit tidak terpuaskan. Susunya sudah diowot-owot dengan kasar oleh Mbah Jenggot telah memancing hasrat kewanitaanya untuk bersetubuh. Ditambah dengan kerinduanya untuk melakukan hubungan badan, memeknya merasa gatal dan ingin juga disumpal...

BAGIAN 7

"Krik.. krik.. krik.."

"Hyuuuuuuuuuuuuuuuuussssshhhhhh......."



Bunyi jangkrik mengerik ditengah kesunyian alas gunung kidul yang lebat. Hanya suara angin yang berhembus melewati dedaunan dari pohon-pohon tinggi yang terdengar oleh telinga. Sesekali kukuk burung hantu juga lewat terbawa angin. Ditengah hutan nan sunyi itu dua sosok manusia sedang berjalan diatas rerumputan dari arah sendang toyowengi menuju sebuah gubuk.

Tunggu...

Ternyata hanya satu orang saja yang berjalan. Seorang wanita manis bertubuh tinggi dan sintal yang bertelanjang badan bersama seorang kakek tua berjenggot putih dalam gendonganya.

"Khekhekhe... berat ndak cah ayu?"

"Emm, sedikit Mbah..."

"Khekhekhe... bentar lagi juga sampe... khekhekhe, salahmu dewe jaritmu mbuk ilangke, jadinya kan sekarang kowe bugil"

"Ah Simbah, itu kan tadi karena Susi disirep sama genderuwo... kemben Susi ilang entah kemana"

"Khekhekhe... Yo wis nduk, lha daripada kowe jalan bugil ditengah alas dingin-dingin gini? apalagi abis mandi, bisa masuk angin badan semokmu kalo ndak tak peluk, wekhekhekhe"

"Aiih!"

Sambil digendong Susi seperti seorang anak, Mbah jenggot menowel payudara Susi yang berguncang setiap ia melangkah. Posisi Mbah Jenggot yang digendong di depan dan melingkarkan tanganya di leher lembab Susi persis seperti anak-anak yang digendong ibunya. Namun bedanya dia seorang kakek tua bertubuh kerdil yang mesum dan sarat kata-kata cabul. Dengan posisi tangan Susi yang menopang tubuh Mbah Jenggot di pinggang depanya membuatnya tidak leluasa dan hanya berkonsentrasi untuk berjalan. Sedangkan Mbah Jenggot sendiri sambil menyenderkan kepala botak keriputnya dipundak Susi yang mulus, bebas kalau ingin menjamah tubuh Susi.

"Ah, tapi kan ndak perlu minta gendong mbah... kayak bocah cilik wae lho!", gerutu Susi dengan muka cemberut.

"Wekhekhekhe... wis tho nduk, bentar lagi juga sampe ini..."

"Aiih..."

Kali ini Mbah Jenggot meremas payudara Susi dengan pelan.

"Wekhekhekhe... aku gemes liat susu gedemu yang mentul-mentul ini Nduk, khekhkehe"

Gubuk Mbah Jenggot sudah terlihat, maka dengan langkah sedikit cepat Susi segera masuk kehalaman. Sesampainya di depan pintu gubuk itu, Mbah Jenggot segera meloncat turun dan membuka pintu. Keduanyapun masuk dengan agak terburu untuk mengurangi hawa dingin hutan di tengah malam. Hanya satu lampu minyak penerangan malam di dalam gubuk Mbah Jenggot, namun itu saja sudah cukup menerangi seluruh penjuru gubuk kecil itu.



"Khekhehe... duduk nduk!"

"Dibawah Mbah?"

"Ya dimana lagi?"

"Boleh diatas dipan saja?"

"Khekhekhe suka-suka kowelah nduk..."

"A... anu mbah, apa boleh Susi pake baju sekarang? Dingin mbah..."

"Wekhekhe... jangan dululah... aku belom puas liat ke-semok-anmu... khekhe"

"Ishh si mbah...", kata Susi cemberut.

"Yo wis kalo dingin ambil kemben lagi di lemari situ...", jawab Mbah Jenggot sambil menunjuk lemari kecilnya.

Susipun beranjak membuka lemari kayu tua kecil itu. Didapatinya banyak kain-kain batik dan kain hitam maupun cokelat gelap.Ia kemudian memilih kain satu persatu. Agak lama ia memilih sampai semua kain yang ada diawul-awul olehnya.

"Duuh Mbaah... Apa ndak ada kain yang agak gede?"

"Weledeleh... kuwi kain gede semua cah ayu, badanmu wae yang bongsor! Khekhekhe..."

Sambil mencoba setiap kain jarit untuk dililitkan ditubuhnya, Susi nampak kesulitan mengikat kemben seperti saat akan berangkat ke sendang toyowengi.

"Sudahlah nduk... wong ya cuman aku karo kowe yang ada disini. Ndak usah malu, kan aku sudah liat tubuh bahenolmu, wekhekhekehe... kalo dingin nanti tak kasih yang anget-anget khekhekhe...", seloroh Mbah Jenggot dengan tatapan mesumnya.



Akhirnya Susi menyerah dan mengikat kemben sejadinya. Ia lalu beranjak naik kedipan untuk duduk. Sementara Mbah Jenggot duduk bersila di depan meja untuk membuat ramuan. Di depanya ada mangkuk kecil dari kayu dan disebelah mangkuk itu ada botol minyak. Dituangkannya minyak dari botol itu ke dalam mangkuk sampai setengah mangkuk. Minyak itu sangat kental kekuningan seperti madu. Kemudian entah darimana ia mengeluarkan botol lain dari dalam baju hitamnya. Botol itu berisi air bening, namun Susi langsung tahu bahwa itu adalah air dari sendang toyowengi. Maka air itu dituang untuk dicampurkan dengan minyak dalam mangkuk tadi. Sesaat setelah air dan minyak itu bercampur, bau harum langsung semerbak muncul dari cairan dalam mangkuk itu. Dengan penciumanya Susi menerka bau apa itu. Mirip aroma terapi, antara kayu putih, melati, dan bau lain yang membuat penciuman jadi rileks.

"Wangi bener mbah..."

"Khekhe... iyo nduk. Sekarang rebahan dan kangkangin pahamu!"

"Lho?"

"Lha lho lha lho, wis cepet lakuin"

"Nggih mbah..."

Susi merebahkan dirinya diatas dipan kayu milik Mbah jenggot. Dipan itu tidak beralaskan kasur, namun tumpukan kapuk yang terbungkus kain sejadinya. Akan tetapi cukup nyaman dan empuk untuk jadi rebahan badan sintal susi. Karena ukuran jarit yang kekecilan ditubuhnya, bagian bawah kemben tidak perlu ditariknya. Ia cukup mengangkang saja maka bongkahan pantat dan selangkanganya yang bersih langsung terpampang. Mbah Jenggot lalu naik kedipan di depan selangkangan Susi. Tapi Susi sendiri malah tampak memerah wajahnya.



"Uedian tenaaan!
Aku memang sudah tau kalo memekmu gundul nduk, tapi ndak kusangka liat dari deket ternyata semulus ini... ckckck..."

"Aiiih Mbah, jangan gitu, saya malu"

"Weleh weleh... iki memek tembem tenan, empuk dan munuk-munuk gini...", dengan tiba-tiba Mbah Jenggot makin mendekatkan diri dan memencet salah satu bagian gundukan daging memek Susi yang tebal.

"nyuk~"

"AAW!"

"JDUAK!"

"KADAL BUNTING! ADIAH!"

Tanpa sengaja Susi refleks mengapitkan kakinya hingga lututnya menghantam jidat Mbah Jenggot.

"Eh... aduh, maaf Mbah..."

"Awh... khekhe ndak apa-apa nduk... aduh...", sambil menggosok-gosok jidatnya yang merah, Mbah Jenggot berusaha sok kuat.

"Hihihi..."

Susi malah merasa geli melihat muka bloon mbah jenggot yang kesakitan.

"Susii susi... baru dipencet dikit aja langsung kejer, khekhekhe..."

"Abisnya Susi kaget mbah, geli, hihihi, maaf Mbah", kata Susi masih kegelian.

"Maap maap... lha terus ini gimana, wong aku mau gosokin ramuan ini di memekmu dulu lho..."

"Duh... gimana ya Mbah...", jawab Susi bingung.

"Ah yo wis, tak iket wae!"

Tiba-tiba Mbah Jenggot mengambil dua kain batik, dibuat dua tali dan diikatkanya kaki Susi pada pinggiran dipan.

"Eh, eh, lho... aduh, diapain kakiku mbah?"

"Wis to, diem wae... kalo ndak tak giniin, bisa-bisa benjol palaku kena tendang kowe!
Soalnya ini musti memekmu dulu yang dilulur, baru abis itu seluruh badanmu!"



Tak ada pilihan lain bagi Susi selain pasrah. Maka ia terpaksa mengangkangkan kakinya lagi sehingga terpampang lagi gundukan memek tebalnya yang tak berambut. Karena sesudah mandi dari sendang toyowengi, memek itu nampak bersih dan lembab. Mbah Jenggot menuangkan sedikit cairan ke telapak tanganya kemudian ia ratakan ke kedua telapak tanganya. Setelah itu ia memegang kedua paha bagian dalam Susi.

"Aiih", rintih Susi karena merasakan sekujur tubuhnya merinding.

Dengan perlahan Mbah Jenggot mulai menyentuhkan jemari kasarnya di kulit sekitar memek Susi. Untuk kesekian kalinya Mbah Jenggot hanya bisa geleng-geleng saking kagumnya dengan keindahan memek Susi. Dagingnya begitu tembem dan menggunuk tebal. Pori-pori kulitnya nampak putih halus kemerahan dengan garis mulut vagina yang sangat rapat. Dari ujung jari telunjuknya, Mbah Jenggot meneteskan cairan itu dan jatuh diujung ats bibir vagina Susi. Cairan itu mengalir turun dan masuk kesela-sela memek Susi. Tubuh Susi bergetar hebat.

"OOOUUUUHHH..... GEELII MBAAH..."

"Khekhekhe... wis tahan dulu..."



Mbah Jenggot lanjut mengoleskan cairan di telapak tanganya di permukaan memek dan sekitar selangkangan Susi. Kala kulit Susi merasakan cairan kental yang menempel kulitnya, Susi merasakan aneh. Ia merasakan hangat dan lembut seperti lotion kecantikan yang ia punyai. Mbah Jenggot mengoleskanya secara merata mengelilingi paha Susi, kemudian lanjut ke sekujur kakinya yang mengangkang lebar.
"Aiiiih.... aaaah... aaaaiiih..."

"Khekhekhe... iki memek apa apem... khekhekhe"

Kini kaki belalang Susi nampak mengkilat terlapisi cairan kental seperti madu yang harum. Sambil tetap mengelusi setiap jengkal kaki Susi, kontol Mbah Jenggot mulai merasakan ereksi lagi. Perlahan kontol itu membesar dalam celana belelnya. Disentuhnya paha Susi yang padat dengan sedikit meremas karena gemas. Begitu empuk dan kenyal terasa ketika ia memijatnya.

"Sssshhh... oooh mbaah... pijetanya enaak..."

"Khekhekhe... kulitmu juga enak nduuk, putih mulus... enak kalo diemek-emek... khekhekhe"



Sedari tadi mata Mbah Jneggot tak pernah lama lepas dari memek Susi. Ia seperti begitu penasarn dengan isi dan rasanya. Maka dengan berhati-hati ia mencoba menguak bibir memek tembem itu.

"AAAAUUUHH.... MBAAAHH... NGAPAIIIN?"

"Wooooh... tebel banget memekmu sah ayu... kayaknya legit ini', kata Mbah jenggot menahan air liurnya agar tidak menetes.

"Aiiih... jangaan mbaaah... gelii..."

"Ah mbah pengen lihat dalemnya...."

"UUUUAAAAIIIHH"

Perlahan-lahan Mbah jenggot merentangkan bibir memek Susi kekiri-dan kekanan, hingga terlihat bibir memek bagian dalam Susi yang berwarna merah muda. agak susah Mbah Jenggot melakukan itu sampai keringat keluar dari jidatnya.

"Weleh-weleh... iki memek janda kok rapetnya kayak gini... jangan-jangan kowe jarang dientot suamimu ya nduk?"

"Eh, enak saja... Mas Wira rutin mbah kalo maen sama Susi, tiap hari!", gerutu Susi memprotes karena merasa tidak terima.

"Weleh... sering dikontolin saja rapetnya masih kayak gini ckckck... Apa nanti kontolku muat ini?"

Sejenak Susi terhenyak dan melupakan kegelianya.

"Eh? Lho Mbah? Maksudnya muat apa?"

"Ya muat masuk ke memekmu nduk, wekhekhekhe..."

"Maksud Mbah Jenggot mau ngentotin Susi?!", nada Susi sedikit meninggi.

"Lhaiya nduk! Kalo ndak tak entotin, mana bisa Mbah masukin benih dalem rahimmu, katanya kowe pengen tuyul yang tercipta dari rahimmu dewe?!"

"................................"

Lama Susi terdiam, Susi baru menyadari betapa bodohnya dia tidak berpikir darimana dia akan hamil. Memang dia menginginkan Tuyul secara cepat, tapi dia juga menginginkan jenis tuyul yang paling bagus. Yang mana tuyul berkualitas tinggi yang mengabdi pada induknya berasal dari rahim induknya sendiri. Mau tak mau ia harus hamil bagaimanapun caranya. Sedangkan ia janda tanpa suami. Ia juga tidak mungkin mencari jodoh dulu untuk menjadi suami dan menghamilinya. Kebutuhan ekonominya sangat mendesak. Ia tak punya waktu banyak. Susi sekarang diterpa kebingungan kembali. Di sisi lain hanya ada Mbah Jenggot dengan kontol hitam besarnya. Namun sejujurnya ada rasa penasaran ketika ia mengingat kembali wujud kontol Mbah Jenggot yang kokoh berurat itu. Apakah kontol hitam itu mampu menjawab desakan birahinya yang rindu terjamah laki-laki. Berulang kali ia menimbang-nimbang didalam hati. Sementara Mbah jenggot mulai memijat memek Susi.

"AIIIIIIIHHH..."

Dengan intens Mbah jenggot meremas-remas bibir kemaluan Susi. disibakanya kuat kuat sampai merekah kemerahan. Maka kelentit Susi yang sebelumnya tersembunyi, kini menyembul keluar dan terlihat jelas. Klitoris itu nampak terjepit ditengah belahan memek Susi yang ketat, tepat dibagian atasnya. Ukuranya mungkin sebesar biji kacang, berwarna merah muda bersih. Kemudian meneteskan cairan yang tersisa di tanganya pada kelentit itu.



"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAWWWWWWWWWWWWWWWWWWWHHH"

Teriakan nyaring keluar dari mulut Susi. Begitu keras sampai memekakan telinga Mbah Jenggot. Bahkan mungkin menjadi sebuah jeritan lantang di tengah alas gungung kidul. Meski suaranya sedikit parau karena tercampur dengan perasaan terangsang.

"SETAN ALAS! pelan-pelan nduk!"

"Hh... hh... hh... maaf mbaaah... geliiihhh..."

"Wekhekhekhe, kayaknya aku nemuin lagi satu titik rangsangmu...", kekeh Mbah Jenggot dengan mata berbinar.

Dengan semangat, ia langsung memencet dan mengkilik-kilik klitoris Susi dengan jari-jarinya yang kasar.

"AAAAAAAAAAIIIIIIIIIHHHHHHH... AAAAAAHHHH... AAAAAAAAAAAHH....."

"Wekhekhekhe... jerit saja nduk! Jerit yang kenceng! Ndak ada yang bakal protes, Wekhekhekhekhe"

"UAAAAAAAAAH... AAAAAHH... NNNNNNHHHH... AAAAAAIIIIIIIAAAAHHH........"

Semakin kasar dan brutal Mbah Jenggot memainkan kelentit Susi. Sesekali ia menarik-nariknya dengan kuat.

"AAAAUUUUUWWWW MBAAAAAHHHHH...."

"Huekhekhekhekhe... Mbah gemes tenan cah ayu! Sekarang aku pengen nyucup itilmu!
Mmmuuuchhhhh.... cccyuuuuppphhh...", dengan membabi buta Mbah Jenggot menyucup kelentit itu dan menyedotnya kuat-kuat.

Mulut keriputnya memonyong dipadu lidah kasarnya mengenyot klitoris Susi sampai kemerahan. Susi sendiri menggelinjang-gelinjang dan tubuhnya tersentak-sentak. Polah tingkahnya sampai membuat ranjang dipan bergoyang-goyang. Susi tidak bisa berbuat apa-apa dengan kaki terkangkang dan terikat. Hanya tanganya yang masih bebas dan kini mencengkeram kepala botak berambut tipis Mbah Jenggot.

"AAAAAAAAH SUDAH MBAAAH SUDAAAH...."

"SRRYUPPPPHH... CLAP CLAP CLAP CLAP CLAP"

Kini Mbah Jenggot menjilat-jilat kelentit, bahkan tiap jengkal bibir memek Susi dengan ganas. Agaknya cengkeraman tangan Susi pada kepalanya tidak berarti apa-apa. Mbah Jenggot tetap menjilat, menyedot, dan kadang sengaja menggesekan gigi ompongnya bagaikan predator lapar.

"SSCRUUUPPUUUAHHH... SUEGERRR TENAAAN...
CYUUUPPHH CLAP CLAP CLAP CLAP... MMMMYUUUNMMNHHHH...
UENAK ENAK ENAK.... KHEKHEKHEKHE MMMYUUNNNNPPPHH AAAAHH"

Dengan tempo seperti itu, badan Susi, terutama pantatnya berkelojotan menghantam alas dipan. Sekujur bulu kuduk ditubuhnya meremang menandakan birahinya akan mencapai puncak. Sesaat kemudian badan Susi menegang dangan kencang.

"CRRRRRUUUUUUUUUUUUUSSSSSHHHHH.... CRUUUUUUSHHH..."

Satu gelombang orgasme menyemprot dari lubang memek Susi. Meski jarak semprotan tidak begitu jauh, namun tekananya mampu menyembur muka Mbah Jenggot.

"AAAAAAIIIIIIIHHH SUSI NGECRIT MBAAAAAAH..."

"CRRRSSSSSHH...."

"WUEKHEKHEKHEKHE... SEGEEER NDUUK SEGEEER....!"

"BRUK", tubuh Susi ambruk kebelakang, nafasnya tersengal-sengal.

"Hh... hh... hh... hh... hh..."

"Sluuurrrppphhh aaahh sluurrrpphh"

Sementara Mbah Jenggot masih menyeruput sisa-sisa orgasme Susi yang mengalir turun bercampur dengan cairan pelumas. Ia tidak peduli dengan pinggul montok Susi yang masih terkejat-kejat. Setelah selesai, Mbah Jenggot seakan tidak sabaran dan langsung mengambil mangkuk berisi ciran kental tadi dan menuangkanya kesekujur tubuh Susi yang tergolek lemas. Kini tubuh Susi sepenuhnya mengkilat seperti terolesi oleh madu.

"Hh... hh... hh... mau apa mbah?", ditengah sengalan nafasnya, Susi mencoba bertanya.

"Wekhekhe, sekarang saatnya nduk! Aku sudah ndak tahan lagi! Akan kunikmati badan semokmu sepuasku! Akan kutanam benih ke dalem rahimmu, biar kowe hamil, biar bisa jadi tuyul nduk...! Wekhekhekehe!", sambil mengatakan itu, mbah jenggot melucui semua pakaianya sampai telanjang.

Baru sekarang ia melihat Mbah Jenggot telanjang bulat. Tubuhnya sungguh menjijikan, kerdil dan keriput. Kulit tubuhnya nampak kasar dan kehitaman. Sekilas mirip kodok. Akan tetapi kejijikan Susi nampak terlupakan ketika ia melihat kembali kontol pusaka Mbah Jenggot yang kini mengacung tegak.



"Oooh... kontol gede itu... hitamnya... urat-uratnya... kepalanya...
Apakah aku sanggup menerima entotan kontol itu... apakah ini jawaban atas dahaga seksualku?", begitu batin Susi dalam hatinya.

"Oh Susi yang susunya gede... Wekhekhekhekhe"

Di tengah kegalauanya, Susi membiarkan saja Mbah jenggot menjamahi tubuh sintalnya sambil meratakan cairan ramuan. Tangan kasar itu tak hentinya meremas atau sekedar menowel bagian-bagian tubuh paling sensitif Susi. Sesekali Susi merintih karena geli atau kaget. Sedangkan Mbah Jenggot menanggapinya hanya dengan terkekeh-kekeh. Seperti boneka mainan, Mbah jenggot mengowot-owot daging tubuh Susi yang montok. Sampai di gundukan dada Susi yang mengembang penuh Mbah Jenggot semakin bersemangat. Bahkan ia memencet mencet dengan kasar.

"AAAAIIIIH... GELI... MBAAAH...."

"Wuekhekhekhe, mbah ndak tahan cah ayu... pengen mbetot ini lho!"

"AAAAAAAAAAAAAAWWWWWWWHH"

Dengan brutalnya Mbah Jenggot meremas payudara Susi dengan kuat. Dan ketika dilepaskan, daging payudara itu berdenyut pelan dan kembali ke bentuk asalnya membulat. Itulah yang membuat Mbah Jenggot gemar meremas payudara Susi seperti mainan. Semakin keras ia membetot maka semakin kenyal pantulan yang ditimbulkan.



"IAAAAAAAH SUUUDAAH MBAAAAHHH... SUSU SAYAAA JADI MERAAAH.... AWWWWWHHHH"

"Wekhekhe.. biarin nduuk... susu putihmu jadi merah-merah.... wekhekhekeh...."

Tangan susi mencoba untuk menyingkirkan tangan Mbah Jenggot yang bergerak dengan liar. Namun usahanya itu sia-sia. Bagaimanapun ukuran payudaranya yang amat besar tak bisa ia lindungi dengan seluruh tanganya. Badan indah Susi meronta-ronta menerima remasan nakalMbah jenggot di sekujur tubuhnya.

"KYAAAAAAAAHHH.... AAAAAAAAAAAAAAAWWWWWWWW... AAAAAAAAAAAH...
AAAAH..... AAAAH.... IIIIIIIIHHH... AAAAAIIIIIIIIIIHH... AAAAADUUUHHH... UUUUUUHHH...
AAAAAIIIIIIHHHH.... MMMMHHHH.... IIIIIIHHH...."

"Hus! Diem nduk! Wekhekhekhe... CYUUUUUUPH"

Tiba tiba Mbah Jenggot mengecup bibir Susi yang berteriak-teriak bagai kesetanan.

"MMMMFFFH..."

Mbah Jenggot mengatupkan mulut keriputnya di bibir seksi Susi untuk membungkam jeritanya. Sementara mulut Susi yang memang menganga karena menjerit disosor saja oleh gigi-gigi Mbah Jenggot. Dengan itu, lidah Mbah Jenggot menari-nari mengobok rongga mulut Susi yang bersih. Gigi kuning Mbah Jenggot dan bau mulutnya dirasakan Susi sangat tidak enak. Ia berusaha melepaskan diri tapi tidak bisa. Akhirnya ia cuma bisa mengeluarkan air liur di sela bibirnya, mengalir turun membasahi tahi lalatnya.

"CYUUUUUPPPPHH...AAHHH... SLUURRPPPHH..."

"AAAHAKGHMMMMMFFMMMNNNMM...."

"CLAPH CLAPH CLAP..."

Jilatan Mbah Jenggot pada bibirnya membuat Susi meringis menahan sambil memejamkan mata. Akan tetapi tiba-tiba ia merasakan serangan Mbah Jenggot berhenti. Saat ia membuka mata pelan-pelan...

"PLAK!"

Mbah Jenggot menepukan kontol besarnya pada pipi mulus Susi. Mata Susi terbelalak kaget. Kontol jumbo itu lagi-lagi mengacung tegak di depan matanya.

"PLAK! PLAK! PLEK! PLAK!"



Dengan kasar Mbah Jenggot menamparkan kontolnya di wajah Susi. Di pipinya, di dahinya, hingga digesek-gesekan dibibir Susi.

"SSSSHHHH OOOOHHH... GELI GELI ENAAK..."

"Auuuuh.... mmmmhh..."

"Brrrrrr"

Badan kerempeng Mbah Jenggot bergetar saking nikmatnya ia merasakan kontolnya tergesek kulit mulus Susi. Perlahan-lahan gelombang birahi menjalari tubuhnya menuju puncak kenikmatan. Kontol hitamnya berkedut-kedut seperti akan memuntahkan muatanya. Tapi dengan cekatan Mbah Jenggot menggenggam kepala kontol itu.

"Khekhekhe... belum saatnya..., aku masih pengen main-main sama susu montok, wekhekehekhe...", kekeh Mbah Jenggot sendiri.

Sementara Susi hanya terdiam menyaksikan tingkah Mbah Jenggot, si dukun gendeng itu meletakan kontolnya di belahan payudara Susi. Kedua tangannya memegang bagian luar susu Susi kiri dan kanan, lalu mendorong keduanya untuk menjepit kontolnya.



"UUOOOOOHHHSSSHHH..... ANGEEEET... EMPUUUUK..."

Ia merasakan himpitan yang nikmat di batang kontolnya. Begitu kenyal dan hangat. Ia meringis memejamkan mata sambil mendesis-desis. Dan dengan gerakan maju mundur pinggulnya, ia mulai mngocokan kontolnya di belahan payudara Susi. Karena begitu enaknya, Mbah Jenggot mempercepat genjotanya hingga paha keriputnya beradu dengan kulit dada Susi yang padat.

"SPLEK... SPLEK... SPLEK... SPLEK... SPLEK..."

"AAAH... AAH... MBAAAAH.... AAAH.... AAAH... AAH..."

"Huekhekhekhe... nikmaat tenan ngentotin susumu nduuuk... ssshhh... wooohhh..."

"SPLEK... SPLEK... SPLEK... SPLEK... SPLEK..."

Semakin cepat tempo kocokan dan semakin erat Mbah Jenggot menjepitkan payudara Susi pada kontolnya membuat sekujur tubuhnya menegang. Perlahan lahan ia angkat pantatnya dan memposisikan diri seperti orang menungging. Seiring dengan kakinya yang sedikit berjinjit, ia tarik kedua payudara Susi sedikit keatas. Hingga dada Susi sekarang membusung naik, Susi menopang tubuhnya dengan bertumpu pada Sikunya. sementara Mbah Jenggot menghentak-hentakan pinggulnya bagai kesetanan.

"HUEEEKHEKHEKHE... UEEENAAK... UENAAAK TENAN NGENTOT SUSU!" SUSU GEDEE! WEKHEKHEKEHE...!"

"NGGH... AAH... AAH... AAH... MMH..."

"WUOKH... MMGGHH... AKU MAU NGECROOOT CAH AYUUUU!
TERIMA INIIII....!"

"CRROOOOOOOOOT... CRROOOOOOOOOT... CRUOOOT... CROOOOOT... CROOT"

"BRUK", sekali lagi Susi menjatuhkan dirinya seiring semburan peju Mbah Jenggot di payudara dan sekitar dagunya.



"Huwoooh.... nikmat cah ayu!... Sshh...", sambil merem melek keenakan Mbah Jenggot mengurut kontolnya mengeluarkan sisa-sia pejunya.

"Hh... hh... hh... hh..."

Susi sangat kuwalahan sampai nafasnya terengah-engah. Keringatnya bercucuran membasahi tubuhnya yang sintal. Keringat itu bercampur dengan cairan kental ramuan dan peju mbah Jenggot membuat tubuhnya mengkilap. Mukanya bersemu merah dan matanya sayu pertanda pasrah. Ia tidak menyangka ia akan dimainkan habis-habisan oleh seorang dukun tua sinting. Tiba-tiba ia ingat pesan Bu Siti, mungkin memang inilah resikonya, mungkin ini yang dibilang Bu Siti berat. Namun jikalau seperti ini tampaknya masih lebih berat apabila dia harus menanggung beban hidupnya sendiri.

Di tengah lamunanya, tanpa Susi sadari Mbah Jenggot merangsek turun perlahan dari atas perutnya. Tiba-tiba si tua itu menjilat lagi kemaluan Susi yang basah kemerahan.

"AKH"

Sambil memekik karena terkejut, Susi mengangkat sedikit kepalanya dan melongok ke bawah. Disana Mbah Jenggot sudah memposisikan diri menungging dan memegang kontolnya. Dan yang dilihat Susi lagi-lagi membuat nya takjub

"EDAAN... Kontol itu bukanya sudah ngecrot banyak?! Eh, bukanya di sendang toyowengi tadi juga ngecrot banyak?! Kenapa
masih ngaceng gede gitu?!", batin Susi.

Memang itu adalah hal yang luar biasa, ilmu kanuragan yang dimiliki Mbah Jenggot membuat kontolnya mampu ereksi tahan lama. Hal itu juga yang membuatnya bangga dan nakal pada wanita, karena memang sifat dasarnya yang cabul. Apalagi kemampuanya untuk merangsang wanita, membuatnya jadi pecandu seks golongan parah. Hidup sendiri di tengah belantara hutan, ia jarang dipuaskan oleh sosok wanita. Terlebih lagi sekarang ada wanita semolek Susi di depannya, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

Setelah ia merasa posisinya sudah benar, perlahan-lahan kepala kontol kemerahan itu menyeruak masuk.

"A.............KH.............."

Susi seperti menjerit tertahan. Mulutnya menganga tanpa mengeluarkan suara apa-apa, hanya pekikan yang tertahan. Seakan selaras dengan mulut memeknya yang melebar menyesuaikan kulit kontol yang menggesek masuk. Bibir kemaluan Susi mencengkeram batang itu dengan erat, sehingga menyulitkan penetrasi Mbah Jenggot.



"Uooooohh... ssshhh... peret bener nduk... padahal kowe sudah ngecrit tadi...
NGGGGGGHH..."

Segenap kekuatan dilancarkan Mbah jenggot untuk memasuki liang surgawi Susi. Keduanya merasakan sakit yang luar biasa pada kemaluan mereka masing-masing. Sesekali Mbah Jenggot menghentikan doronganya untuk mengatur nafas lagi.

"HNGGGHHH... hh... hh... hh... edan edan edaan... memekmu rapet tenan cah ayu..."

"Uuuuuhhhsssshhh... kontol Mbah saja yang gede tenan mbaah... aduuuuuh..."

"Kalo gini caranya kita harus pake pelicin nduuk...
Mana... mana tadi minyak madunya...", Mbah Jenggot clingak clinguk mencari minyak ramuan tadi
"AAGH ****** AKU... kenapa kutuang semua..?!", sambil menggerutui dirinya sendiri mbah Jenggot menggaruk kepala botaknya.

"Sssshhh... oooh mbaaahh... ngiluuuu..."

"Diem dulu nduk!... Oh ya, botol minyaknya?!......
AAAGH SONTOLOYO! Kenapa aku taroh disana?!", semakin frustasi mbah Jenggot melihat botol minyak yang ia guankan sebagai ramuan tergolek di meja. Ia tidak ingin beranjak melepaskan kontolnya karena ia tidak mau usaha kerasnya memasuki memek Susi sia-sia. Tapi Mbah Jenggot tidak kehilangan akal

"Wekhekhekhe... JUHH... JUHH...!", Ia meludahi kontolnya dan memek Susi. Kemudian dengan ibu jarinya ia mengkilik-kilik klitoris Susi.

"UUUAAAAAAHHHH.... AAAIIIIIIIIIHHHHH"

Susi kembali berkelojotan karena terangsang. Akan tetapi Tangan kiri Mbah jenggot memegang erat pinggangnya agar tidak berontak semakin liar, agar kontolnya tidak terlepas. Suara derit ranjang kayu kembali terdengar berdecit decit karena polah tubuh Susi yang memang bongsor.

"KRIET... KRIET... KRIET..."

Tak lama kemudian, karena intensitas kilikan pada kelentit Susi, akhirnya wanita montok itu mencapai orgasmenya lagi.

"NNNNGGGGHHHHH... AAAAAAAHHHHHH...... AAAAH... SAYA NGECRIT LAGI MBAAAH...!"

"CRUUUUUUT... CRUUUUUUSSSHHHH... CRRSSSSHH..."

Cairan kewanitaanya kembali membanjiri lubang memeknya yang tersumpal kontol Mbah Jenggot.

"WEKHEKHEKHE... Berhasil cah ayu! Sekarang sudah licin! Rasakan kontolku cah ayuuuu!
HNNNGGGGGHHHHH!"

Tanpa babibu Mbah Jenggot mendorong kontol hitamnya sekuat-kuatnya.

"ZLEB!"

"AAAAAAAAAAAAAAWWH"

"GHUOOOOOOOOOOH"

Ia mendiamkan sebentar, merasakan otot-otot dinding memek Susi yang menjepit erat urat-urat kontolnya. Begitu hangat dan lembab dirasakanya. Mata tua mbah jenggot merem melek sambil kepalanya mendongak keatas merasakan sensasi liang surgawi seorang wanita bertubuh molek. Kedua tanganya ia cengkeramkan erat di lutut Susi yang mengangkang. Lalu setelah ia selesai mengatur nafas, ia tarik mundur sedikit demi sedikit kontolnya.

"ZREET"

"AUH AUH AUH AUH..."

"Ssh... sakit cah ayu?"

"Uuh... perih Mbah..."

"Wekhekhe...ndak cuma kowe... kontolku juga ngilu... ooogh"

Sangat sangat pelan Mbah jenggot menarik mundur sampai bibir kemaluan Susi ikut tertarik. Hingga menyisakan kepala kontolnya yang masih didalam, Mbah Jneggot melakukan terobosan lagi. Susi terlihat meringis menahan ngilu. Akan tetapi ia nampak penasaran dengan proses penetrasi mbah Jenggot. Ia melihat selangkanganya dimasuki oleh batang sebesar itu dengan takjub.

Perlahan-lahan kontol itu bisa keluar masuk dengan lancar meski ketatnya jepitan memek Susi tidak berkurang. Lalu Mbah Jenggot mulai menggoyang pinggulnya menggenjot selangkangan Susi.

"ZLEB... ZLEB... ZLEB... ZLEB... ZLEB..."

"WEKHEKHEKHE... Kontolku rada nyeri tapi wuenak tenan iki!", kata Mbah Jenggot ditengah genjotanya.

"UAAH... AAH... AAH... AAH... AAH..."

Meski tak mengatakanya dan hanya mengeluarkan desahan-desahan nyeri, Susi sendiri mulai merasakan nikmat di dalam memeknya. Dinding memeknya yang bergerinjal, yang ia rindukan untuk digesek oleh batang kontol akhirnya kesampaian juga. Perasaan nyeri bercampur nikmat melebur menjadi satu menjalari sekujur badannya yang berkelojotan menerima gempuran kontol mbah jenggot. Sedikit demi sedikit tempo enjotan Mbah Jenggot semakin cepat. Ia menyadari betapa legitnya mengocok-ocok batang kontolnya di memek peret Susi. Ditambah pemandangan tubuh bahenol Susi yang terhentak-hentak mengkilat. Membuat si tua bangka itu semakin buas menyetubuhi Susi.

Cairan cinta yang keluar dari liang senggama Susi membuat kocokan Mbah Jenggot menjadi lembab berkecipak. Bagaikan dua daging tebal yang bertumbuk basah menderu-deru diatas ranjang yang berdecit. Erangan dan rintihan penuh nafsu keluar dari mulut Susi yang terkadang menganga, atau menggigit bibir bawahnya.

"ZPLOK...ZPLOK... ZPLOK... ZPLOK... ZPLOK... ZPLOK... ZPLOK...ZPLOK... ZPLOK... ZPLOK... ZPLOK... ZPLOK..."

"KRIET... KRIET... KRIET... KRIET... KRIET... KRIET... KRIET... KRIET..."

"AIIIIIH... AIIIH...AAAH...AAH... AAH... AH... AH... AH AH AH AH... AAAH... AAUUUHHH..."

"HUOOOGH.... SSSHHHH AAAHHH... NIKMAAAT... NIKMAAAT TENAN CAH AYUUU!"

"AAH... AUUH... SAKIIIT MBAAH...!"

"OOGH... SSH... WEKHEKHE... SAKIT APA ENAAK?"

"SSSH... MMMHH... SAKIIIT..."

"SAKIIT..., APA ENAAAK...?"

"MMMHH... ENN... EH, SAKIIIT MBAAAH!"

"WEKHEKHEKHE... NDAK USAH MUNAFIK CAH AYU... KALO ENAK BILANG ENAK... KAYAK AKU GINI...
SUEEGERRR TENAAAN...! WOOOOH... SSSHHH...!"

Memang tidak dapat dipungkiri, tojosan demi tojosan dari kontol tebal Mbah Jenggot mampu menyumpal lubang vagina Susi yang ketat. Ia merasakan betapa nikmatnya garukan urat-urat kontol hitam itu pada dinding memeknya yang bergerinjal lembab. Payudara Susi yang berguncang seiring sdodokan Mbah jenggot, membuat si tua bangka itu gemas. Maka ia meremasnya kuat-kuat sambil tetap menusuk-nusukan kontolnya. Dibetotnya kuat-kuat susu padat itu sampai seakan jari-jarinya tenggelam diantara daging payudara Susi yang tebal.

''AAAAAAIIIIIIIIHH..."

"MUEKHEKHEKHE", tak menghiraukan rintihan Susi, Mbah Jenggot malah menggerakan jarinya meremasi payudara di genggamanya.

Susi sendiri mulai kehilangan kendali akan kewarasanya, dan itu terwujud dari kepalanya yang bergeleng kekiri dan kekanan bagai kesurupan. Sedetik kemudian, ia merasakan lagi sekujur tubuhnya menegang, bagai tersetrum listrik tubuhnya bergetar hebat membuat darahnya naik keubun-ubun, lalu...

"CRRRRRRRRRRRRSSSSSSSHHHH... CRRRRRUUUUUUSSSHHH..."

"WUOOOH KHEKHEKHE... KOWE NGECRIT LAGI NDUK...! UUGH KONTOLKU RASANYA DISIRAM AER ANGET DI DALEM..."

Sambil menikmati sisa-sisa denyutan memek Susi, Mbah Jenggot membiarkan wanita semok itu menghabiskan kedutan pinggulnya. Rambut hitam indahnya awut-awutan menutupi wajahnya. Namun Mbah Jenggot tau pasti, Susi mengalami orgasme yang hebat, yang bisa memuaskanya sebagai wanita.

"Gimana... enak nduk? Khekhekhe", goda Mbah Jenggot.

"Hh... hh... hh... hh...", tak menjawab, Susi cuma terengah-engah mengatur napasnya.

"Tapi masih belum nduk..., benihku belum tertanam di dalem rahimmu..."

"Hh... hh... hh... hh..."

Lalu Mbah Jenggot melakukan satu tarikan pelan pada kontolnya. Akan tetapi saking besarnya kontol itu, daging bibir kemaluan Susi ikut tertarik maju mengikuti tarikannya.

"UUUUUUHHHSSSSSHHH... Mbaaah... periiih..."

"NGGGGHH... tahan bentar nduk...aku juga ngilu"

"PLOP!"

Terlepas juga akhirnya kontol mbah jenggot termantul mantul menyisakan rongga memek Susi yang merah menganga. Namun tak berapa lama segera menutup kembali merapatkan bibir tembemnya. Mbah Jenggot beranjak melepaskan ikatan di kaki Susi, lalu memapahnya untuk duduk. Meski tubuh Susi masih sedikit gemetaran, Mbah Jenggot menyuruhnya sedikit menaikan pinggulnya. Kemudian Mbah Jenggot memposisikan diri berbaring telentang di antara paha Susi. Kontolnya yang hitam panjang menyentuh bibir kemaluan Susi yang masih nampak mulus kemerahan. Susi langsung mengerti apa yang menjadi kemauan Mbah jenggot. Perlahan ia turunkan pantatnya, sambil tangan kananya memegang kontol Mbah Jenggot dan tangan kirinya menyibakan memeknya sendiri. Disaat kelentitnya menyentuh kepala kontol hitam itu, Susi sempat bergidik merinding hingga terlepas pijakanya...

"Nyut..."

"MBYOT"

"BABI NGEPET!", Mbah Jenggot spontan berteriak karena perut kerempengnya tak sengaja ditimpa oleh pantat besar Susi

"Hihihi...", Susi bukanya minta maaf malah kegelian.

Akhirnya Mbah Jenggot sendiri yang menuntun kontolnya untuk menembus lagi liang kenikmatan Susi. Dengan usaha keras, dibantu oleh ketelatenan Susi menurunkan pinggul seksinya, kontol kokoh itu berhasil masuk

"ZLEBB!"



Sensasi itu datang lagi. Perasaan disumpal oleh batang kejantanan yang ekstra besar, yang memenuhi rongga kemaluanya, membuat Susi meringis menahan nikmat. Tanpa sadar dengan refleks kewanitaanya, otot-otot vaginanya mulai berkontraksi dan memijit-mijit kontol Mbah Jenggot dari dalam.

"UWOOOOOOH... EMPOT-EMPOOOT...!"

Kemudian Susi mulai menggerakan pinggulnya maju mundur, menarik dan mengurut kontol Mbah Jenggot. Sedangkan si dukun gendeng itu cuma bisa merem melek keenakan. Apalagi gerakan pinggul Susi yang mulai bervariasi, mengulek-ulek dan menaik turunkan pantat bahenolnya.

"SPLOK... SPLOK...SPLOK... "

"OOOOH... UEDIAAAAN UEDIAAAN... WUENAK TENAAANN... SSSHHH..."

Bertambah keras hentakan pantat Susi menghantam selangkangan Mbah Jenggot seakan ingi membalas dendam. Diiringi dengan rintihan suara seraknya, meski lebih bisa dibilang jeritan, karena Susi mengerang dengan lantang. Membuatnya seperti kuda binal yang sedang mencari puncak birahinya.

"ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK"

"AIIIH AIH AIIIH AAIH AAAH AAH AIIIH ....AIIIH AAAH AIIIH AIIIH"

Mbah Jenggot tidak tau harus berkata apa, ia melihat geolan pantat Susi yang aduhai. Karena gemasnya, Mbah Jenggot membuatnya menampar pantat yang neik turun memantul-mantul itu keras-keras.

"PLAK! PLAK! PLAK!"

"AWH...ADUH... NANTI PANTAT SUSI MERAH MBAAH...AWH!"

Mbah Jenggot tak peduli, hanya kenikmatan luar biasa yang ia rasakan. Pantat montok Susi menghantam dengan liarnya. Dan seperti tak mau kalah, sepasang payudara jumbonya ikut memantul indah didepan mata Mbah Jenggot. Naik turunya seakan menantang Mbah Jenggot untuk menjamahnya.



"UWOOOH SUSUMU NDUUK... SUSUMU..", seru Mbah Jenggot sambil meremas dan mengowot-owot susu Susi dengan ganasnya.

"AIIH... Mbaah..., mbah suka susu Susi?"

"Khekhekhe... orang mana yang ndak suka sama susu gede montok anget empuk kayak punyamu ini nduk?!", kata Mbah Jenggot sambil menguyel-uyelkan wajahnya diantara buntalan dada itu.

"Aiiih... tapi susu Susi sudah ndak perawan lagi mbaah, auuh..."

"Khekhekhe... tapi anehnya susumu ini ndak kendor nduk, malah masih kenceng, masih kenyel... ugh", Mbah Jenggot kini mencubit kedua puting payudara Susi.

"Aiiih... jangan digituin mbaah, nanti saya ngecrit lagi...."

"Wekhekhekhe...biarin... NYOMMMH MYUMMMMPPPUAH... SLUUURRPPPHH...", Bukanya berhenti, Mbah Jenggot malah mengenyot payudara Susi lagi.

"NYOM NYOM NYOMMUAHH... Memang enak tenan ngentot sambil nyusuuummmh"

"ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK"

"AAAAAAAAAWHH... AAA SAYA NGECRIT LAGI AAAAAAAAAAAAAAAHHHH..."

"CRRRRRUUUUUUSSSSHHH...CRUUUUUSSSH..."

"WEKHEKHEKEHEKHEKHE"

Kali ini orgasme Susi sangat deras melumuri batang kontol Mbah Jenggot. Mbah Jenggot sendiri sambil terkekeh tidak memberi kesempatan Susi untuk beristirahat sejenak. Langsung ia dorong tubuh Susi ambruk terlentang dengan kontol masih tertancap di memeknya.

"OOOH NDUK SUSI... KONTOLKU JUGA SUDAH NDAK TAHAN PENGEN NYEMBUR SEKARANG!"

"ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK""

Dengan membabi buta Mbah Jenggot mengentot Susi dengan tenaga yang luar biasa. Susi melirik gundukan memeknya yang memerah saking beringasnya sodokan kontol gede itu. Cairan orgasmenya yang sudah membanjir berkecipak dan membuat memek Susi menjadi berbusa. Di dalam rongga kemaluanya, kepala kontol Mbah Jenggot menyodok-nyodok mulut rahimnya Susi paham betul, dengan gempuran super cepat ini adalah saat-saat pria akan mencapai klimaksnya. Inilah saatnya si dukun gendeng itu akan menyemprotkan peju kedalam rahimnya. Peju yang berisi benih yang akan menjadi janin dan menjadi tuyul pada akhirnya.

"IYAAAH... TERUS MBAAAH... DALEM BANGET MASUKNYA MBAAH!"

''OOOGH... KETAT BENER JEPITAN NONOKMU NDUUK... KONTOLKU JADI BERRASA DIURUT.... OOOHHHSSHHHH"

"ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK"

''AAAH... AAH... AAH... AH... MBAH AJA YANG KONTOLNYA KELEWAT GEDE AAAH... AIIH... AIIH... BIKIN SUSI NGECRIT TERUSS.... AAUH"

"WUEKHEKHE...KAYAKNYA KOWE SUDAH KESENGSEM SAMA KONTOLKU YA NDUK?"

"AIIH AAH AAH IYAA MBAAH... SODOK! SODOK LEBIH KENCENG MBAH! AUH...AH"

"WOOOGH...APANYA YANG KOWE SUKA NDUUK SSSHH...?!"

"ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK"

''SEMUANYA MBAAH...! GEDENYA..., KEPALANYA..., ITEMNYA! AAAAAAH MBAAAH SODOOOK!"

''WEKHEKHEKHE...KOWE BINAL BENER CAH AYU.... UUWOOOOGH''

''SUSI MEMANG BINAL MBAAAH.... AAAH AAIIIHH... ENTOTIN SUSI MBAAAAH... SEMBURIN PEJU KENTEL MBAH JENGGOOOT, HAMILIN SUSI... OOOHHH... KASIH SUSI BENIH TUYUUL MBAAAH... AAAAIIIIIIIHHH KONTOL MBAH ENAAAK, NIKMAAAAAT''

''AAAAAAAGHHH NGENTOT TENAAAN KOWEEE SSSUUUUUSSSSSSIIIIIIIIIIIIIIII!"

"CCCRRRRRRRRRRRUUUUUUUOOOOOOOOOOOOOTTTTTTTTT.... CROOOOOOOOTTTTT... CCRRRROOOOOOOOOTTTTTT!"

"CCRRRRRRRUUUUUUUSSSHHHH.... CCCRRRRRUUUUUSSSHHHHH...."

Satu tusukan kuat dan kencang Mbah Jenggot menyemburkan sperma kentalnya di dalam memek Susi, beberapa cipratan berhasil memasuki rahim wanita itu. Sisanya menyemprot kuat dinding memek Susi, bercampur dengan cairan orgasme Susi yang lagi-lagi berhasil muncrat. Tubuh keduanya menegang selama beberapa detik. Keduanya meresapi puncak kenikmatan yang menjalari sekujur tubuh mereka.

Tiada kata sama sekali yang keluar, hanya murni kenikmatan dua insan manusia di tengah lebatnya rimba gunung kidul. Sunyinya malam seakan memahami perasaan lega dan enak yang diperoleh Mbah Jenggot dan Susi. Dan kemudian...

"BRUK", Mbah Jenggot menjatuhkan tubuh kerempengnya yang penuh keringat diatas tubuh montok Susi yang juga mengkilat karena peluh bercampur cairan ramuan. Kepalanya jatuh tepat diatas susu sintal Susi. Bagaikan berbantal empuk, dukun sinting itu terengah-engah mengatur napas.

"Hh... hh... hh...".



Masih belum berkata apa-apa, Susi masih merasakan rahimnya terisi oleh cairan kental. Begitu hangat mengalir di dalam rongga memeknya, bersamaan dengan kontol Mbah Jenggot yang masih berkedut-kedut menyumpal memeknya. Dirinya sendiri sudah kehilangan tenaga dan memilih berdiam diri dulu. Ia sempat melihat Mbah Jenggot menowel puting payudaranya dengan nakal.

"AUW"

"Khekhekhe..."

Namun kemudian si dukun itu entah bagaimana tertidur diatas payudara montoknya. Susi membiarkanya, karena ia kini melihat langit-langit atap Mbah Jenggot yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Matanya menerawang jauh keatas, dalam pikiranya ia membatin

"Ooh... Mas Wira, maafkan adek mas..., ini semua demi kelanjutan hidup adek...
Adek akan membuat benih tuyul didalem rahim adek tumbuh subur, dan pada akhirnya nanti akan membantu adek melanjutkan hidup..."

Sayu mata bulatnya perlahan menutup...

BAGIAN 8




"Cuit... cuit... cuit... krrrrr... cuit... cuit..."

"Sryuuupphh... aah CLAP CLAP CLAP CLAP... Nyommmh... nyummmmpokh"

Seorang wanita cantik tergolek pelan diatas dipan kayu dengan rambut awut-awutan. Matanya masih berusaha terbuka dengan sempurna sementara pegal dirasakan si sekujur badanya yang bagus. Terdengar kicau burung pagi bersamaan dengan sinar mentari yang menembus celah dinding kayu menyilaukan matanya. Kesadaranya belum sepenuhnya terkumpul, namun ia merasakan benda lunak basah sedang menyapu dan menarik-narik daging payudaranya. Disaat ia cukup mampu untuk sedikit menggerakan kepalanya, ia memandang kebawah, kearah buntalan buah dadanya yang menggunung. Disana didapatinya kulit dadanya yang putih terdapat bekas-bekas merah. Lumayan banyak karena memang area dadanya yang besar.

Ketika ia melihat lebih jelas, dari balik bulatan susunya, atau dibagian bawahnya muncul kepala botak keriput dengan sisa-sia uban sedang bergerak-gerak. Kepala itu perlahan naik, memperlihatkan wajah tua dengan wajah cabul tapi dengan mata terpejam. Menyusuri areola dadanya dengan lidah penuh liur yang disapukan. Wajah berkumis dan berjenggot putih itu memiliki gigi ompong yang menggesek kulit payudaranya.

"HAMH!"

"AAAIIIIH"

"Mmh.. CPUK! Lhoh sudah bangun kowe cah ayu... khekhekhe"

"Auuh... kok susu saya dicaplok mbah?"

"Wekhekhekhe... abisnya aku ndak tahan, pagi-pagi dikasih liat susu segini gedenya..."

"AUW"

Kata Mbah Jenggot sambil memencet pentil Susi.

"...ya tak kenyot kenyot... Khekhekhe..."

"Aih aih... tapi kok susu Susi jadi mbekas merah-merah gini?", kata Susi sambil tanganya menyentuh dadanya sendiri.



"Wekhekhekhe... kwi Mbah cupangin nduk, biar susu putih mulusmu ada coraknya! Wekhekhekhekhe!", kekeh Mbah Jenggot kegirangan.

"Iiish... Mbah nakal tenan!", gerutu Susi.

"Sekarang ngangkang nduk! Mbah mau nyodok memekmu lagi!"

"Lho.. lho, buat apa Mbah?", kata Susi panik saat Mbah Jenggot berusaha menyibak selangkanganya.

"Lha ya buat ngisi rahimmu sama benih tuyul lagi!", jawab Mbah Jenggot sembari memegangi kontolnya.

"Lhah? Bukanya semalem sudah Mbah?"

"Owalah nduk, kalo cuma semprotan semalem ya masih kurang tho ya!"

"Eh, tapi...", perkataan Susi terhenti saat ia lihat lagi wujud kontol Mbah Jenggot. Kontol hitam besar panjang berurat itu sudah ngaceng penuh bersama kepala kemerahanya yang berkedut-kedut.

"Ooh kontol gede itu lagi... Kontol yang semalam menyodok-nyodok memeku sampe ngilu, yang menyumpal rongga memeku dan nyemprotin peju anget ke rahimku...", batin Susi dalam hatinya. Tanpa ia sadari otot vagina didalam memeknya berkedut-kedut seakan merespon pikiran birahinya. "Eh... kenapa ini...? Kenapa memeku jadi gatal? Kenapa memeku pengen digaruk?"

Sementara Susi tenggelam dalam lamunanya, Mbah jenggot sudah memposisikan kontolnya lurus menyentuh bibir memek Susi.

"CLEP"

"AAAAWH"

"Hooh... brrrrr... anget tenan!", tubuh Mbah jenggot gemetar saat dirasakan bibir kemaluan Susi yang hangat menyentuh lubang kencingnya.

Akan tetapi, alih-alih memasukanya, Mbah jenggot malah mendekatkan wajahnya di depan wajah Susi. Susi yang tidak menyangka wajah mesum dukun itu mendekat didepan wajahnya, memasang ekspresi heran dan sedikit takut. Ia perhatikan kulit wajah Mbah jenggot dan gigi ompongya menyeringai seperti sedang merencnakan sesuatu yang nakal.

"khekhekhe..."

"MBYOT"



"UAAAH!"

Tiba-tiba Mbah Jenggot membetot kedua payudara Susi dan membuat wanita cantik itu menjerit. Dan saat mulut Susi menganga...

"CYUPH!"

Sebuah ciuman, tepatnya caplokan mulut keriput Mbah Jenggot pada bibir empuk Susi tanpa ia duga. Dengan buasnya Mbah Jenggot menyosor bibir Susi, menjilati bibir bawahnya yang sedikit tebal. Mata Susi terbelalak kaget, ia berusaha meronta namun sia-sia.

"MMMH... AAHMmmmmhh...mbahhmmm...,,"

"SLURRPPPP... CYUMMMMHHH... CUMMHMMUAAMMhh..."

Lidah Mbah Jenggot menari-nari dan menyapu deretan gigi putih Susi. Sedangkan Susi sendiri tidak bisa melepaskan mulutnya hanya bisa mengeluarkan liur yang sesekali malah diseruput Mbah Jenggot. Air ludah keduanya bercampur. Sampai akhirnya...
Mbah Jenggot menghentikan kulumanya dan mencengkeram mulut Susi dengan tanganya. membuat mulut Susi menganga tidak terkatup, sementara didalamnya terkumpul lendir liur dari mulut Susi.

"Khekhekhe... jangan ditelen!", perintah Mbah Jenggot sambil tanganya yang satu lagi mengambil tangan Susi dan memposisikanya menengadah di bawah dagunya.

"Ludahin tanganmu dewe!"

Susipun menurut dan mengeluarkan air liurnya ke telapak tanganya.

"Sekarang olesin ke lobang memekmu dan kontolku!"

Dengan menahan posisi telapak tangan agar tidak tumpah, Susi lalu mengoleskan ilernya ke kontol mbah Jenggot dan sekitar bibir memek mulusnya sampai mengkilap basah.



"Khekhekhe... Bagus susu gede!", kata Mbah Jenggto sambil tanganya memencet-mencet susu Susi.

Setelah Susi selesai melumaskan kontol Mbah Jenggot dan memeknya sendiri. Mbah Jenggot mulai melakukan penetrasi.

"Khekhekhe... gini baru enak basah... NGGGGHH!
Oooogh... rapet tenan memekmu cah ayu...!"

Perlahan-lahan kontol perkasa Mbah Jenggot menyibak bibir memek Susi. Menyeruak masuk bagaikan membelah lipatan daging tebal yang mulus tanpa cela. Proses pengeboran ini membuat Susi meringis menahan sakit. Tanganya ia remaskan ketepi dipan di kanan-kirinya.

Dorong dan dorong lagi semakin dalam hingga kepala kontol itu menyentuh dinding rahim Susi. Padahal kontol itu belum masuk sepenuhnya, masih menyisakan sedikit bagian pangkal kontol yang berjembut keriting.

"Oooogh... Lhah? kok sudah mentok cah ayu? Memekmu bener-bener ketat ini... uuuhhhsssshhh"

"Aaaaakh... kontol simbah saja yang kegedean mbaah... aauuhh..."

"Hmmmh... tak coba saja lagi... HNNNGGH", kata Mbah Jenggot dengan menarik pelan kontolnya kemudian mendorongnya masuk lagi, kali ini lebih dalam.

"AAAAAAAGH... SAAKIIIT MBAAAH...!"

"Tahan dulu cah ayu... HNGGGH", lagi-lagi Mbah Jenggot melakukan satu tarikan dan dorongan kuat.

"AAAUUUH AAAAH...."



Berulang kali Mbah Jenggot melakukan tarik dorong sampai tanpa ia sadari ia malah mulai mengocok-ngocokan kontolnya.

"SLOK... SLOK... SLOK... SLOK... SLOK... SLOK... SLOK... "

"Sssshh... aaah... uenak tenan ngentot kowe cah ayuu... ssshhh", desis Mbah Jenggot sambil merem melek keenakan.

"Aaah... aah... mmmhh... ya ampuun... memek saya berasa penuh banget mbaaah... auuuh..."

"Khekhekhe... nikmatin saja nduk... uuooogh"

''Uuuh.. ooouuuh... ooh..."

"Wekkhekhekhe.. gimana rasanya nduk? enak to? nikmat to?... khekhekhe"

"Aiiih... sakiit mbaaah..., simbah nakal suka negentotin susiii... aaah..."

"Sakit apanya... buktinya kowe ngecrit berkali-kali semalem, khekhekhe..."

"Aaaahhssss... lha soalnya Mbah nyodoknya enak bang... eh kenceng banget, ooouuuh...."

"Wekhekhe... masih ndak mau ngaku... KYUUT...", kata Mbah Jenggot sambil mencubit pentil susu Susi.

"AAAAAAWWH"

"Hayo... akui wae nduk... khekhekhe"

"Auuuh mbaah! Jangan dipelintiiir... sakiiiit!
Iya, iyaaaah enaaak mbaah..."

"Wuekhekhekhe... enak apa? Ayo bilang yang jelas!", goda Mbah Jenggot yang kini malah menarik kedua pentil payudara susi dan memutar-mutarkanya hingga membuat buntalan susu Susi ikut bergetar-getar.

"Enakkkkk aaaakkkkhh... enaaak dientot Mbaah! Auuuhh Mbaaahh... sudaaaakh!"

"Wekhekhe... sejak awal ketemu, aku wis ngerti kalo kowe emang nakal nduk..."

"Aaaakh... ndak mbaaah... Simbah yang nakal... aaih"

"Kowe nduk! Khekhekhe"

"Simbah...! ssshhhh"

"MBYUOOOT!"

"UUAAAAAAKH!"

Karena gemas, Mbah Jenggot meremas remas dengan sangat kencang payudara Susi. Menguyel-uyelnya dengan jemarinya yang hitam dan kasar, bagaikan membuat adonan roti. Namun berapa kalipun gundukan susu itu diowot-owot, bentuknya akan kembali seperti semula, membulat kencang dan kenyal.

"Aaaah aaaduuuhh... iiih... iyah mbaaah... saya yang nakal... Susi yang nakaaal"

"Muekhekehekhe"

"SPLAK... SPLAK... SPLAK... SPLAK... SPLAK... SPLAK... SPLAK... SPLAK... SPLAK..."

Jeritan dan rintihan Susi membuat Mbah Jenggot makin bersemangat menggempur memeknya. Si tua itu menghentak-hentakan pinggulnya seolah ingin menghancurkan selangkangan Susi. Namun sepertinya percuma saja, mengingat bentuk paha dan pantat Susi yang montok, membuat tubuh bagian bawahnya menjadi padat nan empuk untuk digenjot. Tepukan kulit keduanya membuat bekas memerah disekitar paha dalam Susi. hanya kontol Mbah Jenggot saja yang terlihat perkasa menojos-nojos memek Susi.

"SPLAK... SPLAK... SPLAK... SPLAK... SPLAK... SPLAK... SPLAK... SPLAK... SPLAK..."

Dengan tempo genjotan seperti itu, tentu saja mampu menggesek-gesek dinding vaginanya yang bergerinjal. Daging vagina Susi berkontraksi berkedut-kedut menjepit batang kontol Mbah Jenggot dengan kuat. Maka tak lama kemudian....

"UAAAAH... AAH... SUSI NGECRIT MBAAH, OH.... OOOHOHOHOHOH...!"

"CRRRRRRRRTTTT... CRRRT.... CRRRSSSSSH... CRUUUUSSSHH..."

"UOOOOGHHH... KONTOLKU KESIRAM PEJUMU NDUUK... OOOGGGH ANGEEET DI DALEM MEMEKMUU!"

Mbah Jenggot menghentikan sodokanya merasakan sensasi kedutan memek Susi yang mencengkeram kontolnya. Sedangkan bokong dan pinggul Susi berkejat-kejat seperti ikan yang hampir mati, sebelum akhirnya tergolek lemas. Wanita molek itu terngah-engah dengan dada naik turun bersimbahkan peluh. Seluruh tubuhnya terasa lengket. Namun ini semua belum selesai. Segera Mbah Jenggot memutar tubuh Susi yang lebih besar darinya untuk menungging tanpa mencabut kontolnya.

"AAKH..... A'.... AAAKH...", saat diputar, sensasi merinding menjalari bulu kuduk Susi hingga membuatnya memekik tertahan. Begitu nikmat dirasakanya di lubang kewanitaanya batang berurat yang menggesek.

Susi yang sudah kehabisan tenaga digarap dukun tua itu sejak semalam hanya pasrah saja. Meskipun sebenarnya ia takjub dengan stamina Mbah Jenggot. Dengan tubuh tua renta dan kurus seperti itu, Susi tidak menyangka Mbah Jenggot bertenaga kuda. Apalagi ukuran kontolnya yang nampak tidak serasi dengan perawakanya yang kerdil. Batang kontolnya begitu besar dan panjang, bahkan untuk memek wanita dewasa seperti Susi.

Kini kontol hitam berurat itu menggali masuk lebih dalam lagi. Kali ini sedikit lebih mudah berkat terlumasi oleh cairan kewanitaan Susi. Posisi Susi yang menungging tapi dengan tubuh yang kelelahan, membuat bagian atas tubuhnya ia ambrukan saja ke posisi paling rendah. Buah dadanya tergencet dengan alas dipan, sedangkan bongkahan bokong bulatnya semakin nampak menantang untuk ditusuk.

"Weleh weleeeh! Bokongmu nduuuk! Hmmmh..."



"PLAK!"

"AIH!"

Satu tamparan keras membuat tubuh Susi terhentak dan menimbulkan bekas tangan kemerahan di bokongnya yang putih. Setelah itu, Mbah Jenggot mendorong kontolnya lagi, menjejalkanya dan menariknya dengan berirama.

"ZLEP...PPPHH.... ZLEBBBH..... ZLEBBHHHHH....."

"AIIH... AAH..."

"HUEKHEKHEKHEKHE"

"ZLEB... ZLEB... ZLEB... ZLEB ZLEB ZLEB ZLEB ZLEB''

Goyangan maut pinggul Mbah Jenggot nampak intens menumbuk bongkahan pantat Susi yang kenyal. Daging pantat Susi yang kencang sesekali memantul seksi karena terguncang. Bahkan sesekali tangan Mbah Jenggot menepuk bulatan semok didepanya itu. Akibat genjotan itu, maka suara peraduan kulit keduanyapun semakin terdengar keras.

"SPLOK... SPLOK... SPLOK... SPLOK... SPLOK... SPLOK... SPLOK... SPLOK..."

"HUEKHEKHE... BOKONGMU GAWE GEMES TENAN...!"

"PLAK! PLAK! PLAK!"

''AIIIH... AMPUUN MBAAH... OOOH.... DISODOK WAEE.... JANGAN DITAMPAR PANTAT SUSI....! OOOOUUHH..."

''WELEEH! SIAPA SURUH BOKONGMU SEGINI MONTOKNYA...?! INI BOKONG KAYAK NANTANGIN! MENTUL MENTUL DIDEPAN MATAKU! KHEKHEKHEKHE....!"

"PLAK! PLAK!"

"SPLOK... SPLOK... SPLOK... SPLOK... SPLOK... SPLOK... SPLOK... SPLOK..."

"SUDAH SUSU GEDE MENTUL-MENTUL, SEKARANG BOKONG GEDE JUGA MENTUL MENTUL! NANTANGIN AKU INI.... KHEKHEKHEKHE!"



"PLAK! PLAK! PLAK!"

Sepertinya percuma Susi memohon ampun. Memang dasarnya aki-aki gila, ia sibuk dengan kemesumanya sendiri. Kelihatanya Mbah Jenggot benar-benar tergiur dengan kemolekan tubuh Susi sampai-sampai dia berfantasi dengan bagian-bagian tubuh Susi. Maka dari itu, Susi tak punya pilihan lain selain membiarkanya, dan menikmatinya dengan erangan-erangan erotisnya di pagi yang cerah itu.

"AAAAKH... AAIIIH... AAKH... AAKH... AKH... AUUH..."

"HUKEHEKHEKHE... JERIT LEBIH KENCENG NDUUK! AYO NJERIIT! OOOOOH NGENTTTOOOT!"

"PLAK! PLAK! PLAK!"

"AAAAAAAAAAAAAAAAAKH.... AAAAAAAAAAAAAAAAKH...... AAAAAAAAAAAIIIIIIIIIIIH"

Lengkingan demi lengkingan dikeluarkan Susi tanpa ia peduli lagi. Ia hanya ingin meluapkan rasa nikmat dan sakitnya menjadi satu. Ia ingin segera mencapai titik kenikmatanya lagi, karena ia tahu Mbah Jenggot juga sedang berusaha mendaki puncak kenikmatanya. Hal itu terbukti dengan semakin kerasnya genjotan Mbah jenggot di liang vaginanya.

"AAAAAAKH...... AAAAIIIIIIIIIIIH... SODOOK! SODOK LEBIH KENCENG MBAAAH! SODOOOK!"

''HNNNGGGHHHH.... WOOOOH... NGENTOOOT KOWEE NDUUUK! NGENTTOT TENAAN!"

"SPLOK! SPLOK! SPLOK! SPLOK! SPLOK! SPLOK! SPLOK! SPLOK! SPLOK! SPLOK! SPLOK! SPLOK!"

"AAAAWWHH... SSSSHHHH.... SUSI MAU NGCERIT MBAAAH, MBAAAH ADUUUH ENAAAK!"

"KONTOOOL MEMEEEEK... AKU JUGA NGECROOT!"

"CCROOOOOOOOTT! CROOOT... CROOOT!"

"CRRRRRRTTTTTSSSSSHH... CRRRRR......."

Kedua insan berbeda kelamin itu mengejat-ngejat diatas dipan kayu. Tubuh Mbah Jenggot melengkung ke belakang dengan posisi tanganya membetot kencang pantat Susi. Menyemburkan peju kentalnya masuk ke dalm rahim Susi. Sementara Susi mengejang-ngejang menerima semprotan lahar panas mbah jenggot di rongga memeknya, menyatu dengan cairan kewanitaanya. Tangan lembutnya menggenggam tepian dipan dengan erat. tak lama kemudian dirasakanya dengkulnya lemas kehilangan tenaga.

"BRUK"

"Hh... hh... hh... hh... hh..."

Keduanya tumbang dengan kelamin yang masih menyatu. Tubuh Mbah Jenggot menelungkup diatas tubuh Susi yang lebih besar darinya. Keduanya tengkurap membiarkan cairan orgasmenya mengalir di paha dan merembes ke alas dipan. Masih sempat Mbah Jenggot menyupangi punggung mulus Susi yang berkeringat. Namun susi membiarkanya saja karena ia tau si tua itu juga sudah kelelahan.

"Hh... hh... hh... nikmat tenan ngentotin kowe nduk Susi...."

"Hh... hh... Mbah... badan saya lengket semua..."

"Hh... hh... yo wis kalo gitu, sana mandi di sendang..."

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sementara itu, sehari sebelumnya...

"Krrungrungrungrung... Krungrung... JGLEK"

Sebuah motor tua dengan pengendara yang juga sudah berumur, berhenti di depan pos ojek dusun Watingin.

"Widiiih... ini dia yang baru dapet rejeki nomplok mboncengin cewek bahenol", seru seorang pria bertubuh bantet.

"Gimana Yon? Kenyel ndak susune? Wahahaha...", tambah seorang lagi berkepala botak, yang langsung tertawa terbahak.

"Kenyel ndasmu korengan! Aku lagi gondok ini!
Emang dukun gendeng ASU!"

"Waduh waduh... dateng-dateng langsung misuh! Woles Brooh!"

"Emang kenapa Yon? diapain Mbah Jenggot kowe? Mukamu kok kayak si Boy kalo ndak dapet jatah dari istrinya, Hehehehe", ledek Gembul.

"Si tua bangka kuwi emang Tai! Gimana ndak coba? Masa seenak udelnya grepein badanya Mbak Susi!", Kata Yono bersungut-sungut marah sambil mendudukan dirinya di bangku reyot pos ojek.

"BUSEET...! Beneran Yon?!", kata Boy tidak percaya.

"Lha terus kenapa kowe yang gondok coba? Emang kowe ndak dibayar Mbak Susi?", tanya Gembul.

"Dibayar sih... Tapi bukan kuwi masalahnya!"

"Lha terus kenapa? Oh jangan-jangan kowe cemburu ya? Ckckck... Yono yono... inget, kowe sudah punya dua anak, yang satu malah mau lulus SMA, mau dikemanain istrimu? Khakhakhakhah..."

"PLAK", Saking sebelnya, Yono mengeplak kepala si Gembul.

"Dengerin dulu babi! Aku marah karena udah nyaris mau dapet yang enak-enak dari Mbak Susi, eh malah diserobot dukun tengik kuwi!"

"Bentar-bentar, yang "enak-enak" maksudmu apa Yon?! Jangan bilang kowe mau megang susunya Mbak susi yang montok kuwi ya? Atau malah yang lebih lagi?!
Brengsek! Enak bener kowe Yon!", Si Boy bersungut-sungut karena penasaran.

"Heh, pala kontol, aku kan bilang belom dapet! Dengerin dulu!"

Maka dengan raut wajah penasaran, Boy dan Gembul mendengarkan dengan seksama. Yono pun menceritakan kejadian yang sudah dia alami...

"Anjiir! Cabul tenan tuh dukun yo?!", seru si Boy.

"Makanya kuwi..., aku baru pertama kali ketemu yang namanya Mbah Jenggot kuwi, ndak nyangka... Ternyata bener kata orang-orang kampung kalo konon dia kuwi dukun edan!", kata Yono.

"Wah kalo gitu sih bukan edan lagi! Kuwi gendeng bin sinting bin cabul! Hahahaha", tawa Gembul.

"Eh tapi kalo liat Mbak Susinya yang emang semok gitu sih, siapapun juga ngaceng, wehehehe", kata Boy sambil mengingat-ingat lagi sosok Susi yang aduhai.

"Alaaah, kalo kataku sih kowe aja yang ****** Yon!", cibir Gembul.

"Lha kok gitu?!'', sahut Yono tidak terima.

"Lha kalo emang kowe niat ambil kesempatan, kan yo bisa pas perjalanan mboncengin itu! Bisa kowe sepik-sepik atau rayu-rayu! Kalo nolak paksa wae!"

"PLAK! Ah ****** tenan aku!", kata Yono sambil menepok jidatnya.

"Yo wislah Yon, yang penting kan kowe dibayar", kata Boy.

"Eh... emmm... iya sih...", Yono memang memberitahu kalo dia tetap menerima ongkos, tapi ia sengaja tidak menyebutkan berapa. Karena uang 500 ribu untuk tukang ojek kampung adalah penghasilan besar. Pada dasarnya Yono memang punya sifat pelit, maka ia tidak ingin teman-temanya minta traktir atas rejekinya.

"Waduh wis sore ini, ayo kita bubaran. Angkot juga wis ndak bakal lewat jam segini! Nanti kalo sudah gelap malah digondol kuntilanak lagi... hahahaha", seru Boy sambil menstater motornya.

"Kalo kuntilanaknya kayak Mbak Susi aku mau wae digondol... wahahaha, apalagi disusuin... wahahaha", jawab Gembul.

"Yo wis, aku pulang dulu yo, inget Mbak Susi jadi pengen minta jatah sama istri dirumah, hehehe...".

"Iyo iyo, yang penganten baru... pikiranya memek terus! wahahaha", ejek Gembul.

"Makanya kawin Mbul, biar tu kontol ada fungsi lain selain kencing!", giliran Yono yang ngejek Gembul.

"Wahaha... bener kowe Yon! Yo wis ayo balik Mbul!"

"Ndak ah, aku mau mampir ke rumahe Yono dulu, ngambil jahitan!"

"Oke coy... gudbai!", dengan gaya macam anak jalanan di sinetron, si gundul boy memacu motornya meninggalkan Yono dan gembul.

Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Yono dan Gembul pun serempak menghidupkan mesin motornya dan melaju kerumah Yono. Tidak begitu lama keduanya memacu motor mereka melewati persawahan dan gapura utama dusun Watingin, akhirnya sampailah di depan Rumah Yono. Rumah sederhana yang asri dengan halaman kecil dan jendela depan rumah yang bertuliskan "PENJAHIT BU YONO". Setelah dipersilahkan masuk dan duduk, Yono pun memanggil istrinya bermaksud untuk membuatkan minuman.

"Buuk...? Ini ada Gembul mau ambil jahitan... tolong kasih minum air putih saja, biar cepet pulang!"

"Ah sialan kowe Yon!"

"Hehe..."

Tiba-tiba yang muncul dari balik gorden dapur bukanlah istri Yono, melainkan seorang gadis muda belia. Gadis itu berparas manis dengan hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuhnya yang basah. Tetapi handuk yang ia kenakan terlihat menggencet ketat buah dadanya yang padat, sementara bagian bawahnya menunjukan pahanya yang mulus. Sambil tersenyum, Gadis itu melihat kearah gembul. Sedangkan Gembul sendiri terbelalak matanya disuguhi pemandangan gadis muda bertubuh indah itu.


"Lho... ibukmu mana Nul?", tanya Yono pada gadis itu.

"A... anu pak, tadi pamit mau arisan ke bu RT'', jawab gadis manis itu malu-malu.

"Oh... yo wis, sana masuk! Abis kuwi ambilin minum buat Bapak sama Gembul!", tanpa curiga apa-apa, Yono menyuruh anak gadisnya yang sudah beranjak dewasa itu masuk kamar. Ia tidak menyadari tatapan nanar yang dipancarkan oleh mata lelaki Gembul. Si gadis tadipun sempat melirik kearah Gembul yang entah kenapa bagi Gembul seperti punya sorot mata mneggoda, lalu langsung masuk kamar.

"Yon... Si Minul umurnya berapa to?"

"18... kenapa?"

"Ooh... kelas 3 SMA ya?''

"Iya... kenapa?"

"Wah mau lulus dong bentar lagi?", tanya Gembul sambil kepalanya celingak-celinguk ke gorden kamar gadis tadi.

Yono mulai curiga dengan tingkah Gembul. Ia sudah berteman sebagai sesama tukang ojek cukup lama. Ia tau segala kebrengsekan kedua temanya, cara pikirnya dan gelagatnya.

"WOI! Matamu kuwi dijaga! Awas kalo kowe punya pikiran macem-macem sama anakku!", ancam Yono.

"Ah ndak Yon... tenang waelah...", meski menjawab begitu, Gembul sebenarnya tidak begitu peduli dengan ancaman Yono.

Tak berapa lama Yono dan Gembul ngobrol ngalor ngidul, Minul sudah keluar dari kamarnya. Namun sekali lagi Gembul menelan ludah saat dilihatnya sosok putri sulung Yono itu. Sosok Minul hanya mengenakan singlet tipis yang jadi ketat karena buah dadanya yang membusung, sehingga membuat naik bagian bawah tanktopnya dan menampakan perut dan pusarnya yang mungil. Sementara dibagian bawahnya, gadis itu cuma memakai celana kolor kependekan yang tak kalah ketatnya. Saking pendeknya, seluruh paha mulus gadis itu terpampang jelas, juga bongkahan pantantnya terlihat ranum dan kencang. Jadi sebenarnya short-pants itu lebih mirip celana dalam.



Yono yang memang sudah terbiasa melihat putrinya sendiri hanya berlaku biasa saja. Namun bagi pria tanggung berotak cabul seperti Gembul, tentu ini adalah sebuah penyegaran mata. Matanya tak henti-hentinya mengamati lekuk-lekuk tubuh gadis ABG yang sudah mulai berbentuk indah itu.

" Bapak sama Paklik Gembul mau minum apa?", tanya gadis itu dengan senyum manisnya.

"Yo wis... karena nunggu ibukmu bakalan lama, bikinin kopi saja dua!", suruh Yono.

"Nggih Pak"

Mendengar Yono berkata demikian, hati Gembul bersorak gembira. Karena itu artinya ia punya ksempatan lebih lama melihat anak gadis Yono yang montok itu.

"Mbul..."

"...."

"HOI MBUL!"

"KAMPRET! Ngagetin wae kowe Yon!"

"Salahmu dewe ngalamun! Dengerin... aku mau ngomong"

"Opo?"

"Kowe ngerti ndak, meskipun aku ndak dapet kesempatan ndeketin Mbak Susi karena dukun tengik kuwi, tapi aku dibayar mahal lho!", kata Yono dengan memelankan suaranya sedikit.

"Heleeeh... berapa emang?"

"Hehehe... kowe mesti iri", sombong Yono sambil merogoh saku celananya. Kemudian membanting tumpukan uang diatas meja, "SPAK! Tuh liat!"

"Matamu picek?! Daun salam gitu kowe bilang duit! BWAHAHAHA... Yono yono... ternyata beneran wis pikun kowe!", sahut gembul terbahak setelah melihat tumpukan diatas meja.

"Lho...? HAH...?!", betapa terkejutnya Yono ketika dilihatnya tumpukan uang 5 lembar seratus ribuan yang diberi oleh Mbah Jenggot sekarang berubah menjadi 5 lembar daun salam. Ia mencoba merogoh saku celananya yang lain dan jaketnya juga sambil mengingat-ingat ditaruh mana duit pemberian Mbah Jenggot. Sementara Gembul masih terbahak-bahak menertawakan Yono yang kebingungan. Yono ingat betul hanya disaku itu ia memasukan uang, dan buat apa dia mengantongi daun salam. Akhirnya ia yakin bahwa dirinya ditipu Mbah Jenggot.

"SETAN ALAS! ASU! DUKUN TUA ITU NGADALIN AKU!", teriak Yono marah-marah.

"Bwahahahaha... Ngadalin piye maksudmu Yon?"

"Asli Mbul, waktu kuwi dia ngasih duit 500ribu, tapi kok sekarang....... ASUUU!"

"Mungkin kowe dikira wedus kali Yon... Wahahaha"

"DIA YANG WEDHUS! WEDHUS TENAN!
Udah kesempatanku deket Mbak Susi diserobot! Sekarang aku malah dikibulin!
Liat wae nanti...! Aku ndak peduli dia dukun sakti kek dukun cabul kek! Pokoke bakal kubalas!"

"Hahahahaduh... haduh... wis wis Yon, sabar...", kata Gembul yang perutnya sudah mulai sakit saking ngakaknya.

"Hh... hh... liat wae nanti, akan kubikin perhitungan...", Yono terengah-engah menahan emosinya.

Tiba-tiba dari arah dapur datang Minul dengan muka panik, "Ada apa to pak, kok Bapak teriak-teriak lho?"

"Wis wis ndak ada apa-apa... bocah cilik ndak perlu tau urusan orang tua.
Wis mana kopinya?", jawab Yono tak menghiraukan Minul.

"Yee si Bapak, gini-gini Minul udah mau lulus SMA, masa dikata anak kecil wae..., Nggih tunggu bentar", jawab Minul yang kemudian kembali kedapur.

Tak berapa lama Minul balik lagi sudah membawa nampan dan dua cangkir kopi. Diatas dua cangkir itu mengepul asap tanda kopi masih panas dan terlihat menggoda. Gembul yang sedari tadi menanti-nanti kedatangan Minul akhirnya sumringah lagi. Apalagi saat menyuguhkan kopi posisi Minul yang membungkuk membuat gumpalan dadanya nampak munuk-munuk seperti mau tumpah dari singletnya. Kerah leher yang teramat rendah itu membuat belahan payudaranya terlihat dalam.

"Wah seger nih susunya... eh kopinya...", seloroh Gembul sambil memajukan badanya untuk mengambil kopi di meja. Padahal dia cuma ingin melihat buah dada Minul lebih dekat.

Mendengar Gembul berkata seperti itu Minul sedikit kaget, namun kemudian tersenyum seakan tau kalau Gembul sedang menyindirnya. Sedangakan Yono yang masih kalut dengan pikiranya sendiri langsung mengambil jatah kopinya dan menyeruputnya perlahan.

"Slurrup..."

"Buseet, ni bocah, udah susunya gede, badanya semok, kalo pake baju kok ya nyenengin, wehehehe", tawa Gembul dalam hati sambil diperhatikanya badan muda Minul yang kencang. Saat Minul hendak beranjak pergi tiba-tiba Gembul berseru...

"Lho mau kemana? Sini dulu Nul, duduk dulu..."

"Eh..."

"Ah sini dulu to ya, sudah lama aku ndak ketemu kowe nduk, sekarang sudah "gede" ya?", kata Gembul cengengesan sambil menekankan kata "gede".

"Emm.., Iya Paklik... Paklik juga tambah gede... hihi... perutnya...", balas Minul sambil tersenyum menggoda.

"Kampret! Nakal juga bocah iki!", kata Gembul dalam hati, "Ah... mungkin dia cuma ngebales guyonanku. Tapi... tetep wae senyum centilnya kuwi lho... ngegemesin!".

"Ah...", Yono menyelesaikan seruputan pada kopinya, agaknya itu membuatnya lebih tenang. Lalu ia menyadari, didepanya Gembul sedang menggoda anaknya.

"Heh... heh! Ngapain kowe malah duduk disini? Wis sono masuk!", perintah Yono pada Minul.

"Hihi... nggih Pak, lha tadi paklik Gembul minta Minul duduk dulu e...", jawab Minul sambil tersenyum.

"Wis ndak perlu kowe tanggepin nih bantet! Omonganya suka ngawur!", kata Yono menegaskan, lalu melotot ke arah Gembul yang masih cengagas cengenges. Dilihatnya mata Gembul yang selalu tertuju ke arah tubuh anaknya, muka cabul khasnya sangat dikenali Yono. Kemudian dilihatnya lagi anak gadisnya itu.

"Lho lho lho! Kowe ini make baju kok kekecilan gini lho!", ucap Yono marah sambil menarik sisi bawah singlet Minul agar menutupi pusarnya.

"AWH!"

Namun karena tarikan terlalu kuat malah membuat bagian dada singlet itu makin turun. Otomatis bulatan atas buah dada Minul makin terlihat. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu, Gembul langsung membelalakan matanya selebar-lebarnya.

"Isssh... Bapak! Kan gerah Pak... panas tau!", jelas Minul membela diri.

"Panas panas, kalo panas, sono kipasan di dalem! Kalo ngeyel, ndak tak kasih uang saku!", omel Yono.

"Nggih Pak... Nggih...", langsung Minul menurut dan bergegas masuk ke kamarnya.

"Yaaaaaah....", ucap Gembul kecewa.

"Ah Wedhus tenan kowe! Anak temen dewe kowe pelototin!
Wis sono sono, kowe mulih wae! Nanti biar jaitanmu tak bawa besok ke pos ojek!", omel Yono pada Gembul, lalu mengusirnya.

"Weleh... kopinya belom tak minum Yon..."

"Wis ndak pake kopi kopian... wis terlalu emosi aku hari ini! Jangan sampe tak bogem muka bantetmu!"

"Heheheh... santai broooh, oke-oke... aku pulang dulu...
NDUK MINUUL... AKU PULANG DULU YA..."

"Eh, Kampret tenan! wis sono cepet! Awas kalo kowe ngocok sambil bayangin anakku! Tak sunat 7x kontolmu!"

Tak menjawab lagi, Gembul segera menuju motor maticnya dan bergegas pergi sambil tetap cengengesan. Sambil menatap sepeda motor Gembul yang menjauh, Yono bertolak pinggang dengan emosi yang bersungut-sungut. Sejatinya bukan karena Gembul, meski Gembul juga menyebalkan. Tapi kegeramanya yang paling utama adalah kepada Mbah Jenggot atas apa yang dilakukanya. Yono pun kembali masuk ke rumah dengan tujuan ingin mandi dan menenangkan pikiranya.

"Nuul! Minuul...!"

"Kenapa Pak? Paklik Gembul wis pulang to?," tanya minul melongokan kepalanya dari dalam kamar "Lho, kok ndak diminum kopinya?"

"Heleeh, wis ndak usah dipikir, buang wae kopinya... trus rebusin aer buat bapak mandi! Bapak pusing!"

"Nggih Pak..."

Sambil merebahkan lagi tubuhnya di kursi ruang tamu, Yono mengamati anak sulungnya itu mendekat untuk mengambil kopi. Posisi Minul membelakanginya membuat pantat bulat gadis itu menungging tepat dihadapan muka bapaknya. Yono sendiri baru menyadari kalau ternyata putri kesayanganya itu sudah tumbuh besar. Sebagai lelaki normal, instingnya tanpa sadar memperhatikan bentuk tubuh indah di depanya. Bak buah melon yang ranum, pinggul itu begitu membulat, terbungkus celana pendek ketat yang tak mampu menyembunyikan garis lekukan pantat bawah Minul. Dilihatnya kulit tubuh Minul yang begitu mulus dan bersih.

"Ternyata bener anakku sudah gede...", kata Yono dalam lamunanya.

"Hayo! Bapak liat apa?!", gertak Minul mengagetkan.

"Eh..., apa? liat? Bapak ndak liat apa apa...", kilah Yono, "...cuman... Bokongmu ini lho ndak sopan banget, nungging di depan muka orang tua!"

"PLAK!", Yono menepuk pantat montok anaknya.

"AWH! Iiish... si Bapak! Minul udah gede, mosok dipukul kayak bocah cilik wae!", Minul merengut sambil menjauh dari bapaknya itu.

~~~~~~~~~~~~~~

Kembali ke kaki bukit gunung kidul pada masa ini...
Ditengah belantara hutan yang luas dan lebat... disekitar semak belukar, kayu-kayu kecil dan ranting peohonan yang jatuh tertumpuk menjadi satu. Sengaja dikumpulkan oleh seorang wanita cantik yang hanya berbalut kain batik di tubuhnya yang bersih.



Susi memang sudah terbiasa bekerja keras sejak kecil. Pekerjaan mengumpulkan kayu untuk keperluan perapian di gubuk Mbah Jenggot bukanlah tugas sulit baginya. Wajahnya sumringah, sambil sedikit bersenandung, jari-jari lentiknya menjumputi ranting-ranting yang berserakan. Hawa panas ditengah hari bolong tidak membuatnya takut untuk berada diluar gubuk. Ia cukup nyaman dengan hembusan angin sepoi-sepoi yang menerpa kulit mulusnya.

Setelah memerintah Susi untuk mengumpulkan kayu, entah kemana si tua itu pergi. Memang perangai Dukun gendeng itu kadang sulit ditebak. Namun perlahan Susi sudah mulai terbiasa dengan itu. Tiada yang penting baginya selain menanti kedatangan si Jabang Tuyul.

"KRASAK..."

Susi memekik kaget saat mendengar suara diatas pohon. Ia menghentikan aktivitasnya, ia waspada dan mendongakan mukanya keatas. Tidak didapatinya apapun... Sejenak ia terdiam, kemudian melanjutkan menjumput ranting kayu. Ia pikir mungkin cuma burung atau sekedar hewan pohon...

"KRASAK KRASAK..."

Susi langsung menggenggam satu ranting dengan kedua tanganya. Kepalanya menengadah sekali lagi. Karena ia yakin itu bukanlah hewan. Ia memicingkan matanya mengamati rimbunya dedaunan dan menajamkan pendengaranya. Hatinya berdebar-debar. Dada montoknya kembang kempis saking tegangnya.

"SBRET!"

"AIIIH!"

Susi terkejut bukan main saat tubuh semoknya kini polos karena kembenya ditarik dari tubuhnya. Tapi siapa gerangan yang menjambret jarit Susi, karena saat Susi menoleh sekeliling, masih tidak ditemukanya siapapun. Disaat dia kebingungan, tiba-tiba ia merasakan seseorang jatuh dari atas tepat di punggungnya. Kemudian dengan secepat kilat menutupkan kain jarit ke mata Susi, membuat Susi tidak bisa melihat apa-apa. Susi berusaha hendak melepaskan kain penutup matanya itu namun sebuah tangan kasar langsung memmbetot payudaranya dari arah belakang.

"AAAAAAIIIIIH", mau tak mau Susi refleks menutup bongkahan dada besarnya.

"KHEKHEKHEKHEKHEKHE....."

"OWALAAAH SIMBAAAAH.....!"

"Ayo jalan nduk... khekhekhe..."

"Ngapain mata Susi ditutup Mbah?"

"Wis pokoknya ayo jalan wae, maju!"

"Tapi kan Susi ndak bisa liat jalan kalo gini...''

"Biar aku yang mandu... lurus wae... khekhekhe", kata Mbah Jenggot yang nemplok di punggung Susi.

Tanpa memprotes apa-apa, Susi melangkahkan kakinya secara perlahan. Tanganya meraba-raba kedepan seperti orang buta. Namun yang membuat dia lebih kaget adalah ia merasakan ganjalan di punggung mulusnya. Diantara kaki Mbah Jenggot ia merasakan batang yang kencang mengganjal. Ia tau pasti, tidak lain itu adalah kontol andalan Mbah Jenggot. Itu artinya Mbah Jenggot juga sedang bugil seperti dirinya.

Dia berjalan pelan ke arah pohon salam yang akarnya sedikit menjulang di permukaan tanah. Namun karena memang tidak bisa melihat, langkah Susi sedikit menyerong ke kiri.

"KYUT!"

"AAAAIIIH! Kenapa pentil Susi dicubit Mbah?!", sergah Susi kaget.

"Khekhekhe... salahmu dewe! aku bilang lurus, kowe malah miring!"

Maka Susi menganankan sedikit arahnya.

"Yak betul... dikit lagi... didepanmu ada pohon", kata Mbah Jenggot mengarahkan.

Sampai di depan pohon, Susi langsung nerabai pohon itu untuk memastikan. Lalu ia memegang batang pohon itu dengan kedua tanganya sembari mengambil napas. Tapi tiba-tiba Mbah Jenggot meloncat turun dari punggungya dan mencengkeram kedua pantat montok Susi dari belakang.

"AIIIH... Mbaah.. mau apppAAAAAAKH...", belum sempat Susi menyelesakikan kata-katanya, si tua itu sudah menusukan kontol jumbonya tanpa pemanasan.

"AAAAKKKHHH ADDDUDUUH.... SAKIIT MBAAAH....!
Mbah Nakal! Masa tiba-tiba masukin! Kan belum basah!"< kata Susi marah-marah.

"Wekhekhe... maaf nduk, soalnya liat memek tembemmu kayaknya empuk bener, jadi ndak tahan..."

Menyadari sedikit kesalahanya Mbah Jenggot segera berjongkok dan memposisikan mukanya di depan pantat Susi. Susi yang berdiri dengan berpegangan pada batang pohon dengan mata tertutup kain langsung mengerti. Direntangkanya sedikit kedua kakinya hingga gundukan memek tebalnya semakin terlihat menggiurkan. Melihat perilaku Susi yang cepat tanggap, Mbah Jenggot semakin gemas dan menampar pantat Susi.

"PLAK!"

"AIIIH... Kok dikaplok mbah?!"

"Muekhekhekhe... soalnya aku gemes liat kowe!"
Haamhhh... mmmhhh", dengan rakus Mbah Jewnggot menubrukan wajah tuanya ke lembah pantat Susi yang dalam. Si tua itu menguyel-uyelkan muka mesumnya. Membuat Susi kegelian karena kulit selangkanganya yang tergesek oleh kumis dan jenggot si dukun itu.

"Auuh.. aaah... hihihi... aaah... aduuuh..."

"Cyuuph... cyummmh clyiep... cluupphh..." Kini lidah Mbah Jenggot berkelit mengorek-orek bibir vagina Susi, membuatnya basah mengkilat dengan liurnya. Perlahan tapi pasti, rongga kemaluan Susi merespon dengan berdenyutnya dinding memeknya. Cairan kewanitaaanya mengalir turun meleleh dari dalam celah memeknya.

Mbah Jenggot yang merasakan itu di lidahnya langsung memonyongkan bibirnya untuk menyeruput lendir kenikmatan Susi. Bibir keriputnya menyomoh seakan cairan itu adalah pemuas dahaga. Semakin dalam muka Mbah Jenggot terhenyak di belahan bokong Susi, semakin menungging pula pinggul montok wanita itu. Tak ingin menyianyiakan kesempatan, Mbah jenggot segera berdiri sedikit berjinjit untuk menusukan kontol beruratnya. Diurut-urutnya sebentar kkontol yang mengacung itu lalu ditempelkanya tepat di belahan memek Susi.

"CLEP..."

"AAAIIH...."

"SSSHH... OOOGH... KETAT TENAAANNNHH..."

"ZLEBBBHH..."

Sambil berpegangan pada batang pohon salam dengan mata tertutup kain dan pantat menungging, Susi mendongak menikmati sensasi batang besar yang memasuki tubuhnya. Angin sepoi-sepoi menghantarkan Mbah Jenggot untuk segera melakukan eksekusi pada tubuh semok janda kembang itu.

"ZLEB... ZLEB... ZLEB"

"AAAH... NIKMAT MBAAH...", rintih Susi ditengah serudukan Mbah Jenggot.

"ZPLOK... ZPLOK... ZPLOK... ZPLOK ZPLOK ZPLOK ZPLOK!"

"AAAAAIIIIHH..... AWH... AWH AH AH AH AWH AIIIH...."

Deru entotan yang dilakukan membuat suara tumbukan kulit keduanya semakin terdengar jelas. Bagaikan kuda jantan, Mbah Jenggot menyodok-nyodok memek Susi dari belakang. Pun begitu juga dengan Susi yang berteriak-teriak bagai kuda binal yang dikawini sang pejantan. Keduanya tak peduli dengan alam bebas yang menyaksikan persetubuhan erotis itu. Masing-masing telah terbuai dengan kenikmatan dan ingin segera mencapai puncak. Maka tak berapa lama, keduanya mempercepat genjotan, seakan berlomba untuk meraih orgasme duluan.

"SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK. SPLOK!"

"OOOGGHHH SUSIII... NGENTTOOT ENAAK SSUUUUUSSS! SSSSHHHH!"

''AAAH AAAWH AAWH AAH AAH AAH, SUSI ENAAAAK MBAAAH...."

''KHEKHEKHE... APANYA YANG ENAAAK?''

"SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK!"

''OOOOHHH... DIENTOT ENAK MBAAAH! DIENTOT NIKMAAAAT!
AAAAH SUSI MAU NGECRIIIIIT... AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHH....!"

"MBAH JUGA NDAK TAHAAN... EMPOTANMU EDAAAN... BIKIN NGEECRROTT!"

"CCRRRRUUUUUUSSSSSSHHHH.... CRRRRSSSHHHHH...."

"CROOOOOT CROOOT CROOOT CROOOT!"

Mbah Jengot menghentakan pinggulnya kuat-kuat hingga mendorong Susi maju hampir menabrak pohon. Peju kental keduanya saling menyembur dan bercampur menjadi satu. Melumuri kontol yang masih menyumpal di dalam rongga kemaluan Susi, lalu perlahan merembes kebawah sela pahanya. Tubuh keduanya berkelojotan lucu di bawah pohon salam, seperti kesetrum yang kemudian ambruk di atas akar pohon salam yang muncuk di permukaan tanah.

"Hh... hh... hh... tumben... mbah ngecrotnya cepet...?", tanya Susi dengan napas terengah-engah.

"Hh... hh... khekhekhe... sebenernya aku wis mengamati kowe sejak tadi dari atas pohon, kontolku ngaceng liat kowe sendirian di tengah hutan, apalagi dengan badan setengah bugil, cah ayu... hh... hh...
lalu aku ngocok... lama ndak ngecrot-ngecrot, akhirnya aku ndak tahan lagi, kuentotin wae kowe sekalian, wekhekhekhe..."

"Ish.. simbah emang cabul ya...? hihihi"

"Halaah... kowe juga seneng to? khekhekhe..."

"Hihi... nggih mbah..."

"Bagus... kuwi tandanya kowe mendukung..., dengan seringnya kita ngentot, maka benih tuyul itu bakal makin subur... wekhekhekhe...."

BAGIAN 9


"Mbul..."

"Weh... kowe boy, abis ngojekin dimana?", tanya Gembul yang melihat Boy baru datang ke pangkalan ojek dan langsung merebahkan dirinya diatas jok motornya sendiri.

"Adalah tadi... orang di kampung sebelah...", jawab Boy sambil merem.

Tak berapa lama, sebuah motor tua mendekat. Seorang teman seprofesi yang paling tua, tanpa mematikan mesin motornya.

"Kalian bedua ikut aku sekarang!"

"Lholho, dateng-dateng langsung nyuruh... ikut kemana?!", kaget Boy gelagapan terbangun dari motornya.

"Kemana lagi? ke tempat dukun gendeng kuwi!"

"Hah?", Boy memasang muka bingung. Tapi tanpa menunggu jawaban kedua temanya, Yono langsung menggeber motornya ke arah jalan setapak menuju kaki bukit gunung kidul. Nampak wajah bersungut-sungut dan sedikit merah padam di wajah pengojek gaek itu.

"Apaan maksudnya si Yono Mbul? mukanya kayak udang rebus", tanya Boy masih keheranan pada Gembul yang menghidupkan starter motor maticnya, "Hoi MBUL! Ditanyain malah..., lho mau kemana kowe?!"

"Ya nyusulin Si Yono lah..."

"Brengsek! Kalian ini kenapa to?! Maksudnya dukun gendeng kuwi Mbah Jenggot apa gimana to?! Emang ada masalah apa?!", seru Boy mulai frustasi karena dicuekin.

"Halaah... banyak cingcong kowe Boy! Wis melu wae ayo!", jawab Gembul yang langsung ngegas motornya mengikuti Yono.



Boy yang masih kebingungan akhirnya ikut menyusul kedua temanya. Rasa penasaran membuatnya memutuskan untuk mengikuti dari belakang. Maka ketiga pengojek itupun meninggalkan pos ojeknya. Terlihat di depan motor tua Yono yang digeber dengan kencang seolah tidak sabaran, menandakan pemiliknya sedang dikuasai emosi yang meluap-luap. Diikuti Gembul dengan motor maticnya dan Boy dengan motor RXKingnya menyusuri jalanan tanah diantara persawahan yang membentang ke arah alas gunung kidul. Ditengah deru mesin tiga motor yang bersuara kencang, membuat omongan harus diteriakan...

"WOI MBUL...., EMANG ADA APA TO? URUSAN APA YONO MAU KETEMU MBAH JENGGOT?!"

"NDAK TAU AKU...", jawab Gembul merahasiakan tentang Yono yang dikadalin. Ia pikir tidak mungkin ia menceritakan tentang uang 500ribu yang berubah jadi daun. Karena kalau diceritakan pasti si Boy bakal marah karena rejeki yang tidak dibagi.

"LHAH... LHA TERUS NGAPA KOWE IKUTAN?"

"KALO ITU SIH... AKU PENGEN KETEMU MBAK SUSI, WEHEHEHEHE...
SOAL SI YONO, AKU SIH BODO AMAT, WEHEHEHE...", jawab Gembul dengan muka mesumnya.

"LHA MEMANGNYA MBAK SUSI TINGGAL DITEMPATE MBAH JENGGOT?"

"NDAK TAU PASTINYA SIH... TAPI SEJAK DIA DATENG BEBERAPA HARI LALU, AKU NDAK LIAT MBAK SUSI PULANG NGLEWATIN POS OJEK KITA..."

"..... HMMM BENER JUGA YA MBUL..."

"MAKANYA... AKU CURIGA ADA APA-APA. BUKANE SI YONO DULU JUGA BILANG KALO SI DUKUN ITU NGGREPEIN BADAN SEMOKNYA MBAK SUSI..."

Boy cuma manggut-manggut mendengar penjelasan Gembul. Masuk akal juga, begitu pikirnya. Lagian siapa sih yang tidak mau melihat sosok seksi Susi lagi. Maka dengan resiko meninggalkan pekerjaan mereka, mereka bertaruh untuk bisa menemui Susi lagi.

Kali ini tidak butuh waktu lama bagi ketiganya untuk sampai di bagian dalam alas yang teduh dan sedikit gelap walaupun kondisi siang hari. Sesampainya di wilayah gubuk Mbah Jenggot, ketiganya mematikan mesin motor. Boy dan Gembul yang baru pertama kali datang ketempat itu merasa sedikit takut. Hawa wingit dan hening di tengah hutan memang sedikit menyeramkan. Tapi tidak bagi Yono yang dikuasai amarah. Pengojek berkumis itu langsung turun, berjalan dengan cepat melewati halaman gubuk Mbah Jenggot dan langsung berdiri di depan pintu Gubuk.

"WOI DUKUN CABUL! KELUAR KOWE WEDHUS!", teriak Yono dengan lantang.

"Ebuseet... ngeri bener si Yono yak, dateng-dateng ndak kulo nuwun malah langsung misuh-misuh...
Emang masalahnya apa sih Mbul? Aku masih penasaran", kata Boy perlahan-lahan.

"Ndak tau, hihihi... wis kita liat wae", jawab Gembul malah sambil cekikikan.

Tak lama, seorang kakek tua bertubuh kerdil, lengkap dengan baju hitam yang terbuka kancingnya keluar dari gubuk reot itu. Wajahnya tersnyum konyol dengan jenggot putih dan kepala yang hampir botak sepenuhnya. Gembul dan Boy yang baru pertama kali melihatnya langsung bisa menebak bahwa si tua itulah Mbah Jenggot. Hal itu diketahui dari ekspresi Yono yang semakin geregetan tapi bercampur senyum jahat kala melihat kakek itu.

"Khekhekhe... ada perlu apa... hmmm namamu Yono kan...?"

"Ah, ndak usah sok kenal, dasar dukun edan! Kowe wis ngadalin aku!"

"Khekhekhe... ngadalin? ngadalin opo? memangnya kowe kadal? khekhkhe"

"Huh, ndak lucu kampret! NYOH tak kembalikan duitmu!", kata Yono sambil merogoh saku jaketnya dan melemparkan dedaunan salam dikepala botak Mbah Jenggot yang lebih pendek darinya.

"SPAK!"

"Wekhekehekhekhe....", Mbah Jenggot malah terkekeh-kekeh, "Jadi kowe minta duit? Khekhekehe.. gampang, gampang..."

"JUIH!" Yono meludah ke samping, "Kowe pikir aku ******?! Aku wis ndak peduli lagi soal duit!"

"Khekhekhe... trus opo...? Mau gebukin aku sama temen-temenmu yang gundul dan bantet itu? khekhekhe", kata Mbah Jenggot yang melihat kearah Boy dan Gembul. Si Boy yang dilihat oleh Mbah Jenggot nampak plongah plongoh, sedangkan Gembul nampak celingukan mengamati setiap sisi gubuk Mbah Jenggot, agaknya ia mencari sosok Susi.

"Ha ha ha ha... tentu! Tentu aku pengen banget nonjok muka taimu! Tapi kuwi wae ndak cukup!", kata Yono tanpa takut dengan tawa yang terdengar sekali dipaksakan, "Aku tau kowe nyembunyiin mbak Susi. Pasti Mbak Susi kowe jadikan budak nafsumu kan?! DASAR DUKUN CABUL!"

"WEKHEKEHEKHEKHEKHEKHEKHEKHEKHE...", Mbah Jenggot malah tertawa terbahak-bahak sangat keras, hingga menggema disekitar alas, tawa yang lantang tapi tidak enak didengarkan, "...terima kasih pujianya...", lanjutnya tersenyum bangga.

"AAAAARRRGGGGHH.... SIAPA YANG MUJI, SETANN!?!", geram Yono dan kemudian...

"DISHG!"

Tanpa dinyanya-nyana, Yono menonjok perut Mbah Jenggot yang sedikit membuncit meskipun tubuhnya kerempeng. Tubuh Mbah Jenggotpun terhuyung dan tersungkur di tanah depan pintu gubuknya.

"UHUGHK...", pukulan telak di perutnya cukup membuat Mbah Jenggot memuntahkan darah dari mulutnya. Hal itu membuat Yono menyeringai puas. Nampak dendam dan kepuasan jahat sudah merasuki dirinya.



"HAHAHAHA... ternyata cuman segini yang katanya dukun sakti, heh?! Cuih", kata Yono dengan pongahnya.

"MBUL! BOY! CEPETAN SINI! SI DUKUN CABUL INI WIS TAK BOGEM!"

Saat dipanggil, Boy dan Gembul saling pandang, mereka ragu dengan panggilan Yono. Karena mereka merasa pada dasarnya tidak punya masalah dengan Mbah Jenggot. Tapi Yono yang masih dipenuhi emosi setan mendapat akal.

"WOI... KALO NDAK MAU KESINI, BIAR AKU DEWE YANG NYARI MBAK SUSI DI DALEM!"

Seketika mata kedua temannya itu berbinar, terutama Gembul yang langsung meloncat turun dari motornya, disusul Boy dari belakang. Keduanya tampak kegirangan saat mendengar nama Susi. Terbayang sosok wanita molek yang pernah mereka temui. Dengan langkah cepat keduanya langsung menuju pintu gubuk Mbah Jenggot dan memasukinya.

Keduanya menebar pandangan kesegala arah mencari sosok Susi. Diikuti Yono yang juga masuk ke gubuk, melongok kesana kemari dan mencari sampai ke belakang gubuk. Karena kondisi gubuk yang memang kecil maka tidak banyak tempat untuk ditelusuri. Beberapa kali mereka berputar dan bahkan mengobrak abrik isi gubuk Mbah Jenggot namun hasilnya nihil. Frustasi, Yono mendekati Mbah Jenggot kemudian mencengkeram leher dukun tua itu.

"DIMANA KOWE NYEMBUNYIKAN MBAK SUSI, HEH?!"

"Khekhekhe... Susi wis pulang"

"PLAK!"

"JANGAN NGIBUL, BANDOT! AKU NGERTI KOWE PENUH TIPU MUSLIHAT!", geram Yono setelah menampar muka Mbah Jenggot.

"Khekhekhe... memangnya kalian mau opo kalo ketemu?", kata Mbah Jenggot yang mulutnya bersimbah darah tapi tetap cengengesan.

"Huh, opo urusanmu?! Kowe pikir aku ndak tau kalo kowe ngibulin Mbak Susi biar bisa mbuk entotin?!
Jadi ndak ada salahe to kalo aku juga pengen NGENTOTIN dia?!"

"WEKHEKHEKHEKHE...", tawa Mbah Jenggot menggelegak,"oooh.... ngentot... hmmm ya... ya... memang enak ngentotin Susi, memeknya mulus, peret... apalagi susu gedenya itu... slurrrrphh aah...", kata Mbah Jenggot yang malah mendongakan kepala sambil seolah membayangkan sesuatu yang nikmat.

"BANGSAT, GENDENG! Malah ngiler! Bener-bener dukun cabul kowe!", seru Yono yang sebal bercampur jijik, yang lalu melayangkan tinju beberapa kali ke arah Mbah Jenggot.

"DISHG! DISHG! DISHG!"

Boy dan Gembul sendiri tidak menyangka akan ucapan vulgar yang keluar dari mulut seorang dukun tua. Hal yang benar-benar gila. Mereka sadar, mereka juga tipe lelaki yang selalu tertarik dengan wanita bertubuh indah, tapi tidak menyangka pria setua itu juga punya nafsu birahi yang tidak kalah dari anak muda. Hal itu membuat mereka menyadari bahwa berapapun usianya, lelaki tetaplah lelaki, yang memiliki insting untuk kawin dengan lawan jenisnya.

Tak berapa lama Yono menghajar dukun itu, sampai babak belur wajahnya.

"KUTANYA SEKALI LAGI, HEH DUKUN KEPARAT! DIMANA KOWE NYEMBUNYIIN MBAK SUSI?!", gertak Yono yang entah kenapa masih bersikukuh untuk menanyakan Susi.

"Khekhekheg uhughk uhughk... wis tak bilangin kalo Susi wis ndak ada disini, wis mulih... pulang...", jawab Mbah Jenggot terbatuk-batuk.

"Aku ndak percaya! Tiap hari kami ngetem di pos ojek, aku ndak pernah liat Mbak Susi pulang atau sekedar lewat!"

"Wekhekhekhe... mana kutau..."

Frustasi dengan penasaranya yang tidak terjawab, Yono cuma bisa menahan geramanya. Ia ingat betul sejak kedatangan Susi beberapa waktu lalu sampai sekarang, tak pernah sekalipun ia mendapati Susi pulang melewati pos ojeknya. Padahal, itu satu-satunya jalan yang dilewati kendaraan kalau mau keluar dari arah gubuk Mbah Jenggot.

Sudah terlanjur kepalang basah ia menghajar Mbah Jenggot sampai babak belur. Akan tetapi keganjalan hati Yono masih belum juga hilang. Entah kenapa ada yang kurang kalau dia belum bertemu dengan Susi. Hal itu juga yang sepertinya dirasakan oleh dua orang teman seprofesinya. Gembul dan Boy yang sedianya cuma kecewa saja, entah bagaimana menjadi sedikit ikut sebal. Ketika membayangkan hal-hal mesum yang dilakukan oleh dukun keriput cabul itu pada Susi yang bahenol, benar-benar membuat mereka iri. Jadi apapun yang dilakukan Yono pada Mbah Jenggot tidak membuat mereka iba lagi.

Menerima kekecewaan yang berat, yono menumpahkan kekesalanya dengan sekali lagi menghajar Mbah Jenggot. Dukun tua itu ditendang, ditonjok, bahkan diludahi untuk melampiaskan amarahnya.

"Manaa... Katanya dukun sakti, Hah?! Nih rasain!"

"DISHG! DISHG! JBUAK! JUIH...! JDUAK!"

Tak puas hanya dengan itu, Yono beranjak menendang pintu gubuk hingga Jebol. Dibantu oleh Boy dan Gembul yang ikut mengobrak-abrik isi gubuk, memecahkan berbagai botol minyak dan menumpahkanya. Sambil membakar kain-kain jarit dari dalam lemari, Yono masih sempat berseru pada Mbah Jenggot.



"Ini akibatnya kalo kowe macem-macem sama Yono!", seru Yono dengan congkaknya, "Huh, aku kira si tua ini bener-bener dukun sakti, ternyata cuman abal-abal! Di bogem dikit saja wis keok, Hahahaha Ya ndak bro?", lanjutnya lagi yang dijawab dengan gelak tawa oleh Gembul dan Boy.

"Wah, ndak ada lagi yang bisa kita rusakin iki Yon!", kata Gembul detelah berapa lama. Padahal dia cuma sudah malas berlama-lama di tempat itu karena gagal bertemu dengan Susi.

"Kampret! Yo wis lah, ayo pulang wae! Tinggalin saja wedus gembel ini disini!

Setelah dirasa cukup menghancurkan gubuk dukun itu, ketiganya bergerak ke arah motor masing-masing Meninggalkan Mbah Jenggot yang tersungkur di pelataran gubuknya.

"Yono..."

"DEG"

Langkah Yono terhenti, suara parau dari dukun tua itu terdengar memanggil namanya. Agaknya kedua temanya tidak mendengar itu karena mereka sudah siap di atas motornya masing-masing.

"Kowe terlalu menyepelekanku... Khekhekhe...
Pembalasanku pasti ada, dan kuwi bakal jauh lebih sakit daripada sakit disekujur badan...
Wekhekhekhe..."

Satu tatapan penuh arti dari mata Mbah Jenggot yang sembab lurus ke arah Yono yang menoleh. Yono tau, saat ini kondisinya sedang diatas angin karena sudah menghajar habis Mbah Jenggot, namun entah bagaimana ada perasaan terancam saat Mbah Jenggot mengucapkan kalimat itu. Tapi Yono memilih diam dan tidak menghiraukan perkataan dukun itu. Ia berpaling begitu saja, menyusul kedua temanya uintuk menstater motornya dan bergegas pergi meninggalkan kediaman Mbah Jenggot.


*********************************************************


Gemercik air yang membelah sebuah sendang nan asri di salah satu sudut alas gunung kidul. Membuat riaknya bergelombang pelan menubruk bebatuan yang kadang berlumut. Airnya begitu jernih dan adem ditengah terik matahari. Suasana sekitar yang dikelilingi pepohonan dan semak berimbun menambah hawa damai. Begitulah keadaan alam yang asri, bersinergi dengan ikan-ikan kecil yang berenang di celah-celah batuan. Mengiringi sesosok wanita berpasras ayu yang sedang membasuh tubuh indahnya di sendang toyowengi ini. Kulit mulusnya yang kencang mengkilat basah diterpa sinar mentari. Payudara besarnya ramai dihiasi titik-titik air. Kadang ia mencelupkan diri, berenang kesana kemari seperti bidadari yang menari dalam air. Dan kemudian muncul lagi dengan rambut dan bibirnya yang merekah basah.



Sudah lumayan lama Susi memandikan dirinya di sendang toyowengi. Tubuhnya yang semakin montok berisi tidak mengurangi kelincahanya untuk bermain air. Lagipula pesan Mbah Jenggot yang untuk selalu menjaga kebersihan dirinya. Susi sudah mulai terbiasa untuk bepergian sendirian di sekitar alas gunung kidul. Meskipun tidak begitu jauh dari gubuk kediaman Mbah Jenggot. Terutama adalah sendang toyowengi yang menjadi tempat favoritnya untuk mandi atau sekedar beristirahat. Ia tidak sekalipun merasa takut pada binatang buas ataupun hal gaib. Entah kenapa sejak bersama Mbah Jenggot seolah alam dan hawa gunung kidul membuatnya nyaman.

Sejak benih tuyul bersemayam dalam rahimnya juga, sekarang Susi cenderung dihinggapi hawa seksual yang menggebu. Sering ia merasakan hawa hangat dari dalam badanya, seperti birahi yang menjalari. Seperti kali ini, ia merasakan gatal di dalam rongga memeknya. Membuat sekujur kulitnya terasa panas dan ingin bersetubuh. Maka dari itu ia begitu betah merendam dirinya dalam air dengan tujuan ingin meredam hawa itu. Namun meski begitu, tidak cukup untuk meredam birahi kewanitaanya. Di dalam air itu, jemari lentiknya mengusap bibir memeknya yang tebal.

"Ssssssshhhh.... aaaahh...", desah Susi ditengah alas gunung kidul yang sepi.

Elusan lembut jari tengah dan jari manisnya di bibir memeknya yang gundul, perlahan membuat liang itu merekah. Ia angkat pinggulnya menuju bebatuan berair dangkal hingga memunculkan selangkanganya dari dalam air. Matanya terpejam, saat ia mendapati kelentitnya menonjol dan terasa kencang. Dengan jari-jarinya ia mengusap klitoris yang berwarna merah muda itu. Seakan menantang matahari, memek kemerahan Susi mengkilat basah berkilauan.

"Ooouuhhssshhh... aaaiiiihhsssshhh... nggghhh...."



Dengan kaki yang masih terendam air, Susi bersandar pada batu yang berlumut. Tangan kirinya ia gunakan untuk menyentuh kedua gunung kembarnya secara bergantian. Sementara jemari tangan kananya ia pakai untuk mengobel memeknya sendiri, ia nampak bingung membagi tugas untuk menjamah tubuhnya sendiri. Ia punya dua payudra besar dan satu memek tembem, sedangkan tanganya cuma dua. Maka seperti cacing kepanasan, ia menggeliat-geliat tak karuan.

"Ooooohh... oouuhhhssshhh... uuuughh... ngentoooot!"

Saking frustasinya, Susi mencercau tak karuan. Ingin sekali ia kembali ke gubuk dan meminta bantuan Mbah jenggot untuk menuntaskan birahinya. Akan tetapi ia malas beranjak karena harus berjalan cukup jauh. Nafsunya sudah diubun-ubun. Maka dengan sejadi-jadinya, Susi mulai memasukan dua jarinya ke dalam liang surgawinya dan mulai mengocok.

"SLEPH... SLEPH... SLEPH SLEPH SLEPH..."

"Uooohhhsssshh... aaaiiihhhh... ssshhhh aaiiih..."

Perlahan namun pasti memek gundulnya mulai basah. Semakin cepat dan tak beraturan ia mengocok-kocokan jarinya keluar masuk mulut memeknya.

"SCLOK SCLOK SCLOK SCLOK SCLOK"

"NNNGGGHHH.... IIIIIIHHH.... AAAAHHHH... AIIIIHH.....", rintihanya semakin keras dan lantang. Suaranya serak-serak basah. Untung kawasan hutan ini bukanlah area pendakian. Bila ada orang yang mendengarnya mungkin bakal dikira suara dedemit wanita yang menyeramkan. Kecuali dia melihat langsung bahwa ada sesosok wanita seksi sedang bermasturbasi di alam bebas.

''AAAAAIIIIIIIHHHHH.... NGENTTOOOOT!"

Beberapa kali hentakan kecil dari pinggulnya yang bulat mencipak di air.

"CRIT CRIT CRIIIIITTTSSSHHHHH CRRRSSSHHHHH"

Akhirnya dengan bersusah payah, Susi berhasil menyemprotkan cairan kewanitaanya. Lega ia rasakan bersamaan dengan kedutan-kedutan kecil di memeknya. Seketika ia pasrahkan lagi sebagian tubuhnya untuk kembali terendam air. Sambil mengatur napas ia mengusap-usap daging memeknya dan membasuh peluh disekitar buntalan dada besarnya.

Susi "mentas" dari aliran air, payudara dan pantat besarnya berguncang setiap ia bergerak. Lalu ia duduk di sebuah batu besar, mendongakan kepala, dan memejamkan mata. Kedua tanganya ia pakai menopang tubuhnya agak kebelakang. Sedangkan ia selonjorkan satu kakinya, sementara kaki yang lain ditekuk. Sengaja ia memilih untuk tidak mengeringkan badan dengan jarit yang teronggok didekatnya. Ia lebih memilih berjemur telanjang mengeringkan diri dengan terik matahari.



Tak lama setelah ia berdiam diri sambil memejamkan mata, ia mendengar suara jatuh kedalam air.

"CBYUURR!"

Secara reflek Susi segera melongok ke dalam air. Didapatinya disana air bercampur dengan warna kemerahan. Maka dengan panik Susi mencari-cari sumber warna itu. Ternyata yang muncul adalah Mbah Jenggot. Masih dengan tubuh yang babak belur kebiruan, si tua itu membasuh kotoran-kotoran yang menempel di badanya.

"Mbah?! Mbah kenapa?!", tanya Susi panik setelah menyadari warna merah tadi adalah darah yang keluar dari mulut dan kepala Mbah Jenggot.

"Wekhekhekhe... ndak apa-apa, cah ayu"

"Aih..., ndak papa kok badanya luka-luka begitu!"

".....", Mbah Jenggot masih sibuk membasuh tubuhnya dan tidak menghiraukan Susi.

".... Ng... digigit macan ya?", tanya Susi dengan polos.

"WEKHEKHEKHEKHE....", Mbah Jenggot malah terkekeh mendengar pertanyaan Susi.

"Aiih, si Mbah, ditanyain malah ketawa!"

"Khekhe... wis wis, sini angkat aku", kata mbah Jenggot mengulurkan kedua tanganya agar ditanting oleh Susi.

"Aih, jawab dulu kenapa Mbah.., kok bonyok begitu?!"

"Lha makanya, sini aku angkat dulu, nanti tak ceritain kowe!"

Maka dengan sabar Susi mengulurkan tanganya untuk menarik Mbah Jenggot dari dalam air. Seperti mengangkat anak kecil sehabis mandi, Susi mendudukan Mbah Jenggot pada batu besar disampingnya. Memar-memar kebiruan nampak jelas di wajah dan di sekujur tubuh dukun tua itu. Membuatnya semakin terlihat jelek, namun tidak bagi Susi. Ia tidak peduli dengan tampilan fisik seseorang. Justru rona muka cemas teraut di wajah cantiknya. ia khawatir dengan keadaan Mbah Jenggot yang babak belur.

"Si Yono yang ngelakuin ini... uhughk"

"Yono? Yono.... mmm...", gumam susi mengingat-ingat "Ooh, Mas Yono si tukang ojek itu?!"

"Heem"

"Lhah? emang kenapa? ada masalah apa Mbah?"

"Wekhekhekhe, ndak papa. Ini salahku juga, dia sudah kukibulin pake duit palsu yang kupake buat bayar ojekmu dulu itu lho...."

"Weelhadalah... lha kok sampe Mbah dihajar sampe bonyok gini", kata Susi sambil memegang megang kepala Mbah Jenggot. Membuat wajah si dukun tua itu lebih dekat ke gundukan dada susi yang menggantung kencang.



Tak ayal, ia langsung menubrukan kepala berubanya ke dada Susi yang empuk untuk bersandar. Susi membiarkan saja, hal itu sudah biasa baginya. Ia lebih ingin tahu tentang cerita Mbah Jenggot. Maka sambil bergelendot manja dalam pelukan Susi, Mbah Jenggot mulai mengutarakan pendapatnya.

"Hmmm, dia itu ngebet pengen ketemu kowe, Nduk..."

"Lhah? Ketemu saya... kenapa memangnya?"

"Khekhekhe... kalau kuterawang dari sorot matanya, dia punya nafsu birahi yang ndak tersalurkan... Makanya pas ketemu wanita bahenol kayak kowe, kontolnya langsung pengen ngentot, wekhekhekhe..."

"Lhadalah...? ah, ngawur si Mbah iki!"

"Lho... lhawong dia dewe yang bilang gitu kok, NGENTOT"

"Hihihi... mosok to Mbah?"

"Ah, kowe ini lho, tak kandani ora percoyo. Lhawong dia tak tawarin duit wae ndak mau. Percaya wae nduk, aku ini lanang, aku tau gimana gelagat lanang kalo lagi kentang pengen ngentot. Emosinya ndak karuan"

"Ooh gitu to...", kata Susi manggut-manggut "Aiih, jahat tenan sampe ngehajar sampe gini", lanjutnya sambil membelai bagian tubuh Mbah Jenggot yang lebam-lebam.

"Khekhekhe... ini masih untung dua temenya ndak ikutan ngroyok aku, cah ayu", Imbuh Mbah Jenggot sambil tanganya membalas mengelus buah dada Susi yang nampak basah menggoda.

"Lho, jadi mereka bertiga itu to? Ng sama yang bantet dan yang gundul kuwi?"

"Bener. Aku juga tau yang dua itu juga menyimpan nafsu pada kowe, khekhekhe...
tapi tenang nduk, usaha mereka gagal karena kubilang kowe wis ndak ada di sini", jawab Mbah Jenggot sembari meremas pelan daging kenyal di telapak tanganya.

"Hffh... kenapa ndak dilawan to Mbah mbah?", Susi menghela napas nampak menyesalkan.

"Hmm... ada saat-saat dimana kanuraganku ndak kuat, nduk. Apalagi kalau lagi menjalani ritual pesugihan kayak gini. Ilmuku harus kuhemat"

"Jadi secara ndak langsung ini semua gara-gara Susi ya mbah... Susi minta maaf wis njadiin Mbah Jenggot kayak gini.
Kalo tau gitu mending tadi Susi temui wae mereka kalo memang pengen ketemu"

"Jangan! Bahaya... Di rahimu sudah bersemayam janin yang akan tumbuh dari sel pejuhku. Itu pejuh khusus yang sudah kujape-jampe dengan aura ghoib bakal calon tuyul. Semestinya janin itu harus terbentuk dengan bagus dengan selalu kusiram pejuhku. Kalau sampai kowe ketemu mereka yang nafsu ngentotnya kayak setan, terus ngecrotin pejuhnya di dalem memekmu, kuwi bakal ngerusak janin yang sudah jadi karena sel pejuhnya bercampur!"

"Eh... eh... inggih Mbah...", jawab susi yang tak menyangka dengan omongan Mbah Jenggot yang lugas.

"...kowe ndak mau kan usaha kita sia-sia?"

"Nggih Mbah... Susi ndak mau usaha Susi sia-sia"

"Makanya... ati-ati! Kowe pikir dengan kowe nemuin mereka, masalah langsung kelar??
Pasti mereka minta macem-macem padamu, cah ayu!", kata Mbah Jenggot yang kini menggeser tubuhnya untuk rebah di pangkuan Susi.

Susi yang mengerti langsung merubah posisi duduknya agar Mbah Jenggot bisa nyaman bersandar di pahanya yang mulus. Daging pahanya yang empuk sangat enak menjadi bantal kepala Mbah Jenggot. Tepat pandangan keatas Mbah Jenggot, adalah gundukan payudara jumbo Susi yang semakin terlihat raksasa dari arah Mbah Jenggot berbaring. Begitu bulat besar dengan pucuk yang mengacung tegak. Membuat Mbah Jenggot mulai dihinggapi keisengan yang cabul.

"Nduk... Susi..."

"Nggih mbah...?", jawab Susi sambil mengelusi kepala keriput kakek tua itu.

"Mbah mimik cucu dong... khekhekhekhe"

"Aiiih si Mbah... masih nakal wae..."

Meski begitu, Susi tetap sedikit menundukan tubuhnya. Hati Mbah Jenggotpun bersorak girang dan membuka mulutnya menanti ketiban gumpalan susu yang montok. Namun tiba-tiba Susi ingin sedikit iseng. Saat tubuhnya cukup condong dan bulatan dadanya menggantung didepan muka Mbah Jenggot, ia berhenti. Pentil susunya tepat berada di atas mulut Mbah Jenggot yang menganga. Maka si tua itu menjulurkan lidahnya berusaha untuk meraih pentil susu yang masih basah itu.

Saat ujung lidah Mbah Jenggot nyaris menyentuh puting Susi, Susi sengaja bergerak mundur dan membuat payudaranya sedikit menjauh. Susi tau Mbah Jenggot sedang berat kepalanya, jadi enggan mengangkat kepalanya. Di dalam hati Susi tertawa geli, lalu ia melanjutkan lagi menyondongkan tubuhnya. Lagi-lagi Mbah Jenggot dengan bloonya berusaha meraih puting Susi dengan lidahnya. Tapi kali ini, Susi berlagak menggoyangkan badanya kekiri dan kekanan.

Seperti mainan, Mbah Jenggot berusaha sekuat tenaga meraih puting Susi yang mengayun. Mulutnya monyong-monyong seperti ikan mas koki kehabisan napas. Sedangkan Susi hanya bisa menahan geli dengan senyum-senyum saja melihat tingkah polos Mbah Jenggot yang tidak sadar kalau sedang digoda. Akhirnya sesekali ujung lidah dan ujung pentil itu bergesekan juga. Susi menimati sensasi yang secara perlahan menggugah kembali birahinya ini. Lalu...

"NYOP!"

"AIIH!"

Tiba-tiba mulut ompong Mbah Jenggot berhasil mencaplok buah dada nan sintal itu. Tak perlu babibu, langsung dikenyotnya payudara kenyal Susi kuat-kuat. Membuat si pemilik mendesis-desis.

"Ssssshhh... mbaaahhssshh... pelan-pelan kenyotnyaaahhh oouuhhh..."

"Mmmhhhuuahhh... nyupppphhh... nyuuuppp... cyupppuah... nyyp nyppp..."

Begitu lembutnya puting susi yang Mbah Jenggot rasakan, membuatnya menarik-narik kedalam rongga mulutnya. Semburat kehijauan nampak beriak di kulit dadanya yang tipis, melapisi daging kenyal yang kencang dan padat.

"Mmmyuuupphh... soalnyaaaahhpphh... susumu... wuenak tenan... hammmhhh"

"Uuuuhh... ssshhh... jadi Mbah jenggot suka mimik susu Susi...? aassshhh''

"Hmmmhh... sluurppphh... ndak usah ditanya, cah ayu! Ndak cuma nikmat dimimik... tapi juga dikenyot sama dijilat... kayak gini... Hammmhh sluurpphh... clap clap clap clap..."

"UUUAAIIIH...."

"Khekhekhe... gimana, enak to? nyemmmh nyuppmmhh... nyummphh..."

"Nnnghh... ssshh... iyaaah... sshs... enaaaak mbaah enaak..."

"...khekhekhe... mau kan nyusuin mbah terus, hm? Nyuophh nyuph"

"... Heemh... Susi mau nyusuin Mbah Jenggot terussshh... aaaah..."

"Lhadalah! Ini opo nduk kok basah... di deket punggungku?"

"Sssh... hihihi... kuwi dari memek Susi mbah, abisnya Susi ndak tahan nerima rangsangan di susu Susi... ssshhh... ayo mbah terusin... dikit lagi Susi ngecrit... ooouuh"

"Khekhekhe... memang binal, kowe nduk! Hamh... nymmh... nymmh nymmhh...", dengan semangat Mbah Jenggot semakin kuat mengenyot-ngenyot daging payudara Susi.

"AAAIIIIHH.. OOOH OOOH... UAAH... ENAAAK MBAAH"

"Mymmm myyuppmmh nyummph.... sluurpphh.. khekhekhekhe..."

"AAASHHHHH AAAH SUSI NGECRIT MBAAH, AAH AH NGENTOOOOTTTT!"

"CRRRRRRRUUUSSSSSHHHH.... CRRRSSSH...."

Banjir orgasme menyembur keluar dari celah vagina Susi yang tembem. Bagai air mancur dari liang yang rapat, keluar merembes mengaliri batu tempat kedua insan itu berada. Susi membiarkan pinggulnya berkejat-kejat untuk menikmati sisa-sisa orgasmenya. Kemudian ia berusaha mengatur napas meski Mbah Jenggot masih sibuk menyusu di payudaranya. Tak lama si Tua itu melepaskan kulumanya dan merebahkan diri keposisi semula. Ia ingin menyaksikan wajah cantik Susi yang terkena orgasme dari pangkuan wanita itu sendiri.

"Hhh... hh... hh... hh...", sedikit terengah-engah Susi mengatur nafasnya. Mbah Jenggot sendiri membiarkan saja Susi mengatur nafasnya lagi, jadi ia memilih berdiam diri dulu. Sebenarnya juga karena kepalanya masih sedikit pusing akibat luka-lukanya.

"Lho lho Mbah... hihihi, kok kontolnya jadi ngaceng?"

"Khekhe... kontol siapa juga ngaceng nduk, kalo dideket cewek semok kayak kowe"

"Ah Simbah bisa wae!", kata Susi sambil iseng menyentil kontol Mbah Jenggot yang berdiri tegak.

"Aduh! Kowe ini lho, kok malah nakal yo, khekhekhe...", jawab Mbah Jenggot sambil tak mau kalah meremas sebagian gundukan dada Susi, karena memang tangan kasarnya tak mampu mencakup seluruh permukaan payudara wanita itu.

"AIH! Simbah kaan yang ngajarin nakal, hihihi"

Melihat kontol tegak Mbah Jenggot yang berdiri kokoh kehitaman membuat Susi menelan ludah. Efek kehamilan membuat birahi seksnya semakin sering datang. Tak terasa rongga vaginanya berkedut lagi, menandakan keinginan untuk disetubuhi. Apalagi kontol itu terlihat perkasa mengacung diterpa terik matahari. Perlahan Susi mendekatkan wajahnya di telinga Mbah Jenggot kemudian berbisik.

"Mbaah...", suaranya parau sedikit serak mendesah ditelinga Mbah Jenggot. Secara lucu Mbah Jenggot merinding karena kegelian merasakan hembusan nafas Susi yang menggelitik telinganya. Suara yang sangat seksi dan menggoda.

"Kontolnya mau dikocokin...?", tawar Susi sementara tanganya lembutnya mulai menyentuh kontol kasar Mbah Jenggot. Kremudian membelainya dengan ujung jari dari bawah keatas, membuat si tua itu bergetar-getar terangsang.

"sshhh... Susi....", cuma desisan yang keluar dari mulut Mbah Jenggot yang memejamkan matanya.

"Atau...
mau digencet susu Susi..., hmmh?"

"Ooooh..., cah ayuu... kowe memang ngerti apa mauku..."

Maka Susi langsung memindah posisi tubuhnya menjadi tengkurap di kaki Mbah Jenggot. Buntalan dada besarnya langsung ia telungkupkan pada kontol hitam itu, menjepitnya tepat ditengah belahanya yang dalam.

"Uwooohhhssshh... empuk tenaann...", gumam Mbah Jenggot saat merasakan urat kontolnya tersentuh dengan daging payudara Susi.

"Aih si Mbah, baru juga nempel, hihihi..."



"Manaa... hoooh... itu kepala kontolku keliatan nduk, kayak timbul dari dalam belahan susumu... wekhekhekhe", kata Mbah Jenggot yang memaksa mengangkat sedikit kepalanya untuk sekedar melihat kontolnya yang tergencet.

Perlahan-lahan susi menggerakan kedua payudara jumbonya untuk mengocok batang kejantanan Mbah Jenggot. Diurutnya keatas kebawah kedepan dan kebelakang hingga sekujur kulit kontol itu benar-benar merasakan hangatnya jepitan payudaranya.

"Oooogh aaagh... kenyel kenyel wuenak nduuk...", ucap Mbah Jenggot menahan geli dan nikmat dengan mencengkeram batuan di kiri-kananya.

"Hihihi... hayoo enak mana sama memek Susi?", kata Susi menggoda dan mempercepat kocokan susunya ke penis Mbah Jenggot.

"SLEPH... SLEPH... SLEPH... SLEPH..."

"Aaagh... susah nduuk... soalnya susumu juga enak dientotin... ssshh ooogh!", jawab Mbah Jenggot yang kini sudah mulai menggerakan pinggulnya.

Namun disaat Mbah Jenggot mulai bersemangat untuk menghentakan pinggulnya, Susi judtru malah menghentiakn jepitanya. Ia lalu menggenggam kontol yang sudah ngaceng berat itu dan menepuk-nepukanya di permukaan susunya.

"PLEK! PLEK! PLEK! PLEK!", secara bergantian, kedua susu Susi ia pukulkan sendiri dengan kontol Mbah Jenggot dengan keras.

"Oooghh.. yaaah... tepokin terus nduuk, aagh!"

"PLEK! PLEK! PLEK! PLEK! PLEK!"

"hihihi... Mbah seneng yaa diginiin?"

"Seneng tenan, cah ayu... ayoooh tepokin lagi ke susu putihmu... ooogh kalo perlu sampe mbekas merah!"

"PLEK! PLEK! PLEK! PLEK! PLEK! PLEK! PLEK! PLEK!"

Susi menjadi bangga setiap kali Mbah Jenggot berkata cabul terhadapnya. Ia nampak bersemangat menyervis kontol hitam berurat itu. Bahkan sekarang kepala kontol itu diarahkan untuk digesekan pada puting susunya yang juga tak kalah mengacung tegak.

"UUUOOOGHHH... GELIII GELIII NIKMAAAT, KOWE NAKAL TENAAN!"

"Sssh... iyaaah mbah, betulll... geli geli nikmaaat... aaaiiih"

"Ogh... wis wis, nduk! Aku ndak tahan lagi, akan kuentot kowe dari belakang oh Susi yang bahenolll.. khekhekhekhe!"

Mendengar Mbah Jenggot berkata seperti itu, Susi langsung merubah posisi dengan menungging dan menyibakan pantat besarnya.



"Ah, ndak usah nungging nduk! Biarin posisimu seperti itu, tengkurep!", perintah Mbah Jenggot yang membuat Susi bingung, namun tetap dilaksanakan juga. Ia berbaring menelungkup pada permukaan batu besar, sedangkan Mbah Jenggot menelungkupkan dirinya di punggung Susi, tepatnya di bagian pantatnya yang besar karena memang tubuh Mbah Jenggot kerdil.

"Eh... Mbah, kalo posisinya begini apa nanti kontolnya bisa penetrasi?", tanya Susi yang tidak yakin. Ia berpikir akan sulit bagi kontol untuk meraih bibir vaginanya yang menjorok ke dalam karena posisi yang tidak menungging. Belum lagi bulatan pantat semoknya yang padat semakin memberi jarak untuk kontol jika mau masuk.

"Wis diem wae kowe, rasain wae... khekhekhe"

"HAKH..............!"

Teriakan Susi tercekat saat ia merasakan sebatang kontol yang keras dan panjang menyentuh belahan pantatnya, kemudian turun menyusuri daging selangkanganya.

"Edaaann! Bener-bener panjang kontol Mbah Jenggot!", gumam Susi dalam hati ketika kepala kontol besar itu sudah menyentuh memeknya. Dengan lembut membelah bibir memek tembemnya. Terasa sangat kasar namun keras dan kokoh. Dan sebaliknya bagi Mbah Jenggot, bibir memek Susi terasa lembut dan hangat.

"HNGGGHHHH", nampak orang tua mesum itu bersikeras memasukan batang kebanggaanya.

"Aaaaakhhh.................... wis masssuuukh mbaaahhh....."

"Iyo Sus........ ooooghhh... ketat tenan jepitanmuuu"



"SLEPH........ SLEPH...... SLEPH... SLEPH... SLEPH...", Mbah Jengot mulai melakukan enjotan dan kelihatan sedang mengatur irama sodokanya.

"Awwh awh ah aah aah aaah aaah... wis enak mbaah... ayooo... sodok memek Susi lebih kerasss!"

"SPLAK... SPLAK...! SPLAK! SPLAK! SPLAK! SPLAK! SPLAK!

"OOOOH SUUUUSSSSIIIIII.... NGENTOOOTT TENNAAN KOWEEE!

"AAWWH Iyaaaah... entot Susi mbaaah.. entooot...."

"HNGH... HNGH... HNGH... HNGH...!"

Seperti binatang yang sedang mengawini betinanya, Mbah Jenggot mendengus-dengus. Kulit putih pantat Susi yang mulus bagai pualam terlihat memerah karena tojosan-tojosan yang kuat. Tak sampai disitu saja, bahkan Mbah Jenggot sesekali menampar bokong montok itu saking gemasnya.

"PLAK! PLAK!"

"HNGGHH NGGGH OOOOHHSSSHHH... BUOKONGMUUU NDUUK, GEDE TENAAN, ENAAK..."

"SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK"

"NGGGHH AAAAAAAH AAAAH... TERUS MBAAH... IYAAH TERUSS BEGITUUUUHH...", racau Susi menyemangati dukun mesum itu.

"BRRR"

Kenikmatan yang menjalari tubuh cekingnya membuat Mbah Jenggot terkadang bergetar lucu.

"HNNNGH... OOOH SUSSIIII.... NGENTOOT SUUUUSSS!"

"HIHIHIHI... MBAH JENGGOT LUCU... BADANYA GEMETER GITU... OOOHH OOUH..."

"SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK"

"UUGH UUGH... HABISNYA NIKMAT BENER MEMEKMU NDUUK... BENER-BENER NYOKOOOT... UUGH"

"Nyokot...? Memangnya memek Susi punya gigi apa...? SSSHHHH... AAAIIIH..."

"Khekhekhe... meskipun ndak ada giginya, tapi cengkramanya kuat, gitu... OOOGHHH ENAAK ENAAK!"

"SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK"

"AAIIIHHHH... AUH, MENTOK MBAAH...", rintih Susi ketika kepala kontol besar itu sudah mencapai mulut rahimnya.

"APAA NDUUUK? MONTOK? KHEKHEKHE... IYA... KOWE PANCEN MONTOOOK! UOOOGH NIKMAAT!"

"IISSSH SI MBAAAH, BUKAN MONTOK TAPI MENTOOOK.... AAWH... PALA KONTOLNYA WIS NYUNDUL NYUNDUL RAHIM SUSI MBAAAH... AAUUUHH PERIIH..."

"KHEKHEHE... BAGUSLAH KALO GITU CAH AYU... JADI NANTI NYEMBURNYA LANGSUNG MASUK RAHIM... SSSHHH"

"OOOGGGHHH..... OOOKKHHH....", tanpa sanggup berkata apa-apa lagi Susi hanya bisa memekik tertahan merasakan perih bercampur nikmat. Mulutnya membentuk huruf O dan monyong, sedangkan mata bulatnya mendelik, menyisakan putihnya. Tubuhnya terhentak-hentak karena tumbukan pinggul Mbah Jenggot yang intens.

"SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK"

"EDAAAN EDAN, NIKMAT TENAAAN. SEGERRR... MEMEK MULUS PANCEN SEGERR!", racau Mbah Jenggot menikmati kesenggamaan itu sendiri.

Tanganya berusaha menjulur kedepan untuk meraih gumpalan dada besar Susi yang menggantung indah. Namun apa daya panjang tubuhnya yang kerdil tak seberapa dibanding panjang tubuh Susi yang tinggi, jadi tanganya hanya sampai di atas perut Susi. Dipegangnya kuat-kuat sisi perut Susi yang mulai berisi itu. Sambil tetap menghujamkan kontolnya, menyeruduk memek Susi yang merekah basah.

Si tua itu tak peduli dengan kepalanya yang masih pusing akibat luka. Otaknya sekarang justru dipenuhi rasa pusing atas kenikmatan menyetubuhi wanita seksi. Di dalam pikiranya ada kebanggan tersendiri. Meskipun dirinya dihajar sampai babak belur, namun nyatanya ia memperoleh kenikmatan yang tiada tara lewat seks.

"SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK"

"OOOGHHH MEMEKMU NGEMPOOOT... WUENNNAKKK...!"

"UAAAAAAHH... IYAAAH. KAYAKNYA SUSI UDAH MAU NGECRIT LAGI MBAAAH...!"

"OSSSHHH... TAHAN DULU NDUUUK... KALO KONTOLKU DIPERES KAYAK GINII... AKU JUGA BAKAL NGECROT INIIII OOOGHH! NGENTOOOT!"

"SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK"

"AAH AAH... INI DIA MBAAAH, AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAWWWWWWWWWHHHH"

"CCCCRRRRRRRRRRRRRSSSSSSSSHHHHH.... CRRRRRRRSSSSSH"

Untuk kesekian kalinya orgasme Susi membanjiri rongga kewanitaanya, membuat kontol Mbah Jenggot yang sedang menusuk-nusuk menjadi semakin panas, juga menimbulkan kecipak atas tumbukan kedua kemaluan mereka.

"HOOOOGHHH... ANGET ANGEEET... INI DIAAA... OOOOHHH TERIMAA PEJUHKU... NGENTTTTOOOOTTTTTT!"

"CRRUUUUOOOOOOT CROOOOOOT CROOOT CROOOOT!"

"BLUGH"

"Hh... hh... hh... hh... hh... hh... hh..."

Setelah mengambrukan diri di punggung Susi, napas Mbah Jenggot tersengal-sengal. Kontolnya masih tertancap di dalam vagina Susi, berkedut-kedut menumpahkan sisa-sisa ejakulasinya.

Tak beda jauh dengan Mbah Jenggot, Susi nampak memejamkan mata kehabisan nafas. Ia kelelahan dan membiarkan saja tubuh indah bugilnya ditelungkupi oleh tubuh kakek tua diatas batuan besar.

Air gemericik yang mengalir seakan tak peduli dengan persetubuhan mesum kedua makhluk itu.


*********************************************************


Di sebuah rumah penjahit...

"Buk, Minul pulaang...", seru seorang gadis manis berseragam SMA yang nampak sudah kekecilan langsung menyalami ibuknya.

"Eeh, wis mulih to. Mana bapakmu?", jawab seorang wanita khas ibu-ibu dengan wajah yang sudah mulai berkeriput.

"Tuh, di kursi depan. Kayak lagi sebel akhir-akhir ini, ndak tau kenapa..."

"Hm, yo wis, sana ganti seragamu trus makan siang. Dibelakang wis tak masake sambel pindang..."

"Nggih buk...", jawab gadis manis bertubuh montok itu dan langsung masuk kekamarnya.

Sedangkan si Ibu langsung menemui suaminya di ruang depan.

"Pak... Ndak makan dulu...?"

"Ah, ndak laper Bu"

Memperhatikan suaminya yang nampak kalut, Si ibu mendekati dengan sabar.

"Pak... Ibu perhatiin belakangan ini bapak kok kayak lagi kemrungsung (hawanya emosi) terus. Kata Minul juga begitu... ada maslah apa?"

"Ndak ada apa-apa"

"Mosok ndak ada apa-apa... wis hampir 20 tahun kita hidup bareng Pak, Ibu tau betul sikap Bapak...

"Dibilang ndak ada apa-apa ya ndak ada apa-apa! Kok ngeyel?!", bentak Yono pada istrinya.

Tidak mungkin Yono menceritakan kejadian yang sudah membuatnya emosi. Apalagi keinginan terpendamnya untuk memikat dan menikmati wanita lain. Yaitu Susi. Sejujurnya masih ada rasa mengganjal dihatinya. Ditambah dengan kata-kata Mbah Jenggot sesaat sebelum ia pergi.

BAGIAN 10

Beberapa hari berlalu setelah kejadian Mbah Jenggot yang disatroni oleh Yono dan teman-temanya. Keadaan fisik Mbah Jenggot yang abbak belurpun sudah bukan menjadi masalah. Sebagai dukun, ia tau bermacam ramuan yang dapat mempercepat proses penyembuhan. Begitu juga dengan keadaan gubuk reotnya yang semula diobrak abrik oleh ketiga pengojek itu kini nampak sudah tertata kembali.

Semua ini tidak lepas juga berkat sedikit bantuan dari Susi yang begitu peduli dan merawat gubuk Mbah Jenggot seperti rumahnya sendiri. Sedianya bagaikan ibu rumah tangga, sejak kehadiran Susi, Mbah Jenggot serasa menjadi seorang suami. Semua kebutuhan hari-harinya seperti memasak, bersih-bersih dan lain-lain menjadi teratur. Termasuk juga kebutuhan biologis keduanya. Hampir setiap ada waktu luang mereka melakukan persetubuhan yang membara. Tak peduli sedang berada di mana, di dalam gubuk, di semak-semak, dibawah pohon, juga salah satu tempat favorit mereka, sendang toyowengi, menjadi saksi bisu pergulatan gairah menggebu kedua manusia itu.

Bentuk fisik Susi yang menggoda memang selalu bisa memanjakan nafsu bejat dukun tua yang tersohor namanya di kaki bukit gunung kidul itu. Berbagai macam aktivitas mesum yang mereka lakukan sanggup memuaskan keduanya. Selain itu sifat Susi yang patuh, murah hati, dan belakangan ini sedikit genit membuat Mbah Jenggot memiliki rasa lebih dari sekedar nafsu. Dukun itu mulai timbul rasa peduli dan ingin melindungi Susi, semacam rasa sayang.

Sudah hampir sebulan juga Susi berdiam di kaki bukit gunung kidul demi mencapai tujuanya mengambil pesugihan tuyul. Kulit tubuhnya juga semakin nampak montok dan kencang. Benih tuyul yang tertanam dalam rahimnya tumbuh subur akibat setiap harinya disiram oleh peju kental Mbah Jenggot. Seperti pagi itu, sama dengan pagi-pagi sebelumnya, Mbah Jenggot sedang buas-buasnya mengentot badan montok Susi diatas dipan kayu beralaskan kain.

"KRIET... KRIET... KRIET...", bunyi ranjang yang berdecit-decit akibat genjotan-genjotan kasar Mbah Jenggot pada tubuh Susi yang menungging.

"SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK", suara tumbukan paha keriput Mbah Jenggot menabrak-nabrak pantat bahenol Susi bagaikan binatang yang sedang mengawini betinanya.

"AAAIIIH... OOUUUHH... AAH AAH AH AH AH AH AH AH AWWH..."

"KHUEKHEKHEHKHEKHE... Ooooghhh... lihat Nduukk... kontolku menojos-nojos memek gundulmuuu!! ooogh"

"AAWH AWH... AIIIH Mana Susi bisssah lihaat mbaagh... awh... Susi kan nungging... ndak kliatan... AAAWH"

"SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK"

"Lagiaann... Si Mbaahh... bukanyaa tadi wis ngecroot banyak di memek Susi ampe meluberrr... ooogghh... kok kontolnya masih kuat ngentot lagi ssiihhhh.... aaaiihhh"

"Huekhekhekhe... abisnya kalo liat badanmu yang semlohay, Mbah ndak tahan nduk... kayaknya goheman (sayang-sayang) kalo dianggurin... Oooghhh NGENTTOTTT!! HNGGGH NGGGH"

Sambil mendengus-dengus, Mbah Jenggot mencengkeram erat-erat pantat bulat Susi yang daging kenyalnya memantul-mantul seiring sodokanya. Sepertinya kakek tua itu sedang mengerahkan seluruh tenaganya yang tersisa untuk menumbuk habis daging kemaluan Susi. Apalagi dilihatnya dari atas rambut hitam ikal Susi yang awut-awutan dan punggung mulusnya yang berkeringat membuat janda tanpa anak itu semakin seksi. Maka ia lepaskan tangan kananya dari bokong Susi dan meraih rambut Susi. Sementara tangan kirinya masih meremas bulatan putih itu, ia tarik rambut Susi dengan tangan kananya, membuat Susi mendongak dan menjerit.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAWWWWWWHHHH....."

"UOOOOGHHH... HNGGGH HNNGHH HNGGGH MEMEKMU KOK MAKIN KETAT NDUUUKKK OOOOGH"

"SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK"

"NGGGH ooogh... kayaknya memekmu suka kalo dikasarin kayak giniii ooghh!"

Meringis karena nikmatnya bercampur dengan sakitnya jepitan dinding memek Susi yang ketat, Mbah Jenggot seperti menegangkan seluruh tubuhnya. Ia yakin, Susi pasti merasakan sakit yang sama karena urat-urat kontolnya juga ikut menegang tapi tetap merangsek dan mengocok-ngocok di dalam memek Susi.

"UAAWH AAAH AAAAKH AAIIIHHH AAAAWH AW AW AWH"

"SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK"

Saat Mbah Jenggot sedikit membuka matanya dan memicing untuk melihat ekspresi Susi yang kesakitan sambil mendongak, ia kendurkan sedikit tarikan pada rambut Susi. Saat itu juga Susi menoleh, menampakan wajahnya cantiknya yang kemerahan dilanda birahi dari samping. Sambil melirikan mata bulatnya yang sayu karena terangsang, Susi tersenyum...

DEG

Mbah Jenggot terbelalak matanya, ia merasa takjub, senang, sekaligus merinding dengan sorot mata dan senyum Susi. Lalu seakan ada hentakan nafsu yang mendorongnya untuk mencapai puncak kenikmatan, ia kerahkan seluruh tenaganya yang tersisa untuk menusukan kontolnya dalam dalam.

"UUUUOOOOGHHHH BINAL TENAN KOWE NDUUUK SUUUSSSSIIIIII OOOOOGGHHHH!!!"

"SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK SPLOK!"

"PLAK PLAK PLAK"

"AIIIH"

Setelah menampar pantat Susi karena gemas, Mbah Jenggot mencabut kontolnya dari liang peranakan Susi.

"PLOP"

Ia betot kuat-kuat kontolnya yang berkedut-kedut, bersiap menyemburkan lahar hangatnya.

"Ssshhh... Oooohh... sini nduk, siniin mukamu, biar kusembur wajah binalmu kuwi, wekhekhekhe", pinta Mbah Jenggot sambil menarik kepala Susi untuk berbalik menghadapkan wajahnya di depan selangkanganya.

Susipun memposisikan dirinya bersimpuh di bawah Mbah Jenggot yang berdiri. Kulit tubuhnya mengkilat basah bersimbah keringat.

"Mmmm AAAAAA...........", Susi membuka mulutnya untuk menganga bersiap menerima semprotan peju Mbah Jenggot. Sambil menjulurkan lidahnya, kali ini ia tidak memejamkan matanya karena ia ingin melihat secara jelas bagaimana lubang kencing dari kontol besar itu akan mengeluarkan lendirnya. Kepala kontolnya yang mengkilat kemerahan membuat Susi deg-degan. Dan saat Mbah JEnggot melepaskan betotanya...

"CCRRRUUUUOOOOOOOOOOTTTTT!! CROOOOTTT!! CROOOOOTT!! CROOOT CROOOT CROOOT CRRROOOTTT!!"

"HNGGHHH OOOOGHHH NGENTOTTT ENAAAK! NGECROTTIIN PEJU KE MUKA BINAL WUENAAAK TENAANNN, ssshhh!!"

Berulang kali dengan derasnya, semburan demi semburan memuncrat dari kontol hitam Mbah Jenggot ke muka Susi, mengcover sebagian besar wajahnya, bahkan saking banyaknya memuncrat ke pundak, leher dan dada besarnya.

"aahk... banyakh tenan mbaaahkh...", kata Susi yang mulutnya dipenuhi cairan kental itu.

"Uoohh sshhh nikmaattt.... gimana rasanya cah ayu? enak to? khekhekhekhe", kata Mbah Jenggot sambil memeras kontolnya seakan ingin mengeluarkan pejunya sampai habis.

"Aiiihh... anget, lengket banget ini mbaah...", jawab wanita itu saat mengusap peju yang melumuri sekujur tubuh sintalnya.

"Khekhekhekhe, puas bener aku nduk... aku ndak nyangka kowe binal juga"

"Aih, si mbah wae yang nakal..."

"Hh... hh... hh...", deru nafas Mbah Jenggot terdengar ngos-ngosan saat ia menjatuhkan dirinya di samping Susi, membiarkan wanita itu sibuk mengurusi lelehan sperma di payudara jumbonya. Masih sempat-sempatnya dukun tua itu memperhatikan lekuk-lekuk tubuh Susi yang semakin berisi dan dengan iseng meremas pantat wanita itu. Susi yang sudah terbiasa dengan perlakuan itu nampak acuh.

"Cah ayu... badanmu makin montok tanda kehamilanmu sedang masa subur-suburnya...", kata Mbah Jenggot tiba-tiba, "...sepertinya wis tiba waktunya si jabang tuyul itu harus dimunculkan"

"Lho, eh, bukanya hamilnya Susi belum gede mbah?", tanya Susi keheranan.

"Dulu wis pernah aku bilang to, bahwa ndak perlu sampe hamil gede, cukup benih tuyul tumbuh subur dalem rahimmu, kalau janinya wis terbentuk, kowe bisa segera memproses kedatangan tuyulmu"

Susi terlihat manggut-manggut.

"Tapi...", lanjut Mbah Jenggot, "...untuk melakukan ritual pemanggilan tuyul, diperlukan kekuatan gaib yang besar, sedangkan buat sekarang ini kanuraganku sedang lemah".

"Lhah terus gimana Mbah?"

"Ya, besok aku bakal ngelakuin tapa nyepi selama 3 hari buat menghimpun kekuatan. Jadi kowe bakal kutinggal dulu disini selama aku pergi ke lereng lain gunung kidul ini".

"Eh... ditinggal?", kata Susi nampak kaget.

"Iyo cah ayu. Kowe disini sendirian dulu... Khekhekhe, aku ngerti kowe takut, tapi jangan cemas, akan kubuat barrier gaib buat magerin area sekitar gubuk ini. Tak jamin ga bakal ada bangsa goib yang bisa nembus, bahkan Si Uwo sekalipun."

"Ng, lha kalo Susi mau mandi mbah?"

"Hmm, nanti akan kutaruh gentong besar di belakang gubuk berisi air yang bersumber dari sendang toyowengi. Air itu gak bakal habis meski mbuk pake berkali-kali. Jadi untuk sementara kowe jangan pergi jauh-jauh dari sekitar gubuk"

"Aih aih..." Susi nampak mengiyakan mesti hatinya belum sepenuhnya lega.

"Halah, wis to, mestine bukan kowe yang sedih, tapi aku...", kata Mbah Jenggot dengan nada parau.

Susi menoleh menatap dukun tua yang sedang terbaring lemas itu.

"Kok gitu mbah?", tanya Susi yang kemudian menunjukan raut muka sedih dan bersalah, "...maafin Susi mbah. Gara-gara Susi Mbah jadi repot, mesti bertapa ndak makan dan nyiksa diri kayak gitu. Pasti berat kan, apalagi tempo hari lalu Mbah juga babak belur gara-gara Susi..."

"Khekhekhe, bukan kuwi yang bikin sedih nduk?"

"Eh lha terus opo?"

"Aku sedih karena selama 3 hari nanti ndak bisa mimik susu gedemu, Wekhekhekhekhe"

"Aiiihh Si Mbaaah aaah...."

Di tengah obrolan Mbah Jenggot dan Susi itu, mereka tidak menyadari ada sepasang mata yang mengintip lewat celah dinding bambu gubuk reot itu. Mata itu terbelalak lebar dihiasi keringat dingin disekitarnya menyaksikan persetubuhan panas antara kedua manusia itu sedari awal hingga akhir. Berulang kali si pemilik mata itu menelan ludah menyaksikan moleknya tubuh seorang wanita manis yang disetubuhi oleh seorang kakek tua keriput. Saking terpesonanya dengan keindahan tubuh Susi, si pengintip berulang kali mengucek matanya. Benar-benar sintal badan perempuan yang ia pelototi pagi ini, payudara besarnya, pantat bulatnya, dan daging tubuhnya yang montok berisi. Membuatnya tidak tahan untuk mengeluarkan kontolnya yang ngaceng.

Yang paling membuat si pengintip iri tentulah keberuntungan si dukun cabul yang dengan seenaknya mengentot dan menyemprotkan pejunya di dalam memek juga disekujur tubuh Susi. Namun ia tidak bisa menahan untuk tidak ikut mengocok kontolnya ketika melihat pacuan gairah yang dilakukan dua manusia itu. 2 kali si pengintip ikut menyemburkan ejakulasinya, memuncrat ke dinding bambu bagian luar hingga menetes di dedaunan ilalang yang tumbuh disekitar gubuk tempatnya berdiri.

"Edann... edan... edan...", cuma itu yang ada di benak si pengintip. Meski begitu ia merasa masih belum puas untuk menikmati pemandangan tubuh Susi yang semakin terlihat seksi dengan lumuran peju kental. Hal itu juga yang membuatnya tanpa sengaja mendengar percakapan Susi dan Mbah Jenggot. Ia mendengar dengan seksama setiap kata yang mereka ucapkan, dan betapa semakin terkejutnya saat ia tau tentang kebenaran perbuatan bejat yang dilakukan Susi dan Mbah Jenggot.

Maka dengan tergesa-gesa, si pengintip itu menaikan celananya kemudian mengendap-endap menjauh dari gubuk itu. Wajahnya menampakan ketidaksabaran setelah menyimpan lekat-lekat informasi yang ia tahu dalam otaknya. Ia bergegas menuju jalanan yang agak jauh, menghampiri motornya yang ia parkirkan sembarangan dibawah pohon, dan akhirnya memacu motor maticnya menjauhi alas gunung kidul.

---------------------------------------------------------

Siang hari berikutnya, setelah melepas kepergian Mbah Jenggot untuk melakukan pertapaan, Susi bersiap untuk mandi. Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, sebelum pergi, Mbah Jenggot masih sempat-sempatnya melampiaskan nafsu bejatnya dengan menggauli Susi. Susi sendiripun sangat senang karena itu artinya janinnya tumbuh subur dengan siraman peju mbah Jenggot. Sekarang ia merasakan sekujur badanya gerah dan lengket entah karena keringat atau peju yang selalu memuncrat pada kulitnya.

Susi beranjak ke belakang gubuk membawa senampan kecil kembang macam-macam rupa. Sesampainya di belakang gubuk, ia melihat sebuah gentong besar tertata diatas bebatuan halus yang dikelilingi rerumputan pendek. Gentong itu mengucurkan air yang jatuh ke bebatuan dibawahnya. Iseng-iseng, Susi mendekati bagian atas gentong itu dan melongokan kepalanya untuk melihat kedalam gentong. Airnya sangat penuh dan jernih, namun itulah yang membuat Susi heran karena air terus mengucur keluar dari lubang samping bawah gentong. Lagi-lagi Susi kagum dengan kesaktian Mbah Jenggot.

Tak mau berlama-lama, Susipun segera membasuh dirinya tepat dibawah kucuran air dengan duduk bersimpuh.

"Aaah... segernya...", gumam Susi pelan.

Perasaan enak dan lega menjalari kulitnya yang halus bersamaan dengan riak air yang mengalir. Setelah setiap hari dan setiap waktu ia bergumul liar bersama dukun tua itu, ia punya "quality time" sejenak untuk memanjakan tubuhnya sekarang. Maka ia basuh wajah cantiknya, tak lupa ia menaburkan kembang ditubuh montoknya juga. Ia usap-usap payudara besarnya secara melingkar dari pangkal hingga ujung putingnya. Ia tidak peduli dengan alam bebas yang menyaksikan dirinya. Tiada rasa takut bertelanjang diri sendirian di tengah lebatnya rimba gunung kidul. Selain itu sinar matahari yang menembus celah-celah dedaunan cukup menerangi dirinya yang sedang mandi.

Namun...

Sayangnya bukan hanya mentari, pohon-pohon, dan burung-burung kecil yang sedang menatap keindahan raga Susi. Sesaat setelah ia merasa sudah cukup puas mencuci dirinya dan bermaksud untuk mengambil jarit untuk melilit tubuhnya lagi. Kain yang ia cari tidak ada, padahal ia ingat betul ia menaruh kemben di sekitar tempatnya mandi. Susi pun menoleh kebelakang bermaksud memastikan letak kain yang ia taruh, dan terkaget...

"Mas Yono?!!!", pekik Susi sangat terkejut yang serta merta menutupi tubuhnya, meskipun usahanya tak begitu berarti.

"Hehehehe... apa kabar Mbak Susi?", tanya Yono dengan tatapan mesumnya.

Susi melihat kemben batik yang jadi satu-satunya baju untuk menutup tubuhnya tersampir di pundak lelaki bantet di samping Yono. Dia adalah Gembul, yang dengan anehnya menciumi kain jarit itu dengan mendengus-dengus.

"Kok mas mas bisa nyampe sini?!
Ma... mau apa kalian? ... mm... Mbah Jenggot ndak ada! Lagi pergi!"

"Hehehe, justru itu Mbak. Kami tau bandot tengik itu lagi ndak ada disini..."

"Ta... tau darimana?"

"Hehehe... terima kasih kami buat temen kami yang bantet ini...", kata Yono merangkul Gembul, "...Mbul, cepet ceritain, biar mbak montok ini tau. Hehehe"

"Huehehe.. hmffh... aaah wangii", masih dengan menciumi kemben bekas pakai Susi, Gembul mulai bicara, "...jadi kemaren aku liat adegan ngentot yang paling bagus sepanjang masa. Film porno wae kalah jauh lho..."

Susi bergidik, ia memiliki prasangka tidak bagus, maka ia perlahan bergerak dengan maksud mencari celah untuk kabur. Namun sia-sia. Boy sudah bergerak duluan ke sisi lain Susi berdiri. Jadi sekarang posisi dirinya dikerubuti oleh tiga pengojek kampung dusun itu.

"Adeganya, Mbak Susi yang super bahenol demplon ini dientotin sama dukun gendeng bin cabul didalem gubuk reot. Sampe Mbak Susi jerit-jerit keenakan bahkan sampe badan semoknya penuh pejuh. Ooh... aku sampe ndak tahan jadi ikutan ngocok kontol ampe muncrat 2 x, huehehehe", lanjut Gembul.

"Ah, aku ndak peduli sama cerita kontolmu! jijik!", sahut Boy.

Susi yang mendengar hal tersebut mukanya menjadimerah padam karena malu.

"Huehehe... abisnya ndak tahan liat badan Mbak Susi yang seksi"

"Hehe, iya sih, ini dari belakang aja bokongnya cuy... hmmm bunder-bunder", tanggap Boy yang memelototi pantat besar Susi yang terekspos.

Sementara Yono dan Gembul tak kalah melototnya. Keduanya menelan ludah saking takjubnya. Betapa nampak terawat putih tubuh wanita yang sedang mereka hadang ini. Kulitnya bersih di setiap jengkal lekukan di tubuh yang aduhai itu.. Apalagi dengan sisa-sisa basah yang membuatnya mengkilat semakin seksi. Namun yang paling membuat mulut ketiganya menganga lebar tentulah bulatnya payudara Susi yang membuntal besar bergoyang-goyang seiring gerakanya. Payudara itu memantul manja secara alami tanpa disengaja. Yang mana membuat ketiga pengojek kampung itu tanpa sadar ngiler.

"Slurrph... anjiir, sampe ngiler aku coy!"

"Buset bener... pulen tenan kayak nasi anget itu body!"

"Susune... susune coy! Susunee!!"

"Ckckck... akhirnya kesampean juga ngeliat itu susu. Dari awal ketemu dulu pancen kliatan munuk-munuk, kayak bajumu sesak mbak...", kata Gembul yang matanya seolah terlalu sayang untuk berkedip menatap payudara besar Susi, "...bener-bener ndak salah dugaanku kalo susumu emang super gede dan montok!"

"Huehehe... Kontolku jadi ngaceng ini!"

"Alah... ndak usah ditutupi Mbak... kita kan juga pengan liat, masa sama kita malu, lhawong ama bandot tengik yang udah bau kuburan aja sampean mau dientotin lho, iya kan Mbul?", ucap Yono meminta Gembul untuk memastikan.

"Huehehe... iya tho ya. Ckckck ndak nyangka mbak, mbak... sampean ayu-ayu kok seleranya mbah-mbah..."

"Kalian mau opo? Bukanya kalian kamaren wis puas bikin Mbah Jenggot bonyok dan ngobrak abrik gubuknya?!", tanya Susi dengan seruan lantang.

"Hehe tenang mbak ayu... jangan teriak teriak gitu ah...", kata Yono mulai mendekat.

"Ah biarin aja teriak Yon, kayak kemaren teriakanya bikin merangsang, huehehehe"

"Kontolku jadi tambah ngaceng"

"Mbak Susi, daripada sampean sama bandot tengik itu, mending sama saya, saya masih kuat kok punya istri lagi... hehehehe", rayu Yono mengelus pundak Susi.

Susi yang merinding langsung sedikit menghindar.

"Aih, jangan macem-macem ya mas!"

"Weleh weleh... enak di kowe tok dong Yon! Aku kan juga pengen nyicipin MBak Susi...", sahut Boy tiba-tiba.

"Huehehe... wis-wis jangan pada berebut. Kalian ini kan wis beristri, jadi biar Mbak Susi jadi istriku wae, ya ndak Mbak?", sekarang ganti Gembul yang juga mendekat ke arah Susi.

"Aih, Ndak sudi!", jawab Susi tegas.

"Sontoloyo!", gerutu Gembul.

"Khahahaha... ditolak mentah-mentah kowe Mbul! Kontolmu ndak laku!", ejek Boy.

"Tolong mas, kembaliin jaritku..."

Meski Susi tahu betul posisinya terjepit, ia berusaha memohon. Namun tanggapan dari Gembul yang membawa jarit Susi malah seolah membalas mengejek karena ditolak. Jarit yang semula ia endus dan ciumi ia arahkan ke selangkanganya lalu diusap-usapkanya menggesek kontolnya dari luar celana.

"Ndak Sudi! sshh... oooh...", desisnya dengan tampang menjijikan.

"Sebenernya mau mas-mas ini apa to? Apa belum puas sama yang kalian lakuin ke Mbah Jenggot tempo hari?"

"Hehe, kami memang ndak suka sama dukun tengik kuwi Mbak Susi..., tapi urusan kami kemari sama sampean, bukan dia", tegas Yono.

"Saya... Ng... kenapa sama saya Mas? soal ongkos ojek ya?"

"Hahaha, bukan itu juga. Tapi ngomong-ngomong soal kwi, aku malah jadi inget kalo kowe masih hutang ngasih susu montoknya buat tak remes, makasih wis dielingke ya mbak... hehehehe"

"Eh lho, saya ndak inget bilang setuju! Kuwi kan cuma pengenya Mas Yono dewe!", gerutu Susi.

"Khahahaha... wis wis, cukup basa-basinya. Kami bertiga dateng kesini mau ngasih tau kalo kami wis reti rahasiamu Mbak!"

"Rahasia opo?", Susi mulai panik. Kemudian Yono semakin mendekatkan dirinya ke badan Susi, sambil berkata pelan.

"Kowe ngambil pesugihan kan?"

"DEG"

"Huahahahahaha, Boy, Mbul! Liat mukanya... merah kayak udang rebus!"

"Hehehe, percuma disembunyiin Mbak. Kemarin aku denger dewe dari mulut manismu dan dukun gendeng kuwi bahwa kalian sedang menjalani ritual pesugihan! Dan dia sekarang lagi pergi bertapa to selama 3 hari? Buat nambah ilmunya to?", jelas Gembul panjang lebar.

"Ckckck... Mbak mbak, ayu-ayu kok mau-maunya dikibulin dukun cabul! Kowe itu cuman dijadiin alat pemuas nafsu bejatnya Mbak", imbuh Boy.

Memang tepat apa yang dikatakan Gembul tentang pesugihan dan kepergian Mbah Jenggot sementara waktu. Itu membuat Susi sangat malu dan gelisah. Situasi ini membuatnya terpojok, bagaimana kalau ritual yang sedang ia jalani tiba-tiba dirusak oleh ketiga pengojek dusun itu. Namun sepertinya ketiga pengojek ini tidak tahu pesugihan macam apa yang sedang dijalani Susi, bahkan sepertinya menurut mereka pesugihan cuma akal-akalan Mbah Jenggot buat menikmati Susi. Dengan otak yang mencoba untuk berpikir jernih Susi mencoba mengendalikan situasi.

"Lalu, mau kalian apa?"

"Huehehe, kami cuma mau minta tolong peresin pejuh kami, udah lama ndak nyemprot. Apalagi kalo disemburin ke susu gedemu mbak... Setelah kudenger cerita Gembul kemaren, kontolku ngaceng terus ngebayangin kowe", jawab Yono.

"Aagh, aku pengen ngentotin kowe Mbak!", tegas Boy tanpa basa-basi.

"Ngen... tot...?", tanya Susi tergagap karena tercekat. Ia tahu betul resikonya, jika sampai rahimnya terisi oleh pejuh orang lain, maka janin tuyul yang dikandungnya akan rusak. Untuk sekarang keringat dingin menjalari kulit mulusnya.

"Aku pengen ngemut susumu mbak... sluurppph", tambah Gembul mengelap ilernya.

Ketiga lelaki kampung yang menghadang dirinya kini nampak seperti serigala kelaparan. Susi cuma bergidik ngeri, tidak ada jalan untuk lari atau meminta bantuan di tengah alas seperti ini. Salah perhitungan yang dilakukan Mbah Jenggot ketika dukun itu hanya membuat pagar gaib untuk makhluk-makhluk gaib saja. Lalu bagaimana dengan manusia-manusia mesum macam para pengojek itu, yang kelakuanya tidak kalah bejat daripada setan. Tidak ada pilihan lain bagi Susi selain pasrah.

"Ba... baik mas... Nggih..., kalau mbantu buat kontol mas-mas ini ngecrot, saya bisa...", kata Susi sedikit takut-takut.

"Wuiiiih... tenan mbak?!", girang Boy seakan tidak percaya, disusul tatapan tidak percaya juga dari kedua temanya.

"...Tapi, jangan bunuh atau hajar saya nggih?", imbuh Susi.

"Ah, mana mungkin kami tega menghajar cewek sebahenol kowe, mbak..."

"Weleh-weleh... akhirnya kesampean juga impianku..."

Susi akhirnya pasrah membiarkan Gembul, Yono dan Boy mengerubutinya. Ia berencana memuaskan ketiga pria itu tanpa membuat mereka mengentotnya. Masih dalam keadaan berdiri, dirinya digumuli oleh 3 pria bejat itu. Gembul nampak paling bernafsu dengan nafas yang mendengus-dengus langsung meremas gundukan dada Susi.

"Aiih... pelan-pelan mass..."

"Buka mulutmu mbak!", perintah Yono sedikit kasar saat memegang kepala Susi yang basah dengan tangan kehitamanya. Saat Susi merenggangkan bibirnya yang lembab, Mulut Yono langsung menyosor dan menyumpalnya. Begitu lembut dan empuk dirasakanya bibir Susi membuat lelaki yang sudah ber-anak istri itu makin kalap. Ia melumat setiap sisi-sisi bibir Susi, seakan sayang untuk dilewatkan, ia mencucupnya seperti menghisap madu yang manis. Tak hanya itu, saat ada kesempatan Susi membuka sedikit bibirnya, lidah Yono langsung menyerbu masuk dan dengan ganasnya mengolok-olok rongga mulut Susi. Tak peduli dengan kumisnya yang meggesek kasar di sekitar mulut dan hidung janda manis itu, Yono tetap bersikeras membelitkan lidahnya pada lidah susi.

"Mmmmh... Nymmmhh... mmmahhmmm..."

Bukanya Susi tidak risih, karena ia sudah terbiasa dengan kecupan-kecupan Mbah Jenggot pada bibirnya yang lebih buas saat mereka bersetubuh. Hanya saja Susi tidak terbiasa mulutnya dicium oleh orang lain lagi. Sementara dibawah sana, tangan kasar Boy meremas-remas pantat bulat Susi, dimain-mainkannya seperti bola jelly karena ia mendapati daging bokong itu sangat kenyal dan kencang.

"Hap! Mmmhh...", mulut Gembul mencaplok sebagian daging payudara Susi dan langsung mengenyotnya. Lidahnya yang dingin langsung menyisir pori-pori susu Susi membuat wanita itu semakin pasrah karena terangsang.

Susi tidak bisa membagi pikiranya karena sekarang tubuhnya diserang dari segala arah. Entah tangan siapa, mulut siapa yang menjamahi sekujur badanya, ia meringis dan memejamkan mata karena rontaanpun percuma. Yang ia rasakan sekarang dirinya telah direbahkan di rerumputan. Rangsangan demi rangsangan ia terima membuat birahinya terbangun juga, ada merinding geli namun nikmat ketika kulit-kulit orang lain bersentuhan dengan kulit tubuhnya.

"Huehehehe... wis pengen juga to Mbak, kok pentilnya wis ngaceng... huehehe tak icipin dulu ya...
Cyuuupphh!"

"Aiiiiihhh.... sshhh"

"Buset! Enak tenan kowe Mbul, nyusu pentil dari susu gede! Aku yo mau coba ah.... Nyiuuph!"

Jadilah Boy dan Gembul menyusu di kiri-kanan buah dada Susi. Begitu liarnya mereka menyucup puting dada itu membuat Susi blingsatan. Tanganya bergerak meremas kepala botak Boy dan rambut ikal Gembul. Bagaikan menyusui dua bayi besar, Susi yang terbaring di rerumptan, tubuhnya melengking membusungkan dadanya keatas sementara kedua kakinya bergerak-gerak tidak karuan. Perlahan tapi pasti memeknyapun mulai berkedut.

"Mmmhh... aiihh... kok pada nyusuuu mmhh..."

Disela rintihanya, kepala Susi mendongak membuat lelehan keringat dan sisa air mandi di lehernya mengalir turun. Rambut ikalnya bergesekan dengan rumput tempat kepalanya bersandar, namun yang tak ia kira ternyata Yono sudah memposisikan kontolnya diatas wajah cantik Susi. Dari atas kepala Susi, Yono ememgang kontolnya yang sudah tegak dan ditempelkan di mulut Susi yang sedang mendesis-desis.

"Plek"

"Aih..."

Saat Susi membuka matanya ia melihat jembut yang banyak dan tidak terawat tepat diatas mata bulatnya. Jembut yang bermuara dari kontol hitam yang mengacung tegak. Ia tidak begitu terkejut dengan ukuranya karena ia sudah terbiasa dengan kontol Mbah Jenggot, tapi Susi tak menyangka kontol itu tiba-tiba sudah didepan muka mulusnya. Yono lalu memegang dagu Susi dari atas dengan tangan kirinya sementara tangan kananya ia pergunakan untuk memegang kontolnya dan digesekan di bibir Susi.

"Aihmhhmmmh... mmhhh...."

"Uoohh... edannn, lembut tenan bibirmu Mbak... enak tenan rasane kontolku nempel di bibirmu..."

"Slpphhh slpph.. slppph..."

"Hehehe... kenyel-kenyel asooy..."

"Apanya yang kenyel Yon? Cyuppph.... nymmmh", tanya Gembul sambil tetap mengenyot payudara Susi.

"Hehehehe... ini lho Mbul, lambene... bikin kontol geli-geli enak..."

"Huehehehe... nyuupph aahh... ini juga lho, susune kenyel-kenyel", jawab Boy tak mau kalah.

Sedang asyik menyusu pada bongkahan payudara Susi, Gembul dan Boy tidak sadar bawa Yono mencuri start dengan mulai menjejalkan kontol berjembutnya ke bibir Susi. Susi terlihat mendelik matanya, bukan karena ukuran kontol Yono, melainkan karena posisinya yang mendongak dan terpaksa mengemut batang hitam itu.

"Nggh... mhhh... mmfffh ffh... hegh...."

"Ooooghhhssshh... akhirnya kesampean juga diemut bibir cewek kontol iki! Ohhhss..."

"Kampret! Ternyata kowe wis ngentot mulute duluan Yon?!", seru Boy melepaskan cucupanya namun tanganya tetap membetot daging susu Susi.

"Cloooph... cloppph... cloooph... cloooph"

"Hehehe... lha soalnya ndak kebagian susune kuwi mbuk jajah berdua... ohhhshh"

"Kadal! mmhh cyupppmhh... piye rasane Yon?", tanya Gembul yang tak mau melepas kenyotanya.

"Weledeleh... lembut tenan lho! Kontolku rasane kayak diurut-urut pake daging basah tur anget.... ooohhhh...", lirih Yono merem-melek keenakan

"Cloooph... cloppph... cloooph... cloooph"

Masih memaksakan kontolnya menjejali mulut Susi keluar-masuk, Yono menikmati benar kuluman Susi. Emutan bibir dan hangatnya lidah Susi bagaikan surga yang menjalari sekujur tubuh Yono. Si kumis itu hanya bisa mengerang-erang sambil menampakan snyum mesumnya, membuat Boy dan Gembul tanpa sadar iri dengan ekspresi kenikmatan yang di tunjukan pengojek itu. Meski dalam keadaan seperti itu Susi mencoba berpikir untuk segera membuat Yono ngecrot, agar kesempatan mereka untuk menyetubuhi memeknya berkurang. Karena itulah ia semakin gencar mengulum dan memelintir kontol Yono dengan mulutnya.

Tak mau kalah, Boy mendorong tubuh Gembul agar menjauh dan tergesa-gesa mengangkangi dada Susi. Rupanya si botak ini ingin menjepitkan kontolnya di belahan payudara Susi. Begitu Gembul tampak bingung, dengan sigap tangan Susi langsung meraih kontol Gembul yang paling kecil. Ia bertindak seperti itu agar Gembul tidak keburu berpikir untuk menyerang memeknya.

"Eh, oh? Huehehe... ternyata Mbak susi binal juga to... kontolku wae ditarik lho... huehehe.. ayo kocok mbak...", kata Gembul kegirangan.

"Clok clok clok clok clok..."

"Hehe, kalo aku sih pengen ngrasain sensasi dijepit susu gede...", kata Boy menyelipkan kontol panjangnya di belahan dada Susi yang kencang.

"Ah botak gendeng! Tadi aku wis ngincer jepitan susune Mbak Susi malah lowe nyrobot, tapi... aaah... enak juga kocokane Mbak Susi... huehehe... alus tenan tanganmu Mbak... oooghh..."

"Clok clok clok...."

Baru saja Boy mencoba mencari ritme yang enak untuk mengentot susu Susi, ia dan Gembul dikejutkan dengan tubuh Yono yang mengejat-ngejat.

"AAGH... AAgh.. OOh... AKU NGECROT... AG! NGENTOOOTTT!!"

"CRUT CRUUUT CRUUUT"

Tiga kali semburan kecil keluar dari mulut kontol Yono menabrak lidah Susi.

"Buahahaha... cepet tenan yon!", ledek Gembul.

"Ah, Yono... Yono..., nafsu wae yang gede, ngecrotnya cepet! Hahaha", ledek Boy menimpali.

"Aih aih... jadi lengket ih, mas Yono jahat ih...", gerutu Susi.

"Hehehe... Hh hh hh", Yono cuma cengengesan terengah-engah

Sambil mengusap mulutnya yang terkena lelehan peju Yono, Susi melihat Boy yang tak tinggal diam segera memaju mundurkan pinggulnya agar jepitan susu Susi makin terasa di batang kontolnya.

"Slep slep slep slep slep..."

"Wuenaak tenan iki... kuwi delok o matamu, susune mentul-mentul, hehehehe", Boy kegirangan mengentot dada besar Susi yang terguncang-guncang.

Benar pula yang diselorohkan Boy. Payudara besar Susi yang munuk-munuk terlihat memantul kenyal mejepit kontol. Gembul yang kontolnya masih diurut-urut tangan susi dan Yono yang duduk mengatur napas sama-sama melihat begitu indahnya dada itu bergoyang menumbuk selangkangan Boy. Si botak itu kini meringis-ringis menahan nikmat.

"Splok... splok... splok... splok... splok..."

"Hooogh.. hooogh... sshhh... Mbak Susi... susumu pancen juara! Ngentooot susuuuu gedeeee! Ooohhhssshhh"

"Jangkrik tenan! Enak betul kowe Boy!", gerutu Gembul yang nampak tak puas dengan hanya dikocok.

"Juhh... juhh... juhh...", melihat Boy sedang dalam puncak keenakan, Susi berinisiatif meludahi belahan dadanya agar semakin licin dan mempercepat orgasme Boy.

"Aaahsshhh... jadi basah... pinter kowe Mbak! Makin enaak makin enaaakkk....!!"

"Splok... splok... splok... splok... splok..."

"Aiiih... iya maaas... ayoooh entot terus susu saya... aiiih aww aah aah"

Sembari menyemangati Boy agar segera mencapai klimaks, tangan Susi semakin aktif mengocoki kontol Gembul. Namun Gembul yang mendengar rintihan Susi yang keluar dari mulut seksinya, tergerak untuk merasakan kuluman bibir indah itu. Maka ia berjongkok diatas wajah Susi dan mengarahkan kontolnya sambil tanganya mengusap bibir bawah Susi yang sedikit tebal.

"Buka mulutmu Mbak... biar kusumpal mulut binalmu Hehehe"

"Hakhmmhh... Nymmmh.. nyummmh.. Nyoph nyop nyop"

"SShhhhh Oggghhhh... Uaaaghhhh....!!!"

"CROOOT CROOOT CRUOTTTTT!!! CROOOTTT!"

Tak disangka Boy mencapai ejakulasinya di gunduklan dada Susi. Memuncrat di sekliling payudara besar itu.

"Oh hhhhss... nikmaaat...", dengus Boy yang mengurut kontolnya mengeluarkan sisa tetesan pejuhnya dan diusap-usapkan di pentil Susi.

"Hmmmhh nymmmh nyummhh", sementara Susi sendiri menahan sensasi geli pada puting yang membangkitkan gairahnya juga, ia konsentrasi untuk menuntaskan mengulum kontol Gembul.

"hueheheh... bener Yon... mulut Mbak Susi ini pancen top... ssh ooohhhhh..., anget-anget dan sedotanya kuat tenan... Ooohhsshhh... ati-ati Mbak, jangan ditelen kontol saya... Wueheheeh"

"Hahahaha, kuwi kontolmu wae yang kayak cacing, makanya gampang kesedot!", ejek Yono.

"Ah, kadal kowe!
Eh, oh, aduh, lho eh... kenapa ini? Aghhh mo ngecrot nih kayaknya, huehehehe. Lepas mbak lepas! Aku mau mejuhin wajah cantikmu! Hueheheh"

"Plop!"

"Aahhgggssshh ngentooott!! Terima ini Mbaaaaaaakkk Sussssssssssshhh...."

"Cpruuut cruuut... crooot cruuut.... cruut!! Crut!"

Seketika semburan-semburan kecil keluar dari kontol Gembul menumpah ke sekujur wajah mulus Susi. Mengcover wajahnya, meski cuma muncratan sedikit-sedikit namun hampir rata melelehi pipi dan hidungnya.

"Setan alas! Enak tenaaannn... Hh hh... hh.. hh,...", gumam Gembul yang ikut terduduk capek bersama dua rekan pengojeknya.

Akhirnya Susi bisa bernafas lega setelah berhasil membuat ketiga pengojek dusun itu ngecrot. Ia berhasil mencegah kontol lain memasuki liang senggamanya. Ia tak perlu mengeluarkan banyak stamina seperti ketika ia berpacu dalam birahi bersama Mbah Jenggot. Lagipula ketiga pengojek ini juga ternyata bukan tipe yang tahan lama. Akan tetapi ada satu hal yang mengusik Susi. Dimana sense biologis kewanitaanya juga tergugah dengan rangsangan dan pelecehan yang ia terima pada tubuhnya. Apalagi ditambah naluri seksualnya meningkta berlipat ganda saat benih Tuyul bersemayam di rahimnya. Di bawah sana memeknya berkedut-kedut gatal.

Saat sedang berpikir, tiba-tiba tubuhnya sintalnya terangkat.

"Aih, lho... mau dibawa kemana saya ini?"

Bagian 11

"Jgrek grek grek grek grek..."

"Buu..."

"Hm?"

"Bapak kok belom pulang yo?"

"Embuh, tumben-tumbenan sampe jam segini belom sampe rumah lho".

"Iya lho, wis jam setengah sembilan gini..."

"Wis to, palingan lagi nganterin penumpang sampe jauh, atau lagi nongkrong dirumahe paklikmu Gembul..."

"Jgrek grek grek grek grek..."

Di malam hari suasana rumah Yono, terlihat percakapan antara Amin, putra Yono dengan ibunya yang sedang menjahit. Nampak sang putra yang selesai mengerjakan PR sedang heran karena tak biasanya si bapak belum pulang. Tak jauh dari keduanya, si kakak perempuan terlihat menyamankan diri di kursi depan TV. Paha mulusnya terekspos jelas karena ia hanya mengenakan celana pendek ketat, begitu pula lengan, bahu, ketiak hingga dada putihnya terlihat jelas akibat singlet yang nampak kekecilan.

"Atau jangan-jangan, bapak digondol demit gunung kidul, hihihihi..."

"Hus, Minul! Jangan nakutin adekmu!", tegur sang ibu.

"Hihihi..."

"Lagian kowe ini lho, malem-malem gini kok cuman pake singlet! Awas masuk angin!"

"Halaah ibuk, wis to enakan gini... lebih lega...", jawab Minul.

"Wuu, biar dicokot nyamuk kowe Mbak!", celetuk si adik.

"Nyamuk e yang tak cokot balik!", jawab Minul lagi tak mau kalah.

Tak lama berselang terdengar suara motor butut Yono diluar rumah.

"Krung krung krung krung krung.... Jglek"

"Biar aku wae yang bukain pintu!", seru Amin bergegas membukakan pintu untuk bapaknya lalu melihat bapaknya masuk dan langsung duduk di kursi.

"Bapak kok baru pulang?", tanya istri Yono, ia menangkap raut wajah gembira dari muka Yono. Seperti orang yang sudah puas dan bahagia.

"Nul, bikinin bapak kopi", perintah Yono seakan tak menggubris pertanyaaan istrinya.

"Ah Bapak, lagi pewe iki...", gerutu Minul, meski begitu gadis ayu itu tetap beranjak ke dapur.

"Biasalah bu... penumpang jauh", jawab Yono acuh.

"Wah, berarti dapet duit banyak dong Pak?", tanya Amin bersemangat.

"Eh, anu... ya cuma sedikit soalnya tadi dipinjem Gembul...", Yono beralasan.

Istri Yono sedikit merasa aneh dengan jawaban Yono, namun ia tidak begitu menggubrisnya, ia tetap melanjutkan pekerjaan jahitanya. Ia berpikir suaminya pastinya lelah bekerja seharian dan tidak ingin membebaninya dengan pertanyaan. Kemudian si Amin terlihat membereskan buku-bukunya. Dari balik gorden dapur, Minul muncul membawa secangkir kopi lengkap dengan cawanya. Ditaruhnya kopi itu di meja depan bapaknya yang sedang senyum-senyum sendiri.

"PLAK!"

"AW!"

"Ish, bapak! Salah Minul apa kok pantatku dipukul?!"

"Heh, ini lho nyamuk", jawab Yono menunjukan nyamuk mati di telapak tanganya.

Benar saja, ada bekas gigitan nyamuk membentol kecil di paha belakang minul agak keatas nyaris dekat pantat kencangnya. Namun lucunya bekas itu bertambah parah dengan bekas memerah akibat tamparan tangan Yono yang kelewat keras. Jadilah pantat putih itu kemerah-merahan. Minul dengan bersungut-sungut kembali kekamarnya mencari minyak kayu putih.

Sementara Yono, dalam lamunanya setelah tanpa sengaja merasakan kenyalanya bokong putrinya sendiri, teringat tubuh Susi...

"Ooh... Mbak Susi...", lirih Yono pelan.

[HIDE]Di suatu sudut lereng bukit gunung kidul, di tengah lebatnya rimba dan dinginya malam. Di sebuah tempat tak kasat mata, berupa gua dan bebatuan ditepi tebing yang menghadap langsung dengan samudra selatan. Sudah barang pasti tak ada satu manusia biasa yang mampu datang atau bahkan mendekat ke area ini. Jangankan manusia, bangsa lelembutpun hanya yang berilmu tinggi yang sanggup menjamah wilayah ini. Bersama gelapnya langit tanpa rembulan semakin membuat pekat tempat itu.

Di dalam sana, sesosok tubuh tua sedang bersemedi diatas batu berlumut. Disekitarnya tumbuhan merambat disegala arah. Wajah tuanya semakin terlihat kusam dan tidak terawat. Yang paling mengerikan adalah tubuhnya terlilit oleh seekor ular sanca yang terus bergerak. Lidah ular itu meliliti jenggot putihnya. Di kepala ular itu berkilapan seperti mahkota kecil. Mata ular itu menyala merah namun si tua itu tak bergeming sedikitpun. Sampai akhirnya ular tersebut menyusur turun ke tanah, melingkarkan tubuhnya dan mengeluarkan sinar kemerahan.

Sinar itu semakin terang dan semakin terang sampai menerangi seluruh penjuru gua. Tak lama, sinar itu berubah bentuk membetuk suatu wujud tubuh wanita. Sosok tersebut berwujud layaknya manusia dengan lekuk-lekuk tubuh yang indah. Wajah cantiknya bagaikan bidadari, berambut panjang dan bermahkota delima, mengenakan kemben merah yang membungkus dadanya yang padat, serta jarit merah pula, dihiasi berbagai perhiasan keemasan di pergelangan tangan, kaki dan lehernya.

"Jenggot...", gumam wanita itu lirih.

Mbah Jenggot seketika membuka matanya perlahan dan tiada raut terkejut dari mukanya.

"Nyai..."

-----------------------------------------------------------------------

Di sebuah rumah sederhana di salah satu ujung dusun Watingin. Rumah yang sedianya hanya memiliki satu penghuni karena dirinya belum beristri dan tidak memiliki sodara yang bertempat tinggal dekat.

"Cruuut... crut... crut..."

"Agh... wuenak Mbak Susiiiihh..."

"Aih aih... hihihi ngecrotnya kok dikit dikit mas Gembul..."

Di dipan berkasur kapuk dengan sprei berserakan, nampak seorang pria bantet sedang duduk berkeringat dengan kaki berselonjor. Dada gempal diatas perut buncitnya kembang kempis seiring napas kelelahanya setelah mengeluarkan air mani. Mata kantuknya masih dipaksakan melihat sosok janda cantik yang bersimpuh diantara kakinya. Wanita berdada besar yang sudah berhasil memuaskan kontolnya dengan kuluman mautnya itu adalah Susi. Cipratan pejuh di pipinya ia lap saja dengan sarung bantal seadanya.

"Hh... hh... aku ngantuk mbak... hh..."

"Kalo ngantuk ya bobok to mas...", jawab Susi sambil menyanggul rambut indahnya keatas, memperlihatkan ketiak mulusnya.

"Tapi aku mau mimik dulu dong... huehehe...", kata Gembul dengan senyum cabulnya.

"Yo wis tak ambilke aer dulu..."

"Lho, maksudku kuwi tolong susuin aku mbak... biar boboku nyenyak huehehehe"

"Aih, wis tua kok masih kayak bayi lho Mas Gembul iki..."

Meski begitu, tak ada penolakan dari Susi. Ia geser tubuhnya keatas, bersandar pada kepala ranjang lalu berbaring menyamping menghadap Gembul. Ia letakan bantal untuk menyangga payudara montoknya seakan mempersilahkan Gembul. Oleh gencetan bantal dari bawah dan gravitasi dari atas, membuat sepasang buah dada bulat itu saling menempel kencang. Maka tak mau membuang waktu Gembul langsung memposisikan tubuhya berbaring juga menghadap pada payudara itu dan mencaploknya.

"Homym..."

"Aih"

"Nyup... nyup... nyup... nyup..."

Sambil mulai memejamkan mata, Gembul mengenyot bagaikan bayi yang disusui ibunya. Sedangkan tangan Susi mulai membelai rambut ikal Gembul, mengelusnya agar pengojek cabul itu segera terlelap.

Bukan

Ini semua bukan kemauan Susi tentu saja. Ia melakukan ini karena terpaksa, ia sudah menimbang-nimbang dengan benar, bahwa tidak ada cara lain selain ini. Ia memilih untuk mengulur waktu dan memuaskan nafsu birahi ketiga pengojek dusun itu tanpa membiarkan mereka menyetubuhinya.

Susi ingat betul siang tadi sesaat setelah dirinya memuaskan nafsu Yono, Gembul, dan Boy, tubuhnya diseret-seret untuk dibawa pergi dari gubuk kediaman Mbah Jenggot. Ketiga pengojek itu sempat berdebat panjang sampai malam bahwa akan diapakan dirinya setelah ini. Ketiganya sudah barang pasti sangat menginginkan Susi. Namun tidak mungkin mereka membawanya pulang, terutama Yono yang sudah memiliki anak istri dan Boy yang baru saja memiliki istri. Akan tetapi mereka berdua juga tidak setuju jika Gembul yang mendapatkan jatah menyembunyikan Susi dirumahnya.

"NDAK BISA! Enak di dia dong berarti! Mbak Susi bisa dicabulin terus sama Babi ini!", tegas Yono mengatai Gembul.

"Lha terus piye, kan yo cuma aku yang tinggal sendirian...", jawab Gembul pede.

"Ah, mending kita cari rumah kosong atau ungsikan ke mana gitu. Jadi ndak ada yang lebih deket sama Mbak Susi! Biar adil!", usul Boy.

"Bener juga! Oke besok kita cari tempat kosong!", Yono langsung menyetujui.

"Yo wis, biar malem ini Mbak Susi nginep dirumahku dulu. Tenang wae, ndak akan kubiarin dia kabur... huehehe"

"Yo wis lah mau gimana lagi... bejo tenan kowe babi setan!", kata Yono sambil tetap memaki.

Setelah Susi dipakaikan kemben seadanya untuk menutupi tubuhnya, Susi dipaksa ikut pergi dari tempat itu untuk menuju ke rumah Gembul yang kebetulan berada di ujung dusun. Sengaja mereka melewati area persawahn yang sepi agar tidak diketahui warga dusun yang mungkin masih beraktifitas di jalan.

Tak ada pilihan lain bagi Susi, jika ia melawan tentu dia akan dibunuh atau malah dilaporkan ke warga yang menyebabkan gagalnya ritual pesugihan yang ia jalani. Yang paling penting baginya adalah menjaga rahimnya agar tidak terisi oleh sperma lelaki lain. Ia wajib menjaga janin tuyulnya. Ia berpikir yang ia perlukan hanya memuaskan birahi ketiga pengojek dusun itu. Toh mereka bukan orang yang bisa berulang kali ereksi. Jikalau ia bisa melayani nafsu mereka sebelum dientot, tentulah ia aman. Maka ia harus pintar-pintar bersandiwara dan menyamar.

Maka disinilah ia sekarang, menyusui pria cabul untuk mengantarnya tidur.

''tiga hari...", gumam Susi dalam hati," ya... hanya tiga hari, Mbah Jenggot pasti akan datang membawaku pergi, aku harus bertahan..."

Tapi rencana tidak selalu seiring sejalan dengan kenyataan.

Adalah dorongan kebutuhan biologis dari dirinya sendiri...

Seperti halnya malam ini, puting susu dan daging payudaranya yang terkenal sensitif dengan rangsangan lagi-lagi menggugah birahinya akibat sedotan Gembul yang sedang tidur sambil menyusu, kembali dinding memeknya berkedut-kedut dan melembab...

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Subuh sudah berlalu cukup lama pagi itu, di rumah Yono, Amin terlihat sudah selesai keluar dari kamar mandi karena memang kebiasaan anak itu yang selalu mandi pagi lebih awal. Disaat sedang menjemur handuknya disamping rumah, anak itu mendengar suara mesin motor bapaknya. Karena penasaran ia menyibakan jemuran lain dan melihat sang bapak beranjak pergi nampak tergesa-gesa memacu motor bututnya.

"Krung... krung... krung... krrrruuuunggggg...."

Baru ingat bahwasanya si bapaklah yang selalu mengantarkanya sekolah tiap pagi, Amin bergegas menemui ibunya.

"Buuk, buuk, kae bapak kok wis pergi ngojek? Lha yang nganter Amin sekolah siapa?"

"Lho, lho... iyo, lha bapak kae piye to? kok pergi ndak pamit... wis sana bangunin mbakmu, suruh dia yang nganter kowe nanti!"

Memang setelah melewati ujian kelulusan SMA, kegiatan Minul hanyalah dirumah sambil menunggu pengumuman kelulusan dari sekolahnya. Maka gadis itu tidak nampak bangun pagi untuk bersiap sekolah. Saat mau membangunkan kakaknya, Amin menyingkap tirai kamar kakanya itu, tepat saat itu juga Minul hendak keluar kamar. Dengan singlet putihnya yang salah satu talinya melorot kebahu hingga menampakan dada kencangnya yang membuncah, Gadis itu mengucek-ucek matanya. Rambutnya yang awut-awutan menutup matanya juga, jadilah Amin dan Minul bertabrakan.

"Jduk!"

"Aduh!"

"Aw"

Kepala Amin memebentur dagu Minul cukup keras.

"Bocaah! Kalo jalan liat-liat!", gerutu Minul.

"Mbak Minul wae yang masih ngantuk! Aduh sakit...

Coba tadi nabraknya susu Mbak Minul, pasti empuk, ndak sakit gini..."

"Woooh, bocah geblek, masih kecil ngomonge saru!

Buuk, ini lho anakmu omonganya cabul!"

"Hish, wis wis, ojo bertengkar wae, kwi adekmu nanti anterke sekolah, bapakmu wis berangkat", jawab si ibu acuh.

"Tumben...", batin Minul dalam hati.

Sementra itu dirumah Gembul,

Di alam bawah sadar Susi yang sedang terlelap tidur di ranjang Gembul. Wanita molek nan cantik itu sedang bermimpi. Dalam mimpinya ia sedang dicumbu mesra oleh mendiang suaminya. Ia mendesah-desah dan mneggeliatkan tubuh montoknya, keringatnya sudah membasahi sprei Gembul yang memang sedari malam sudah acak-acakan. Gejolak birahi yang dipendamnya seakan bersambut dengan digumulinya dirinya oleh sang suami di alam mimpi. Dengan perkasa, suaminya menindih tubuhnya, membuka pahanya lebar lebar dan memposisikan kontolnya di depan memek tembem Susi.

"Aah...", Susi mendesah pelan saat penis sang suami menyeruak masuk

Cukup lama bagaimana kontol si suami dirasakanya mengulik-ulik liang kewanitaanya untuk mencoba menelusup semuanya. Susipun memeluk dan mendorong pantat suaminya untuk membantu

"Ssshh... ayo massh, masukin.... ssshhh..."

"Slepppph..."

Setelah masuk, si suami segera melakukan gerakan menojos-nojos memek Susi. Dalam himpitan ketatnya memek Susi, kontol itu terlihat kesulitan untuk mengorek-orek dinding vaginanya. Susi sendiri yang sedang dialnda birahi juga mencoba menggoyangkan pinggul sintalnya untuk mencari gesekan kenikmatan yang ingin segera ia dapat.

"Ssshhh... aaah... terus maaasshhh... ngggh... entottt...."

Namun beberapa kali Susi bergoyang, ia merasakan keanehan. Entah kenapa kontol suaminya terasa lebih kecil dari yang ia kenal. Tapi itu tak membuat Susi kehilangan nafsu birahinya. Malahan dipeluknya punggung sang suami agar tubuh kekarnya menempel ketat menghimpit dada montoknya dan menyatu dengan dirinya. Akan tetapi kedua kalinya Susi merasa aneh karena ia merasakan tubuh si suami yang lebih gempal dan lebar.

Benar saja, adalah Gembul yang sekarang menindih tubuh Susi di ranjang kamarnya yang awut-awutan. Meski Susi belum sadar dan terbawa mimpi bahwa suminya yang menyetubuhinya, ternyata pengojek bantet itu yang berhasil memasukan kontolnya dengan susah payah. Dibiarkanya Susi yang menggeliat-geliat dibawah tubuh gempalnya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mneghujamkan kontolnya keluar masuk memek sempit Susi.

"Aih... entot adek maaashhh... entot yang kerassshh..."

"SPLOK... SPLOK... SPLOK... SPLOK...", suara paha gempal gem,bul yang menumbuk selangkangan Susi

"Huehehe... tentu mbak Susi yang semokkk... oooghh..."

"EH? Lho? Lho mas?! Mas Gembul??!!"

"Huehehehe... uenakeeee, memekmu pancen sempit bener mbak, kontolku tadi susah masuk, ummh....", kata Gembul sambil menjilati leher susi yang penuh keringat.

Susi yang masih setengah sadar agak pusing dan memastikan bahwa benar Gembul yang sedang menyetubuhinya. Susi akhirnya sadar suaminya hanyalah mimpi. Hal ini membuatnya panik meskipun setengahnya masih dilanda birahi. Apalagi ketika ia menyadari memeknya sudah dimasuki oleh batang kontol orang lain.

"AIIIH! Cabut Mas! Aaah... kok Mas Gembul ngentotin Susi siiih...?!", protes Susi sambil sekuat tenaga mendorong Gembul.

"Ssh... uummmh... huehehehe soalnya kowe bahenol mbaaak... sayang kalo ndak dientooottt!"

Tangan Gembul yang menyusup dibawah ketiak Susi dan memagang kepala janda sintal itu membuat rontaanya tak begitu berarti. Bahkan Gembul dengan nafsu liarnya menjulurkan lidah untuk menijlat bibir Susi yang nampak basah dan kenyal. Sedangkan dibawah sana, kontolnya yang meski tak seberapa besar namun dengan ereksi sempurna mencabuli liang surgawi Susi keluar masuk.

"Mmmh Nyupphhh Sluurppphhh... uaahhh nikmat tenan...cyupph"

"Nggh.. aahhmmhhh... mmmh...."

"SPLOK... SPLOK... SPLOK... SPLOK..."

Tubuh keduanya yang memang tergolong besar berguncang hebat membuat ranjang lusuh itu bergoyang juga. Makin lama intensitas genjotan gembul makin hebat setelah dirasakanya empot ayam memek Susi yang begitu dahsyat.

"Woooghhh... memekmu pancen juara mbaaak! Sssshhh....!"

"SIAL SIAL SIAL!", begitu batin Susi, gagal sudah ritual pesugihanya sekarang. Ia shock berat. Ia lengah dan menganggap remeh kesiagaannya sendiri. Namun itu tak lalu membuatnya putus asa. Ia masih berusaha sekuat tenaga mendorong tubuh Gembul agar lepas dari pergumulan itu.

"Aiiihh... cabut massshhh... cabut!"

"Lho kok dicabut to? Lhawong enak gini... huehehehe"

Rontaan dan rintihan Susi justru membuat Gembul semakin bersemangat menggenjot. Alhasil puncak nafsunya pun sudah diubun-ubun. Ujung kontolnya berkedut-kedut. Susi yang merasakan itu menjadi panik bukan main.

"Eh? eh? Aduh... lho... eh!"

"Aaagh... aku mau ngcrot mbaaaaaakkkkkkk.... uughh NGENTTTTT..."

"BRUAK!"

"BANGSAT KOWE BABI! ENAK WAE NGENTOTIN MBAK SUSI DULUAN!"

"Lho? Yon?!"

"Jduk"

"PLop"

"Cruuut... crut... cruuttt.. crrutttt"

Di detik-detik terakhir, pintu kamar Gembul didobrak oleh Yono. Gembul yang kaget teralihkan sekejap dan Susi berhasil mendorong keluar kontol si bantet itu dari memeknya. Hasilnya pejuh yang muncrat keluar dari ujung kontolnya menyemprot paha Susi. Menyemprot beberapa kali dengan kecil-kecil namun lumayan banyak. Beberapa lelehanya berhasil muncrat di bibir memek Susi namun tak sampai masuk ke dalam. Dengan itu Susi langsung sigap mengambil ujung seprei untuk mengelap memek tebalnya.

Meski begitu, ada sedikit rasa kecewa dalam diri Susi karena memeknya yang gatal belum terpuaskan untuk digaruk. Sejatinya gejolak kewanitaanya juga sudah terlanjur membara dan butuh dipuaskan.

"Ckckck, pantes wae pas aku sampe di depan rumahmu ini tadi aku denger suara-suara desahan sama ranjang bergoyang, brengsek tenan kowe Mbul!"

"Kowe yang asu! lagi enak-enak malah ganggu!"

"Kampret! Kalo ngerti kowe bakal nyuri kesempatan duluan kayak gini, ndak bakal kemaren tak ijinin mbuk bawa walopun sementara"

"Huehehe, bukan salahku, kwi salahe mbak susi..."

"Eh lho kok saya?", jawab Susi kaget.

"Lhaiya mbak salahmu, pagi-pagi kok keliatan semok bahenol keringetan, gawe wong kudu ngentotin, huehehehe..."

Memang tidak sepenuhnya salah yang dikatakan Gembul, oleh Yono, Susi memang kelihatan menggoda dengan tubuh telanjang bersimbah keringat seperti itu. Tanpa sadar ia mengelusi selangkanganya karena kontolnya terbngun akibat dari pemandangan indah di depan matanya. Dada bulat itu dan paha gempal Susi yang kencang menggugah kelelakian Yono.

Tanpa menggubris kedua lelaki mesum yang mendebatkan dirinya, Susi segera beranjak turun dan hendak keluar kamar sambil menenteng sebuah jarit.

"Lho eh? Mau kemana?"

"Mau mandi", jawab Susi sekenanya.

Yono masih sebal dengan tingkah polah Gembul yang seakan tidak punya dosa, cengengesan dan tidak bisa menahan nafsu birahinya. Sambil bersungut-sungut Yono hendak mengomeli Gembul lagi, namun ia masih mencari cacian yang pas untuk diucapkan. Ingin ia gampari muka babi jelek Gembul yang berkeringat penuh kepuasan, tapi sepertinya juga sudah tidak ada gunanya.

Sementara Susi, ia teringat bahwa dirumah petak Gembul yang kecil itu tidak mempunyai kamar mandi, hanya bilik bambu dibelakang rumah yang sudah reyot. Maka bergegaslah ia kesana, sesaat setelah menengok kedalam sumur yang cukup banyak volume airnya, Susi segera menimba. Perlahan-lahan ia mengguyuri tubuh mulusnya. Berharap agar bekas lengket keringat dan liur Gembul di kulitnya segera hilang. Terlebih lagi, berharap agar libidonya yang sudah terlanjur bangkit, bisa terkikis oleh dinginya air bening itu.

Namun, berapa kalipun Susi berusaha menepis gairahnya, itu tidak bisa hilang. Seakan meraung-raung untuk dipuaskan. Entah apa yang sudah ditanamkan pada jiwa raganya selain benih tuyul oleh MBah Jenggot. Memeknya berkedut-kedut. Berulang kali Susi membasuh daging tebal di selangkanganya itu, tak kunjung meredakan syahwatnya. Malahan, semakin digosok semakin menjadi-jadi. Susi bingung, gatal sekali ingin rasanya sebuah benda bernama kontol mengobok senggamanya.

Ditengah kebingunganya itu, Susi tak sadar sedang diintip oleh pria gundul yang mengendap-endap. Boy sengaja tidak menggubris suara kedua rekan pengojeknya yang terdengar sedang cekcok di dalam rumah. Ia memilih mengambil kesempatan ketika tadi melihat sang bidadari ayu keluar dari belakang rumah Gembul menuju sumur untuk mandi. Diperhatikanya tubuh mulus nan bersih itu sedang terbasuh air.

"Ckckck, emang amazing bodymu Mbak..., bojoku wae tak jamin kalah meskipun aku penganten anyar", gumam Boy sambil melotot.

"Weleh weleh... itu memek tembem tenan, munuk-munuk gitu, slurrp..."

"Sssh... aiih kenapa memeku jadi gatel giniiih....", tanpa sadar Susi menuruti instingnya untuk menggesek-gesek selangkanganya.

Saat Susi melirik ke samping bilik, ia melihat kepala gundul sedang bergerak-gerak. Susi langsung tahu bahwa itu Boy. Ia sudah tidak peduli lagi. Birahi telah mengalahkan nalarnya. Bagaikan sudah kesurupan setan Susi memanggil Boy.

"Mmm... Masssh Boy...."

"Eh? Duh ketauan deh... hehehe", cengengesan Boy melongokan kepalanya.

"Sini maaassssh.... uughh", ajak Susi.

Mata Boy langsung melotot menuju bibir selangkangan Susi yang nampak putih basah kemerahan. Tak sadar Boy menelan ludah. Susi yang menyadari itu tak menyiakan kesempatan.

"Sini mas Boy... jilatin memek Susi... nngghhh", desahnya.

Bagaikan kerbau dicucuk hidungnya, Boy langsung meloncat menghampiri memek janda bahenol itu. Muka cabulnya tepat berada di depan selangkangan Susi yang sedang berdiri bersandar di tepi sumur. Boy tertegun saat ia mencium aroma memek Susi yang harum, seakan mempunyai feromon yang menghipnotis. Tanpa babibu, Susi memegang kepala plontos Boy dan menubrukanya langsung ke memeknya.

"HEBH..."

"Aiiih... ayo mass, jilat memek Susi... ayoo"

"Mmh... iya mbakk... slurppphhh", Boy langsung mengeluarkan lidahnya dan memulai aksinya.

"Clap... clap... clap... Slrrppph... clphh... Slyurrrpphh..."

"Aiiihh... aah aaah aah... aaaaih aiih..."

Tak hanya menjilat tapi lidah panjang Boy menggelitik klitoris Susi yang berwarna merah muda setelah bersusah payah ia sibakkan kedua gerbang surgawi itu.

"AAAAIIIHH... Enaak mass... hihihi... enak, Susi sukaaa... terusss, ooohh..."

Perkataan Susi membuat Boy makin bersemangat utnuk mencucup-cucup dan mengenyot gumpalan daging empuk itu.

"Crupph... crupphhh.. aahh.. hehehe... Myummmhh"

Dengan telaten, si gundul itu memegang kedua paha Susi yang sekarang terentang lebar. Ia berusaha menelusupkan lidahnya untuk masuk ke dalam memek Susi. Boy merasakan Susi sedang menahan nikmat dan tubuhnya menegang, namun ia cengkeram erat kedua paha wanita semok itu dengan melingkarkan kedua tanganya, kemudian menaruh paha Susi di bahunya.

"HNGGGHHH...", erang Susi tertahan ketika lidah Boy masuk semakin dalam dan semakin dalam.

Sampai di dalam, Boy merasakan lidahnya bagaikan dijepit oleh benda hangat yang sangat kuat. Namun tekad pengojek gundul ini tak kalah kuat. Ia berusaha menggerakan lidahnya untuk menggelitik dinding vagina Susi.

"Aaaaahh.... Mas Boyyyyhhhh...., enakkkk... nggghhh..."

"Mmmbh... sllrpphhmmmbbhnn... nylpbbhh...."

Dengan tubuh gemetaran Susi menopang badan semoknya dengan satu tangan di bibir sumur. sementara tangan yang lain ia pakai menahan mulutnya agar tidak mengerang terlalu keras. Yang membuatnya terkesan adalah tenaga Boy yang tidak diduga mampu menopang tubuh bongsornya dangan bahunya. Sementara itu, tangan Boy yang sebelumnya memegang erat paha Susi, kini merayap keatas meraih kedua bongkahan payudara yang sekal itu.

Susah menggapainya karena proporsi tubuh Susi yang tergolong tinggi, namun karena gondal gandulnya susu raksasa itu, jemari kurus boy berhasil meraihnya. Seketika diremas pelan untuk menambah sensasi kenikmatan janda yang kini sedang dikerjainya.

"Aiiiihhh... masss.... aku mau ngecriiittt.... sshhh"

"Slurrppphh aaahhh... hehehe... keluarin saja mbak Susi..."

"AAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHH", tak kuat menahan lagi, Susi mengerang sejadi-jadinya, hingga terdengar oleh Gembul dan Yono dari dalam rumah.

"CRRRSSSHHHH.... CRRRRR.... CRRSSSSHHH....", beberapa kali semburan orgasme menabrak mulut dan muka Boy sampai kelagepan.

Akan tetapi itu tidak membuat Boy marah, justru si gundul itu kegirangan.

"Hehehehek... buanyak bener Mbak, uenak to?", tanya Boy menggoda.

"Sssshhh... aa~hh masss, enak tenann....", jawab Susi tanpa malu.

Tubuh Susi bergetar dan merosot bersender pada dinding sumur dan alas sumur yang berlumut. Tiba-tiba dari arah dalam rumah muncul Gembul dan Yono yang bersungut-sungut marah.

"KAMPREET!! GUNDUL SETAN!"

"Lhah, bener to, tadi aku denger desahan dari belakang kayak ada yang ndak beres.

Ternyata kowe Boy! Bangsat, buk apain mbak Susi ampe lemes gitu?"

"Glek... hehehe, cuma tak kasih servis lidah saktiku, wehehehe"

Diantara mereka, Yono lah yang paling emosional. Bagaimana tidak, dia sudah kecolongan dua kali oleh kedua rekannya. Kali ini ia bertekad akan segera mengeksekusi Susi untuk disetubuhi.

"AGH, Kowe berdua pancen asu! Aku ndak peduli, sekarang giliranku!

Ayo bopong janda semok ini kedalem rumah!"

Orgasme yang luar biasa itu karena tertahan sebelumnya membuat Susi menjadi tak berdaya. Badanya seketika lemas, tak bertenaga ketika ketiga pengojek itu membopongnya kedalam rumah. Dengan tidak sabaran Yono melucuti pakaianya sendiri, kontolnya sudah tegak mengacung, sementara Gembul sudah menarik kasurnya ke lantai untuk dijadikan alas eksekusi.

Susi direbahkan di kasur itu. Tidak perlu banyak melakukan foreplay lagi, hawa disekitar keberadaan mereka sudah dipenuhi aura birahi yang pekat. Entah darimana datangnya itu, namun sepertinya keberadaan Susi-lah yang menyebabkanya. Pesona seksual janda bahenol ini memang semakin kuat sejak ditanami aji-aji Mbah Jenggot.

Ketika Yono sudah mengangkangkan paha Susi, membukanya lebar-lebar, kepala Susi yang masih sedikit berat bersandar di perut Boy yang sedang duduk membopong tubuh atasnya. Leher dan bahu Susi yang mulus berkeringat dipapah oleh Boy. Gembul?

Apalagi kalo bukan mulai bermain dengan payudara raksasa Susi. Diremah-remahnya seperti mainan bocah.

"Huoohhh, akhirnya tak entot juga dirimu Mbak...", pongah Yono lalu mencobloskan batangnya.

"SSSSLLLLLL,,,LLLP,"

"Nghhh...", pekik Susi tertahan.

"AAGH, Bangsat! Susah tenan! Susah masuk!!", umpat Yono,

"Tenang mbak Susi, kontolku pancen kegedean, tapi nanti pasti masuk, hehehe".

"Buahahaha, kuwi memeknya mbak Susi wae yang sempit, lhawong lidahku wae bisa dijepit ketat lho!", seloroh Boy mentertawakan Yono.

"Kontol cilik wae..."

"Agh Asu!", tak menggubris ejekan Boy, Yono tetap berusaha memasukan kontolnya.

"SSSSHHH,, HOHHH..."

"Aiiih... mas, jangannn, mmmh", ucap Susi di sisa-sisa tenaganya, namun, ia tak berdaya, apalagi titik rangsang lain ditubuhnya, yaitu buah dada besarnya sedang dipermainkan oleh Gembul.

"Woy Mbul! Mainin susu wae kowe! Kayak bocah nyusu simboknya!"

"Biar wae to ya! Huihihihi, ayo pentilnya mbak Susi, ngaceng dong! towel towel towel nii~h", goda Gembul mempermainkan puting Susi.

"Aaaahhsssshhh, mas Gembulll... Susi geliiiih..."

Tak kuasa Susi menghalangi perbuatan cabul tiga orang itu. Keringat mulai membasahi dahinya pertanda ia semakin gerah dan terangsang. Pikiranya pusing karena tak mempu menahan keinginan tubuhnya yang meminta untuk disetubuhi.

"Sedikit lagi Mbak, SSSSHH.... OOOHHHG"

"SLEBBBB!!"

"MASUK! HOOHHH... Bangsattt sempit tenan koyo memek perawan, sakit cuk!", dengan susah payah akhirnya Yono berhasil menanamkan tongkolan hitamnya.

Perlahan-lahan ia menarik mundur berniat mulai memainkan aksinya.

"SS..RR..TTTT..."

"HUOGH, HNGGHH", wajah Yono meringis menahan sakitnya jepitan memek Susi. Matanya terpejam dan tanganya bergetar mencengkeram paha gempal Susi.

"SETAN ALAS! Nyokot (menggigit) tenan ini memek!"

Belum sempat menarik banyak, kontol ngacengnya tersedot kembali.

"Lho lho, eh eh..., iki piye to..."

Kaget karena sedotan dinding vagina Susi yang begitu kuat, Yono kebingungan dan takjub. Ia merasakan hisapan yang sangat hebat menarik kontolnya untuk masuk ke dalam. Semua itu terjadi secara reflek oleh syaraf kewanitaan Susi, meski dirinya tak menginginkan hal itu namun tubuhnya bergerak dengan sendirinya.

"EDIANNN TENAN!! Iki memek super bisa nyedot kayak gini... huehehehe", girang Yono kemudian.

Sejenak beradaptasi, iapun mulai mengentot Susi pelan-pelan. Dengan tubuh bergetar-getar nikmat, ia merasakan sensasi geli di kulit kontolnya. Tak lain karena gesekan dinding vagina Susi yang bergerinjal.

"AIIIH... Jangannn maaasshhh...

Memek ku! Memmekku... kemasukan kontol laggiiiii....", ceracau Susi ditengah tubuh lemahnya.

"splek, splek, splek, splek, splek,", pelan tapi pasti, Yono berhasil mengatur ritme menggenjot vagina Susi. Tampak dari hantaman-hantaman ringan jembutnya pada bibir memek Susi, hal itu sudah cukup membuat kulit memek itu memerah.

"Huehehehe, heh Boy, ayo kita mimik cucu bareng-bareng!"

"SIAP MBUL!"

"HAP~!"

"HAPMMH!"

"AAAAAIIH.........."

Melepas kepala Susi dari pangkuanya, Boy langsung melompat join dengan Gembul untuk menikmati keindahan payudara Susi. Keduanya nampak berloma menyedot kedua bongkah melon kencang itu. Tak hanya itu, mereka juga gemas untuk meremas-remas daging kenyal yang ujungnya sedang mereka kulum penuh nafsu.

Susi tak bisa berbuat apa-apa ketika tubuhnya dicabuli oleh tiga pengojek kampung ini. Dibawah sana memeknya dihantam kuat-kuat oleh Yono yang seperti kesetanan menyodok liang senggamanya. Sedangkan kedua buah susunya dihisap-hisap oleh yang lain bagaikan bayi kehausan.

"AIIIIHHHH.... AAAHH... AIIH AIH AIH... AAAAAHH"

"SLUURRRRRP... CYUP... CYUPPPH... AHH"

"MNNNYYMMHH... MMMNNMM... UAAHH..."

"SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK"

Tangan Susi berusaha meremas rambut ikal Gembul dan kepala botak Boy. Bermaksud untuk menarik dan menjauhkanya dari payudara jumbonya, namun yang terjadi malah sebaliknya. Akibat cakupan mulut mereka yang terlalu kuat pada pentilnya, membuat buntalan dadanya ikut tertarik mancung keatas dan semakin membuatnya terangsang.

"UAAAAHHHH... UDAHHH... SUDAH MASSShh, Susi ndak tahannnnnnnhhhhh..."

"CRRRRRRRRRSSSSSHHHH"

Satu semburan orgasme membanjiri liang surgawinya, menyiram kontol Yono yang masih setia mengaduk-aduk.

"HUOOOHHH... kowe wis ngecrit mbaaakk... anget... anget tenan kontolku di dalem memekmuuu!"

"SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK"

Masih menumbuk dan menghantamkan keras-keras selangkangan buriknya kepada paha gempal Susi. Cupangan demi cupangan membekas di daging putih payudaranya, menghiasi semburat kehijauan pada kulitnya yang tipis. Seakan Boy dan Gembul berlomba menyisakan "tanda".

"OOOGHHHH! SETAN ALASSS! KAYAKNYA KONTOLKU WIS NDAK TAHAN!!!

AAAGHH ENAAAAAKK TENAANNNN"

"Huehehehe, masa segitu wae wis mau ngecrot kowe Yon?"

"Hahahaha, cupu!"

"SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK, SPLAK"

"Minggir kalian, aku mau nyucup bibirnya ini wadon! Hnnggh!"

Boy dan Gembul mengalah minggir untuk memberi posisi Yono mendekap Susi. Kini posisi keduanya layaknya betina dan jantan yang sedang kawin. Mulut berkumis Yono menyosor bibir kenyal Susi yang sedari tadi merintih tertahan. Sambil dilemotnya, kontolnya semakin intens menyodok-nyodok vagina Susi pertanda ia akan segera menyemprotkan pejuhnya. Susi sendiri sudah seperti setengah pingsan, benar-benar dimabuk oleh birahinya sendiri sehingga lupa kewajibanya untuk melindungi janinnya.

"Slurrpp mmhhhhh nymmmhhh nymmmhh...

HuuuuhH Uuoooogghhh, iinnnii diaaaakkkhh...."

"CRUOOOT CROOOT CROOT"

"AAAAAAAAIIIIIIIIIIIIHHH", rintihan panjang itu membuat Susi tersadar bahwa rahimnya telah tersembur oleh sperma orang lain.

"Cabuuut maasss! Cabuuutttt!!!", Seru Susi sambil memukul-mukul badan Yono yang mendekapnya.

"Sssssshhhhaaahhhh... uwenak tenannn...", seakan tak mempedulikan wanita yang ia senggamai sedang marah, Yono membiarkan batang kontolnya masih tertancap, bahkan pantatnya masih berkejat-kejat untuk menumpahkan sisa pejuhnya.

Perlahan air mata Susi keluar, hancur sudah harapanya menjaga benih yang ditanam oleh Mbah Jenggot, benih yang akan menolong kehidupanya. Kini sirna karena ulah 3 pengojek edan, meski ia sedniri tak bisa memungkiri dorongan seksualnya juga tanpa sadar mengambil alih kewaspadaanya.

Setelah Yono mencabut kontolnya, si kumis itu terduduk lelah bersimbah keringat. Senyum puas khas begundal menghiasi wajahnya ktika ia lihat pejuhnya mengalir keluar di sela-sela memek Susi.

"Huehehehe, sekarang giliran kita Mbul, penasaran aku pye rasane ngentotin memek yang ketatnya kayak perawan"

"Hihihi bener Boy..."

Saat kedua pengojek itu hendak beraksi, mereka melihat ada yang aneh dari diri Susi. Tampak wanita itu menggeliat, tubuh putihnya sedikit kemerahan, seakan dari pori-pori kulitnya mengeluarkan aura hangat yang menggelora. Susi terduduk dengan muka yang sayu, bibirnya terlihat lebih merekah, dadanya lebih membusung, dan daya seksualnya lebih pekat.

Comments


EmoticonEmoticon