Selingkuh dengan tukang sayur

PROLOG CERITA


Liya​

Sebelumnya, aku tak pernah menyangka kalau kepindahanku ke Jakarta dapat berdampak besar dan merubahku menjadi seperti sekarang ini. Dari awal ketika suamiku memutuskan untuk pindah dari Sumatera Barat ke ibukota, aku sebenarnya menentang dengan keras keputusan tersebut karena tak mau tinggal berjauhan dengan keluarga besarku. Namun tawaran promosi jabatan yang di terima suamiku begitu menggoda sehingga pada akhirnya kamipun pindah ke jakarta.

Namaku Aliyatul Husna. Banyak orang memanggilku dengan sebutan Liya. Aku berumur 27 tahun dan merupakan seorang istri yang juga seorang ibu dari putriku yang berumur 5 tahun. Secara garis besar, aku bisa dikatakan sebagai wanita yang alim. Aku selalu menjaga lisan dan sopan santun kepada siapapun, begitu juga dengan cara berpakaianku yang selalu tertutup dengan gamis dan hijab besarku.

Pun begitu dengan suamiku yang bernama Hadi Chaniago. Dia merupakan anak seorang Ustadz yang lumayan terkenal di daerah tempat aku tinggal. Orangnya begitu alim dan sangat mementingkan agama diatas segala-galanya. Bersama-sama, kamipun terus menjalankan ibadah dan membangun rumah tangga yang harmonis meski kami berdua di jodohkan oleh orang tua.

Suamiku juga merupakan pria yang sangat pengertian. Selepas kami menikah, dia tidak pernah memaksakan kehendaknya untuk melakukan hubungan suami istri secara langsung. Dia tahu bahwa kita masih butuh waktu untuk saling mengenal lebih dalam satu sama lain. Sehingga diminggu-minggu pertama kami menikah, kami hanya menghabiskan romantisme dengan berpegangan tangan dan bercium pipi saja.

Barulah setelah sebulan kami menikah, akupun resmi melepas keperawananku kepada pria yang sudah berjanji sehidup semati denganku tersebut.

Awal pertama aku melakukan seks, aku merasa sangat canggung dan gemetar karena untuk pertama kalinya aku membiarkan seorang lelaki melihat tubuh polosku. Aku merasa begitu tidak percaya diri dan sadar kalau aku ini tidak lah begitu cantik.

Seumur hidupku, aku hanya diajarkan untuk menjaga adab dan akhlakku untuk menjadi seorang istri yang baik. Tidak pernah diajarkan untuk merawat diri sendiri atau tampilan fisik lainnya.

Satu-satunya yang bisa aku banggakan dari tubuhku hanyalah kulitku yang putih dan badanku yang selalu kurus meski aku makan banyak sekalipun. Banyak yang bilang aku sedikit terlihat lebih muda untuk ukuran wanita yang sudah punya anak satu karena aku terlihat yang kurus langsing. Buah dadakupun tidaklah besar dan hanyak berukuran 34b saja.

Suamikupun juga tidak terlalu hebat untuk ukuran fisik. Meski wajahnya tergolong tampan, namun badannya sedikit gemuk dan penis miliknya tidaklah begitu panjang. Bahkan terlihat agak kecil dari apa yang aku bayangkan selama ini.

Dulu suamiku sempat bertanya apakah aku tidak keberatan dengan ukuran penis miliknya. Tapi aku dengan sangat yakin mengatakan padanya kalau hal tersebut bukanlah masalah bagiku. Karena pada saat itu, aku tidak pernah tau kalau ukuran juga menjadi penentu kenikmatan dalam bercinta.

Jadi meskipun ukuran penis suamiku kecil, aku tetap dapat merasa nikmat tiap kali bersetubuh walau tak pernah merasakan yang namanya orgasme.

Kamipun rutin selalu melakukan hal yang sama ketika kami bercinta. Setelah berciuman mulut, suamiku akan menghisap buah dadaku sebentar lalu memasukkan penisnya ke dalam vaginaku. Dan setelah menggenjotnya beberapa kali, dia akhirnya memutahkan sperma miliknya di dalam vaginaku.

Setelahnya, aku merasa kalau tugasku sebagai istri sudah selesai. Asalkan sang suami sudah puas, maka tidak ada hal lain yang perlu dilakukan.

Dan 6 tahun akhirnya berlalu dengan begitu saja. Hidupku sekarang terasa sudah sempurna. Aku mempunyai suami yang baik dan sholeh. Kehidupan ekonomi kami yang semakin hari semakin baik berkat promosi yang diterimanya. Kamipun juga sudah dikaruniai seorang putri cantik bernama Tasha.

Namun semenjak aku pindah ke jakarta, keadaan kami mulai sedikit renggang karena suamiku sudah jarang dirumah berkat kesibukan yang dia jalani di kantor barunya. Aku sadar kalau dengan datangnya promosi, berarti akan lebih banyak pula pekerjaan yang harus di tangani oleh suamiku. Sedangkan aku hanya berdiam diri di rumah tak melakukan apa-apa.

Bahkan seringkali ketika aku merasa horny dan ingin bersenggama, suamiku malah menolaknya mentah-mentah dengan alasan capek dan tidak bergairah. Hasratku yang akhir-akhir ini selalu menggebu itupun terpaksa aku kubur dalam rasa kecewa yang semakin hari semakin membuatku jenuh dengan keadaan.

Beruntungnya saat ini aku sudah mulai mengenal beberapa orang yang menjadi tetanggaku di perumahan baru ini. Jadi ada sedikit kegiatan yang dapat meringankan stressku saat aku berbincang-bincang ringan dengan mereka setiap pagi.

Dari situ pulalah akhirnya aku ikut mengenal sosok Mang Dedi, seorang Tukang sayur yang menjadi langganan warga komplek perumahan tempat aku tinggal. Orangnya sudah sedikit berumur namun masih terlihat bugar dan prima untuk ukuran seorang pria setengah baya. Dia juga sangat pandai bergurau, kadang suka merayu dan sangat ramah kepada siapapun.

Aku yang masih baru mengenalnya pun jadi cepat akrab karena dia memiliki sifat mudah bergaul dan selalu bisa menemukan topik yang seru untuk dibicarakan. Bahkan sekarang sudah menjadi rutinitasku untuk berbelanja lebih lama dari ibu-ibu lainnya karena terlalu keasikan mengobrol dengannya. Kami berdua selalu membual dan bercerita tentang banyak hal seakan kami sudah mengenal begitu lama.

Pada mulanya aku menganggap hubungan kami hanyalah sebatas seorang penjual dan pembeli saja, namun siapa sangka hubungan itupun semakin hari semakin mesra saat kami memutuskan untuk bertukaran kontak di aplikasi WA.

Sejak saat itu, aku dan Mang Dedi semakin sering berbicara satu sama lain. Berbagai macam topik seperi pekerjaaan, politik, kehidupan bahkan candaan yang sedikit menjurus pun sudah menjadi hal lumrah untuk kami bahas. Mang Dedipun mengaku sangat senang bisa akrab denganku karena dia selalu bilang kalau aku adalah tipe wanita idamannya.

Kemesraan di WA itu juga sudah sampai terbawa-bawa dalam kehidupan sehari-hari kami. Sampai pernah suatu hari kami lagi-lagi bercanda kearah yang sedikit menjurus pada hal-hal mesum.

"Maaf lama yah Mbak. Kalau pagi tuh emang suka begitu, kebelet mulu kagak jelas. Kalau gak di buang pasti nih keras banget kayak tiang listrik" Ucap Mang Dedi bercanda.

Aku kemudian tertawa mendengar pengakuan Mang Dedi yang komplain tak bisa pergi kencing karena masih banyak yang membeli. Barulah setelah aku datang, para ibu-ibu sudah selesai belanja dan dia bisa menitipkan dagangannya sebentar kepadaku.

"Gapapa Mang, lagian saya juga ga buru-buru kok" balasku singkat.

Namun pada saat itu aku tidak sengaja menangkap sebuah siluet tonjolan besar dibalik celana pendek yang di pakai Mang Dedi. Tonjolan itu terlihat sangat membokong hingga aku bertanya-tanya dalam hati apakah dia tak memakai celana dalam sama sekali. Karena kalau dipikir-pikir, jika tonjolannya saja sudah sebesar itu, lalu sebesar apakah ukuran penis yang ada di dalamnya???

Pikiran-pikiran kotor itupun mulai berputar-putar meracuni benakku bahkan setelah beberapa hari berikutnya. Entah karena hasrat seksualku yang tak pernah dipenuhi oleh suamiku belakangan ini, aku jadi gampang sekali merasa horny dan bergairah luar biasa. Namun untungnya semua itu dapat aku lampiaskan dengan bercengkrama ria bersama Mang Dedi.

Sekarang kami sudah semakin nyaman satu sama lain hingga terkadang Mang Dedi mulai berani bersayang-sayang denganku. Dari situ juga awal mula datang sebuah perasaan aneh yang menggelitik hatiku. Tapi karena aku memang sudah terlanjur dekat, jadi aku tak sungkan melayani interaksi Mang Deni seperti seorang kekasih.

Hanya saja, Akupun merasa cukup tau batas karena bagaimanapun aku adalah seorang istri dan seorang perempuan baik-baik. Tidak ada sedikitpun niat untuk menyelingkuhi suamiku ataupaun niat-niat untuk berbuat curang lainnya. Aku dan Mang Dedi hanya teman yang saling bersenang-senang saja untuk mengisi waktu luang.

Setidaknya begitulah pemikiran naif ku pada awal kedekatan kami.

Aku tidak sadar kalau apa yang aku lakukan tersebut sudah membukakan pintu dari segala macam badai yang siap menghantam kehidupanku.

Badai yang pada akhirnya mengubahku menjadi seorang perempuan yang mengenal dunia dari sudut pandang yang berbeda.

Bagian 1: Tidak Sengaja


Liya​

Sudah menjadi rahasia umum kalau malam Jumat adalah malam yang sakral untuk pasangan suami istri. karena di malam inilah pasangan yang sudah menikah dianjurkan untuk melakukan hubungan seksual sesuai dengan perintah agama. Biasanya banyak yang menyebutnya dengan sebutan Sunnah Rasul.

Aku pun sebenarnya ikut menentukan momen ini karena sudah hampir dua minggu lamanya suamiku tidak menyentuhku sama sekali. Kesibukannya di kantor menyita banyak waktu dan tenaga. Sehingga ketika dia di rumah, suami ku hanya menghabiskan waktu dengan tidur saja.

Akan tetapi momen yang aku tunggu-tunggu itupun tampaknya harus Pupus karena suamiku tiba-tiba mengabarkan kalau dia harus lembur di kantornya.

Suamiku langsung meminta maaf kepadaku dan berjanji akan menebusnya di lain hari. Dia bahkan juga bilang kalau dirinya sudah meminta pada atasannya untuk tidak diberikan lembur di malam jumat dan malam sabtu.

Aku yang sempat kecewa berat tadinyapun bisa sedikit bernafas lega. Suamiku ternyata juga merasa rindu berduaan denganku terbukti dari keinginannnya untuk tidak lembur terus-terusan. Jadi untuk sekarang aku terpaksa harus berusaha memaklumi keadaannya.

Mungkin saja dia lebih merasa kesepian daripada apa yang aku rasakan karena memang kami sudah jarang melakukan hal-hal yang romantis sebagai pasangan suami istri.

“Mi, Abi boleh minta sesuatu nggak?” tanya suamiku ditelepon

“Minta apaan bi?” Tanyaku.

“Umi kirimin foto bugil dong buat Abi”

Aku terkejut mendengar permintaan aneh yang tiba-tiba tersebut “Buat apaan bi?" tanyaku heran.

“Abi kangen nih sama umi” jawab suamiku.

“Iya Umi tahu, tapi kenapa harus bugil?” tanyaku penuh selidik.

“Kan ini buat suami kamu doang bukan buat orang lain”

“Tapi kan takut Bi!!, kalau misalnya tersebar dan dilihat orang gimana?”

“Ya mana mungkin Abi lihatin sama orang mi”

"Iya, tapi kalau temen Abi minjem HP nya Abi gimana??? Atau gak HP nya ilang?? Kan bisa bahaya Bi!!"

"Jadi Umi gak mau nih??"

“Nggak mau lah” jawabku singkat.

Suamiku tiba-tiba diam begitu saja seperti sedang kecewa dengan ketidakmauan ku. Tapi mau gimana lagi, aku takut dan risau kalau fotoku tersebar dan menjadi aib untuk keluarga. Namun di sisi lain aku juga tidak tega terhadap Suami ku sendiri dan tak mau durhaka karena tidak patuh.

Lantas setelah berpikir beberapa saat akhirnya aku pun memanggil suamiku kembali “Yaudah Bi nanti aku kirimin” ucapku singkat.

“Beneran ya Mi?” suara suamiku bersemangat.

“Iya. Tapi Abi janji harus hati-hati, jangan sampai dilihat sama orang” ucapku memperingatkan.

“Iya sayangku. Abi janji akan berhati-hati. Kirim yang banyak ya” balasnya manja.

Kami pun kemudian berbicara sebentar sebelum suamiku berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya. Sebelum menutup telepon, sekali lagi suamiku mengingatkanku untuk tidak lupa mengirimkan foto bugilku sesuai permintaannya tadi.

Setelah selesai menelepon, aku pun segera beranjak ke dalam kamar untuk mengambil beberapa foto selfie yang akan aku kirimkan kepada suamiku. Tapi karena aku tidak pernah melakukan selfie secara telanjang sebelumnya, akupun merasa sedikit bingung dan canggung-canggung melakukannya.

Karena itu aku memutuskan untuk tidak langsung berfoto tanpa busana terlebih dahulu. Aku hanya membuka dua buah kancing baju gamisku di bagian dada dan memperlihatkan sedikit BHku dari luar lalu memfotonya.

Berapa menit setelah aku mengirimkannya kepada suamiku, dia pun langsung membalasnya dengan mengatakan kalau dia sangat beruntung mendapatkan istri yang cantik seperti aku.

Dan untuk pertama kalinya, aku pun begitu senang mendapat pujian dari suamiku tersebut karena selama ini dia jarang memuji-mujiku dari tampilan fisik.

Aku hanya tersenyum membaca balasannya tersebut dan kembali mengambil beberapa selfie dengan gaya dan pose yang berbeda. Kali ini aku mengangkat ujung bawah gamisku sampai ke bagian paha sehingga menampakan betis ku yang putih dan ramping. Setelah aku foto, akupun mengirimkannya kembali kepada suamiku.

Tak berapa lama suamikupun kembali membalas. Responnya pun kurang lebih sama seperti yang tadi, berbagai macam pujian dilontarkan suamiku sambil terus mengomentari betapa indahnya tubuhku ini.

Aku sampai menoleh ke arah cermin di sampingku untuk memastikan apakah yang suamiku bilang tersebut adalah benar. Aku bahkan mematut dengan seksama badanku sendiri dari arah pantulan cermin dan berpose-pose bak seorang model yang tengah mengadakan pemotretan.

Harus diakui memang kalau badanku tidak semolek atau semontok wanita-wanita diluar sana. Namun badanku terlihat proposional dengan payudara kecil dan pinggul yang membulat kencang. Tidak ada sedikitpun tanda-tanda kegemukan serta semuanya terlihat pas dengan wajahku.

Dengan pujian-pujian tersebut pun, lama kelamaan membuatku menjadi semakin percaya diri dan mulai berpikir bahwa sebenarnya aku memang lumayan menarik di mata lelaki. Entah perasaan darimana, aku merasa sangat bangga dengan tubuhku sendiri saat ini.

Mungkin karena itu jugalah aku mulai dilanda badai syahwat dan sedikit terangsang. Hingga tanpa malu-malu lagi aku menanggalkan seluruh pakaian yang aku kenakan satu persatu sampai dimana aku sudah sepenuhnya bertelanjang. Hanya tertinggal sebuah hijab lebar yang melilit dikepalaku saja.

Tak lama kemudian, suamiku kembali mengirim pesan sambil meminta kepadaku untuk berfoto sambil mengangkang.

Awalnya aku sedikit ragu dan protes, namun karena sudah terlanjur horny ditambah bujuk dan rayuan suamiku, aku pun mengiyakan permintaan nakalnya tersebut.

Aku menyangga HPku dengan bantal dan menyalakan timer kameranya. Setelah merasa posisinya sudah pas, akupun mundur sambil mengangkangkan kedua kakiku dengan lebar. Tak lupa tanganku secara spontan meremas payudaraku sendiri sambil membuat ekspresi menggigit bibir dan berpose ala-ala perempuan seksi.

Beberapa kali HPku berbunyi pertanda kalau fotonya sudah diambil. Lalu dengan cepat aku mengirimkannya kepada suamiku dan menunggu respon seperti apa yang akan dia berikan sambil berdebar-debar.

Namun lagi-lagi ketika aku menyaksikan foto yang kuambil barusan dengan seksama, aku terdiam dan terperangah dengan hasil foto tersebut. Aku benar-benar terlihat seperti seorang wanita yang jauh dari kategori Alim.

Padahal aku masih memakai hijabku namun aku tidak menyangka kalau aku juga bisa membuat ekspresi seperti itu. Karena dalam foto tersebut aku tampak seperti seorang wanita yang sangat-sangat binal.

Suamiku pun tampaknya juga sepemikiran denganku, selang hanya beberapa detik saja dia sudah membalas pesanku dengan kata-kata yang semakin membuatku percaya diri.

"Umi seksi banget kayak model"

"Umi bener-bener wanita idaman laki-laki"

"Istriku binal banget"

Begitulah kira-kira pesan chat suamiku yang tak berhenti-henti dia kirimkan.

Dan akupun juga tak mau kalah dengan kembali mengirimkan beberapa foto bugilku dalam berbagai macam pose dan gaya.

Entah kenapa, semakin aku di puji oleh suamiku maka semakin bersemangatnya aku untuk berpose lebih liar dan menantang. Padahal sebenarnya aku hanya mengikuti instingku saja dan tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya.

Badankupun tiba-tiba menjadi semakin panas dingin tak karuan, darahku berdesir hebat dan vaginaku terasa sangat-sangat gatal dan basah.

Aku mencoba menyerahkan semuanya pada naluri hewaniahku sendiri dengan menggerakkan tanganku untuk mengelus bagian luar bibir vaginaku karena terasa gatal.

Namun ketika tanganku bersentuhan dengan kulit dibagian vaginaku, aku malah merasa seperti disetrum oleh sebuah aliran listrik ringan disekujur sendi-sendi tulangku sampai aku langsung merebahkan diri diatas kasur.

Perasaan yang kudapat begitu aneh namun sangat memuaskan. Semakin aku mencoba untuk melakukan gerakan mengelus, maka semakin besar pulalah rasa nikmat yang aku terima.

Sebelum ini pun sebenarnya aku sudah pernah menyentuh bagian vaginaku sendiri. Namun untuk sekarang, rasanya 180 derajat begitu berbeda.

Saking berbedanya, aku bahkan tanpa sadar mulai merubah gerakan mengelusku menjadi sebuah gerakan menggosok-gosok dengan ritme yang lumayan kencang.

Saat itu juga mataku terpejam menahan nikmat yang sebelumnya belum pernah aku dapatkan. Rasanya begitu berbeda jika dibandingkan dengan rasa nikmat yang aku terima sewaktu aku bersenggama dengan suamiku.

Tapi hanya selang beberapa saat ketika aku menikmati kegiatan baruku itu, sebuah notif muncul diatas layar hp ku dan menunjukkan kalau pesan tersebut berasal dari Mang Dedi si tukang sayur.

Aku langsung terkikik sejenak karena terbayang akan sosok laki-laki paruh baya yang belakangan ini tengah mengganggu pikiranku dengan tonjolan besar dibalik celananya itu.

Jadilah aku menunda sejenak kegiatan yang mendatangkan rasa nikmat tersebut dan langsung mengecek pesan yang ada di HP ku.

"Malam Mbak Liya sayang" tulis Mang Dedi di pesan WAnya dengan beberapa selipan emot-emot manja.

"Malam juga Mang Dedi sayang" balasku tak kalah mesra.

Ini adalah pertama kalinya aku memanggil Mang Dedi dengan panggilan sayang setelah sebelumnya aku menahan diri untuk tidak melakukannya.

Mungkin keadaanku yang sedang horny dan terangsang ini membuat akal sehatku sedikit buntu dan rasa malu ku berkurang. Hanya saja, rasanya begitu senang ketika aku memanggilnya dengan sebutan tersebut. Aku bahkan menahan nafasku karena saking berdebar-debarnya.

"Asik nih udah di panggil sayang. Tinggal tunggu diberi kasih sayang aja nih. Heheheheh" balas Mang Dedi dengan candaannya seperti biasa.

"Emangnya Mang Dedi mau kasih sayang dari aku?" Tanyaku lagi.

"Ya mau dong Mbak cantik"

"Nih aku kasih" balasku sambil mengirimkan sebuah foto selfie yang aku ambil dengan cepat.

Foto tersebut hanya menampakkan bagian kepalaku yang terbalut hijab dan mimik muka seperti sedang mencium.

Akupun buru-buru memejamkan mataku merasa sangat nakal ketika berbagi foto intim dengan pria lain selain suamiku. Lagi-lagi rasanya begitu mendebarkan dan anehnya membuat aku semakin merasa horny.

"Loh!! Mbak Liya kok ga pake baju?? Abis ena-ena sama suaminya ya??" Balas Mang Dedi tak berapa lama.

Sontak saja aku terlonjak kaget dengan balasannya tersebut karena Mang Dedi seakan tau kalau aku sedang dalam keadaan tanpa busana. Padahal aku cuma mengirimkan foto wajahku saja.

Baru aku ingin bertanya, Mang Dedi sudah kembali mengirim pesan. "Itu di belakang Mbak ada cermin loh. Aku bisa liat punggung sama pantatnya Mbak"

ASTAGFIRULLAHH!!!!! teriakku sangat kencang. Aku buru-buru melihat hasil jepretan ku tadi dan menyadari kalau foto wajah yang aku kirimkan kepada Mang Dedi barusan secara tidak sengaja juga menangkap cermin yang ada di belakangku. Dan cermin tersebut begitu jelas memantulkan bayangan punggung dan garis pantatku.

Aku pun dengan cepat meng-unsend foto yang aku kirim ke Mang Dedi tersebut sambil mengutuk diriku yang sangat ceroboh akibat terlalu asik berselfie. Apalagi aku malah secara tidak sengaja mengirimkan foto tubuhku kepada lelaki lain selain suamiku.

Oh tidak!!! Gimana ini???????

Bagian 2 : Tarik Ulur


Liya​

Sudah seminggu berlalu semenjak insiden foto selfie yang tak sengaja itu, aku memutuskan untuk membatasi interaksiku dengan Mang Dedi. Baik di kehidupan sehari-hari maupun di aplikasi WA, aku sebisa mungkin menghindar untuk berbicara dengannya untuk sementara waktu.

Memang setiap kali Mang Dedi mengirim pesan WA padaku, dia tidak pernah membahas sedikitpun tentang foto tersebut. Dia hanya bertanya kenapa aku tidak lagi datang membeli dagangannya atau sekedar menanyakan kabarku.

Tapi karena aku masih dirundung rasa malu yang luar biasa, akupun hanya menjawab sekenanya dan tidak pernah bertanya balik sebagaimana aku dulu. Namun anehnya Mang Dedi tampak tidak menyerah sama sekali untuk mengajakku berbicara dan tak peduli dengan balasan singkatku tersebut.

Setiap pukul 9 pagi, Hp ku pasti akan berbunyi menandakan ada pesan WA yang masuk darinya. Dan setiap pesan itu datang, pasti membuat semua rasa jenuhku hilang seketika berganti dengan senyuman.

"Pagi Mbak Liya" sapa Mang Dedi dalam pesannya.

"Pagi juga Mang" balasku singkat.

"Apa kabar hari ini??"

"Alhamdulillah baik Mang"

"Puji tuhan baguslah.. Mbak gak belanja lagi nih??"

"Enggak Mang"

"Yahh.. padahal sayur saya udah kangen dibeli sama Mbak" balasnya masih dengan candaan.

"Aku juga kangen kamu Mang" Ucapku dalam hati.

Seolah aku mengerti kalau Mang Dedi sebenarnya mau bilang kangen padaku secara tidak langsung. Tapi tak berani aku menuliskannya di pesan WA tersebut karena tidak ada baiknya seorang istri berucap rindu pada laki-laki lain selain suaminya.

"Mamang boleh nanya sesuatu gak sama Mbak Liya?" Tanya Mang Dedi.

"Tanya apa?"

"Mbak Liya marah ya sama Mamang??"

"Enggak Mang, aku gak marah sama mamang" balasku.

"Tapi kok Mbak Liya kayak ngehindar gitu?"

"Aku malu Mang" balasku lagi. Mungkin inilah saatnya aku berterus terang kepada Mang Dedi agar hubungan kami tidak canggung lagi dan bisa kembali seperti semula.

Dengan cepat Mang Dedipun membalas pesanku "Loh? Mbak Liya malu kenapa?"

"Malu aja Mang, sama foto kemarin"

"Foto yang keliatan punggungnya itu?"

"Tuhkan Mamang inget" balasku.

"Ngapain malu atuh Mbak?? Mamang tau itu ga di sengaja, dan Mamang minta maaf kalau misalnya candaan Mamang kelewatan"

"Iya tapi kan malu Mang!! Mamang udah liat badan aku" balasku lagi.

"Ah. Udah sama-sama gede ini kok sayang. Kalau kamu mau, Mamang bakal foto badan Mamang juga. Biar kita impas. Gimana??"

"Ih jangan atuh Mang" balasku lagi.

Tapi dalam benakku justru malah ingin sebaliknya. Aku bahkan penasaran seperti apa badan pria paruh baya yang tiap hari bekerja keras mendorong gerobaknya tersebut.

Namun dengan cepat aku buang pikiran-pikiran kotor itu jauh-jauh. Karena sungguh itu adalah pikiran yang sangat tidak etis untuk dipikirkan oleh seorang istri sepertiku.

Diluar dugaan, aku yang jelas-jelas sudah menolak tawaran Mang Dedi tadinya malah dibuat kaget ketika dia mengirim foto selfi badannya yang hanya dibalut oleh celana boxer pendek.

"Astagfirullah" teriakku melemparkan hp ke atas kasur.

Aku menarik nafasku sebentar mencoba menenangkan diriku. Sebelum kemudian aku mengambil kembali hpku tersebut dan diam-diam memperhatikan foto badan Mang Dedi dengan sedikit rasa malu tapi mau.

Foto tersebut hanya menampakkan bagian badan Mang Dedi dari leher ke bawahnya. Namun yang menjadi fokusku saat itu justru lagi-lagi adalah tonjolan besar dibalik celana Mang Dedi yang semakin membuatku begitu penasaran.

"Mamang ih fotonya porno!" Balasku dengan secepat mungkin.

Jantungku berdegub dengan begitu cepat dan wajahku terasa panas dingin dibuatnya ketika membayangkan betapa besarnya isi di dalam celana Mang Dedi tersebut dan apakah aku bisa melihatnya secara langsung.

"Porno gimana Mbak Liyaku sayang??? Itu kan cuma foto badan Mamang" balas Mang Dedi setelahnya.

"Tapi itu ada yang menonjol dibawah Mang" jawabku berterus terang.

Namun dengan entengnya Mang Dedi membalas pesanku, "Ahh. Kalau yang itumah Mbak Liya juga sering liat kali sama suami Mbak"

"Iya tapi gak segede itu" balasku secara tidak sadar.

Entah apa yang aku pikirkan, aku malah semakin terbawa arus untuk meladeni chat Mang Dedi yang arahnya sudah sangat ketebak ujungnya. Namun aneh aku tetap ingin melanjutkan percakapan ini meski sudah sangat melanggar normaku sebagai seorang istri dari pria lain.

"Punya suamimu gak segede ini ya??" Balas Mang Dedi tiba-tiba.

Akan tetapi bersamaan dengan pertanyaannya tersebut, Mang Dedi langsung menyalipkan sebuah foto yang membuat jantungku seakan copot seketika itu juga. Pria yang menjadi tukang sayur langganan ku tersebut dengan sangat beraninya memerkan alat kemaluan miliknya padaku tanpa merasa malu sedikitpun.

"Astagfirullah"

"Astagfirullah"

"Astagfirullah"

Aku mengucap berkali-kali dalam hatiku. Foto penis Mang Dedi yang selalu membuatku penasaran tersebut akhirnya terpampang jelas di mataku. Dan ini adalah penis lelaki kedua yang pernah aku lihat setelah punya suamiku sendiri.

Sesuai dugaanku sebelumnya, penis Mang Dedi berukuran sangat besar dan panjang diluar nalarku. Jauh berbeda juga dengan ukuran milik suamiku yang pendek dan kecil. Warnanyapun gelap sedikit kecoklatan dan ujungnya terlihat aneh seperti memiliki kulup.

Melihatnya aku bahkan sampai menelan ludah berkali-kali karena kerongkonganku terasa sangat kering penuh dahaga. Aku mencoba membayangkan bagaimana caranya benda sebesar itu dapat masuk ke dalam liang senggama perempuan jika bentuk dan ukurannya saja jauh dari kata normal.

Dan andai saja penis besar itu masuk kedalam vaginaku sendiri, mungkin aku sudah bergidik ngeri sambil berteriak kesakitan dan menjerit tidak karuan karenanya.

Tapi untung akal sehatku masih berfungsi dengan baik, sehingga sebelum semuanya bergerak terlampau jauh, aku pun mencoba menghentikan Mang Dedi, “Mamang udah ihh! Aku ga suka kayak gini!” balasku di pesan.

Lama aku tak mendapat jawabannya, Hp ku tiba-tiba berdering kencang memperlihatkan nama Mang Dedi di layar smartphoneku memanggil. Aku kaget sekaligus berdebar karena untuk pertama kalinya Mang Dedi berani menelfonku.

“Ha—halo Mang” Jawabku sedikit gugup mengangkat telfon.

Namun bukannya menyapa balik, Mang Dedi malah langsung bertanya kepadaku, “Kenapa Mbak?? Mbak ga suka sama punya Mamang??”

“Bukan gitu ih Mang, Mamang gak malu apa ngirim foto punya Mamang sama aku??”

“Enggak Mbak! Mamang pengen ngebuktiin sama Mbak Liya kalau kita berdua ga perlu malu satu sama lain lagi”

“Tapi kan gak gitu caranya Mang!!” protesku.

“Tetep aja Mbak! Mamang gamau Mbak Liya canggung dan menjauh gitu dari Mamang karena Mbak Liya merasa malu. Rasanya gak enak kalau Mamang gak bisa deket sama Mbak Liya lagi. Mamang merasa kangen sama Mbak Liya” Ujarnya berterus terang.

Jujur kata-kata yang diucapkan Mang Dedi di pesannya tersebut sedikit menyentuh hatiku karena tak dapat dipungkiri kalau akupun merasakan hal yang sama dengannya. Pertukaran kata-kata antara aku dan Mang Dedi di whatsapp selama ini tampaknya memang sudah meninggalkan bekas yang mendalam.

“Aku juga kangen sama Mamang” balasku akhirnya memberanikan diri mengucap kata tabu yang seharusnya tak pernah terucap dari seorang istri sekaligus seorang perempuan yang menjaga iman sepertiku.

Tapi apa daya, aku tak menyangka kalau dari pria penjual sayur itu aku kembali bisa merasakan sensasi jatuh cinta. Rasa kangen, debaran jantung yang keras, senyum yang selalu menghiasi bibirku, wajah yang berseri, dan pikiran yang tenang kembali tumbuh bermekaran semenjak aku berkenalan dengannya.

“Janji ya Mbak ga bakal begitu lagi??” pinta Mang Dedi merajut.

Aku tertawa menyenderkan bahuku di sofa, “Iya aku janji Mamang sayanggg” jawabku bermanja-manja.

“Asikk!! tapi Mbak jangan panggil Mamang terus dong. Panggil apa kek biar akrab dikit”

“Dipanggil Uda mau ga Mang??” candaku sambil tertawa.

Diseberang sana ku dengar Mang Dedi juga ikut tertawa oleh candaanku, “Aku kan bukan orang minang sayang. Masa di panggil Uda” balasnya.

“Yaudah dipanggil Mas aja. Gimana??” tanyaku lagi.

“Nah kalau itu pas! Mamang panggil kamu Dek Liya boleh yaa?”

“Boleh Mas. Boleh banget” balasku lagi sambil tersenyum.

Percakapan kami itupun berlanjut sampai kurang lebih 3 jam lamanya sambil melepas kangen yang sudah seminggu ini aku tahan-tahan. Suasana diantara kami menjadi normal lagi seperti sedia kala karena Mang Dedi begitu pandai membawa suasana, menciptakan humor, rasa penasaran, penghargaan, dan pengetahuannya yang lumayan mempuni dalam banyak hal.

Sehingga lama kelamaan, akupun kembali terhanyut dalam setiap pembicaraannya yang seperti menuntutku untuk menerima tanpa memaksa. Gila. Aku rindu dengan suaranya, rindu dengan percakapan ringan bersamanya dan rindu akan sosoknya yang hangat.

Diakhir telpon akupun berkata kalau mulai besok aku akan kembali berbelanja di tempat Mang Dedi tanpa perlu merasa malu lagi. Dan dia sangat senang serta menantikan momen untuk bisa bertemu dan berbincang denganku.

Usai kami berpamitan, aku pun menutup telfon Mang Dedi dengan perasaan puas namun meninggalkan sedikit rasa bersalah. Aku merasa sudah mengkhianati suamiku karena telah berintim dengan pria selain dirinya. Namun aku berusaha untuk membenarkan itu semua dengan percaya bahwa aku dan Mang Dedi hanya punya hubungan sebatas teman. Dan kamipun tidaklah berbuat terlalu jauh untuk dapat dikatakan sebagai sebuah perselingkuhan.

Aku tersenyum senang, kembali aku cek pesan-pesan yang dikirim oleh Mang Dedi sedari tadi sampai aku menemukan foto penis besar miliknya masih terpampang jelas dan tidak dihapusnya sama sekali.

Tiba-tiba saja darahku kembali berdesir memperhatikan benda pusaka milik si tukang sayur itu tampak begitu perkasa dan tak ada duanya. Sambil celingukan ke kanan dan kekiri, akupun menggigit bibirku sendiri seraya tanganku memencet tombol screenshoot dan menyimpan foto penis besar itu di smarphoneku.

“Lumayan buat kenang-kenangan.. Hihihihihihihihi”

Bagian 3 : Tali Asmara


Liya​

Setelah kemarin siang aku kembali berbaikan dengan mang Dedi, aku menjadi tidak sabar untuk menunggu hari berganti dan kembali bertemu dengan pria yang diam-diam sudah menarik hatiku tersebut.

Pagi yang kutunggu-tunggu itu pun akhirnya datang menjelang. Aku terbangun dalam keadaan yang senang dan penuh rasa antusias luar biasa.

Kubangunkan suamiku untuk sama-sama menunaikan ibadah salat subuh berjamaah seperti yang biasa kami lakukan setiap paginya.

Setelah itu, suamiku pun memilih untuk tidur kembali. Sedangkan aku mulai melakukan pekerjaan rumah rutinku seperti menyapu halaman, menyuci baju, dan memasak sarapan pagi.

Anehnya ketika aku sedang menyiapkan bahan makanan untuk dimasak, aku malah teringat kepada sosok Mang Dedi yang pasti belum sempat sarapan. Karena setiap harinya dia berangkat lebih awal dari siapapun untuk menjajakan dagangannya.

Lalu terbesit lah dalam benakku untuk memberikannya hadiah. Itung-itung sebagai tanda permintaan maaf juga atas sikapku yang tidak mengenakkan selama seminggu terakhir.

Nasi goreng telur ceplokpun menjadi menu andalanku untuk sarapan pagi kali ini. Hanya saja porsi bahan bakunya tinggal sedikit dan terasa kurang untuk dapat dibagi kepada suamiku atau pun Mang Dedi.

Karena itulah aku memutuskan membuat sarapan khusus untuk Mang Dedi terlebih dahulu. Sebab suamiku pun masih tidur dan hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak perlu buru-buru.

Aku pun kemudian menanak nasi sekali lagi dan berencana untuk membuat sayur toge yang menjadi kesukaan suamiku setelah aku kembali dari belanja nanti. Jadi semuanya bisa sarapan dan tidak ada yang ketinggalan.

Usai melakukan semua kewajibanku dan membuatkan sarapan untuk mang Dedi, aku pun kemudian memilih mandi dan membersihkan badanku yang berkeringat.

Hari ini juga aku mulai punya keinginan untuk berdandan secantik mungkin agar bisa tampil cantik dihadapan Mang Dedi nanti. Entah motivasi macam apa yang membuatku punya pikiran seperti itu, namun aku cukup senang membayangkan diriku tampul menarik dihadapan penjual sayur itu.

"Umi mau kemana??" Kaget suamiku yang ternyata sudah bangun dari tidurnya.

Akupun hanya tersenyum sambil terus merias wajahku, "Mau belanja Bi! Buat sarapan kita" balasku.

"Tumben pake dandan segala, biasanya mah kamu pake daster doang" ledek suamiku.

"Gak ada salahnya dong tampil cantik" ucapku percaya diri.

Suamiku tertawa mendengarnya, "Iya, tapi siapa juga yang mau liat Mi?? Paling tukang sayur???" ledeknya lagi.

"Ya gapapa lah Bi! Mending dandan depan tukang sayur sekalian daripada dandan depan Abi"

"Lah kok gitu Mi?" Tanya suamiku heran.

Aku membalik badan dan mencibir suamiku, "Iya, percuma dandan kalau gak diajak jalan" ucapku meledek.

Suamikupun tertawa terbahak-bahak mendengar candaanku yang sebenarnya adalah isi hatiku juga. Tapi tampaknya laki-laki yang sudah berumah tangga selama 6 tahun bersamaku ini sama sekali tidak peka seperti kebanyakan laki-laki diluar sana.

"Awas nanti kamu diajak jalan sama tukang sayur loh" ucap suamiku masih becanda.

"Asalkan tukang sayurnya baik mah gapapa" balasku beranjak dari meja rias.

Mendengar perkataan ku tersebut, suamiku tampak sedikit syok tak bergeming dari tempatnya. Dia tiba-tiba terdiam dan bengong seperti orang yang terkena hipnotis.

Beruntung aku cepat menyadari situasi dan menghampiri suamiku sambil tersenyum meledek, "Canda suamiku sayang" ucapku sambil mengecup pipinya.

"Hampir jantungan aku Mi" balasnya masih tak percaya.

Aku pun tertawa melihat ekspresi suamiku yang tampak mengelus-elus dadanya "Salah sendiri becandanya begitu" Ucapku beranjak dari kasur.

Setelah berbincang-bincang sebentar dengan suamiku, aku pun berpamitan kepadanya untuk pergi berbelanja. Tak lupa aku membawa kotak nasi dan tempat air minum yang berisikan teh manis untuk aku sajikan kepada Mang Dedi sebagi hadiah.

Kemudian dengan perasaan senang dan berdebar-debar, aku pun melangkahkan kakiku menuju ke tempat Mang Dedi yang berada di pertigaan tak jauh dari rumahku.

Setiap pagi dia memang selalu mangkal dan berjualan disana karena lokasinya yang strategis berada di dekat dengan jalur akses masuk dan keluar perumahan.

Disana juga terdapat sebuah pos yang biasanya menjadi tempat berkumpulnya para tukang ojek mencari pelanggan.

"Pagi Mang!" Sapaku tersenyum melihat Mang Dedi tengah duduk di dalam pos.

"Waduh, ada bidadari mau belanja sayuran nih" balasnya sumringah melihat kehadiranku.

Akupun bersemu merah mendengar pujian pria itu dan menunduk malu-malu, "Mamang bisa aja ih" ucapku yang sebenernya sangat-sangat senang.

"Kok dipanggil Mamang lagi sih? Kemaren kan kita udah sepakat atuh" Protes Mang Dedi padaku.

"Eh iya lupa Mas" balasku terkekeh.

"Nah gitu dong adem" tawa Mang Dedi sangat senang mendengarku memanggilnya dengan sebutan "Mas"

"Oh iya Mas, ini aku bawa sarapan buat Mas Dedi" ucapku menyodorkan kotak makanan dan botol minuman yang aku bawa dari rumah tadi.

Wajah Mang Dedipun tampak berseri melihat aku menawarkan sarapan untuknya, "Puji tuhan!!! kebetulan banget aku belum sarapan. Dek Liya emang paling tau kebutuhan Mas" jawabnya menyambut makanan dariku.

"Iya Mas sama-sama. Dimakan ya" balasku begitu senang melihat Mang Dedi yang juga tampak antusias dengan pemberianku.

"Duduk sini Dek! Nanti kamu capek berdiri terus disana" tawar Mang Dedi menepuk-nepuk kursi lesehan yang ada di sebelahnya.

Akupun dengan sedikit sungkan dan malu-malu masuk ke dalam pos yang sebenarnya tidak terlalu besar tersebut. Didalamnya terdapat sebuah lesehan yang terbuat dari bambu dan berukuran lumayan besar.

Pos tersebut juga terbuka dengan bagian dinding yang hanya dibuat setengahnya saja. Jadi kalau ada orang yang masuk kesana, yang terlihat dari luar hanyalah bagian kepala sampai lehernya saja.

Sambil celingak-celinguk akupun memperhatikan keadaan sekitar yang tak seperti biasanya terasa lumayan sepi.

"Sepi kok Dek! Ibu-ibu lain udah pada belanja tadi" ucap Mang Dedi yang seakan tau dengan apa yang aku pikirkan.

"Kok pada cepet ya Mas? Baru juga jam 7 ini" tanyaku melirik jam di tangan.

"Kamu gak tau kalau di kelurahan lagi ada acara acara senam massal??"

Aku menggeleng, "Enggak Mas" jawabku singkat.

"Oh iya lupa, kamu kan baru ya disini" balas Mang Dedi sambil membuka kotak nasi yang berisi nasi goreng buatanku tadi.

"Wahhh. Nasi goreng Uni-uni padang nih. Pasti enak banget" lanjutnya begitu senang.

Akupun tertawa melihat reaksinya yang berbinar-binar seperti seekor kucing yang dikasih makan ikan, "Spesial buat Mas Dedi" balasku.

"Hehehe. Makasih ya Dek Liya sayang" ucap Mang Dedi mengelus pundakku dengan pelan.

Namun bukannya protes, aku malah membiarkan Mang Dedi meyentuh bagian badanku tersebut dengan santai. Padahal selama ini aku tak pernah membiarkan laki-laki lain selain suamiku untuk menyentuh diriku bahkan untuk bersalaman tangan saja.

Tapi dengan Mang Dedi lagi-lagi ada pengecualian yang tak dapat aku jabarkan dengan kata-kata. Tatapannya yang hangat dan lemah lembut itu seolah berkata padaku bahwa dia tidak akan pernah punya niatan untuk menjahatiku. Jadi secara tidak sadar akupun terbawa untuk bersikap biasa saja di depannya.

"Waduhh.. enak banget nih nasih gorengnya" ucap Mang Dedi saat dia memasukkan suapan pertama ke dalam mulutnya.

"Masa sih Mas?? Nasi goreng biasa aja kok itu" jawabku merendah.

Mang Dedi lalu menggeleng, "Kayaknya ini spesial deh. Bikin nya pasti penuh rasa cinta" rayu Mang Dedi padaku.

"Mang Dedi bisa aja" senyumku makin merasa senang.

Sambil Mang Dedi makan kamipun tetap mengobrol ringan seputar banyak hal seperti kegiatan warga perumahan sini yang setiap hari minggunya acap kali mengadakan kegiatan senam massal.

Mang Dedi juga bilang kalau kegiatan tersebut digandrungi berbagai macam kalangan seperti ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak. Jadi wajar pada jam seperti ini komplek perumahan tampak sepi tidak ada orang.

"Lain kali Dek Liya coba ikut deh sama suami. Itung-itung buat refreshing" saran Mang Dedi padaku.

"Suamiku mana mau Mas ikut acara kayak gitu. Dia paling males sama yang namanya olahrga" jawabku teringat momen dimana dulu suamiku selalu menyerah duluan ketika kami jogging bersama.

"Kalau gitu sama Mas aja gimana??" Tawar Mang Dedi tiba-tiba.

Aku tersenyum senang mendengarnya, "Boleh sih Mas, tapi Mas kan jualan" jawabku tak mau terlalu berterus terang.

"Demi menemani bidadari, aku rela tak jualan sayur sehari" candanya dengan wajah serius.

"Paan sih Mas!! Kamu gaje" tawaku pecah mendengarnya bercanda dengan wajah serius seperti itu.

Kami terus mengobrol ngalor ngidul kesana kemari tanpa sadar sudah menyerempet pada hal-hal yang sedikit menujurus kearah yang jorok.

Aku dengan sedikit malu-malu tetap meladeni pembicaraan tersebut karena Mang Dedi selalu menyelingi obrolan kita dengan suasana bercanda dan humor-humor recehnya.

"Beneran tau Dek, cewe kalau jembutnya banyak pasti orangnya napsuan" lanjut Mang Dedi ditengah obrolan kita tentang masalah keintiman.

"Ah. Mas sok tau!! Aku bulunya banyak tapi gak napsuan tuh" jawabku membantah

Mang Dedi menggeleng, "Kamu belum sadar aja sama diri kamu. Mas berani taruhan kalau kamu sering masturbasi di kamar mandi. Iya kan??"

"Masturbasi apaan?" Tanyaku bingung dengan istilah yang digunakan Mang Dedi.

"Itu! Yang main-main sama punya kamu sendiri" ucapnya dengan frontal.

Sontak aku kaget dan langsung teringat dengan kejadian kemarin-kemarin hari dimana aku beberapa kali sempat melakukan hal yang dimaksud masturbasi tersebut oleh Mang Dedi. Beberapa kali ketika aku terangsang, aku mengikuti instingku dengan mengelus-elus bagian luar vaginaku sampai becek dan basah.

"Tuh kan pernah" ucap Mang Dedi dengan percaya diri.

Tapi aku masih tidak terima dan protes padanya,
"Iya tapikan gak sering juga" balasku sewot.

"Aku yakin sering" angguk-angguk Mang Dedi menuduhku.

"Mas kali yang sering begitu" balasku mengalihkan pembicaraan.

Namun Mang Dedi malah terkekeh mengakuinya, "Kalau Mas mah emang sering Dek. Maklumlah Mas belum punya istri buat begitu-begituan"

"Idiihh najong. Ngomongnya kayak orang bener" ledekku becanda.

"Beneran dong. Daripada aku memperkosa orang, lebih baik dikocok pake tangan sendiri" tawa Mang Dedi lepas begitu keras.

"Emangnya enak ya Mas pake tangan sendiri?" Tanyaku penasaran.

Mang Dedipun mengangguk, "Enak sih Dek. Tapi bakalan lebih enak lagi kalau pakai tangan kamu ini" ucapnya Mang Dedi meraih dan memegang tanganku. Tapi anehnya, aku tidak berusaha menarik tanganku dan membiarkan saja tangan kasar milik Mang Dedi tersebut menggenggamnya.

"Apaansih kamu Mas!!" Ucapku malu-malu tak berani menatap wajah Mang Dedi.

Jantungku berdebar-debar sangat kencang seperti sebuah tabuh yang terus dipukul tak henti-hentinya. Suasana pagi itupun mulai terasa sedikit panas dan membuatku kegerahan.

Apalagi dalam situasi tempat yang terbuka seperti ini semakin menambah rasa berdebarku takut-takut kalau ada yang lewat dan melihatku bergandengan dengan pria yang bukan suamiku tersebut.

Tiba-tiba saja, Mang Dedi mengangkat tanganku dan menciumnya "Iya. Kalau tangan halus punya kamu ini yang ngocokin aku, pasti bakal enak banget" rayunya semakin berani.

"Mas jangan ih!! Nanti diliat orang" protesku padanya.

Cukup aneh memang karena seharusnya aku memprotes tindakan Mang Dedi yang memegang dan mencium tanganku, bukan malah memprotes dia yang melakukannya di tempat terbuka seperti ini.

"Abis tangan kamu wangi sih Dek" balasnya terkekeh.

Suasana diantara kamipun menjadi sedikit canggung setelah itu karena aku memilih diam sejenak tak bisa lagi berkata-kata banyak. Jantungku sudah sangat terpacu oleh tindakan kecil Mang Dedi itu dan darahku berdesir merasakan adrenalin mengalir keseluruh tubuhku.

Aku membiarkan saja tanganku tersebut di genggam lama oleh Mang Dedi sebelum akhirnya dia tiba-tiba menuntunnya pada daerah selangkangannya sendiri.

"ASTAGFIRULLAH MAS!!" teriakku lumayan kencang sambil menarik tanganku dari selangkangannya.

Dapat aku rasakan kalau di balik celana yang tengah dipakainya saat ini, batang penis Mang Dedi tengah menegang dengan sangat kerasnya.

Namun dengan tanpa bersalah sedikitpun Mang Dedi malah tertawa, "Kenapa Dek?" Ucapnya bertanya dengan polos.

"Mas nakal iiihhhhh!" Protesku lagi.

"Abis kamunya diem aja gak ngomong" sungut Mang Dedi malah menyalahkanku.

"Mas tuh ya!! Iseng banget jadi orang!!" Ucapku melayangkan sebuah cubitan dipinggangnya.

"Awhhh sakit Dek" ringis Mang Dedi sambil tertawa.

Setelah itu, Mang Dedi malah menggelitik balik pinggangku dengan tangannya, "Ini serangan balasan" teriaknya menggelitikku.

Akupun langsung berkelojotan merasa geli karena Mang Dedi menggelitik di kedua area pinggangku sehingga aku yang gampang gelian inipun jatuh tertidur di lesehan bambu yang ada disana.

"Ampun Mas, Ampun" ucapku tertawa menahan geli meminta Mang Dedi berhenti untuk menggelitikku.

Tanpa aku sadari, posisiku kami saat ini sedang berhimpitan satu sama lain dengan Mas Dedi berada diatasku yang tengah telentang kegelian. Untungnya posisi tersebut tidak bertahan lama karena Mang Dedi segera menghentikan gelitikannya padaku.

Mang Dedi tertawa puas setelah berhasil mengerjaiku sebelum akhirnya dia menjatuhkan diri disampingku. Nafas kami berdua saling berpacu terengah-engah setelah beberapa saat kami bergelut layaknya anak kecil yang tengah asik bermain.

“Kamu cantik Dek Liya” ucap Mang Dedi tiba-tiba memegang pipiku.

Ada hawa hangat yang aku rasakan saat tangan kasarnya tersebut menyentuh kulit wajahku. Bahkan tak ada sedikitpun niat untuk menolak sentuhan pria penjual sayur itu karena yang aku rasakan justru malah sebuah ketentraman.

Dadaku pun tak berhenti berdegup dengan kencang, saking kencangnya sampai aku takut kalau Mang Dedi akan mendengarnya. Aneh memang aku bahkan tidak sadar kalau aku ini adalah perempuan yang sudah bersuami.

Yang tersbesit dalam benakku saat itu adalah bagaimana bisa aku menahan getaran yang menelusup ke sumsum tulangku, merambat melalui setiap pembuluh nadiku, dan berusaha keluar melesak meminta untuk dibebaskan.

“Mas!!” lirihku menahan badan Mang Dedi yang mencoba mendekat.

Namun Mang Dedipun tampaknya tau kalau usaha penolakanku itu hanyalah setengah-setengah saja, “CUPPP!!” Dalam sekejab bibir Mang Dedi mendarat di bibirku. Sepersekian detik sebelum dia melepas dan menjauhkannya kembali.

Sedangkan aku terpatung, sadar bahwa sebenarnya momen ini pasti akan terjadi namun tetap merasa tak siap menyambutnya. Dalam keadaan itu, kami berdua saling menatap satu sama lain tanpa sedikitpun mengeluarkan kata-kata. Tapi dari pancaran mata Mang Dedi, aku bisa menangkap banyak hal yang ingin dia sampaikan padaku namun tak bisa dia ungkapkan secara terus terang.

“Mas, kita tida--mpphhhhh”

Kata-kataku terhenti ketika Mang Dedi kembali mendaratkan ciuman bibirnya mengunci bibirku. Namun untuk kali ini bibir kasarnya tersebut tidak hanya sekedar menyentuh seperti tadi. Ciuman Mang Dedi mulai berani melumat bibirku dengan halus dan penuh gairah.

Aku langsung tahu, kalau aku sudah tidak bisa menghindar. Maka yang aku lakukan justru menutup mataku, menikmati setiap getaran tabu yang dialirkan oleh Mang Dedi lewat ciumannya yang begitu lembut.

Kalo mau jujur, aku juga ikut menikmatinya. Bahkan beberapa saat secara refleks aku juga membalas melumat bibir Mang Dedi, mengisyaratkan kalau aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dia rasakan.

“Maaf Dek. Aku terlalu nekat” ucap Mang Dedi menghentikan ciumannya.

“Jangan minta maaf Mas” balasku melumat balik bibirnya.

Bagian 4 : Terbawa Suasana


Liya​


"Jangan minta maaf Mas" ucapku melumat balik bibirnya.

Akal sehatku saat itu hilang, terkubur dalam bahasa tubuh yang menginginkan sesuatu yang sebenarnya sudah melanggar semua kode etik ku sebagai seorang istri dan seorang wanita yang agamis.

Kami hanyut dalam cumbuan tabu itu. Rasanya hangat dan lembut, namun masih ada keragu-raguan yang membayanginya.

Mang Dedipun membalas melumat bibirku dengan penuh kehati-hatian. Aku bisa merasakan bahwa kami berdua sedang mencoba meluapkan emosi dengan saling melumat dan mencium satu sama lain.

Bibirku mengunci bibir Mang Dedi agar tak lepas dari ciuman itu, mengisyaratkan kalau aku tidak ingin melepaskan momen ini secepat mungkin. Pun kemudian diapun membalas dengan sebuah lumatan yang tak kalah hebat penuh gairah seperti berkata kalau dia juga menginginkan hal yang sama.

Katakan aku gila, tapi merasakan cumbuan dari laki-laki lain selain suamiku justru memang sungguh-sungguh nikmat dan memberikan sensasi yang berbeda. Apalagi ketika melakukannya di tempat terbuka seperti ini. BIsa saja, seseorang tiba-tiba datang dan akhirnya memergoki kami yang sedang mencumbu satu sama lain.

"Kamu cantik Dek Liya. Sayang bukan milikku" ucap Mang Dedi menahan daguku dengan jari-jarinya.

Kami menghentikan cumbuan itu. Berdiam diri sejenak, mengatur nafas dan menarik oksigen yang habis menipis. Saling tatap dan tersenyum meledek. Seolah-olah kami tau kalau apa yang kami lakukan adalah sebuah kegilaan yang benar-benar gila.

"Mas nakal!!" ungkapku menepuk pelan dadanya.

Aku tersipu malu. Mengalihkan pandanganku yang tak berani menatapnya lama-lama.

"Kamu yang agresif loh ya!" Balas Mang Dedi meledekku.

Akupun kembali tersenyum mendengar perkataannya. Kemudian, aku bangkit dari lesehan tersebut dan duduk membelakangi Mang Dedi.

"Mau kemana??" Tanya Mang Dedi memegang tanganku.

"Pulang" balasku singkat.

Namun dari posisi belakang itu, Mang Dedi tiba-tiba memeluk tubuhku dengan kuat, "Jangan dulu" tahannya memelas.

"Lepasin Mas! nanti dilihat orang loh" protesku berusaha melepaskan diri.

"Kalau begitu ayo tiduran lagi sayang!" Ajak Mang Dedi padaku.

Aku menggeleng menolaknya, "Sudah Mas! Nanti ketahuan sama orang ih" Ucapku.

Untungnya, Mang Dedi pun tampak sadar dengan situasi yang sudah semakin siang tersebut dan sebentar lagi akan banyak kendaraan yang berlalu lalang.

Tapi sebelum melepaskan pelukannya, Mang Dedi kembali memajukan wajahnya kearah wajahku. "CUPPPPPP" sebuah ciuman kembali mendarat di bibirku. Bahkan dia langsung melumatnya begitu saja.

Akupun menggeliat memprotesnya dan mencoba melepaskan diri, tapi kali ini ciuman Mang Dedi itu sedikit lebih intens dari yang pertama dan terkesan sangat bernafsu.

Tidak hanya melumat bibirku, lidah Mang Dedi pun mulai ikut masuk dan menggelitik setiap rongga mulutku. Aku bisa merasakan kelembutan dari lidah Pria penjual sayur itu bermain-main dalam mulutku. Bahkan terkadang ia berusaha melilit lidahku dan menarik-nariknya sehingga tak lama lidah kamipun bertautan dan saling bertukar air liur.

Untuk kesekian kalinya, akupun kembali berciuman dengan Mang Dedi tanpa ada lagi penolakan yang berarti. Bahkan untuk berhenti saja rasanya aku enggan karena pikiranku sudah tidak selaras dengan nafsu yang mengambil alih tubuhku.

Tapi disisi lain aku tau kalau semua ini sudah melewati batas kenormaan yang aku yakini. Ini salah dan Ini adalah dosa. Hanya saja, pembenaran demi pembenaran telah aku lakukan sejak pertama kali Mang Dedi menciumku. Sehingga tak ada lagi jalan balik yang dapat ku tempuh untuk kembali seperti semula.

Tanpa sadar badanku kembali ditarik oleh Mang Dedi ke lesehan bambu yang ada disana sehingga mau tak mau aku jatuh memutar badanku dan berada dalam posisi miring saling peluk dan berhadap-hadapan.

Aku tidak berkata apa-apa untuk memprotesnya, malah aku menutup mataku dan tersenyum menantikan cumbuannya kembali. Mang Dedipun tampak tak menyia-nyiakan waktunya dengan langsung memajukan wajahnya ke wajahku, dan bibir kami kembali berciuman dengan lembut dan mesra.

"cllpp... cllppp... cllpp..." Begitulah suara perpaduan bibir kami berdua yang terdengar basah dan begitu menggairahkan di telingaku.

Perlahan tapi pasti, nafsu birahi mulai mengambil alih dan semakin kuat menguasaiku. Harus kuakui, Mang Dedi sangat pandai memainkan ritme dalam kecupan-kecupannya sehingga aku terhanyut dalam kenikmatan. Bahkan dengan suamiku sekalipun, aku belum pernah merasakan rangsangan sehebat ini.

Akupun tidak tau kemana ombak birahi ini akan membawaku hanyut. Tapi yang pasti, perasaan dan hatiku lama-lama menjadi tenang meski tadinya aku sempat merasa gelisah karena keadaan dan tempat aku berada saat ini.

“Dek, Mas mau minta sesuatu boleh gak?” tanya Mang Dedi menghentikan ciumannya.

Aku mengangkat alisku, “Minta apa Mas?” tanyaku penasaran.

“Ini sayang!” ucap Mang dedi tiba-tiba saja memindahkan tangannya dari pinggangku menuju ke bagian buah dadaku.

Aku betul-betul kaget dan terkejut. Tanganku secara reflek menahan tangan Mang Dedi, “Jangan Mas! Jangan disitu” ucapku meminta pengertiannya.

Mang Dedi kemudian benar-benar menjauhkan tangannya dari buah dadaku, Akan tetapi kedua tangannya yang kekar dan kuat itu kembali beranjak memeluk pinggang rampingku dengan erat dan memaksaku untuk semakin merapat.

“Kenapa Sayang?? Apa aku gak berhak??” tanya Mang Dedi setengah berbisik dan memelas.

Ada perasaan bersalah saat aku mendengar pertanyaan Mang Dedi tersebut. Dalam hati aku ikut bertanya kenapa aku melarangnya. Bukankah daritadi aku juga sudah mengikhlaskan bagian tubuhku yang lain untuk dinikmatinya. Lalu apa yang membuat ini menjadi berbeda??

Entahlah. Rasanya aku masih ragu untuk memberikan raga dan hatiku untuknya. Karena akupun tau kalau aku tak akan pernah bisa melakukan hal tersebut. Sebab aku adalah wanita yang sudah mengikat janji suci bersama pria lain. Itu berarti, tak peduli seberapa inginnya aku menghamburkan diriku pada Mang Dedi, separuh dari apa yang aku dia inginkan saat ini tetaplah menjadi milik dari suamiku.

“Aku istri orang Mas!” ucapku memasang tembok pertahanan yang tinggi untuknya.

Namun bukannya mundur, Mang Dedi malah tersenyum mendengar hal tersebut, “Apa bedanya Dek Liya?? aku dan kamu sama-sama menginginkan ini bukan??” Ucap Mang Dedi kembali menciumku.

Aku lagi-lagi terbawa, terbius oleh kata-kata dan perbuatan Mang Dedi yang semakin pandai memainkan emosi dan meruntuhkan pertahananku. Bahkan permainan tarik ulur yang dimainkannya ini telah sukses membuatku berpikir kalau tak ada lagi yang perlu aku sesali.

Aku meraih tangan Mang Dedi yang tadi berada di pinggangku. Kuarahkan tangan tersebut tepat dibagian dada, seolah mengisyaratkan padanya bahwa aku telah memberikan izin untuk kepadanya untuk menyentuh gundukan gunung kembar milikku itu.

Mang Dedi tersenyum, mengecupku pelan beberapa kali hingga dia mulai menggerakkan tangannya didadaku. Pelan dia menggenggam bongkahan daging mungil yang tak pernah disentuh oleh laki-laki lain selain suamiku itu. Bahkan tak sampai menggenggam, tangan Mang Dedi itupun memijat-mijat kedua buah dadaku dan meremas-remasnya bergantian.

“Masshh--” aku langsung menutup mulutku dengan tanganku sendiri. Hampir saja aku kelepasan dan mendesah akibat perbuatan Mang Dedi tersebut.

Namun Mang Dedi tak mempedulikan, dia terus melancarkan aksi mesumnya pada tubuhku dengan terus bergerak nakal. Satu tangannya bahkan beralih ke area bokongku dan juga ikut meremasnya.

“Ohh tuhan ini nikmat sekali” kataku dalam hati.

Aku terbawa suasana, aku menikmati ini dan bahkan aku mulai agresif menyodorkan tubuhku agar dapat digerayangi oleh tangan kasar Mang Dedi. Dibawah sana, pangkal pahaku juga sudah terasa panas dan basah, seperti ada sesuatu mengalir keluar. Rasanya geli sekali, seolah-olah tingkat sesitifitasnya meningkat berkali-kali lipat.

“Acccchhhhhh..” Tanpa disengaja, aku memekikkan desahan yang lumayan keras. Cukup keras hingga Mang Dedi terpaksa berhenti melancarkan aksinya.

“Hmmm...Kamu basah sayang??” tanya Mang Dedi yang tanpa aba-aba menyentuh selangkanganku dari balik baju gamis yang aku gunakan.

Aku terpekik kaget merasakannya. Tapi apa yang terjadi, badanku malah tak mau beranjak dan tanganku tak mau bergerak untuk mencegah tangan Mang Dedi. Malah rasanya semakin lama semakin nikmat saat Mang Dedipun mulai bergerak pelan mengelusnya.

“Gatell Masshh...” ucapku yang tanpa sadar menggesek balik bagian selangkanganku di tangannya.

Tak cukup itu saja, rangsangan tangan Mang Dedi di selangkanganku tersebut dibarengi dengan sodokan-sodokan sebuah benda keras yang menyundul-nyundul pangkal pahaku. Nampaknya Mang Dedipun juga sudah mulai terangsang.

Aku dapat merasakan napasnya mulai terengah-engah. Sementara aku sendiri semakin tidak kuat untuk menahan erangan meski aku sadar kalau saat ini kami masih berada di dalam pos ronda. Maka yang bisa aku lakukan hanyalah mendesis-desis untuk meredam kenikmatan yang mulai membakar kesadaranku.

Saat aku terhanyut itulah tanpa kusadari tangan Mang Dedi sudah berhasil mengangkat setengah baju gamisku dan menyusup masuk kedalam celanaku yang longgar. Belum sempat aku bereaksi, tangan itu sudah dengan cekatan menyentuh permukaan vaginaku yang memang sudah basah sedari tadi.

“Banjir kamu Dek Liya” komentar Mang Dedi setelah ia berhasil mendaratkan tangannya di vaginaku.

Reflek aku mengatupkan kedua pahaku sehingga tangan Mang Dedi malah terjepit kuat oleh keduanya. Tangan kasar yang terjepit di selangkanganku itupun malah langsung saja bergerak mengorek-orek kemaluaanku hingga rasa nikmat pun datang tak terhindarkan.

Namun belum cukup aku dikagetkan dengan aksi Mang Dedi itu, tiba-tiba Hpku berbunyi. Berbunyi sangat keras hingga mampu membuat kesadaranku kembali. Aku langsung mendorong tubuh Mang Dedi dengan kuat dan segera bangkit duduk sambil merapikan pakaianku yang berantakan akibat perlakuan Mang Dedi.

Aku meraih smartphone milikku dari dompet dan segera mengangkat panggilan yang ternyata berasal dari suamiku, “Ha—hallo Bi!” angkatku terbata-bata.

“Assalamualikum Umi! Umi kok lama?” tanya Suamiku dibalik telfon.

Aku berdehem membenarkan pita suaraku, “Waalaikumsalam Bi! Umi tadi ngobrol dulu sama Ibu-ibu komplek” jawabku berbohong. Sudahlah aku berbuat mesum dengan pria lain, sekarang aku malah ikut membohongi suamiku secara langsung.

“Buruan dong Mi! Abi udah laper banget nih” pinta suamiku.

“Iya Bi! Ini udah mau jalan pulang kok” lagi-lagi aku berbohong.

Tak lama akhirnya telpon pun di tutup dan aku menghembuskan nafas lega yang begitu panjang. Beberapa menit aku hanya diam mengingat perbuatan gilaku yang benar-benar sudah jauh melampaui batasnya. Tapi dengan cepat aku kuasai diriku karena semuanya sudah kembali normal dan harus dihentikan sekarang juga.

Aku masih belum bisa berkata apapun. Bahkan untuk membalik badan dan melihat Mang Dedi saja aku tak berani. Ingin rasanya cepat-cepat pergi dari sini. Malu, rasanya malu sekali sampai-sampai wajahku terasa begitu panas dan mungkin sekarang memerah seperti udang rebus.

“Kayaknya aku harus pulang” ucapku memecah keheningan dintara kami.

Dari belakangku terdengar Mang Dedi ikut bangkit dari tidurnya, “Iya harus” balasnya singkat.

Kemudian dengan kikuk aku memaksa diriku untuk berdiri walau masih tenggelam dalam rasa malu yang tak terkira. Rasa malu karena Mang Dedi sudah menangkap basah aku yang sedang terangsang begitu hebat. Rasa malu karena sudah memperlihatkan sisi liarku kepada laki-laki lain selain suamiku.

“Aku mau sayur bayam dan ikan tongkolnya” Ucapku pada Mang Dedi.

“Ga sekalian sama terongnya?? Gede-gede loh” balas Mang Dedi melempar candaan.

Namun sekuat hati aku menahan senyumku, “Ga lucu” balasku berpura-pura jutek padanya.

Usai membeli semua barang belanjaan yang aku butuhkan dari Mang Dedi, aku pun kemudian berpamitan pulang kepadanya. Diakhir sebelum aku pergi, Mang Dedi sempat memberikan kecupan ringan pada bibirku serta meremas buah dadaku sebentar.

“Hati-hati ya sayang” ucapnya begitu manja padaku.

Akupun hanya bisa mengulum senyum sambil beranjak pergi layaknya sepasang kekasih yang baru saja pulang sehabis berkencan. Hatiku senang sekaligus berbunga-bunga diperlakukan seperti seorang wanita spesial oleh tukang sayur langgananku itu.

“TING” sebuah pesan masuk ke dalam smartphoneku.

Aku segera membukanya dan melihat kalau pesan tersebut ternyata dari Mang Dedi, “Lain kali kamu harus beli terong yang ini!” tulisnya sambil mengirim foto penisnya yang tengah tegang berdiri.

ASTAGFIRULLAH!!!

BAGIAN 5 : Tak Sampai Juga


Liya​

Usai kejadian di pos ronda waktu itu, kehidupan sehari-hariku tak berubah banyak. Tiga hari berlalu secara normal seperti biasanya, sampai dimana pada hari ini sebuah rumor beredar luas di komplek perumahan tempatku tinggal.

Rumor tersebut mengatakan bahwa ada sepasang muda mudi yang melakukan kegiatan mesum di pos ronda pada pagi hari. Untungnya sampai saat ini belum ada kejelasan tentang kapan dan siapa identitas muda-mudi yang disebutkan itu.

Hanya saja, rumor tersebut seolah kebetulan mengarah kepadaku dan Mang Dedi. Sehingga mau tak mau akupun mulai merasa khawatir tentang hal tersebut. Namun meskipun begitu, aku tak mau menjadi munafik dengan mengatakan kalau aku ingin menghentikan hubunganku dengan si penjual sayur langganan ku itu.

Barangkali aku mabuk. Atau memang aku hanyut dalam rasa tabu yang membuatku terus terlena sampai aku tak merasa menyesal lagi mengkhianati kepercayaan suamiku. Bahkan pelan-pelan aku mulai berani mengatakan rindu secara terang-terangan kepada laki-laki itu.

Selama tiga hari ini pula, kedekatanku dengan Mang Dedi sebenarnya semakin terjalin kuat satu sama lain usai perbuatan “gila” kami tempo hari. Seperti malam ini saja, disebelah suamiku yang sedang rebahan aku tetap saling bertukar pesan dengan Mang Dedi.

“Menurut Umi, siapa kira-kira??” celetuk suamiku menyela lamunanku.

“Siapa apanya Bi?” tanyaku heran.

“Yang mesum di pos ronda” jawab suamiku.

Hampir saja aku tersedak, “Ah bukan urusan kita itu Bi!” balasku tak mau membahas topik tersebut.

“Emangnya Umi gak penasaran??” tanya suamiku lagi.

Aku menggeleng, “Engga Bi! Lagian Abi ngapain ikut ngegosip kayak ibu-ibu komplek” ledekku padanya.

“Ya penasaran aja gitu Mi! Masa begituan di pos ronda” kata suamiku.

“Emangnya kenapa kalau di pos ronda Bi??”

Suamiku berbalik, “Aneh aja, kayak gak ada tempat lain” balasnya dengan santai.

Namun dalam hati aku merasa sedikit tersinggung dengan ucapannya tersebut. Karena apa yang dikatakan suamiku secara kebetulan seolah-olah seperti menyindirku.

“Biarin aja kali Bi! Itu kan terserah mereka” ucapku melakukan pembelaan.

“Iya sih. Tapi bukannya itu terlalu nekat?? Kalau misalnya itu Abi, Abi pasti bakal nyari tempat yang lebih aman”

Aku menatap tak percaya pada suamiku, “Ya mungkin saja mereka belum berani berbuat sejauh itu Bi” ucapku berbicara seolah-olah itu memanglah aku.

“Berarti mereka pasangan selingkuh kali ya Mi??”

DEGHHH!! Jantungku seperti ditikam oleh sebuah benda tumpul saat mendengar pernyataan dari suamiku tersebut. Entah kenapa rasanya seperti benar-benar menyindiriku yang memang sudah berbuat curang di belakang suamiku sendiri.

“Kok diam Mi??” tanya Suamiku sekali lagi.

Aku merasa tergugup tiba-tiba, “Eh.. Anu... Gapapa Bi!” balasku salah tingkah. “Jadi Abi mau selingkuh nih ceritanya??” lanjutku berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Dih. Bukanlah Mi!! itu kan seandainya” bela suamiku tertawa terbahak-bahak.

Kamipun mulai berbicara untuk menghabiskan waktu sebelum tidur dengan bercanda satu sama lain. Di momen seperti ini, rasanya aku benar-benar diliputi rasa bersalah yang mendalam. Tapi disisi lain, aku sungguh tak bisa menghentikan "kegilaan"ku bersama Mang Dedi dengan cara apa pun.

Apalagi kalau dipikir-pikir, aku tidak pernah berselingkuh sampai naik ranjang, hanya saling pegang dan cium saja. Tak ada bagian intimku yang telah cemar. Tak ada tubuhku yang telah tak setia. Semua masih terjaga, masih menjadi milik suamiku seutuhnya.

Aku tahu ini salah dan ‘’berbahaya’’. Tapi mau bagaimana lagi, inilah sisi lainku yang baru saja aku kenali dan tak bisa kukendalikan, yang kadang membuatku merasa utuh dan berharga sekali lagi sebagai seorang wanita normal kebanyakan.

“Mi!” Ucap suamiku memanggil.

“Kenapa Bi??” tanyaku.

Suamiku tersenyum, “Bikin adek buat Tasha yuk!!” ucapnya mendekat kearahku.

“Tapi jangan berisik Bi! Nanti Tashanya bangun” balasku menunjuk kasur kecil disebelah kami tempat anakku tertidur pulas.

Suamikupun menggangguk tersenyum sumringah sambil langsung memelukku kedalam dekapannya. Aku dipeluk dan dicium dengan begitu nafsu seperti orang yang sedang kesetanan. Tiap kali bercinta, suamiku memang adalah tipe orang yang tidak pernah sabaran dan selalu terburu-buru untuk segera menuntaskan birahinya.

“Pelan-pelan Abi!!” protesku saat suamiku meremas buah dadaku dengan kuat.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk pemanasan, suamiku dengan cepat melucuti pakaiannya sendiri dan juga ikut menelanjangiku. Setiap malam, akupun biasanya tidur menggunakan daster yang tipis serta selalu tanpa memakai BH.

Jadi dalam sekali gerakan, dasterku sudah berhasil dia tanggalkan melewati kepalaku. “Umi seksi banget deh” Ucap suamiku sebelum akhirnya dia menciumku.

Akupun meladeni ciuman suami tercintaku tersebut dengan sepenuh hati. Walau rasanya memang tak senikmat ketika aku berciuman dengan Mang Dedi, tapi dari suamikupun sebenarnya juga sudah memberikan aku rasa nikmat dan membangkitkan gairah.

“Pelan-pelan Abi ihhh!!” ucapku lagi-lagi memperingatkan suamiku yang terburu-buru.

Beberapa menit lamanya kami berciuman dengan penuh gairah. Lidah kami saling membelit dan saling mengulum satu sama lain seperti tak mau melepas.

Setelah itu, mulut suamiku bergerak segera menuju ke leherku. Dijilatinya sebentar area tersebut sambil tangannya bermain di bagian dadaku. Putingku sebelah kiri di pilin-pilin dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya mengelus-elus bagian bokongku yang masih terbalut celana dalam.

Sambil mendongakkan kepalaku ke atas, aku mendesah-desah "Yahh.. Bii.. teruushh.. Biiihh!!" desahku pelan menahan nikmat.

Jilatan suamiku beralih dari leher ke belahan buah dadaku dengan pelan hingga membuat bulu kudukku merinding. Satu hal yang membuatku menikmati percintaan suamiku selama ini adalah permainan lidahnya yang cukup membuatku keenakan.

“Ohhh... jilatin susu Umii Bi!!” ucapku tiba-tiba tak sadar.

Suamiku kaget dan langsung menghentikan aksinya, ”Tumben Umi” ucapnya keheranan karena selama ini aku tidak pernah berkata-kata vulgar seperti itu ketika bercinta. Anehnya, ada perasaan lega saat aku mengucapkan kata-kata tersebut.

“Udah ih!! lanjutin dong.. Umi udah pengen nih” ucapku dengan nada manja nan menggoda.

Suamikupun tersenyum sumringah sambil berkata, “Abi suka gaya Umi”

Dengan perlahan-lahan, suamiku menarik badanku untuk rebahan dibawahnya sambil dia berada diatas menindihku. Aku yang paham dengan maksudnya tersebut langsung membuka kakiku dan mengangkang siap menerima penetrasinya.

"Ooohhhh......" rasa geli sekaligus nikmat mulai menyeruak dalam dinding vaginaku manakala penis suamiku dengan pelan mulai memasukinya.

Suamiku ikut mengerang pelan, matanya terbeliak melihat penisnya pelan-pelan masuk ditelan vaginaku. Segera dengan satu kali gerakan saja, penis yang berukuran tak terlalu besar itupun telah masuk seluruhnya dalam lobang vaginaku.

“Ughhh.. mantaappp!!” erang Suamiku mendongakkan kepalanya.

Aku sendiri merasakan kenikmatan. Vaginaku juga terasa basah dan syaraf-syarafku memang terasa sensitif karena dilanda birahi. Namun entah kenapa, aku masih merasa ada sesuatu yang kurang. Suatu pencapaian yang harusnya bisa aku dapatkan dengan bercinta dengan suamiku.

“Aku goyang ya Mi!" erang suamiku dengan badan yang bergetar.

Segera setelahnya, suamikupun mulai menarik pelan pantatnya mundur. Kami berdua melenguh bersamaan, menikmati sensasi gesekan perpaduan alat kelamin masing-masing yang mendatangkan nikmat luar biasa.

Aku berinisiatif memegangang leher suamiku sambil menurunkan mukanya. Lalu tanpa aba-aba kami langsung berciuman saling mengulum dan bermain lidah penuh gairah.

Sengaja ku kalungkan kakiku ke pinggang suamiku sambil mengangkat sedikit pantatku untuk merasakan seluruh batang itu semakin amblas ke dalam vaginaku.

Walaupun kecil, penis milik suamiku masih terasa keras dan mendatangkan nikmat dalam vaginaku.

“Ooohhyahh... enakk Bi!!... yang kenceeeng atuh... oohhh” pintaku sambil mengerang-ngerang keenakan.

Tanpa sadar aku pun mengimbangi genjotan Suamiku dengan ikut menggoyangkan pantatku.
Suamiku pun bergerak cepat memaju-mundurkan penisnya menusuk-nusuk vaginaku.

Semakin lama gerakan dan pompaan suamiku terasa semakin kencang. Sementara mulutnya tidak henti-henti menciumi pipi, bibir dan buah dadaku secara bergantian.

Mendapat rangsangan tanpa henti seperti itu tiba-tiba saja membuat badanku terasa aneh. Sebab, kenikmatan-kenikmatan yang aku dapatkan dari genjotan suamiku itu, seolah merambat pada satu titik temu.

"Aaahhhh... Abiiiihhh!! Eenaakkkk Bihh.." racauku sangat tidak karuan.

Aku balik membalas ciuman suamiku, sementara pantatku kembali kuputar-putar mengimbangi gerakan penisnya yang tak seperti biasa mampu bertahan cukup lama.

“Ouugghh.. yah begituuhh Mii!! Goyang begituuhh" ceracau suamiku meluapkan kenikmatannya.

Selang tak berapa lama kemudian, suamiku tampak mulai mendengus-dengus semakin cepat. Tangannya sudah tak bergerilya lagi di tubuh melainkan mendekapku erat-erat seperti ingin meremukkan tulang-tulangku.

"Miihhh... Abiii.. mauu... keluarr sayang" bisiknya menahan nikmat.

Disitu aku merasa sangat kecewa, gairahku yang tadi menggebu-gebu itu serasa padam begitu saja. Kenikmatan yang seolah-olah ingin memuncak itupun, harus terpaksa berhenti di tengah jalan.

Padahal aku begitu penasaran, ingin mengetahui seperti apa rasanya jika rasa nikmat itu benar-benar memuncak dan membuncah keluar dari tubuhku. Pastilah begitu nikmat tiada tandingnya.

Akan tetapi aku tak bisa berkata apa-apa. Melihat suamiku yang hampir keluar tersebut, aku hanya bisa menggoyangkan pantatku membantunya.

Kubalas pelukannya dengan tak kalah erat sampai akhirnya tubuh suamiku tersebut bergetar dengan hebatnya.

"Ooooooogghhhhh... enaakkkkhhhh.." geram suamiku seperti seekor harimau yang terluka.

Berbarengan dengan itu, kurasakan sperma suami ku menembak begitu deras ke dalam lubang vaginaku. Suamiku memajukan pantatnya sekuat tenaga, sehingga batang kejantanannya benar-benar menancap sedalam-dalamnya di lubang senggamaku itu.

Aku pun dapat merasakan lubang vaginaku menjadi hangat oleh cairan sperma yang terasa memenuhi setiap rongga yang ada di dalamnya.

Untuk beberapa saat, Suamiku terdiam sambil tetap menindih tubuhku. Keringat kami masih bercucuran membasahi tubuh masing-masing. Setelahnya, suamiku berguling ke sampingku sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah.

"Abi bener-bener puas Mi!! Umi istri hebat yang tak ada duanya" puji suamiku bergelayut manja padaku.

Aku membalas senyumannya meski sedikit aku paksakan, "Dari dulu Umi juga sudah hebat bikin Abi puas terus" balasku bermaksud menyindirnya yang tak pernah memberikanku kepuasan balik.

"Hehehe. Iya Umi sayang.. Kamu bener-bener luar biasa" jawabnya tak peka.

Seperti biasa, definisi bersenggama bagiku dan suami hanyalah sampai dimana suamiku keluar menuntaskan hajatnya di dalam vaginaku. Tak ada yang namanya kepuasan timbal balik karena baik aku dan suamiku belum mengenal yang namanya orgasme pada perempuan.

Menurut aku dan suamiku, seks hanya diperuntukkan untuk suami saja, sedangkan seorang istri bertindak sebagai pemuas nafsu dan pelayan bagi suami-suami mereka.

Begitulah sekiranya saat dulu aku diajarkan sebelum kami menikah. Maka tak heran sampai sekarangpun aku tak pernah memprotes pada suamiku. Hanya saja, ada sedikit rasa kecewa yang membuat hatiku terasa kosong setiap kami selesai bercinta.

Dan rasa kosong itulah yang kembali mendorongku untuk merindukan sosok Mang Dedi si penjual sayur.

Aku melirik ke arah suamiku yang ternyata sudah terlelap begitu saja usai bercinta denganku. Aku menggeleng tak habis pikir. Tak percaya ketika dia meninggalkanku pergi tidur begitu saja setelah aku memberikannya kenikmatan.

Aku sedikit jengkel namun bisa memakluminya. Malah ada perasaan sedikit senang ketika tau kalau suamiku sudah terlelap dengan cepat.

Itu berarti aku bisa dengan bebas melakukan apa saja termasuk melanjutkan chatku dengan Mang Dedi yang tadi sempat teralihkan.

Kulihat pada layar smarphoneku ada pesan dari Mang Dedi yang belum aku baca 15 menit yang lalu.

"Maaf Mas aku telat bales. Tadi suamiku minta jatah. Hihihihi" tulisku berterus terang.

Selama tiga hari ini kami memang banyak menghabiskan percakapan kami dengan topik yang berbau hal-hal intim. Mang Dedi bahkan kadang tak segan menggodaku dengan mengirim foto-foto telanjang miliknya yang lagi-lagi memperlihatkan "Terong" besarnya kepadaku.

Tak berapa lama Mang Dedipun membalas, "Iya Gapapa Dek Liya.. tapi kok cuma 15 menit doang?" Tanya balik Mang Dedi.

"Itupun sudah rekor Mas" balasku lagi.

"Hah?? Sebelum-sebelumnya emang bertahan berapa menit?"

"Paling 5 sampai 8 menitan lah" tulisku sedikit menerka-nerka karena aku tak pernah juga menghitungnya berapa lama.

Mang Dedipun kembali membalas, "Waduh. Dek Liya ga puas dong berarti ?"

"Puas gimana maksudnya?? Tanyaku penasaran.

"Ya sampai muncrat gitu" balas Mang Dedi.

Aku semakin penasaran, "Emang wanita bisa muncrat juga Mas?" Tanyaku heran.

"Bisa dong sayang!! Ngewe itu kan bukan cuma buat laki-laki. Harus sampai keluar dan puas dua-duanya dong"

"Masa sih?" Tanyaku bingung.

"Mau coba??" Tawar Mang Dedi.

"Coba sama siapa??"

Tak lama Mang Dedi mengirimkan sebuah foto, "Sama inilah sayangkuu" tulisnya pada foto tersebut.

Sesuai dugaanku, Mang Dedi lagi-lagi tak segan mengirimkan foto penis miliknya yang terlihat sedang menegang dengan keras.

"Iiihhh.. kok tegang sih Mas??" Tanyaku.

"Iya dong. Udah siap dimasukin ke dalam memekmu Dek Liya" balasnya.

Badanku bergetar membaca pesan tersebut, "Astagfirullah Mas! Jangan ngomong jorok begitu" balasku padanya.

"Lah emang bener kok! Ini tegang karena ngebayangin masuk ke lubangmu yang sempit itu Dek Liya" jawabnya semakin frontal.

Darahku tiba-tiba berdesir hebat dan vaginaku terasa berdenyut. Kata-kata vulgar dan frontal Mang Dedi itu malah membuatku membayangkan bagaimana kalau seandainya penis besar miliknya itu benar-benar masuk ke dalam vaginaku.

Dan rupanya bukan aku saja yang membayangkan hal tersebut, "Kalau kontol ini masuk ke dalam memek Dek Liya, Mas bisa jamin Dek Liya pasti bakal mendesah keenakan sampai muncrat-muncrat" tulis Mang Dedi sekali lagi.

"Ihhh Mas bikin pengen aja" balasku yang sebenarnya bercanda.

Namun Mang Dedi tampak serius dengan ajakannya, "Kapan suamimu gak di rumah? Mas bakal mampir" balasnya padaku.

"Dih aku cuma becanda tau" jawabku berdebar-debar.

Tak pernah aku membayangkan bagaimana kalau misalnya aku berselingkuh hingga ke tahap ranjang dengan Mang Dedi. Tapi setelah dia berkata ingin mampir tersebut, mau tak mau akupun merasa panas dingin dibuatnya.

"Hahahha. Aku juga becanda atuh Dek Liya" tulis Mang Dedi membalas pesanku.

Ada sedikit rasa kecewa dalam hatiku ketika mengetahui kalau Mang Dedi cuma sebatas becanda saja. Padahal tadinya yang duluan bercanda adalah aku sendiri. Tapi justru aku sendirilah yang terbawa perasaan karenanya.

"Yasudah kalau becanda" balasku jutek.

"Iya becanda.. Ntar Mas juga bakal becanda ngentot kamu sambil berdiri. Toket kamu bakal Mas remas kuat-kuat dan bibir kamu Mas cium sampai basah" tulisnya panjang lebar.

"Apaan sih Mas" balasku yang sebenernya diam-diam penasaran dengan khalayan pria penjual sayur itu.

"Hehehe. Ga sampai disitu aja Dek Liya. Nanti Mas bakal ngecrot sepuasnya di memek kamu sampai kamu hamil anaknya Mas" balas Mang Dedi.

Jantungku berdegub-degub sangat kencang membayangkan betapa liarnya khayalan yang dimiliki Mang Dedi terhadapku. Aku bahkan tidak menyangka kalau diam-diam pria penjual sayur langgananku itu punya keinginan untuk menghamiliku.

"Emangnya Mas bisa bikin aku hamil apa?" Pancingku padanya.

"Ya jelas bisa dong Dek Liyaku. Tinggal kamunya aja yang mau apa enggak Mas bikin hamil" balasnya lagi.

Sambil terus betukar pesan mesum bersama Mang Dedi tersebut. Aku secara tidak sadar menggerakkan tanganku untuj mengelus-elus buah dadaku sendiri.

Gairahku naik dengan cepat dan hasratku jadi memuncak saat membayangkan bagaimana kalau khayalan-khayalan Mang Dedi terhadapku itu benar-benar terwujud nantinya.

Mataku terasa sayu dan merem melek merasakan nikmatnya usapan tanganku sendiri. Ditambah dengan dinginnya AC kamar yang semakin membuat putingku mencuat dengan keras.

"Kalau aku bilang mau gimana Mas??" Tanyaku semakin kehilangan akal sehat.

Darahku tak berhenti berdesir dan tubuhku merasa semakin bernafsu ketika aku malag memancing-mancing Mang Dedi untuk mengeluarkan lagi bermacam khayalannya terhadapku.

"Kalau kamu mau, biar Mas mampir ke rumahmu. Nanti kita ngentot sepuasnya" jawab Mang Dedi dengan kata frontalnya.

Akupun semakin terbakar oleh birahi yang tadi sempat tak dapat tuntas ditangan suamiku. Masih dalam keadaan penuh nafsu itu, kuturunkan tanganku ke arah selangkangan yang sudah basah oleh cairan dan lendirku sendiri.

Badanku meliuk bagaikan cacing yang kepanasan saat tanganku mulai beraksi di bawah sana. Rasanya pikiran dan badanku seperti punya kemauan mereka masing-masing sehingga aku seperti bergerak tanpa sadar.

"Mas. Aku mau lihat penis kamu dong" pintaku mulai berani pada Mang Dedi.

Tak lama Mang Dedipun membalas dengan mengirimkan foto penis miliknya sambil menuliskan kata-kata tak senonoh yang semakin menambah gairahku.

"Nih kontol gede spesial buat Dek Liya tersayang" tulisnya pada pesan tersebut.

Akupun semakin kelojotan tak karuan mana kala ujung jari telunjukku, ku arahkan ke pintu masuk liang kenikmatanku, kusorongkan sedikit demi sedikit masuk ke dalam hingga rasa nikmat itu memenuhi setiap syaraf-syarafku yang ada disana.

"Oohhh Mang Dediihh..." racauku membayangkan kalau saat ini justru Mang Dedilah yang sedang memainkan vaginaku.

Hingga tanpa sadar, racauan yang kukeluarkan tersebut ternyata cukup keras untuk membangunkan suamiku yang tertidur di sebelahku.

"Umi ngapain?" Tanyanya sambil membuka mata.

OH TIDAKK!!!!!

Bagian 6 : Terlanjur


Sore hari ketika semua pekerjaan rumahku telah selesai, aku memutuskan untuk beristirahat di teras rumah sambil bermain bersama anakku Tasha.

Langit sore terlihat mendung dengan gumpalan awan-awan gelap yang seperti siap menurunkan bebannya ke bumi. Pertanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan lebat.

Suasana itupun nampaknya selaras dengan suasana hatiku yang tengah mendung dan kelut karena sedari pagi aku tak sempat bertemu dengan Mang Dedi.

Aku bangun kesiangan gara-gara semalam aku kesulitan untuk tertidur. Itu semua karena suamiku yang hampir saja menangkap basah aku yang tengah asik bermain-main dengan tubuhku sendiri.

Bahkan sampai saat inipun, percakapanku semalam dengan suami masih saja berputar-putar jelas dalam benakku.

"Paha Umi gatel Bi! Makanya tadi Umi garuk" jawabku pada saat dia bertanya.

"Tapi kok Umi kayak nyebut nama Mang Dedi gitu deh?" Selidik suamiku.

Hampir saja jantungku copot saat itu juga, "Ah cuma perasaan Abi aja kali!! Lagian Umi ngapain nyebut-nyebut nama Mang Dedi segala??" Jawabku dengan mantap.

Beruntung, setelahnya Suamiku mengiyakan saja alasanku tersebut tanpa merasa curiga sedikitpun.

Namun ketika pagi hari saat semua gairah dan birahiku itu menghilang, aku jadi sedikit malu menghadapi suamiku karena telah berbohong secara terang-terangan di depannya.

Seharian aku melamun dan bertanya-tanya pada diriku sendiri. Kenapa aku bisa berubah secepat ini? Kenapa setalah semua hal buruk yang aku lakukan bersama Mang Dedi itu, tetap saja masih belum dapat memenuhi hasrat terpendam dalam diriku.

Aku masih saja menginginkan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang setidaknya dapat mengusir kekosongan dalam bilik hatiku seperti saat aku bercerita maupun bertukar pesan bersama Mang Dedi.

Sadar rasanya aku tidak bisa bermain-main, statusku sebagai seorang istri dan seorang Ibu saja, sudah cukup menjelaskan bahwa aku sudah tak dapat melangkah lebih jauh untuk melanggar batas itu.

Tapi apa daya, sekarang aku menyadari betapa pentingnya peran dan sosok Mang Dedi dalam mengisi kekosongan hatiku tersebut. Jadi sekali lagi, tak dapat aku pungkiri bahwa aku sudah mulai tertarik pada sosok penjual sayur itu.

"Kangen sama kamu Mas" ketikku pada keyboard smartphone yang ku genggam. Tapi dengan cepat aku menghapus kata-kata itu dan menggantinya dengan sebuah sapaan.

"Sore Mas" kirimku pada Mang Dedi.

Tak perlu menunggu lama, Mang Dedipun langsung membalas, "Sore juga Dek Liya"

"Mas lagi ngapain?" Tanyaku berbasa basi.

"Lagi nongkrong nih di warungnya Haji Naim" balasnya padaku.

"Yang deket Masjid bukan?"

"Iya Dek Liya" balasnya singkat.

Aku tersenyun sumringah, ternyata Mang Dedi kebetulan berada tak jauh dari rumahku. "Mas ngapain disana?" Tanyaku lagi.

"Mau bayar utang Dek Liya. Kemaren saya pinjam duit sama Pak Haji" terang Mang Dedi secara gamblang.

"Ohh gitu.. tapi Mas bawa jas hujan kan?" Balasku khawatir.

"Gak bawa sih Dek. Tadi niatnya cuma sebentar aja. Tapi Pak Haji nya malah ngajakin ngobrol"

"Yaudah kalau gitu Mas pulang sekarang aja. Nanti kehujanan" balasku lagi.

"Gak enak sama Pak Haji Dek!! Dek Liya gak punya jas hujan??" Tanya Mang Dedi tiba-tiba.

Aku teringat kalau suamiku biasanya punya jas hujan cadangan yang di letakkannya di bawah lemari sepatu. "Ada nih Mas" balasku setelah aku dengan cepat mengeceknya ke dalam.

"Yaudah nanti saya mampir ke rumah Dek Liya sebelum pulang" balasnya lagi.

Pucuk dicinta, ulampun tiba. Aku yang seharian tak bertemu dengan Mang Dedi itu akhirnya punya kesempatan untuk bertatap muka lagi.

Suasana hatiku seketika berubah menjadi senang dan bahagia.

Aku mengajak anakku Tasha untuk masuk ke dalam rumah. Sebentar lagi Mang Dedi akan mampir kesini dan aku lagi-lagi merasa punya keinginan untuk tampil cantik di depannya.

Karena itu, aku pun memutuskan untuk mengganti baju daster yang tengah kugunakan dengan pakaian gamis yang lebih bagus. Tak lupa juga, aku sedikit merias wajahku dengan berdandan natural serta memakai parfum.

Saat semua sudah selesai, aku kemudian mematut diriku didepan kaca untuk memastikan bahwa penampilanku sudah sempurna.

Aku tersenyum sumringah, Tampak dari pantulan kaca itu wajahku bersemu merah menantikan kedatangan Mang Dedi layaknya seorang remaja yang menunggu kekasihnya.

Tapi tak dipungkiri, ada rasa takut sekaligus berdebar saat membayangkan kalau Mang Dedi benar-benar datang berkunjung ke rumahku seorang diri.

Rentetan perbuatan "gila" yang pernah aku lakukan dengan Mang Dedipun kembali terputar-putar dalam benakku saat aku sadar kalau aku dan penjual sayur langgananku itu akan berdua untuk sementara waktu.

Sontak badanku jadi lemas dibarengi rasa panas dingin dibuatnya. Aku bertanya dalam hati, adakah kebenaran yang aku lakukan ketika dengan sadarnya aku mengundang pria lain untuk berkunjung ke rumah tanpa sepengetahuan suamiku.

Namun semuanya seakan terlambat untuk dibatalkan karena aku mendengar pintu depanku di ketuk oleh seseorang. Dan tentu saja itu adalah suara Mang Dedi.

"Sore Dek Liya" sapanya tersenyum saat aku membukakan pintu.

Aku membalas senyumnya, "Sore juga Mas" ucapku merasa senang. Rasa kangenku itu telah terobati.

"Anaknya kemana?" Tanya Mang Dedi celingak-celinguk melihat kebelakangku.

"Ada di kamar Mas. Mari masuk dulu!" Ajakku mempersilahkan.

Mang Dedipun dengan terkekeh kemudian masuk ke dalam rumahku yang tidak terlalu besar ini. Aku mengajaknya duduk diruang tamu dengan perasaan yang semakin berdebar-debar.

"Bentar ya Mas aku ambilin minum" ucapku beralasan untuk pergi menenangkan diri.

Rupayanya memang benar apa yang dikatakan oleh orang banyak, kenyataan akan selalu lebih menakutkan dari yang aku bayangkan.

Aku tadinya sempat berpikir bahwa aku tidak punya niatan lain saat mengundang Mang Dedi selain untuk meminjamkan jas hujan kepadanya.

Akan tetapi setelah sosoknya datang, aku malah dibuat sadar kalau apa yang aku lakukan ini benar-benar sebuah kesalahan besar. Terlebih ketika hubungan kami yang begitu dekat tersebut, bisa saja membuat hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di rumah ini.

"Aku telah mengundang serigala ke kandang kelinci." Ucapku mengutuk dalam hati.

Dengan pelan aku kemudian menyiapkan minuman berupa teh manis hangat untuk aku hidangkan sambil terus berusaha membenarkan degub jantungku. Aku menarik nafas dalam-dalam berulang kali sebelum akhirnya aku berjalan balik ke arah ruang tamu.

Ketika aku sampai, aku terkejut melihat Tasha anakku sudah berada dengan Mang Dedi disana, "Itu mah ayam om, bukan bebek" ucap Tasha berbicara lantang.

Mang Dedi melirik ke arahku sambil tersenyum, "Om kira itu bebek tadi" balasnya pada Tasha.

"Kalau bebek itu kakinya pendek Om. Kayak gini" balas Tasha nampak bersemangat.

Aku tersenyum menghampiri mereka berdua yang tampak tengah asik berbincang sambil menggambar gambar hewan di buku gambar kesukaan Tasha.

"Caca gak jadi tidur sayang?" Tanyaku meletakkan nampan.

Anakku itu menggeleng dengan manja, "Gak jadi Mi! Aku mau menggambar sama Om ini" ucapnya terlihat begitu fokus.

"Nah kalau yang ini namanya bebek Om" lanjut Tasha menunjukkan hasil gambarnya pada Mang Dedi.

Mang Dedipun tampak antusias mengimbangi Tasha yang masih berumur 5 tahun itu. "Ohhh kalau kakinya pendek berarti bebek ya" balasnya yang lagi-lagi tersenyum ke arahku.

Seketika rasa was-was yang ada dalam hatiku tadi menghilang setelah aku melihat kedekatan anakku dengan Mang Dedi. Aku tidak menyangka kalau Mang Dedi juga cukup pandai dengan anak-anak kecil.

"Diminum Mas" ucapku menawarkan minum yang telah aku siapkan.

Mang Dedi terlihat mengangguk sambil kemudian menyeruput cangkir yang berisi air teh tersebut. Namun dia masih saja fokus berbincang-bincang dengan anakku Tasha.

"Ini bebeknya punya anak Om. Anaknya banyak" ucap Tasha mendominasi percakapan.

Mang Dedi memangut-mangut melihat gambar yang dibuat oleh Tasha tersebut, "Kok anaknya banyak banget?" Tanya Mang Dedi.

"Iya. Biar temennya juga banyak" jawab Tasha tiba-tiba.

"Kalau Caca gimana? Banyak temennya juga gak?" Tanya Mang Dedi sekali lagi.

Tasha kemudian menggeleng, "Caca gak ada temennya" jawab putriku tersebut begitu polos.

"Loh? Kok gapunya temen?" Tanya Mang Dedi penasaran.

"Iyalah. Caca kan belum punya adek Om" Ucap Tasha dengan analogi lucunya.

Sontak tawa Mang Dedipun pecah mendengar jawaban polos anakku tersebut. "Minta dong dedeknya sama Umi" ucapnya melirikku.

"Udah aku minta Om. Tapi belum jadi-jadi" balas Tasha cemberut.

Akupun menjadi tak tega mendengar jawaban anakku tersebut dan langsung memeluknya, "Nanti Umi bilangin sama Abi" ucapku pelan.

"Tapi kan Abi kerja Mi" balas Tasha dengan polosnya.

Lalu tanpa kuduga, Mang Dedi ikut mendekat kepadaku sambil mengelus kepala Tasha, "Ntar Om yang bantuin deh" ucapnya dengan berani.

Aku menatap tajam pada Mang Dedi yang terkekeh senang dengan candaannya yang memang sudah kelewat itu. Tapi tampaknya kata-kata itu sudah cukup membuat Tasha terhibur dan kembali ceria.

"Om gambarin caca kambing dong!" Pinta Tasha kembali bersemangat.

"Mau kambingnya berapa??" Tanya Mang Dedi bersiap mengambil pensilnya.

Tasha berpikir sebentar memegang dagunya, "Mau empat aja Om" ucapnya mengacungkan jari.

"Kok empat?" Tanya Mang Dedi.

"Iya, biar ada mama kambing, anak kambing, adik kambing dan Om kambing" jelasnya.

Mang Dedi melihat ke arahku sebentar sebelum akhirnya bertanya kembali pada Tasha, "Papa kambingnya kemana?"

"Papa kambingnya kan harus kerja Om" balas Tasha dengan amat polosnya.

Aku terhenyak mendengar jawaban anakku tersebut. Selama ini dia tidak pernah mempermasalahkan Abinya yang selalu sibuk dengan pekerjaan.

Tapi ternyata, diam-diam anakku itu juga merasakan hal yang sama denganku. Semakin hari semakin kesepian karena terlalu sering di tinggal oleh Abinya.

"Om. Caca jadi ngantuk nih. Gambar Om jelek" ucap Tasha dengan gamblangnya mengomentari hasil karya Mang Dedi.

Aku berbalik tertawa meledek, "Iya nih. Umi kira Omnya mau gambar kambing. Kok malah jadi kebo gitu ya Ca" ucapku memanas-manasi.

"Ini kambingnya lagi hamil sayang. Makanya jadi gede" jawab Mang Dedi menjelaskan.

"Hamil itu gimana?" Tanya Tasha dengan polos.

"Hamil itu kalau mau punya Adek" balas Mang Dedi tak kalah polosnya.

Tasha begitu antusias ketika mendengar kata "Adek" tersebut, "Berarti kalau Tasha mau punya Adek, tunggu Umi hamil dulu Om?" Tanyanya lagi.

"Woiya dong sayang. Pinter banget kamu" ucap Mang Dedi mengelus kepala Tasha.

Sikap Mang Dedi tersebut mengingatkanku kepada suamiku yang dulu juga begitu lengket dan dekat dengan Tasha. Namun karena pekerjaan, waktu untuk berduaan dan bermain seperti ini benar-benar jadi berkurang.

Aku jadi sedikit bersyukur karena lagi-lagi ada sosok Mang Dedi yang bisa mengisi kekosongan itu. Walau memang hanya sebentar, tapi aku ikut merasa senang ketika Tasha dapat bermain dan menjalin hubungan dengan sosok "Ayah" sementaranya itu.

Tanpa disadari, Tasha akhirnya tertidur dalam pelukan Mang Dedi disaat hujan lebat juga ikut turun mengguyur bumi.

"Kamarnya dimana?" Tanya Mang Dedi padaku.

Aku menuntun menunjukkan jalan, "Sebelah sini Mas" Ucapku mempersilahkan Mang Dedi masuk ke dalam kamar pengantinku.

"Kamar kamu Dek?" Tanya Mang Dedi melihat sekitar.

Aku mengangguk, "Iya Mas" balasku singkat.

Kemudian Mang Dedi meletakkan Tasha dengan penuh kehati-hatian diatas ranjang. Dia begitu memastikan kalau posisi Tasha sudah pas dan bisa tidur dengan nyenyak sambil tak lupa memberi sebuah kecupan di kening anakku itu dengan lembut.

Hatiku merasa begitu hangat menyaksikan sisi lain dari Mang Dedi. Tak menyangka kalau sosok yang biasanya selalu bercanda hal-hal mesum itu juga dapat bersikap serius penuh dengan jiwa kebapak-bapakannya.

"Yuk" ajak Mang Dedi menarik tanganku keluar dari kamar.

Kami kembali berjalan ke ruang tamu sambil sedikit berbincang tentang kelucuan Tasha dan tingkah lakunya yang imut. Mang Dedi juga tak kalah senangnya mengetahui kalau anakku tersebut bisa dengan cepat akrab dengan dirinya.

Kami kemudian mengobrol panjang lebar sambil sesekali dibarengi dengan candaan dan gombalan. Suasanapun menjadi sudah cair karena Mang Dedi lagi-lagi menunjukkan keahliannya dalam menarik lawan jenis

"Jadi pengen punya anak" ungkap Mang Dedi tertawa.

Aku tau kemana arah dari becandanya itu, namun aku memilih untuk tidak terlalu meladeninya, "Cari istri Mas" balasku berdehem.

"Gak ada yang mau sama penjual sayur kayak saya. Apalagi udah tua begini" balasnya merendah.

"45 masih belum terlalu tua kali Mas" jawabku tidak setuju.

"Tetep saja Dek Liya. Lagian saya ini minoritas, susah kalau nyari pasangan. Ada yang pas, tapi ga seiman. Ada yang seiman, tapi gamau sama saya." Tawa Mang Dedi pecah.

"Ah Mas bisa aja merendahnya" ucapku meledek.

Mang Dedi masih saja tertawa, "Untung saya ketemu sama Dek Liya" ucapnya lagi.

"Kok gitu?" Tanyaku penasaran.

"Iyalah. Dek Liya orangnya baik. Ga pernah mandang rendah ke saya" jawabnya memujiku.

Aku mengulum lidahku tersenyum karenanya, "Gombal banget" balasku singkat.

Saat itu, ku mendapati kalau sesekali mata Mang Dedi melirik ke arah dadaku. Malu rasanya di tatap seperti itu oleh laki-laki lain selain suamiku. Namun kupilih membiarkannya saja karena sebetulnya kami sudah pernah melakukan hal yang lebih dari sekedar pandang memandang

"Emangnya Mas pengen punya istri yang kayak gimana?" Lanjutku bertanya.

Mang Dedi tampak diam sejenak sebelum akhirnya dia memberanikan diri menjawab, "Maaf kalau saya lancang, tapi saya pengen punya istri yang seperti Dek Liya. Wajahnya, sifatnya, badannya, suaranya. Semuanya saya pengen" ucapnya berterus terang.

Aku tertegun oleh jawaban Mang Dedi, rasa malu yang amat sangat tiba-tiba timbul dalam diriku.
Terasa wajahku tebal dan panas seketika itu juga. Akan tetapi tak dapat di pungkiri, perasaan bangga juga ikut menyeruak dalam hatiku.

Aku diam sejenak, menatap ke arah Mang Dedi yang juga menatapku dalam diam. Dalam tatapannya itu, tersirat dengan sangat jelas kalau dia benar-benar jujur menginginkan aku.

Tapi akalku sadar, "Ini salah Mas" ucapku menunduk saat dia beranjak mendekat padaku.

Aku seperti kehilangan tenaga dan lemas saat itu juga. Bukan karena aku kena guna-guna atau semacamnya. Tapi karena aku sadar kalau aku sudah tak dapat menghindar lagi.

Aku berniat menolak. Tak mau kembali mengkhianati suamiku lebih dari sebelumnya. Namun perasaanku untuk menghalangi semua ini terhalang oleh perasaan aneh yang sukar untuk aku jelaskan dengan kata-kata.

"Dek Liya" panggil Mang Dedi setengah berbisik menghampiriku.

Seolah terpanggil, aku mengangkat wajahku perlahan-lahan menghadapnya. Wajah kami berada begitu dekat hingga terlihat jelas keseriusan dalam raut Mang Dedi.

Mataku kian terasa berat saat wajah Mang Dedi semakin mendekat kearahku. Aku akhirnya memejamkan mata, menandakan bahwa aku telah merelakan segala tindakan yang ingin Mang Dedi lakukan kepada ku.

Saat itulah, Bibir kamipun kemudian bersatu saling menemukan dengan mesra. Meski dalam perasaan yang tak jelas dan keliru dengan tindakan ku itu, naluri dengan cepat mengambil alih tubuhku untuk melangkah maju.

"Masshhh..." ucapku dengan lirih.

Nafas ku semakin tidak teratur akibat perbuatan Mang Dedi. Aku membiarkan tubuhku itu di peluk dan diraba olehnya tanpa ada tindakan untuk memprotes sama sekali.

Aku hanya merasa kalau saat ini tubuhku seperti berada di awang-awang ketidakpercayaan karena merasa suka di dekap dengan lembut oleh laki-laki lain selain suamiku.

Tangan Mang Dedi juga tak melepaskan peluang untuk terus meraba-raba ke arah punggungku seperti sedang mencari sesuatu disana. Dalam keadaan bersandar itu, Tanganku pun tanpa disuruh memeluk leher Mang Dedi dengan kuatnya seakan tak mau lepas dari sana.

Agak lama juga rasanya kami berciuman penuh gairah saling melumat satu sama lain. Ditambah dengan suasana dingin dan hujan yang begitu lebat diluar sana, semakin membuatku bernafsu dan lupa diri dengan statusku.

"Drrrttttttttttt...." suara resleting gamisku terdengar berbunyi. Ternyata sedari tadi, benda itulah yang dicari oleh Mang Dedi dibagian punggungku.

Dengan penuh kehati-hatian, Mang Dedi terus mencium keningku, hidungku, pipiku, sebelum akhirnya dia berhenti sejenak.

"Mas buka ya sayang??" ijinnya berkata lembut padaku.

Aku terdiam sebentar, detak jantungku berdegup sangat kencang. Perasaanku tidak karuan. Antara takut dan menginginkannya.

Tapi aku mengangguk pelan. Dalam hati aku berkata kalau semua sudah terlanjur. Pilihannya hanya tinggal menikmati saja.

Mang Dedipun tersenyum. Dia menatapku dengan tatapan penuh nafsu hingga seluruh bulu kudukku terasa berdiri.

Seiring dengan tatapannya yang tajam itu, dia menarik sedikit demi sedikit pinggiran gamisku ke arah bawah melewati pundakku.

Aku memajamkan mata tak berani melihat bagaimana saat ini aku tengah dilucuti oleh pria yang bukan suamiku tersebut.

"Cantik sekali" Ucap Mang Dedi mengomentari.

Bagian 7 : Terima


Liya​


Suasana ruang tamu rumahku benar-benar terasa dingin menyapu setiap pori-pori yang ada di tubuhku. Diluar sana, hujan turun begitu lebat tak menampakkan tanda-tanda untuk berhenti.

Akan tetapi semuanya berbalik dengan keadaanku saat ini. Karena bukan kedingingan, aku justru malah merasa panas. Panas bercampur nafsu yang terus membara membakar birahi hewaniahku.

"Cantik sekali." komentar Mang Dedi berbisik di telingaku.

Meski masih terhalang oleh hijab yang melilit di kepala, aku dapat merasakan dengan kuat hembusan nafas panas Mang Dedi seperti meniup telinga dan bagian kudukku. Nada suaranya yang bergetar agak tertahan itu menandakan kalau dia sendiri tidak tenang dan sedang dalam perasaan yang menggebu.

"Jangan diliatin!!" protesku menutup dadaku dengan hijab lebar yang tengah ku pakai.

Aku sebenarnya malu, wajahku memanas atau mungkin saja memerah. Kali pertama membiarkan tubuhku terbuka di hadapan laki-laki lain selain suamiku . Tapi lagi-lagi aku terdiam, menggigit bibir bawahku sendiri untuk meredam rasa yang timbul akibat ditatap nanar oleh si penjual sayur itu.

“Kamu gak perlu malu Dek Liya. Tubuhmu indah, sayang kalau tak ada yang melihatnya” Kata Mang Dedi dengan lembut.

Mang Dedi kemudian mendekap tubuhku, bibirnya beraksi menciumui bagian belakang telingaku yang tertutup hijab itu sambil meniupkan nafasnya berkali-kali. Aku terdiam, badanku luruh bersandar pasrah diatas sofa yang kami duduki itu.

Sejenak Mang Dedi berhenti, "Biar adil, saya juga buka deh." ucapnya seolah ingin membujukku.

Mang Dedi seakan tau bahwa aku masih memiliki keragu-raguan yang membayang. Dia lalu berdiri, membuka kaos yang digunakannya hingga terlepas dari tubuhnya yang gempal itu. Aku seketika memalingkan wajahku dari sana, tak berani menatap tubuh laki-laki lain yang bertelanjang itu.

"Sudah adilkan?" Ucapnya terkekeh.

Aku kemudian mengangguk pelan. Mungkin ini yang dimaksud adil karena sekarang kami sama-sama bertelanjang dada. Bedanya, aku masih memakai BH dan hijab lebarku masih menutup sempurna bagian dadaku.

“Jangan malu-malu lagi dong kalau gitu!” Pinta Mang Dedi padaku.

Aku mengulum senyum, hatiku berbunga-bunga dengan cara Mang Dedi membujukku. Entah kenapa, rasanya aku seperti diperlakukan layaknya seorang gadis perawan yang baru saja mengenal apa itu cinta.

“Iya.. gak malu lagi” Jawabku lirih berdebar-debar.

"Yaudah sini cium aku coba" Goda Mang Dedi mendekatkan wajahnya padaku.

Aku menepuk dadanya, "Dasar gombal" balasku kemudian memegang kedua belah pipinya.

Tanpa ragu, aku memajukan bibir mungilku untuk menyentuh bibir kasarnya sekali lagi. Mulut kami bersatu dengan cepat, kembali berciuman penuh nafsu dengan saling melumat. Entah untuk keberapa kalinya juga aku berciuman dengan Mang Dedi.

Namun setiap kali bibir kami itu bersentuhan, rasa dan sensasi yang aku rasakan juga ikut berubah. Ditambah dengan tekstur bibirnya yang kasar dan tebal itu, membuatku suka mengulum bibirnya berkali-kali.

“Mmpppphh...” aku mendesah lirih.

Sedang kunikmati lidahnya yang menjelajah di mulutku, tahu-tahu telapak tangan Mang Dedi sudah beraksi menyusuri setiap lekuk pada tubuhku. Aku merinding saat kurasakan tangannya yang kasar itu bergerak pelan-pelan, mengusap sepanjang lenganku yang putih tanpa ditumbuhi bulu-bulu itu.

Kami terus berciuman, hanya desahan dan suara lirihku saja yang sesekali terdengar di sela-sela derasnya hujan yang sedang turun.

Perlahan-lahan gerakan dan usapan Mang Dedi tersebut bergerak semakin liar dengan menyusuri setiap inci tubuh atasku yang sudah terbuka itu.

Tangan kirinya meremas lembut bagian tepi punggungku hingga turun merambat ke daerah pinggang. Tak lupa bagian pantatku yang membulat itu di remas-remasnya sebentar penuh semangat sambil tangan satunya lagi menjalar mengusap perut rampingku.

“BH nya Mas buka ya Dek!” Ucap Mang Dedi berbisik menghentikan ciuman kami.

Belum sempat aku menjawab, tangan-tangan cekatan miliknya itu menyusup kebagian punggungku dan meraih pengait BH ku. Aku hanya diam, bingung tak tahu harus melakukan apa, menolak aku tak mau, tapi membantunya aku malu.

“Mas gak liat kok!” Rayu Mang Dedi melepas BH berwarna hitam yang tengah ku pakai itu.

Aku memejamkan mata, menarik ujung hijab lebarku ke bawah agar gumpalan daging kembarku tak sampai terlihat oleh Mang Dedi. Tapi Mang Dedi malah merengsek sedikit maju, hingga aku tersandar kembali ke sandaran sofa.

“Awwwhhhh!!!” pekikku kaget.

Kurasakan tangan kasar Mang Dedi menyelusup kebalik hijabku. Tangannya meraba pelan buah dadaku yang sudah tak memakai penutup itu, menyentuh putingnya dengan usapan-usapan halus dan sesekali meremasnya dengan lembut.

“Mashh.. Jangan dipeganngg” desahku mencoba setengah-setengah menahan tangannya.

Perasaanku menjadi campur aduk, telapak tangannya yang besar dengan mudah mencakup keseluruhan buah dadaku karena ukurannya yang memang pas-pasan. Bahkan dalam remasannya tersebut dapat kurasakan kalau putingku semakin mengeras dan menonjol akibat nafsu yang sudah memuncak.

Beberapa saat aku dan Mang Dedi saling berpagutan bibir sambil tangannya terus bergerak-gerak meremas dadaku. Sekuat tenaga aku berusaha menahan desahan agar tak keluar dari mulutku karena aku tak mau Mang Dedi menganggapku sebagai wanita gampangan yang mudah dirayu dan digoda.
Tapi meski sekuat tenaga aku mencoba menahan desahan dan desisanku sendiri, sedikit demi sedikit pula mulutku terbuka dengan sendirinya.

"Mendesahlah Dek Liya! Gak ada yang bakal mendengar kita" bisik Mang Dedi merayuku.

Dengan sudah tidak sabar lagi, Mang Dedi kemudian dengan sigapnya menyingkap hijab lebar yang sedari tadi menjadi penutup terakhir buah dadaku.

Aku cukup kaget merasakan angin dingin tiba-tiba saja menyapu kulit dan pori-pori dadaku yang sudah terpampang polos dihadapan Mang Dedi.

Namun tanpa mempedulikan keterkejutanku tersebut, Mang Dedi merundukkan wajahnya dan membuka mulutnya untuk menciumi puting payudaraku sebelah kanan secara tiba-tiba.

"Oouuggghhhhh.....sshhhhhhh" desihku terlepas kencang tak dapat aku tahan.

Badanku menggelinjang, kedua kakiku menegang dibagian betis. Sementara mataku merem melek menikmati sensasi yang aku rasakan. Rasa geli dan nikmat terpancar begitu hebat dari puting buah dadaku akibat permainan lidah Mang Dedi. Dia mencucupnya pelan seperti seorang bayi, mengulum dan menjilatinya dengan sapuan lidah yang begitu hangat dan basah.

Kuremas-remas rambut Mang Dedi. Kudekap kepalanya menekan dadaku, kumajukan badan atasku ke depan wajahnya yang terbenam hangat di gumpalan buah dadaku. Dibawah sana, telah kurasakan liang vaginaku basah dan licin karena mengeluarkan cairannya dengan banyak. Bukti bahwa aku sudah sepenuhnya jatuh dalam jurang syahwat yang tak berujung.

"Enak gak sayang??" Tanya Mang Dedi menggodaku.

Aku membalasnya dengan sebuah senyuman dan anggukan pelan, "Enakk Mas" ucapku berterus terang.

Pelan-pelan, rasa malu, rasa bersalah, dan perasaan-perasaan penolakan lainnya malai terkikis dari dalam batin dan pikiranku. Yang tinggal kini hanyalah aku seorang wanita normal yang belum pernah terpuaskan hasrat birahinya, dan seorang laki-laki perkasa yang sibuk mencumbuiku dengan penuh nafsunya.

Kami berdua telah lupa daratan, lupa dengan norma-norma dan aturan agama serta sama-sama hanyut dalam lautan birahi masing-masing.

"Ugghh... toketmu mantap sekali Dek Liya" Ucap Mang Dedi melanjutkan aksi mesumnya pada buah dadaku.

Dengan mulutnya, Mang Dedi mulai menggigit-gigit sekitar bulatan dadaku hingga meninggalkan sedikit jejak-jejak merah. Gigitannya juga sekali-sekali hinggap di puting payudaraku hingga membuatku semakin tak bisa mengontrol diri.

Kemudian tanpa memberi aba-aba sama sekali, Mang Dedi menurunkan jilatannya yang tadi bermain di buah dadaku menyusuri permukaan perutku yang ramping.

"Masshh.." kagetku memegang kepalanya.

Mang Dedi menengadah menatapku, "Kenapa sayang?" Tanya begitu polos.

"Mas mau ngapain?" Tanyaku keheranan.

Dia tertawa sebentar sebelum akhirnya mengecup permukaan perutku, "Mau bikin kamu enak sayang. Percaya sama Mas" balasnya singkat.

Tubuhku kemudian menggelinjang. Merasakan mulut Mang Dedi yang ditumbuhi kumis tipis disekitarnya itu mulai bergerak menciumi permukaan perutku. Napasnya yang mendengus-dengus hangat menerpa kulitku sehingga membuat badanku kehilangan tenaga.

Dalam ketidakberdayaanku itu, Mang Dedi semakin berani melancarkan aksinya dengan mulai mengelus-ngelus pahaku yang masih tertutup oleh gamis berbahan satin yang bertengger di bagian pinggangku.

Mang Dedi sengaja turun dari atas sofa dan bersimpuh di lantai memposisikan kepalanya tepat diatas perutku, sedangkan tangannya dengan leluasa terus menjamahi area paha dan pantatku berkali-kali.

“Ssshhhh... Masshhh geliii” Desahku penuh kenikmatan.

Pikiranku buntu, sementara kenikmatan kian menggerogoti tubuhku. Antara sadar dan tidak, kurasakan tangan Mang Dedi bergerak menarik baju gamis yang ada di pinggangku turun semakin ke bawah.

Mengerti dengan apa yang akan Mang Dedi lakukan, aku pun mulai meringis mempersiapkan diriku untuk ditelanjanginya sambil memejamkan mata. Dengan kedua tanganku, aku raih pinggiran sofa tempatku duduk dan meremasnya dengan kuat.

Sambil terus berciuman penuh gairah, perlahan-lahan aku mulai dapat merasakan baju gamisku terus turun melewati bagian pantatku. Aku dengan reflek mengangkat badanku sedikit agar mempermudah Mang Dedi melorotkan pakaian kebesaranku itu.

Hingga tak berapa lama kemudian, terpampanglah tubuh mulus putihku yang selama ini terus aku tutupi dibalik pakaianku yang serba tertutup. Aku tak menyangka kalau sekarang Mang Dedi sudah dapat melihat ketelanjanganku walau belum utuh sepenuhnya.

"Kamu cantik sekali Dek Liya. Sudah aku duga tubuhmu begitu mulus dan bersih seperti yang aku bayangkan selama ini" Ucap Mang Dedi memuji badanku.

Aku tersipu malu dibuatnya. Badanku terasa panas meski susana disekitarku begitu dingin karena hujan. Rasa dingin itu mulai terasa membelai kulit paha dan selangkanganku yang masih ditutupi oleh sebuah celana dalam tipis.

"Pahamu putih sekali Dek Liya. Boleh aku menciumnya?" Bisik Mang Dedi sekali lagi membuatku merasa dilambungkan.

Aku seketika itu juga mengangguk menyetujuinya. Sudah tak dapat lagi aku berpura-pura tidak menginginkan apa yang ingin dilakukan oleh Mang Dedi tersebut.

"Silahkan Mas! Lakukan semaumu.." balasku bergetar.

Mang Dedipun tersenyum mendengar jawabanku, dia mengecup bibirku sebentar sebelum akhirnya dia duduk bersimpuh dilantai menghadap ke arah aku.

Dengan kedua tangannya, dia mencoba membuka pahaku sedikit agar dapat mengangkang dan memperlihat selangkanganku dengan lebih jelas.

"Indah sekali" Ucapnya yang langsung membenamkan kepalanya di sela-sela selangkanganku.

Sensasi geli menjalar disekujur tubuhku ketika kumis tipis di wajah Mang Dedi menusuk-nusuk kulit pahaku dibagian dalam.

Sementara aku memutuskan untuk menutup kedua mataku, karena tidak kuasa melihat bagaimana tubuhku yang suci itu dicumbu oleh pria lain selain suamiku.

"Ooouggghhhh... Masssshh... geliiih..." desahku panjang.

Aku tak kuasa menahan rasa geli itu, aku menggeliatkan tubuhku sambil tetap memejamkan mata merasa jantungku pun semakin tak kuat menahan sensasi ini.

Perlahan-lahan, dapat ku rasakan ciuman Mang Dedi kini mulai mengarah semakin ke dalam mendekati bagian vaginaku. Endusan-endusan nafasnya pun semakin hangat menerpa selangkanganku.

"Tubuhmu wangi sekali Dek Liya" Ujar Mang Dedi sambil memberikan sebuah kecupannya tepat di bagian vaginaku.

"Oohhh... Masshh..... eemhhhh.."

Bibir dan mulutku berguman lirih. Di bawah sana Mang Dedi menciumi vaginaku dengan rakusnya meski masih tertutup oleh celana dalam yang aku gunakan. Rasa nikmat menjalari sekujur tubuhku, serta nafsuku semakin menggebu dibuatnya.

Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku merasakan kenikmatan dicium di daerah selangkanganku sendiri. Selama ini tak pernah suamiku memperlakukanku dengan lugas seperti ini sehingga tak dapat lagi kutahan nafsuku.

Akan tetapi saat aku sudah semakin terbuai oleh nafsuku tersebut, Mang Dedi tiba-tiba menghentikan gerakan merangsangnya dan berdiri dihadapanku secara tiba-tiba.

Nampak napasnya juga ikut memburu saat kulihat perutnya yang buncit itu naik turun dengan begitu cepat.

“Dek Liya..” panggil Mang Dedi setengah berbisik.

Dia meraih daguku dengan sebelah tangan dan mengangkatnya, akupun menoleh sambil mendongak ke arah Mang Dedi dengan mulut yang terngaga.

“CUPPP!!” kecupannya mendarat di bibirku.

Dalam keadaan setengaj bernafsu itu, Mang Dedi kemudian membimbing tanganku untuk menyentuh penisnya dibalik celana pendek yang di pakainya. Aku berpura-pura menahan tanganku, namun Mang Dedi menariknya dengan kuat hingga telapak tanganku akhirnya merasai batang penisnya yang ternyata sudah mengeras dan menegang.

“Mmppphhh...” suaraku tertahan.

Mang Dedi meremaskan jariku di penisnya, meskipun masih terbungkus oleh celana, aku dengan mudah dapat menggenggamnya karena ukuran penisnya yang sangat besar dan terjiplak menonjol keluar.

Nafsuku bangkit meletup-letup membayangkan betapa sebentar lagi aku akan merasakan benda sebesar ini bersarang dalam vaginaku. Ingin rasanya saat ini aku membukai celana Mang Dedi sampai dia telanjang dan merasakan kehangatan batang penisnya secepat mungkin.

Tapi aku berusaha menahan diri karena akupun tak berani bersikap lepas di depan penjual sayur langgananku itu. Namun bak terkena hipnotis, aku masih saja merabai penis Mang Dedi tersebut tanpa menjauhkan tanganku.

“Sudah tegang!” Ucapku mengelus-eluskan tanganku pada penis Mang Dedi sampai dia mengerang pelan.

“Tegang banget Dek Liya!” ucapnya terkekeh meremas buah dadaku.

Liang vaginaku terasa berkedut-kedut terangsang seperti terpompa untuk mengeluarkan cairannya. Bibir dan mulutku bergumam lirih tak berhenti saat kami berdua saling mengelus dan merabai bagian yang sangat sensitif untuk kami. Mang Dedi pada buah dada dan vaginaku, sementara aku pada penisnya yang menegang dengan keras.

“Mau liat gak Dek?” bisik Mang Dedi nakal padaku. Dia lagi-lagi menyempatkan menyium bibirku dengan hangat.

Aku hanya diam terpana, bahkan tak kuasa mengangguk dengan pelan menginginkannya. Mang Dedi lalu bangkit berdiri lagi, melepaskan celana pendek lusuhnya dengan gerakan yang cepat namun masih terasa pelan dalam mataku.

Ku tatap nanar gerakan tangan Mang Dedi yang membuka celananya turun satu persatu tersebut. Dengan perasaan yang berdebar dan menunggu, aku akhirnya diperlihatkan dengan batang penis Mang Dedi yang selama ini hanya bisa ku saksikan lewat foto yang dikirimkannya.

“Besar sekali!!” teriakku girang dalam hati.

Itu pertama kalinya aku melihat penis laki-laki lain selain suamiku. Perbedaannya sungguh terlihat nyata bukan pada aspek ukuran besarnya saja. Namun juga bentuknya yang sedikit aneh dan lucu. Batangnya sedikit membengkok dan ujung kepalanya tersembunyi dibalik sebuah kulit yang terlihat seperti sebuah kulup.

“Kenapa??” tanya Mang Dedi terheran melihat ekspresiku.

Aku menggeleng, “Gapapa” balasku mengedarkan pandangan.

“Lebih gede dari punya suamimu ya pasti..” ucap Mang Dedi terkekeh melihatku reaksiku.

Dia membimbing tanganku untuk menggenggam penisnya lagi. Kugenggam penis itu sebentar. Terasa hangat, kenyal dan kencang. Urat-uratnya bertonjolan keluar serta ada kedutan-kedutan mengalir didalamnya.

“Jauh lebih besar” Ucapku jujur begitu saja.

Darahku jadi berdesir tiba-tiba dan jantungku berdebar-debar setelah aku mengucapkan kata yang secara langsung mengakui perbedaan antara suamiku dengan Mang Dedi itu.

"Dicobain dong sayang!" Bisik Mang Dedi mengelus kepalaku.

Aku menatap heran tak mengerti maksudnya, "Apaan Mas?" Tanyaku.

"Diemut..." bisiknya.

"Mas pengen diemut sama kamu" bisiknya lagi.

Darahku berdesir mendengar permintaannya yang sungguh sangat cabul itu. Aku tau kalau diluar sana ada wanita yang sengaja mengulum alat kemaluan laki-laki untuk menambah kepuasan dalam bercinta.

Bahkan dulu suamiku juga pernah memintaku melakukannya. Namun aku selalu menolak karena alasan tidak suka dan jijik.

"Gamau ah.. Jijik Mas!" Protesku menjauhkan tangan.

Namun dengan cepat Mang Dedi menahanku, "Mau dong Dek. Tadi udah aku cuci sebelum mampir kesini" ucapnya mengelus-ngelus kepalaku.

Dalam keadaan ragu itu, Mang Dedi mencoba menciumku seakan sedang membujukku untuk menuruti keinginannya. Bibirku di pagut dengan begitu liar dan nakal sampai lidahnya menyeruak masuk ke dalam rongga mulutku.

Tubuhku melemas rileks, yang ada malah bibirku membalas pagutan Mang Dedi dengan hangat dan lembut. Aku mengulum juluran lidahnya dan menjilat-jilat dengan lidahku. Disaat gantian lidahku yang masuk ke mulut Mang Dedi, dia tidak kalah kuatnya menghisap.

Perasaanku jadi terlambungkan lagi. Serasa melayang-layang di awan akibat cumbuan penuh nafsu Mang Dedi sementara tangannya juga ikut meremas dan memainkan payudaraku.

Hebatnya lagi, tanganku yang sedang menggenggam penis besar Mang Dedi bergerak mengikuti naluriku sendiri untuk mengocok dan mengurutnya pelan-pelan.

Sehingga kami berdua sama-sama mendesah lirih di sela-sela ciuman kami tersebut.

"Mas, kamu udah sering begini sama wanita lain ya?" Ucapku spontan tiba-tiba terbawa perasaan.

Mang Dedi menatap heran padaku, "Kenapa sayang? Mas gak sering kok" Jawabnya yang entah sebuah kejujuran atau bukan.

"Gapapa Mas... Mas kayak berpengalaman banget" balasku tersenyum menunjukkan gigi. Terus terang aku cukup senang dengan jawaban yang diberikan oleh Mang Dedi tersebut.

"Kamu cemburu kalau aku sering melakukannya dengan wanita lain Dek Liya??" Bisik Mang Dedi memeluk tubuhku dan merapatkan badannya ke sofa.

Aku menggeleng, "Engga tuh" Ucapku mengecup bibirnya.

Mang Dedi kemudian membalas ciumanku tersebut dengan hangat sambil kemudian mendorong tubuhku jatuh keatas sofa.

"Coba kamu bilang lagi kayak gitu setelah merasakan ini" ucap Mang Dedi yang tiba-tiba menarik celana dalamku.

Dengan gerakan yang cukup cepat, aku merasakan Mang Dedi mulai menurunkan kain penutup selangkanganku yang berwarna putih itu dari tempatnya.

Sehingga akhirnya akupun resmi bertelanjang penuh di depan pria penjual sayur langgananku itu. Satu-satunya benda yang menjadi penutup badanku hanyalah hijab lebarku yang masih terpasang utuh di kepala.

"Aku masukin sekarang ya sayang" Ucap Mang Dedi meminta izin padaku.

Aku mengangguk pelan menyetujuinya. Karena sedari tadi liang vaginaku sudah berdenyut-denyut menantikan persetubuhan diantara kami.

Maka ketika Mang Dedi membuka pahaku dalam posisi telentang, aku tak menolak. Justru sengaja kubuka lebih lebar agar Mang Dedi leluasa.

Dia mengusap-usap ujung penisnya di mulut vaginaku yang sudah basah oleh cairan pelumas alami yang keluar dari liangnya. Rasa hatiku sudah tak karuan menunggu proses masuknya penis besar yang sedari tadi sudah membuatku kelimpungan.

"Aku sayang sama kamu Mas" Ucapku memejamkan mata mengungkapkan perasaan yang sudah ikut menggebu di dada.

Mang Dedi lalu tersenyum memasukkan ujung penisnya pada liang vaginaku, "Aku juga sayang kamu Dek Liya" balasnya dengan penuh kepastian.

Kurasakan seluruh beban dalam pikiran dan dadaku terangkat seiring masuknya penis Mang Dedi ke dalam liang vaginaku sedikit demi sedikit. Bibirku merintih lirih merasakan bahwa vaginaku terlalu kecil untuk menerima penisnya yang begitu besar.

"Pe--pelan-pelann.. Masshh" bisikku sedikit menahan tubuhnya.

Mang Dedi tersenyum, "Memekmu sempit luar biasa Dek Liya" ucapnya ikut mendesah.

Mang Dedi masih bergerak menekan pinggul dan penisnya hingga kurasakan seluruh rongga dalam vaginaku penuh sesak. Ukuran yang tidak main-main itu membuat dinding vaginaku terasa perih dan ngilu secara bersamaan.

Aku mengejangkan pinggangku antara rasa nikmat dan kesakitan, "Gakk.. muuatttthh... Masss....." lirihku merasa tak siap.

Mang Dedi kemudian mengecup keningku, "Sedikit lagi" bisiknya pada telingaku.

Mang Dedi memagut bibirku lagi. Kubalas pagutan bibirnya itu dengan lebih hangat dan penuh perasaan. Kami lalu berpelukan dengan posisi Mang Dedi yang sedikit menindihku memasukkan penisnya dengan perlahan-lahan.

Persentuhan kulit dan kelekatan badan kami itupun semakin terasa menimbulkan sensasi enak dan membuatku berangsur-angsur merasa nyaman.

"UMMI! UMI NGAPAIN!!???"

Bagian 8 : Terselesaikan


Liya​


"UMMI! UMI NGAPAIN!!???" Ucap putriku Tasha.

Aku dan Mang Dedi terlonjak, sama-sama kaget mendengar suara Tasha yang kencang memergoki kami yang baru saja memulai persetubuhan terlarang ini.

Aku dengan sekuat tenaga mendorong tubuh Mang Dedi dari atasku sehingga tusukan penisnya terlepas dari dalam vaginaku begitu saja.

"Ca--caca kok udah bangun?" Tanyaku bereaksi duluan mengambil baju gamisku yang berserakan di lantai.

Sungguh aku tergagap dan gemetar meski hanya dipergoki oleh anakku sendiri saat itu.

"Caca pengen pipis Umi" ucap Tasha mengusap matanya.

Dengan cepat aku kemudian menutupi tubuhku dengan baju gamis sambil merapikan hijabku yang tampak tak beraturan. Aku juga mengambil celana Mang Dedi dan menutup selangkangannya yang terbuka begitu saja di depan anakku.

"Yasudah.. kamu mau Umi anterin ke kamar mandi atau mau sendiri??" ucapku berusaha setenang mungkin.

"Mau dianterin Umi" Balas Tasha singkat.

Aku kemudian melirik Mang Dedi untuk memastikan dia tidak keberatan, "Anterin aja Dek" ucapnya tersenyum mempersilahkan.

Aku kemudian berencana memakai baju gamisku sebelum di tahan oleh Mang Dedi, "Gausah dipake bajunya" Ucap Mang Dedi mengelus pantatku.

Wajahku jadi memerah dan panas merasa sangat malu dibuatnya, namun aku tetap menuruti keinginan Mang Dedi entah karena alasan apa.

"Aku tinggal sebentar ya Mas!" Ucapku meminta ijin dan bangkit dari duduk.

Tapi kemudian Tasha bertanya, "Umi sama om kok buka baju??" Lanjutnya dengan polos.

Aku kebingungan, kualihkan pandanganku ke Mang Dedi dan meminta dia menjelaskan pada Tasha karena aku bingung menjelaskan tentang apa yang tengah kami lakukan.

Mang Dedi tersenyum, "Umi sama Om mau mandi sayang" balasnya dengan santai.

Namun bukannya puas dengan jawaban itu, Tasha malah kembali bertanya, "Kok Om mandi di rumah Caca?" Tanyanya lagi.

"Iya. Om mau mandi rumah Om tadi, tapi lagi hujan ga bisa pulang" Balas Mang Dedi menunjuk kearah jendela.

Tasha kemudian melihat keluar sebentar sebelum akhirnya dia mengangguk mengerti, "Yaudah, Om mandi di rumah Caca aja. Sini ikut!" Ajaknya pada Mang Dedi.

Mang Dedi lalu menggeleng, "Caca sama Umi duluan aja" jawab Mang Dedi menolak.

Aku kemudian menghela nafas lega melihat putriku tampak memang belum mengerti dengan apa yang tengah Uminya perbuat dengan laki-laki lain selain Abinya itu.

Lalu dengan pelan-pelan aku beranjak mengantar anakku tersebut ke kamar mandi sambil berusaha menenangkan jantungku yang berdegub-degub dengan kencang.

"Umi. Caca suka sama Om itu" ucap Tasha tiba-tiba padaku.

Aku tersenyum, "Suka kenapa sayang?" Tanyaku padanya.

"Omnya mau bikinin adek buat Caca" jawab Tasha bersemangat.

"Oh ya?? Emang Omnya bilang begitu??" Tanyaku lagi.

Tasha lalu menangguk, "Iya.. katanya Om kesini mau bantuin Umi bikinin adek buat Caca" jawabnya polos.

"Ah masa sih" jawabku tak percaya.

"Kaget ya kamu?" Ucap Mang Dedi terkekeh datang di balik pintu memakai celana pendeknya tanpa baju.

Aku mendengus kesal, "Mas bilang sembarangan sama Caca" balasku mencubit tangannya dengan gemas.

"Beneran kok" balasnya cuek.

"Tapi kan itu gak bener Mas!!" Balasku menggerutu.

"Gak bener tapi kamu menikmatinya bukan??" Rayu Mang Dedi sekali lagi.

"Siapa bilang?" Ucapku berbohong membelakanginya.

Tapi kemudian Mang Dedi masuk ke kamar mandi dan mengalungkan tangannya di pinggangku, "Aku yang bilang" ucap Mang Dedi memelukku dari belakang.

"Mas ngapain sih! Ada Tasha!" Ucapku memprotes pelukannya takut dilihat anakku.

Dan benar saja, Tasha kemudian bertanya. "Om kok peluk Umi aku sih?" Tanya heran.

"Karena Om sayang sama Umi kamu" balas Mang Dedi dengan sangat santainya.

Seketika itu aku tersenyum, Ada perasaan senang hati yang juga bercampur nafsu birahi setiap kali Mang Dedi memperlakukanku dengan romantis dan penuh kasih sayang seperti ini.

Dia terlihat selalu sabar dan bisa memanfaatkan momen sehingga aku tetap terjebak dalam buain kata dan tingkah lakunya itu. Jauh berbeda dengan sifat suamiku yang selalu tergesa-gesa dan terburu-buru.

"Ah.. Mas banyak gombalnya" balasku mengalihkan kata-kata.

Dari belakang Mang Dedi berbisik di telingaku, "Kamu ga sayang sama aku?" Tanyanya menggoda.

"Engga.. aku sayang sama suamiku" balasku tidak sadar malah membawa-bawa suamiku di depannya.

Namun tampaknya Mang Dedi tak mempermasalahkan, "Oh iya aku lupa" balasnya sambil terkekeh.

"Tapi gapapa deh sayangnya sama suami, asalkan bercintanya sama aku" lanjutnya berkata nakal.

Entah bagaimana, aku justru malah merasa setuju dengan apa yang dikatakan oleh Mang Dedi tersebut. Mungkin ini sebuah pembenaran saja, namun kata "tidak apa-apa aku bercinta dengan Mang Dedi asalkan hatiku masih menjadi milik suamiku" tersebut membuatku semakin terangsang saja.

"Om.. Caca mau tidur lagi nih" Ucap Tasha menghentikan momen kami sejenak.

"Yaudah Caca tidur gih. Om mau mandi dulu sama Umi" ucap Mang Dedi mengelus pelan kepala Tasha.

Tapi keingintahuan anakku itu tidak berhenti sampai disitu saja, "Kok mandinya barengan?" Tanyanya lagi.

"Iya. Biar mandinya bersih. Kamu kalau mandi pasti bareng Umi juga kan??" Ucap Mang Dedi mengakali Tasha.

Beruntung setelah itu, Tasha tak lagi mengeluarkan pertanyaan dari mulut kecilnya dan memilih pamit meninggalkan kami.

Mang Dedi tertawa melihat gadis kecilku itu dengan santainya melenggang menuju kamar tanpa sedikitpun curiga pada kami.

"Pinter banget kayak Uminya" ucap Mang Dedi mencolek daguku.

"Iyalah. Kan anak aku Mas" balasku berbangga diri.

"Tapi kasian dia gak punya temen main. Kita buatin adik buat Tasha gimana?" Goda Mang Dedi mencium pipiku.

Aku kemudian tertawa, "Bilang aja Mas pengen begituan" jawabku meledeknya.

"Biar sekali dayung, dua tiga pulau bisa terlampaui Dek Liya" balasnya berpepatah.

Aku kembali dibuat tertawa oleh lelucon khasnya tersebut. Kini rasanya aku benar-benar sudah nyaman berada dekat dengan Mang Dedi sehingga tak ada rasa canggung lagi untuk membalas candaannya.

"Kalau gitu kita pindah ke kamar aja Mas!" Ajakku dengan manja.

"Kamar yang mana?" Tanya Mang Dedi heran.

Aku kemudian menunjuk kamar belakang yang sebenarnya di peruntukkan untuk Tasha. Tapi karena anakku masih kecil, jadi dia masih tidur bersamaku dan suami sehingga kamar belakang itu masih kosong.

"Yang sebelah sana!" Ucapku menunjuk.

"Yaudah kalau gitu kamu pegangan yang kuat ya!!" Ucapnya tiba-tiba.

"Mas mau ngapain?" Tanyaku tidak begitu mengerti.

Tapi lalu aku terpekik kaget. Mang Dedi dengan cekatan membopong tubuhku bangkit. "Mas!" Ucapku refleks merangkul lehernya karena takut terjatuh.

Tubuhku terangkat mantap dalam bopongan tangan Mang Dedi yang melingkar dipunggung dan belakang lututku. Dengan santai Mang Dedi kemudian melangkah berjalan keluar kamar mabdi⁷ sambil menggendongku dengan gaya "Bridal Style" itu.

"Hati-hati Mas" ucapku yang sebenarnya merasa senang dan malu sekaligus.

Aku memejamkan mata, tubuh kami masih sama-sama dalam keadaan telanjang, namun Mang Dedi dengan cueknya berjalan membopongku dengan santai menuju kamar.

Saat-saat seperti inilah aku mulai merasa kalau aku memang benar-benar jatuh hati dengan perlakuan Mang Dedi sebagai laki-laki. Bahkan selama 6 tahun aku menikah dengan suamiku, tak sekalipun dia menggendongku dengan mesra seperti ini.

Jadi pantas saja setiap perlakuan mesra Mang Dedi padaku, selalu sukses membuat hatiku terasa seperti berbunga-bunga dan berdegub kencang.

"Sampai sayang" Ucap Mang Dedi mengecup bibirku.

Dia lalu dengan hati-hati menurunkanku dari bopongannya ke kasur kecil yang ada di dalam kamar tersebut sebelum akhirnya dia ikut memelukku jatuh.

Mang Dedi mengecup keningku, menciumi kulit mataku yang terpejam, juga pipi dan daguku, "Kamu milikku hari ini Dek Liya" Ucapnya membelai badanku.

Dalam pelukannya, gumpalan payudaraku mengganjal dan menempel di dadanya. Pun begitu dengan penis Mang Dedi yang juga mengganjal keras di perutku.

"Untuk hari ini doang?" tanyaku cemberut.

Mang Dedi lalu merenggangkan pelukannya, "Kalau bisa, aku mau selamanya" jawab Mang Dedi padaku. Ada nada keyakinan dan kesungguhan hati dalam bicaranya, juga tatapan mata dan mimik wajahnya yang begitu serius mengucap kata-kata itu.

"Tapi aku sudah jadi milik orang Mas" ucapku manarik diri.

"Iya aku tau sayang. Aku yang hina ini juga tak berhak mendapatkan kamu seutuhnya. Tapi izinkan aku memilikimu untuk sebentar saja, bolehkan??" Ucap Mang Dedi tersenyum.

Aku senang mendengarnya dan mengangguk, "Boleh Mas! Miliki aku hari ini!" Ucapku merapatkan badan pada Mang Dedi.

Setelah itu Mang Dedi meraih tanganku dan mengecupnya. Kami berbaring berpelukan sambil bercumbu dan berciuman hangat. Bahkan lebih hangat dan lebih menggebu dari sebelumnya.

"Mas.. Aku mau ini!!" ucapku menghentikan ciuman kami dan memegang penisnya.

Mang Dedi terheran, "Kamu mau ngapain sayang?" tanyanya padaku.

"Mau nyoba ngemut." balasku memberanikan diri.

Darahku berdesir mengucapkannya. Aku memang punya rasa penasaran ingin mengetahui bagaimana rasanya mengulum dan mencium kemaluan lelaki.

Tapi tadinya aku merasa jijik karena aku tak pernah melakukannya sebelum ini. Dan sekarang tiba-tiba saja rasa penasaranku muncul dan niat itu terlintas dalam benakku begitu saja.

"Kamu yakin Dek?" Tanya Mang Dedi ragu.

Aku lalu mengangguk dan segera beringsut ke bawah badan Mang Dedi yang terbaring di sampingku. Sejenak ku lepaskan celana pendek Mang Dedi perlahan-lahan sambil jantungku berdegub-degub dan pandanganku seperti dalam gerakan slow motion.

Setelah terbuka, penis besar Mang Dedi tampak mencuat keatas dan menegang. Ku remaskan tanganku pada batang penisnya yang tampak belum berdiri secara penuh sambil mempersiapkan jantungku yang berdegub dengan sangat kencang.

"Besar sekali." batinku dalam hati saat kurasakan penis besar itu semakin menegang di telapak tangan dan jariku.

Memegangnya saja sudah membuat vaginaku berdenyut dan puting susuku terasa gatal. Apalagi setelah baunya yang khas dengan aroma kelelakian itu menusuk ke dalam hidungku seiring aku mendekatkan wajahku ke selangkangan Mang Dedi.

"Dicium aja dulu" bisik Mang Dedi mengelus kepalaku yang terbungkus hijab.

Posisiku sekarang sudah diatas tubuh Mang Dedi yang masih terbaring di kasur, sedangkan kepalaku sedikit merunduk dibagian selangkangannya.

Aku menarik nafas sebentar, kumajukan mulutku mendekati ujung penis Mang Dedi yang tampak jauh berbeda dengan milik suamiku. Ujung penis Mang Dedi tampak tak memiliki kepala dan lucu seperti memakai sebuah kulup.

"CUPPP!" Ciuman pertama ku daratkan. Terasa hangat dan kenyal serta baunya yang begitu khas.

Kugenggam penis perkasa itu dan ku arahkan lagi pada mulutku. Tapi kali ini aku menjulurkan lidahku dan menjilat kulit yang ada di kepala penis itu. Aku kemudian mengikuti instingku dengan menjilat batang penis Mang Dedi dari atas ke bawah seperti sedang memakan ice cream.

"Oougghh.." Mang Dedi mendesah kegelian dibuatnya.

Aku semakin bersemangat mendengar desahannya tersebut. Kubuka mulutku sedikit sambil ku masukkan ujung penisnya. Ku jilat-jilat dan ku cium-ciumnya sebentar bagian atasnya sampai aku benar-benar terbiasa.

Lalu Aku masukkan penisnya ke dalam mulutku dengan pelan. Tapu rasanya cukup susah karena mulutku yang tipis dan mungil itu memang tak bisa menampung penis sebesar itu masuk ke dalam mulutku.

"Buka kulupnya sayang!" Pinta Mang Dedi padaku.

Aku bingung menatap ke arahnya, "Kulup apa Mas?" Tanyaku bingung.

Mang Dedi kemudian mengarahkan tanganku pada pangkal penisnya, "Tarik ke bawah coba" pintanya lagi.

Saat kuturuti kemauannya tersebut, kepala penis Mang Dedi tiba-tiba mencuat keluar dari balik kulup kulitnya. Kepalanya yang berbentuk jamur berwarna pink seperti milik suamiku ternyata tersembunyi dibalik kulup itu.

"Kok lucu sih Mas!" Ucapku tak dapat menahan rasa penasaran.

Saat kunaikkan kocokan tangaku, kepala penis Mang Dedi menghilang dibalik kulupnya. Sedangkan saat aku tarik kebawah, kepala itu kembali menyembul dengan begitu gagah.

Mang Dedi terkekeh sebentar, "Ini kontol orang yang gak sunat Dek! Dijamin rasanya bakalan lebih enak dari yang disunat" ucap Mang Dedi berbangga diri.

Aku kemudian teringat kalau Mang Dedi adalah seorang non muslim. Jadi wajar saja kalau dia belum disunat seperti suamiku.

"Ayo diemut lagi sayang!" Pinta Mang Dedi sedikit tak sabar mengangkat pinggulnya ke atas dan kedua tangannya menekan kepalaku ke bawah.

Perlahan-lahan, penis itupun masuk menyusup ke dalam rongga mulutku dengan agak mudah karena kepalanya yang lonjong dan licin.

Aku sedikit gelagapan, penis besar itu hanya mampu masuk sepertiganya saja dan terlalu penuh di mulutku. Bahkan aku reflek sekuat tenaga menahan agar gigiku tak sampai menyentuh batangnya.

"Oougghh... mulutmu hangat Dek Liya" racau Mang Dedi memegangi kepalaku.

Dorongan nafsu dan naluri birahiku kemudian menuntunku untuk bergerak secara sendirinya. Aku mulai menghisap batang penis Mang Dedi yang berada dalam mulutku sambil tanganku memegangi pangkal batang itu agar kepala jamurnya tidak bersembunyi.

"Ohh iyaahh... begitu sayangg" ucap Mang Dedi tak behenti-henti meracau.

Penis Mang Dedipun semakin lama semakin terasa membesar hingga membuat mulutku penuh sesak dan nafasku tersengal-sengal. Aku pun tak mau kalah mulai lincah mengocoknya dengan menaik-turunkan mulutku mengulum batang penis itu sampai mengkilat oleh air liurku sendiri.

Tadinya aku berpikir kalau mengulum dan menjilati alat kemaluan tersebut adalah sesuatu hal yang menjijikkan. Namun setelah aku merasakannya sendiri, aku jadi tau kalau ada sebuah sensasi lain yang memacu birahiku lebih cepat.

Aku mengulum penisnya lebih dalam lagi, beberapa kali aku hampir tersedak dan melepas kulumanku. Namun rintihan dan desahan yang dikeluarkan oleh mulut Mang Dedi membuatku semakin bertambah semangat untuk melayaninya dengan mulutku. Sedangkan Mang Dedi hanya bisa meracau meremas kepalaku dan mengacak-ngacak hijab yang tengah ku pakai.

"Ssshhh... pinterr kamuu Dek Liyaah...Jago nyepong kamuuhh" erang Mang Dedi keenakan.

Kumainkan lidahku menjilati kepala jamur Mang Dedi yang membongkong itu sampai aku sendiri tak tahan karena liang vaginaku berdenyut menginginkan penis itu segera bersarang disana.

Karena itu, kulepaskan kulumanku, dan aku bangkit berdiri. "Mas pengen" rengekku manja menjatuhkan badanku diatasnya.

Mang Dedi tersenyum menggulingkan badanku hingga kami bertukar posisi, "Maaf ya Sayang.. aku jadi keenakan" Ucap Mang Dedi mencium bibirku.

Mang Dedi langsung menyambar wajahku dengan ciuman liarnya. Lalu dikecupnya bibirku dan dipagutnya dalam-dalam.

Mulutku bahkan terasa megap-megap dalam pagutan Mang Dedi itu dan menjadikan gairah kami sama-sama naik semakin bergelora.

Kubalas pagutan Mang Dedi dengan bibir dan mulutku tanpa rasa ragu atau sungkan. Sudah tak kupedulikan lagi siapa kami, apa status dan hubungan kami. Yang kurasakan saat itu kami hanyalah sepasang insan yang dikuasai nafsu birahi.

"Oohhh... Mmmmpp... Maashhhh.." lirihku disela-sela ciuman kami.

Kuraih dan kugenggam penis besar Mang Dedi dan mengocoknya dengan tanganku. Benda itu sudah basah dan licin oleh air liurku sendiri sehingga kocokanku begitu lancar dan enak.

Beberapa menit berikutnya kami masih saling cumbu dan saling membelai sebelum akhirnya Mang Dedi membuka kedua pahaku.

Dan inilah saat-saat yang paling kunantikan. Aku sudah sangat menginginkan penis besar yang tadi belum sempat masuk seutuhnya itu kembali bersarang di dalam vaginaku.

Namun setelah kedua pahaku terbuka lebar dan liang vaginaku siap dimasuki sodokan penis besar itu. Mang Dedi justru malah merundukkan kepalanya menuju selangkanganku dan dengan liarnya dia menjilat bibir vaginaku secara tiba-tiba.

"Oghhhhhhh ............ ouhhhhhhh...." rintihku terkaget merasa seperti ada aliran listrik yang menyengatku.

Aku kaget dan tak siap menerima serbuan kenikmatan yang tiba-tiba dan datang secara beruntun itu. Jilatan lidah Mang Dedi di liang vaginaku itu sukses membuat badanku belingsatan, tubuhku menggelinjang, dan aku mengalami rasa enak yang bertubi-tubi.

"Maashhh... Apaahh.. inii.. Enaakkk.. sekaliihhh"

Bibir dan mulutku bergumam lirih, tubuh bugilku terbaring telentang dan pasrah, di bawah sana Mang Dedi dengan rakusnya menghisap-hisap liang vaginaku dan menjilatinya.

Rasa geli tapi nikmat menjalari sekujur tubuhku. Menambah nafsu birahiku yang sudah semakin menggebu saja.

"Ughhhhhh ..... ohhhhhhh ...... " mulutku melenguh dan bibirku mendesah panjang, mataku bahkan ikut merem-melek dibuatnya

Belum pernah aku merasakan vaginaku dan dihisap-hisap seperti ini. Ini adalah pertama kali dan sepertinya aku benar-benar akan menyukainya.

Bahkan saking enaknya, aku dapat mendengar bunyi ciuman dan hisapan Mang Dedi di vaginaku yang sudah sangat basah dan banjir oleh cairan pelumasnya.

"Kclokkk... mplokkk...mpppuuahhh...mmpaahh" begitulah sekiranya bunyi vaginaku yang disedot dan dicium oleh Mang Dedi.

Aku semakin melayang, mataku sangat sayu dan berat. Sampai akhirnya kurasakan desakan kenikmatan itu perlahan-lahan terasa berkumpul dititik pinggangku dan memuncak berdenyut-denyut kencang di area vaginaku.

Ada rasa seperti ingin pipis yang tak dapat kutahan saat badanku semakin bergetar dan liang vaginku semakin gatal. Aku berusaha sekuat tenaga menahannya.

Namun semakin gelinya ciuman Mang Dedi di vaginaku malah semakin membuat rasa kencing itu makin memuncak.

Hingga akhirnya, "MASHHH!! AWASS! AKKUU KENCIINGGG!!" Ucapku mendorong kepala Mang Dedi dan menjauhkan badanku.

Namun telat, vaginaku telah berdenyut luar biasa sambil menembakkan air yang begitu banyak seperti sebuah tanggul yang jebol.

Disaat itulah. Kurasakan puncak kenikmatan yang begitu luar biasa, rasa nikmat yang belum pernah kurasakan pada Liang vaginaku sebelumnya.

Kemaluanku itu terasa berdenyut-denyut hangat. Bahkan aku sampai terkencing-kencing dan kejang-kejang saat itu juga, Pinggangku terasa sangat ngilu dan tulang-tulangku terasa ikut terlolosi dari tempatnya.

Mataku ikut merem melek, bibirku sengaja ku gigit untuk meredam rasa nikmat itu dan tanganku sekuat tenaga menggenggam kain sprei kasur di sampingku.

"Gila!!" Ucap Mang Dedi menatap tak percaya padaku.

Namun tak kupedulikan tatapannya tersebut karena aku tengah berada diatas awang-awang yang begitu nikmat. Rasanya semua beban yang selama ini tertahan setiap kali ku bercinta dengan suamiku lepas begitu saja oleh mulut Mang Dedi.

"Enak sayang?" Tanya Mang Dedi merayap keatas tubuhku dan meremas payudaraku.

"Jangan pegang Mas!! Ngiluu!!" Protesku yang merasakan puting payudaraku sangat sensitif.

"Kamu belum pernah orgasme ya?" Tanya Mang Dedi setengah berbisik.

Dalam keadaan masih tersengal-sengal itu aku menatapnya pelan, "A--apa itu orgasme Mas?" Tanyaku dengan nafas yang tak beraturan.

"Ini barusan yang kamu rasakan sayang" ucap Mang Dedi mencolek vaginaku.

Aku terperanjat, "Awwhhhh.. ngilu Mass" ucapku padanya.

Mang Dedi lalu terkekeh menciumi keningku dengan begitu hangat, "Ini namanya orgasme sayang, puncak nikmat dari segala kenikmatan bercinta" jawab Mang Dedi menjelaskan.

"Ini yang harusnya kamu dapatkan ketika kamu bercinta, baik untuk perempuan maupun laki-laki" lanjutnya lagi.

Dari penjelasannya itu barulah aku mengerti apa yang dulu Mang Dedi katakan padaku. Bahwa pasangan dalam bercinta itu harus merasa sama-sama puas antara lelaki dan wanita. Bukan salah satu pihak seperti yang aku ketahui selama ini.

"Enak banget Mas, Orgasme" ucapku merasa senang.

"Iya dong.. orang kalau belum pernah orgasme gak bakalan tau nikmatnya bercinta itu kayak apa Dek Liya" jawabnya lagi.

"Tapi kan kita belum melakukannya Mas" ucapku malu-malu.

Mang Dedi terkekeh sebentar lalu beranjak memeluk tubuhku, "Untungnya kita bisa merasakan nikmat itu berulang-ulang kali Dek Liya" ucapnya mencium bibirku.

Bibir kami kemudian saling memagut lembut, rasanya begitu enak dan menghipnotis alam bawah sadarku untuk kembali mengangkat birahiku yang tadi sudah hilang menemui puncaknya.

Kulit tubuhku lagi-lagi merinding oleh sensasi rasa yang sukar kugambarkan dengan kata-kata. Aku menggelinjangkan badanku saat Mang Dedi meraba kembali bagian selangkanganku dengan tangannya.

Kurasakan tubuhnya semakin merapat ke badanku. Dan ciumannya juga sesekali berpindah pada bagian pipi, dagu, dan leherku yang tertutup oleh hijab yang anehnya tak mau aku lepaskan.

Dalam sekejap saja, nafsuku kemudian bangkit kembali setelah dirangsang sebentar oleh mulut dan tangan Mang Dedi.

"Sshhh... aahhhh..." desahanku kembali terdengar. Tubuhku lagi-lagi merasakan panas yang membuat butir-butir keringat membasahi jidatku.

"Dek Liya sudah basah lagi??" Ucap Mang Dedi berbisik di telingaku.

Dia terus bergerak ke bawah menciumi buah dadaku. Sedangkan aku hanya bisa diam saja merasakan perlahan getaran birahi itu mulai menguasai badanku sekali lagi. Batang penis Mang Dedi juga terasa mengganjal di bawah sana. Aku ingin menyentuhnya tapi tanganku lemas lunglai.

Sesaat kemudian. Mang Dedi semakin beranjak ke bawah hingga sampai pada area selangkanganku. Dengan tangannya, dia memegang kedua lututku dan melebarkan bukaan kedua pahaku.

Mang Dedi memposisikan badannya sejajar dengan badanku sambil mengusap-usapkan ujung penisnya di liang vaginaku. Terasa usapan itu begitu licin oleh cairan pelumas alami yang keluar semakin banyak dari liang vaginaku.

Sudah tak kupedulikan lagi dosa yang akan ku lanjutkan ini, aku hanya terbaring pasrah menanti apa yang akan dilakukan Mang Dedi terhadapaku.

"Tahan ya sayang. Aku masukin" ucap Mang Dedi bergetar.

Lalu pelan-pelan kurasakan kepala penisnya itu menyusup hangat di bibir vaginaku. Ada rasa nyeri dan sedikit perih yang lagi-lagi ku rasakan saat penis besar Mang Dedi itu menyusup masuk dalam vaginaku.

Wajahku meringis, Kedua tanganku berusaha menahan gerakan Mang Dedi yang masih memajukan pinggul memasukkan batang penisnya.

"Masih sakit sayang?" Tanyanya khawatir.

Aku mengangguk, "Pelan-pelan saja Mas!" Pintaku padanya.

Kemudian dia balas mengangguk sambil bergerak pelan menekan pinggul dan pantatnya semakin dalam.

Seinci demi seinci batang penis Mang Dedipun mulai terasa menguak liang vaginaku yang sempit itu dan membuka jalan yang lebar untuk dimasuki. Rasanya liang vaginaku penuh sesak dan gesekan penis itu membuat dinding liang vaginaku terasa agak perih dan ngilu.

"Sempit banget punyamu sayang.. udah kayak perawan" Ucap Mang Dedi mengecup keningku.

Terasa tangannya juga ikut memijat-mijat buah dadaku pelan sehingga Aku hanyut kembali dalam cumbuan dan remasannya.

Aku dengan cepat lupa dengan rasa sakit di vaginaku, bahkan rasa perih dan ngilu yang tadi kurasakan pun sudah menghilang dan terlupakan begitu saja, berganti dengan gelora gairah yang kurasakan mendesak-desak mencari penyaluran.

"Tahan sedikit lagi ya" ucap Mang Dedi disela pagutannya. Telapak tangan kanannya dengan mesra mengelus dan mendekap pipiku.

Aku mengangguk. Merasa nyaman dan rileks dengan perlakuan romantisnya tersebut. Lalu dia mendorong pinggulnya sedikit demi sedikit dengan hati-hati dan penuh perhatian.

Sambil terus mencumbui bibirku dan meremas payudaraku, batang penisnya yang besar itupun melesak masuk masuk menembus liang vaginaku seutuhnya.

"Oooouuuuugggggghhhhh...." lirihku panjang.

Mataku memejam rapat, ada rasa nyeri bercampur nikmat, saat kurasakan liang vaginaku begitu penuh dan sesak dimasuki penis berukuran jumbo milik Mang Dedi.

Akan tetapi dengan pintarnya Mang Dedi mengalihkan rasa sakitku dengan deraan rasa nikmat yang bertubi-tubi.

Dia menggerayangi badanku. Perut, paha dan buah dadaku, semuanya tak luput dari belaiannya. Juga ciumannya yang penuh nafsu di bibirku. Sehingga menyalakan gairahku dengan sangat cepat.

"Aghhhh.... Maasshhh" desahku lagi.

Kupeluk badan Mang Dedi dengan erat, kubelai punggungnya yang kekar itu, kubuka kedua pahaku lebar-lebar menerima tusakan batang penisnya.

Aku terpejam-pejam. Mulutku ternganga merasakan kenikmatan yang begitu hebat saat Mang Dedi mulai mengayunkan kocokan penisnya. Terasa liang vaginaku kembang kempis seperti menghisap-hisap penis Mang Dedi semakin ke dalam.

Entah karena aku sudah beberapa hari tak bersenggama atau mungkin karena penis Mang Dedi yang lebih besar dan lebih panjang dari punya suamiku. Aku begitu cepat merasakan vaginaku semakin becek dan semakin lancar menerima penis besar itu.

Sekujur badanku berkeringat, butir-butir peluh memercik dan meleleh dari wajah, leher dan sekujur tubuhku. Sedangkan Mang Dedi sepertinya baru saja berada di puncak nafsunya.

"Ougghh mantepp" racau nya yang mulai semangat
mengayun dan mengocokkan penisnya, semakin lama semakin cepat.

Nafas Mang Dedi juga semakin memburu, ia menciumi tubuh atasku penuh nafsu. Bibirnya mengerang-ngerang, dan penisnya menyodok-nyodok liang vaginaku.

Ayunan-ayunan tubuh Mang Dedi membuat badanku ikut berguncang-guncang secara berirama mengikuti kocokan dan sodokan penisnya. Gumpalan payudaraku bergerak bergoyang-goyang sambil sesekali dicucupi Mang Dedi bergantian.

Aku semakin blingsatan. Entah setan apa yang memasuki saat itu sehingga nafsuku sangat menggebu-gebu tak dapat ku hentikan.

"Masshh... puasiinn akuu Mass..." bisikku berbisik pada telinganya.

Mang Dedi lalu menggenjotkan penisnya agak cepat dan lebih dalam lagi menyodok liang vaginaku setelah mendengar permintaanku tersebut.

Aku melenguh lirih, Sungguh enak dan tak kubayangkan sebelumnya kalau kenikmatan yang aku rasakan dapat berkali-kali lipat dari apa yang pernah kudapatkan dari suamiku.

Bahkan setiap gesekan penis besar itu di dinding vaginaku membuat mulutku mengerang dan mendesah-desah keenakan.

"Ouhhh ..... ahhhh ..... Oghh .....Maashh...“ desahku tak karuan.

Kudengar sesekali mulut Mang Dedi juga ikut melenguh sambil dia menatapku dengan tatapan yang penuh gairah.

"Enak banget Dek Liya.. Ohhh .." ucapnya.

Lalu dipagutnya bibirku dengan hangat sambil pinggulnya tak berhenti mengayun menggenjot tubuh bawahku. Kubalas pagutan bibirnya itu dengan tak kalah bernafsu karena aku mulai merasakan kembali tanda-tanda puncak kenikmatan itu membayang.

"Mas....ohhh...Massss ..... " desisku di telinga Mang Dedi.

"Iyah.. kenapa..sayang ..... ??" bisik Mang Dedi dengan napas tersengal-sengal.

Kedua jemari tangan kami saling mencengkram erat. Kelamin kami saling tertaut lekat, juga badan kami semakin menyatu rapat. Nafas kami sudah terengah-engah dalam gelora nafsu dan gelombang rasa nikmat tiada tara itu.

"Keluarkan di dalam ya, Mas, aku ingin hamill" bisikku lagi, kuciumi leher dan pipi Mang Dedi.

Entah apa yang aku pikirkan, tapi saat itu aku merasa sangat menginginkan Mang Dedi untuk menyemburkan spermanya dalam vaginaku dan membuahiku saat itu juga.

Mungkin aku sudah sedikit gila karena menginginkan pria lain menghamiliku. Tapi saat semakin aku membayangkannya, semakin aku menginginkannya juga.

"Kamu benar-benar mau sayang?" Ucap Mang Dedi terus menggenjotku dengan begitu kuatnya. Tubuhnya tersentak-sentak dan berguncang kuat karena bergoyang menusuk tubuhku dengan semakin liar dan binal.

"Ya Mas...lakukanlah Mas.... hamili akuu" ucapku meyakinkannya. Dadaku berdegup tidak karuan dan nafsuku dengan cepat semakin memuncak.

Mang Dedi juga mempercepat genjotan penisnya memompa vaginaku, Nafasnya makin memburu pertanda dia juga mulai merasakan puncaknya. Terasa penisnya makin dalam menyodok liang vaginaku seperti menggila menggenjotku sekuat-kuatnya.

Dalam genjotannya tersebut. Akhirnya akupun kembali merasakan liang vaginaku menyempit penuh sesak dan ngilu berkepanjangan. Aku dengan kuatnya mencakar punggung Mang Dedi sambil menggigit pundaknya saat puncak kenikmatan itu melandaku sekali lagi.

"MASHH... AKU ORGASMEEHH..." teriakku dengan begitu kencang.

Kurasakan liang vaginaku membasah bersamaan dengan memuncaknya rasa enak yang tak dapat kugambarkan itu. Badanku serasa melayang-layang terbawa angin. Aku larut dan tenggelam dalam puncak kenikmatan badai orgasmeku yang menghantam tubuhku untuk kedua kalinya.

Liang vaginaku terasa berkedut dan tak berhenti berdenyut menjepit-jepit batang penis Mang Dedi.

"Oougghh.. aku juga mau keluar sayang" ucap Mang Dedi semakin bersemangat.

Dia lalu meraih wajahku dengan sebelah tangan dan mengangkatnya, aku menoleh dan mendongak ke arah Mang Dedi dengan mulut ternganga merasakan sensasi nikmat itu, ia merundukan lehernya dan wajahnya mendekat ke wajahku, mulut Mang Dedi menyambar mulutku, dihisapnya lidahku dalam-dalam.

"Ouugghhh.. aku keluar sayang" teriaknya melenguh geram.

Pada genjotan terakhirnya. Nafas Mang Dedi mendengus kuat, mulutnya masih menghisap lidahku, batang penisnya dia benamkan dalam-dalam dan terasa berdenyut kencang berkedut-kedut mengeluarkan semburan-semburan cairan hangat yang berisi milyaran sel pembawa kehidupan baru itu.

"CROOOTTTTT!!!! CROOOTTTT!!! CROOTTTT!!!!! CROOTTT!! CROOTTT!!"

Bagian 9 : Terharu


Liya​


Hujan sore itu sudah reda saat aku mengantarkan Mang Dedi keluar dari rumahku menuju motornya. Kami berjalan bergandengan tangan menyusuri teras rumah layaknya pesangan kekasih yang tengah dimabuk asmara.

Sebenarnya ada sedikit perasaan kecewa, karena sudah saatnya kami kembali pada realita kami masing-masing. Mang Dedi kembali menjadi penjual sayur langgananku, dan akupun kembali menjadi seorang istri yang berlangganan di dagangannya.

“Aku pulang dulu Dik!” Ucap Mang Dedi naik ke atas motornya.

Badanku sebenarnya masih lemas, vaginaku pun masih terasa berdenyut-denyut dan ngilu ketika aku berjalan. Namun aku tak rela melepas kepergian Mang Dedi begitu saja. Aku masih ingin berlama-lama dengannya, masih ingin memadu kasih sampai batas waktu yang tak bisa ku tentukan.

Tapi aku menahan diri untuk tidak memberitahunya, “Hati-hati Mas!” balasku tersenyum.

Mang Dedi lalu mengangguk pelan, kemudian dia memelukku dan memberikan kecupannya pada bibirku. Untuk sebentar, aku membalas ciumannya tersebut sehingga kami saling pagut memagut bibir di depan rumahku tanpa sedikitpun khawatir dengan keadaan sekitar.

“Sudah Mas! Nanti diliat orang..” Ucapku menjauhkan badan.

Mang Dedi lalu mengangguk mengerti, “Lain kali aku mampir lagi Dek Liya” ucapnya tersenyum menyalakan motor dan kemudian berlalu menghilang dari pandanganku.

Setelah Mang Dedi pergi, kulangkahkan kakiku masuk kembali ke dalam kamar. Kulihat anakku Tasha masih tertidur dengan pulas dan kurebahkan badanku di sampingnya. Aku kemudian termenung menatap langit-langit kamarku dengan perasaan lelah namun puas disaat yang bersamaan.

“Maafkan Umi, Abi..” Ucapku merasa bersalah, tak kuasa membela diriku sendiri saat kulihat suamiku menatap tersenyum dari dalam foto yang menggantung di dinding kamar.

Tapi perasaan bersalah itu tak bertahan lama, karena aku dengan segenap hati meyakinkan diriku bahwa ini juga merupakan kesalahan suamiku yang selama ini tak pernah membuatku puas dalam hal bercinta. Jangankan untuk puas, tau bahwa wanita bisa orgasme saja tidak.

Aku pun tak bisa menahan diri untuk tidak membuat perbandingan antara suamiku dan Mang Dedi. Mulai dari tutur kata, perlakuan hingga caranya, Mang Dedi memang jauh lebih unggul dibandingkan dengan suamiku.

Bahkan sampai saat ini saja, masih dapat ku rasakan setiap rasa yang tersisa dalam tubuhku setelah persetubuhan terlarangku dengan Mang Dedi itu. Masihku bayangkan bagaimana perkasanya tukang sayur itu menggagahiku sehingga dapat membuatku terbang ke puncak kenikmatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Masih pula aku merasakan bagaimana cumbuan dan pelukannya yang begitu hangat itu membalut tubuh ranumku yang kesepian ini.

“Lain kali aku mampir lagi Dek Liya..” Kata Mang Dedi tiba-tiba saja terputar dalam benakku.

Aku mengulum senyum, seperti orang gila berguling-guling diatas kasur dengan jantung yang berdebar-debar terus mengingat wajah dan perkataan Mang Dedi itu. Senyum terus terpancar di bibirku hingga membuat rahangku lelah membayangkan kalau hubungan terlarang kami masih akan berlanjut.

“Ada yang lagi seneng nih kayaknya.” kaget suara suamiku yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu.

Aku langsung terduduk membenarkan ekspresiku, “Eh, Abi kapan pulang??” tanyaku tergagap.

“Baru aja nih” balasnya masuk ke dalam kamar dan membuka baju. “Oh iya, Abi bawa sesuatu buat Umi” lanjutnya meraih kantong celananya.

Suamiku tersebut lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang berbentuk seperti kotak perhiasan, “Apaan tuh Bi??” tanyaku penasaran.

“Supriiseeeeeeee!!!” teriak suamiku membuka kotak kecil itu. Didalamnya kulihat ada sebuah cincin emas yang ukurannya lebih besar dari cincin pernikahanku.

Aku terlonjak kaget, antara senang dan sedikit bersalah, “Buat Umi?” tanyaku ragu.

“Woiya dong. Masa’ buat cewe lain” balas suamiku dengan sangat senang.

Tiba-tiba saja, air mataku menetes dengan sendirinya. Satu persatu bulir-bulir air mata itu turun dalam kumpulan rasa bersalah yang menyesaki dadaku. Lengkap dengan pemikiran bahwa aku telah begitu jahat mengkhianati pria sebaik suamiku ini.

“Loh?? looh?? kok Umi nangis??” tanya suamiku bingung.

Aku tak menjawab dan terus menangis. Seolah sedang menyesali perbuatan yang sebenarnya secara sadar aku lakukan dan benarkan. Tapi melihat bagaimana wajah lelah suamiku itu tersenyum tanpa tau sedikitpun aku telah mengkhianatinya, membuat hatiku seperti terisis perlahan-lahan.

Aku kemudian memeluk tubuh suamiku dengan erat, “Maafin Umi, Bi!! Maafin Umi belum jadi istri yang baik buat Abi..” Ucapku menangis tersedu-sedu.

“Umi sudah jadi yang terbaik buat Abi kok!! Abi gak akan minta lebih” balas suamiku mengelus kepalaku.

Segera saja setelah itu ku hamburkan badanku pada tubuh suamiku dan langsung kuciumi bibirnya. Suamiku terlihat kaget dengan serangan ku tersebut namun dia tampak senang dengan caraku menciumnya. Segala perasaan bersalah dalam hatikupun, aku coba tuangkan dalam pagutanku seolah ingin menghilangkannya.

Tapi semakin dalam ciumanku pada suamiku tersebut, semakin perih rasanya hatiku ketika teringat bahwa bibirku ini tak lagi suci untuknya. Bibir mungilku ini telah dikotori oleh bibir pria lain selain dirinya yang bahkan belum sempat aku cuci dan bersihkan.

“Maafkan aku Bi!” batinku terus memagut suamiku.

Aneh rasanya aku malah tiba-tiba bernafsu dan menggebu. Membayangkan bagaimana tadinya aku menggunakan bibir yang sama ketika melayani tukang sayur langgananku tadi. Walau rasanya aku seperti menghinakan suamiku sendiri, namun justru ada sebuah dorongan batin yang membuatku semakin ingin melanjutkannya.

“Umi udah mandi??” tanya suamiku menghentikan ciuman kami.

Aku lalu menggeleng membalasnya, “Belum Bi!” jawabku singkat.

“Mandi bareng yuk!” ajak suamiku girang.

Jantungku tiba-tiba berdegub tidak karuan, aku teringat dan takut kalau tubuhku masih menyisakan bekas-bekas ciuman Mang Dedi yang pasti akan dilihat oleh suamiku jika kami mandi bersama, “Abi mandi sendiri aja gih!” kataku menolak.

“Loh?? kok gitu?? Ayolah Mi!! kita gak pernah mandi bareng loh..” bujuk suamiku masih bersemangat.

Aku menjadi sangat bimbang dibuatnya. Kalaupun ingin menolak, aku harus menolak dengan alasan yang cukup kuat. Sementara aku juga sedikit kasihan menolak ajakan suamiku tersebut karena aku sendiri yang membangkitkan gairah bercintanya.

“Kalau gitu Umi duluan masuk ke kamar mandi ya.. nanti Abi nyusul!!” Ucapku menemukan sebuah solusi. Aku akan melihat dulu keadaan badanku sebelum memutuskan untuk mandi bersama suamiku atau tidak.

“Kok gitu Mi??” tanya suamiku heran.

Aku kemudian berdiri dan menggodanya, “Mau mandi bareng apa enggak??” tanyaku padanya.

“Mau... mauu...” jawab suamiku mengangguk-angguk girang menerima persyaratanku.

Aku kemudian meraih handuk yang menggantung di bagian belakang pintu kamarku dan berjalan menuju kamar mandi sambil menghela nafas dalam-dalam. Setibanya disana, aku dengan secepat kilat melucuti baju gamis, hijab dan pakaian dalamku sehingga tubuhku benar-benar telanjang.

Dari pantulan cermin yang ada di kamar mandi, aku mencoba mematut seluruh bagian badanku untuk melihat apakah ada bekas ciuman ataupun gigitan Mang Dedi disana. Beruntung setelah aku berputar-putar melihatnya, hanya ada beberapa bekas merah pada bagian dadaku yang terlihat seperti bekas gigitan nyamuk.

“Aman!!” batinku menghela nafas lega.

Setelah itu, kunyalakan keran shower air hangat untuk mengguyur tubuhku sebentar sambil menghilangkan degub jantungku yang seperti ingin meloncat keluar. Selang beberapa menit kemudian, badanku pun akhirnya rileks dibawah kucuran air yang membuat nyaman itu.

“Umi curang!” Ucap suamiku yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi.

Reflek saja aku tiba-tiba menutup bagian dadaku takut bekas merah cumbuan Mang Dedi masih terlihat, “A--abi main masuk aja!!” protesku padanya.

“Loh? Umi kenapa coba?? Abi udah pernah liat semua masih aja ditutupin segala” balasnya mendekatiku.

“U--umi kan kaget Bi!” balasku masih tergugup.

Dalam kucuran air hangat yang mengguyur badan kami berdua itu, suamiku kemudian memeluk tubuhku dari belakang dan langsung menciumi leherku. Aku cukup dibuat kaget dengan serangannya tersebut karena suamiku sebelumnya tidak pernah melakukannya.

“Umi seksi banget..” bisik suamiku memuji.

Ada sedikit perbedaan dari sikap suamiku saat dia meraba pinggang dan punggungku. Biasanya jika dia ingin bercinta, dia tidak akan membuang-buang waktu untuk mencium dan merabatubuhku. Namun kali ini, suamiku tampak sabar sehingga akupun perlahan-lahan hanyut dan badanku jadi berdesir mulai merasakan gairah.

“Bihh..” desahku lirih.

Aku sedikit menggelinjang saat tangan suamiku mulai menyentuh kedua payudaraku dengan pelan. Kupejamkan mataku menikmati sensasi nikmat yang dialirkan dari puting payudaraku ke seluruh bagian syaraf yang ada di tubuhku. Hatiku tiba-tiba menjadi senang, jarang-jarang diperlakukan selembut ini oleh suamiku.

Air hangat terus mengguyur tubuhku yang semakin rapat dengan badan suamiku. Dapat ku rasakan dibagian pinggulku penis miliknya sudah menegang menekan-nekan dengan kuat bongkahan daging kenyal pantatku.

Tak sampai disana saja, kedua tangan suamiku kini bergerak ke bawah perlahan-lahan merabai bagian paha dan selangkanganku. Beberapa kali pula rabaannya tersebut singgah dengan lembut di bagian vaginaku.

“Disanahh Bi!!” pintaku lirih menahan tangannya di vaginaku.

Seolah mengerti, tangan kanan suamiku akhirnya bergerak nakal menggosok-gosok pelan bibir vaginaku yang basah oleh air hangat, sedangkan tangan kirinya aktif menelusuri bagian perut dan payudaraku.

“Uhhh... eemmmhhhh” lenguhku tertahan.

Dari belakang suamiku menciumi pundakku dengan kecupan-kecupan pelan yang terkadang berubah liar menjadi hisapan-hisapan dan gigitan kecil ke bagian punggungku. Aku menjadi terheran-heran dengan perubahan sikap suamiku tersebut. Begitu penasaran dimana dia mempelajarinya.

“Abiihh.. koookk enakk sihh???” lenguhku manja membalikkan badanku menghadapnya.

Seketika suamiku langsung menyambar wajahku dengan ciuman liarnya bertubi-tubi. Aku bahkan sampai megap-megap kehabisan nafas diantara guyuran air hangat dan ciumannya. Gairahku menjadi sangat bergejolak naik hingga ku balas pagutan suamiku dengan bibir dan mulutku tak kalah ganasnya.

Tak mau kalah dengan perlakuan suamiku tersebut, aku pun kemudian menunjukkan kemampuan baruku dengan meraba-raba bagian tubuh suamiku dengan tangan. Jemariku menyentuh penisnya yang menegang sambil sedikit memberi pijatan-pijatan ringan di batangnya.

“Ouughh.. Mihh!!” giliran suamiku yang melenguh nikmat.

Sekilas aku teringat dengan adegan percintaanku bersama Mang Dedi dimana aku dengan beraninya mengulum penis pria penjual sayur itu dengan mulutku. Rasanya aku ingin memberikan hal yang sama pada suamiku agar keadaan menjadi imbang antara mereka dan tak ada perasaan bersalah dalam hatiku.

Dengan secepat kilat aku kemudian melepaskan ciumanku pada bibir suamiku dan langsung bertekuk lutut di hadapan selangkangannya.

“U—umi?” suamiku terheran.

Belum sempat dia mencerna apa yang akan aku lakukan, aku langsung menyambar dan menggenggam penisnya lalu ku kocok dengan pelan-pelan sambil kuciumi kepala batangnya.

“Ouughhh..” Badan suamiku menggelinjang dan mulutnya mengerang.

Aku mendongakkan wajahku ke atas melihat ekspresi suamiku yang merem melek keenakan. Kubuka mulutku dengan lebar dan kuarahkan penis suamiku tersebut ke dalam kulumanku hingga semuanya amblas tak bersisa.

“Ouuhh gilaa.. Umiiihh!” racau suamiku memegangi rambutku.

Karena ukuran penis suamiku yang kecil, aku dengan begitu mudah mengulum penisnya lebih dalam dan dengan bebas menggerakkan lidahku bermain-main diseluruh batangnya. Suamiku dengan sangat bernafsu ikut menggenjotkan penisnya dalam kulumanku yang terasa sangat licin dan basah.

“Enakk bangettt Umiii!!!” desah suamiku tak henti-henti.

Suamiku tampak sangat menikmati kulumanku tersebut hingga penisnya terasa makin menegang dan membesar dalam mulutku. Kuhisap-hisap dengan kuat seluruh batangnya tersebut seperti mengharapkan sesuatu keluar dari sana.

Selang tak berapa lama kemudian, akupun merasakan gairahku sudah tak bisa di tahan lagi. Vaginaku terasa sudah berkedut-kedut minta dimasuki oleh sesuatu. Dan dengan cekatan aku merayap naik pada tubuh suamiku dan mendorongnya pelan di closet duduk yang ada disana.

Suamiku menurut saja saat ku raih batang penisnya yang kecil dan menegang sangat keras itu sambil ku arahkan pada liang vaginaku. Mata suamiku nanar melihat aku yang seperti kerasukan setan ingin segera menuntaskan birahi ini.

“Umi masukin ya Bi!” ucapku meminta izin.

Kuturunkan sedikit pinggul dan pantatku ke ujung penisnya dengan sedikit tergesa-gesa karena dorongan nafsu yang begitu kuat. Entah kenapa rasanya aku sangat bernafsu saat ini dan menuntut penyelesaian secepat mungkin.

“Aaaachhhh...” kami berdua mendesah bersama saat aku menurunkan pinggulku lebih ke bawah lagi.

Batang penis suamiku itu melesak masuk seluruhnya dengan sangat mudah karena ukurannya yang kecil. Sedangkan vaginaku sudah sangat licin, hangat dan basah oleh cairan pelumas yang keluar begitu banyak dari liangnya.

Beberapa detik aku hanya diam menikmati sensasi tusukan batang suamiku tersebut. Walau tak sepenuh dan sesesak saat dimasuki penis Mang Dedi, namun rasanya cukup mengisi vaginaku yang masih punya daya jepit yang lumayan kuat itu.

“Umii makin pinter bikin Abi enak sekarang!” Puji suamiku meraih kedua payudaraku.

Aku tersenyum mencium bibirnya, “Abi juga tumben ga buru-buru..” balasku menggoyangkan pinggul.

Suamiku meringis merasakan goyangan pantatku yang kemudian kupompa dengan pelan-pelan. Posisiku yang saat ini berada diatas dan seperti menunggangi kuda itu, membuatku merasakan kenikmatan luar biasa setiap kali aku bergerak.

Tusukan suamiku itu semakin terasa nikmat karena aku dapat dengan leluasa mengarahkan bagian-bagian dalam liang vaginaku yang paling menimbulkan rasa nikmat saat tersentuh penis suamiku.

“Abihh.. Ohhhh.. Bii!!” desisku semakin bersemangat.

Badanku duduk di atas badan suamiku, sedang pinggul dan pantatku terus kuayunkan mengocok liang vaginaku dengan penis miliknya. Bunyi gesekan kelamin kami yang basahpun terdengar berkecipak karena cairan vaginaku sudah sangat banyak meleleh keluar.

Namun sayang, baru sekitar dua menitan aku menggenjotkan vaginaku dengan penuh semangat. Nafas suamiku sudah mendengus-dengus tak beraturan pertanda dia akan keluar sebentar lagi. Aku sudah menduga akan seperti ini jadinya sehingga akupun tak terlalu kecewa mengetahui suamiku tersebut akan ejakulasi.

“Umiihh.. Abii keluarrr” teriaknya begitu kencang meremas payudaraku dengan begitu kuat.

Tapi entah kenapa tubuhku tiba-tiba bergerak secara sendirinya mencabut tusukan penis suamiku seperti tidak rela kalau cairan itu masuk kesana. Alih-alih keluar di dalam, suamiku memuntahkan spermanya di badanku dengan sangat banyak dan berkali-kali lipat dari biasanya.

“CROOTT!!! CROTTT!! CROTTT!!! CROOTTTTT!!”

Sekitar empat tembakan kuat keluar dari ujung penis suamiku sambil diiringi tembakan-tembakan kecil setelahnya. Kupeluk dan kudekap erat badan suamiku agar dia dapat menikmati puncak kenikmatannya dengan sempurna. Kurasakan betul, penis suamiku yang terhimpit di perutku masih berkedut-kedut memuntahkan spermanya.

Suamikupun kemudian langsung lemas terduduk dan tak bertenaga.

“Apa yang aku lakukan??” batinku.

Aku sadar tidak mengizinkan sperma suamiku masuk ke dalam liang vaginaku setelah aku teringat bahwa didalamnya sudah ada benih Mang Dedi yang masuk lebih dulu. Entah apa yang aku pikirkan, tapi tubuhku seolah berkata kalau aku tak ingin dibuahi untuk sementara waktu selain oleh benih Mang Dedi.

“AKU SUDAH GILA??!!!”

Bagian 10 : Terlalu Berani


Liya​

Tidak terasa, tiga hari sudah waktu berlalu semenjak persetubuhan terlarangku dengan Mang Dedi pada sore itu. Hari demi hari berlalu begitu cepat. Malam demi malampun kulalui dengan perasaan kalut dan bingung, antara harus merasa senang atau bersalah disaat yang bersamaan.

Semenjak kejadian itu pula, aku kemudian mengkondisikan hubunganku dengan Mang Dedi seperti biasa lagi. Meski aku tidak menjauhinya, namun setiap kami bertemu aku selalu berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa diantara kami.

Kuakui bahwa sebenarnya aku rindu akan dekapan dan cumbuan hangat tubuhnya pada diriku. Bahkan ketika kami masih rutin bertemu setiap pagi saat aku berbelanja, Mang Dedi selalu memanfaatkan momen itu untuk merayu dan menjamah tubuhku meminta untuk mengulang kejadian terlarang kami.

Tapi dengan halus selalu ku tolak ajakannya tersebut. Bukan bermaksud untuk menjadi munafik, namun aku benar-benar sudah mulai dihantui perasaan bersalah karena telah berselingkuh di belakang suamiku. Martabat dan harga diri yang harusnya mati-matian ku bela itupun, kini telah rusak oleh nafsu yang menutupi akal dan pikiran sehatku.

Dampaknya jadi sangat terasa setiap kali aku melayani suamiku di ranjang, yang terbayang olehku hanyalah sosok Mang Dedi saja. Terbayang akan caranya memuaskanku, terbayang pula akan penis besar tak bersunat miliknya yang selalu perkasa membuatku berkelojotan penuh nikmat.

Seks dengan suamiku yang sebelumnya masih bisa aku nikmati itupun, terasa semakin lebih hambar karena aku mulai membanding-bandingkannya dengan cara Mang Dedi melakukannya denganku.

Walau suamiku sudah mengalami kemajuan dalam caranya bercinta sekalipun, namun tetap saja masih belum bisa menyaingi keperkasaan Mang Dedi yang benar-benar membuat ku kelojotan itu.

“Cuma di pegang-pegang doang nih Mbak?" Ucap Mang Dedi tiba-tiba menyadarkanku.

Aku menoleh padanya dan sadar bahwa saat ini aku masih berada di tempat Mang Dedi berjualan, “Eh, Maaf Mang.. Aku melamun” balasku tersenyum salah tingkah.

Seperti biasa, di depan orang banyak aku dan Mang Dedi selalu memanggil satu sama lain dengan sebutan formal agar orang-orang tidak terlalu ngeh dengan kedekatan kami berdua.

“Pagi-pagi udah ngelamun aja Uni!! Gak dapet jatah dari suami ya??” Celetuk salah satu ibu-ibu yang sedang berbelanja.

Suasana kemudian menjadi riuh karena semuanya jadi tertawa, “Ah.. Bu Retno udah kayak peramal nih...” balasku mengimbangi candaan salah satu ibu-ibu yang bernama Retno tersebut.

Namun sebenarnya aku juga menyembunyikan rasa malu karena apa yang Bu Retno katakan itu cukup benar. Akan tetapi jatah yang kumaksud disini bukanlah yang dari suamiku, melainkan dari Mang Dedi.

“Saya kan udah berumah tangga lebih dari 30 tahun Uni!! Udah hapal sama gerak geriknya” balas Bu Retno lagi.

Tapi kemudian Mang Dedi ikut menimpali, “Nanti saya yang jatahin” ucapnya mengerlingkan mata padaku.

Sontak keadaanpun bertambah riuh dengan teriakan dan tawa ibu-ibu pada Mang Dedi. Semua ibu-ibu yang ada disanapun sesekali bercanda membully Mang Dedi dengan sebutan halu dan sebagainya.

“Ngimpi bener lu Dedi!! Kebanyakan halunya..” cetus Bu Retno yang paling gencar meledeknya.

Mang Dedipun tak kalah bersemangat membela dirinya sendiri, “Yeee.... siapa tau Mbak Liyanya khilaf dan mau sama saya” balasnya.

"Hahaha. Sampai kura-kura jadi presiden juga, kamu gak bakal bisa dapetin yang macam Uni Liya ini Dedi!!" Jawab salah satu Ibu-ibu lagi.

"Wah.. wah.. meremehkan saya ini Ibu-ibu. Tidak tau kalian kalau saya sudah jadian sama Mbak Liya.. Iya gak Mbak??" balas Mang Dedi kini membawaku.

Aku sebenarnya tidak suka dengan cara bercandanya yang terus-menerus menyerempet ke arah hubungan terlarang kami tersebut. Tapi mengingat saat ini kami dalam kondisi dan suasana beramai-ramai, aku mencoba menahan rasa marahku.

"Enggak tuh.. sejak kapan??" Ucapku dengan ketus.

Seketika itu juga tawa para ibu-ibu disana kembali pecah melihat bagaimana aku menolak Mang Dedi secara gamblang tersebut. Bahkan ada yang meledek kalau bujang lapuk penjual sayur seperti Mang Dedi tidak akan pernah bisa mendapatkan wanita seperti aku.

Walau pada kenyataannya, tukang sayur yang tengah mereka bully dan katai itu ternyata sudah benar-benar pernah mendapatkan tubuhku dan menggumulinya dengan begitu perkasa. Tapi baik aku dan Mang Dedi tentu saja hanya diam dan ikut saja dengan riuhnya candaan dan ledekan mereka tersebut.

Selang tak berapa lama kemudian, kehebohan para ibu-ibu itupun akhirnya berakhir. Satu persatu dari mereka berpamitan pulang usai berbelanja kebutuhan masing-masing. Dan seperti biasanya, aku menjadi orang yang terakhir yang pulang.

“Tega banget aku di bully sama mereka..” Rajuk Mang Dedi tiba-tiba memelukku.

Aku terlonjak kaget dan memberontak dari pelukannya, “Mas jangan dong!! nanti diliat orang” protesku celingak-celinguk melihat keadaan sekitar. Takut kalau ada yang melihat kami.

“Hehehe. Sorry sayang” balasnya terkekeh melapaskan pelukan.

“Mas tuh ya! Liat-liat situasi sedikit napa!!” kataku menaikkan nada karena memang aku merasa tak senang dengan caranya.

“Abis aku kangen banget sama kamu Dek Liya..” rayunya dengan dengan manja.

Aku kemudian melayangkan cubitan di pinggangnya, “Tapi gak begitu juga Mas!!” ucapku ketus sambil mengeluarkan dompet.

“Loh?? loh?? Dek Liya udah mau pulang??” tanya Mang Dedi heran.

Aku mengangguk, “Iya. Udah di tungguin sama suami” balasku berbohong.

"Gak mau nyantai dulu gitu sama aku?" Tanya Mang Dedi menepuk pantatku tiba-tiba.

Sekali lagi aku mencubitnya, "Mas tolong ya!! Aku gak suka!!" Kataku dengan nada yang marah.

“Tapi sama yang ini suka kan?” Ucap Mang Dedi tiba-tiba mengeluarkan penisnya dari balik celana dengan begitu berani.

Sontak aku kaget dan reflek mendekat menahan celananya, “Mas apaan sih!! jangan begitu!!” Ucapku protes sambil melihat-lihat keadaan sekitar lagi. Rasanya benar-benar takut dilihat oleh orang.

“Abisnya Dek Liya nolak aku terus..” ucapnya merajut dan cemberut.

“Mas tolong!! aku udah punya suami” balasku meminta pengertiannya.

Tapi Mang Dedi tampak tidak mau mendengarkanku, “Kemaren aja kamu desah-desah sama kontolku”

“PLAAAAAKKKK”

Tanganku reflek menampar pipinya. Sudah habis kesabaranku dari tadi meladeni cara Mang Dedi yang selalu saja memperlakukanku layaknya wanita murahan. Aku tau kalau aku yang membukakan pintu pada hubungan terlarang ini, membiarkan Mang Dedi menikmati tubuh dan ragaku sekali, tapi bukan untuk hal seperti ini aku melakukannya.

“Cukup Mas! Aku gak suka dengan caramu” Ucapku menatap tajam matanya.

Mang Dedi tampak cukup shock dengan tamparan ku tersebut dan meringis memegangi pipinya dengan telapak tangannya.

Perlahan-lahan, pandanganku mulai mengabur oleh gumpalan air mata yang kemudian jatuh membasahi pipiku. Hatiku terasa sangat sakit, perih didadaku menjalar ke setiap syaraf yang ada di tubuhku hingga membuat badanku terasa sangat lemas.

Tak pernah aku merasakan diriku sehina ini sebelumnya, diperlakukan bak wanita murahan yang gampang dirayu dan dijamah oleh laki-laki lain semaunya.

“De--dek??” panggil Mang Dedi yang terlihat kaget melihatku menangis.

Dengan mata yang berkaca-kaca aku menatapnya, “Apa aku terlihat murahan di matamu Mas?” tanyaku padanya.

“Tidak.. tidak sama sekali Dek Liya. Kamu wanita terbaik yang ada buat aku” balasnya mendekat memegang tanganku.

Aku lalu menghempaskan tangan, “Lalu kenapa kamu perlakukan aku seperti salah satunya!!” teriakku sedikit kencang tak peduli kalau orang di sekitarku bisa mendengarnya.

"Dek.. Aku--"

"Aku apa Mas?? Mas pikir aku murahan?? Karena itu Mas memperlakukan aku seenaknya saja?? Iyaa???" Ucapku yang terus menangis.

“Ma--maafkan aku Dek.. aku tidak bermaksud-”

"Tidak bermaksud apa Mas?" Tanyaku memotong pembicaraannya.

"Tidak bermaksud membuatku semakin merasa bersalah??? Aku sudah punya suami Mas!! aku sudah mengkhianati dia demi kamu!!" Sambungku mencecarnya.

“Maafkan aku Dek.. Maafkan aku..” Ucapnya dengan lirih.

Bersamaan dengan itu, air mata yang tadi berusaha aku tahan kembali membuncah keluar, “Aku bukan wanita seperti itu Mas!! aku tidak seperti itu!” balasku menyangkal tatapannya.

“Aku tau Dek Liya... Aku yang salah” jawab Mang Dedi terus mengaku.

“Kamu duduk dulu disini ya..” lanjutnya menarik tanganku masuk ke dalam pos ronda.

Dengan lemas aku mengikuti Mang Dedi yang kemudian menuntunku duduk di lesehan bambu yang menjadi saksi bisu awal perbuatan terlarang kami. Ku hempaskan tangannya yang memegang tanganku, dan aku menunduk. Menatap kakiku yang menapak lantai pos ronda itu.

Beberapa menit ku habiskan dengan diam dan menahan tangisku yang semakin membuatku sesegukan berkali-kali. Kurasakan Mang Dedi memegang bahuku sambil kemudian merendahkan tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan wajahku. Namun aku membuang muka ke arah lain, tak ingin menatapnya.

Sekuat hati aku menafikkan diri, berkata dalam hatiku bahwa aku bukanlah wanita murahan. Menyangkal setiap pikiran buruk itu sambil mengucap kata-kata penenang berulang kali agar hatiku ikut tenang.

Tapi jauh dari lubuk hatiku, aku tau kalau sebenarnya aku adalah perempuan itu. Perempuan yang tak bisa menahan godaan nafsunya, seorang istri yang tak dapat menjaga kesucian pernikahannya, dan seorang wanita yang dengan rela membiarkan laki-laki lain menikmati tubuhnya.

“Aku tau sayang..Aku tau pengorbanan besarmu untukku.. Maafkan aku” Ucapnya begitu lembut.

Mang Dedi bergerak menelangkupkan tangannya pada pipiku dan menyeka air mataku dengan ibu jarinya.“Aku sayang sama kamu” ucapnya tiba-tiba.

“Aku memang terlihat seperti ini, tapi yakinlah setiap hari aku berdoa agar kamu bisa jadi milikku Dek Liya” lanjutnya mengecup pelan bibirku.

Tapi dengan begitu cepat aku tahan bahunya, "Jangan Mas!! Jangan lagi" Pintaku setengah memohon.

Ini tidak boleh terjadi dan terulang lagi. Aku sudah punya keluarga, dan sudah sekali mengkhianatinya. Satu-satunya cara agar aku bisa keluar dari kubangan dosa ini adalah dengan tidak mengulangi kesalahanku dan tetap menjaga kesetiaan ini saja.

Namun Mang Dedi tak menyerah, “Kenapa Dek Liya? Aku sangatlah mencintaimu. Tolong jangan tolak aku” rayunya setengah berbisik.

Aku terdiam, mendengar Mang Dedi terus mengucapkan kata-kata mesra itu sambil menatap mataku dalam-dalam seolah ingin menunjukkan kebenaran dan keseriusannya.

Mang Dedi lalu menarik pelan daguku mempertemukan bibir kami. Dia mengecup dan sedikit melumatnya hingga detak jantungku dibuat berdegup kencang. Bibirnya mulai melumat pelan dan begitu mesra bibirku.

Perasaankupun menjadi tidak karuan. Antara takut kembali hanyut dan senang bercampur dengan rangsangan yang mulai menjalari tubuhku kembali.

"Mashh..." Ucapku masih mencoba melepaskan diri dengan niat yang setengah-setengah itu.

"Tenanglah Dek Liya. Aku tidak akan menyakitimu" balasnya menenangkanku.

Aku terpejam merasakan hatiku menghangat oleh ciuman dan mendengar ucapannya tersebut. Mulai lagi luluh dengan kata bualan yang belum aku ketahui benar atau tidak, namun dengan sangat cepat dapat mampu menghapus nada keragu-raguan yang ada dalam diriku.

“Bodohh.. kamu memang bodoh Liya!!” batinku berteriak dengan sangat kencang.

Baru beberapa saat yang lalu aku membela diri dengan mengatakan bahwa aku bukanlah wanita murahan yang gampang dirayu. Namun lihat sekarang, aku seperti termakan dengan omonganku sendiri dan kena getahnya saat membiarkan Mang Dedi menciumiku.

Bahkan aku senantiasa membuka bibirku untuknya. Membiarkan nafas kami saling menghembus dengan lambat, manis dan memabukkan diantara ciuman terlarang itu.

“Ya Tuhan, Maafkan aku” lagi-lagi aku berteriak dalam hati.

Lambat laun tangisku berhenti dan mengering, mulut yang tadinya menolak itu kini malah mendesah lirih merasakan ujung lidah Mang Dedi bergerak terpaut dalam gerakan yang erotis menyusuri setiap rongga dalam mulutku.

Aku menggeliat, merasakan posisiku sudah mulai tak nyaman oleh birahi yang dibangkitkan oleh Mang Dedi. Apalagi tangannya sekarang mulai menggerayangi badanku, mengirim rangsangan demi rangsangan yang semakin membuatku hanyut dalam permainannya.

“Aku kangen sama kamu Dek Liya..” ucap Mang Dedi tersenyum.

“Kamu mau maafin aku kan??” sambungnya lagi bertanya.

Ingin rasanya sekali lagi aku menampar wajahnya tersebut karena sudah kembali meruntuhkan tembok pertahananku dengan mudah. Aku lagi-lagi hanyut hanya dengan sedikit kata rayu dan sebuah gerakan yang menipu itu.

Aku lalu mengangguk, menyerahkan lagi keraguan terakhirku padanya, “Janji ga gitu lagi??” ucapku menuntut.

“Aku janji sayang” balas Mang Dedi tersenyum sumringah padaku.

Kuseka mataku yang daritadi basah itu lalu berdiri bangkit, “Yasudah kalau gitu aku mau pulang” kataku merapikan baju.

Namun Mang Dedi menahan tanganku, “Tapi aku masih kangen sama kamu Dek.. Bantu aku sekali ini saja..” pintanya memelas dan memohon padaku.

Aku kemudian melihatnya sebentar dalam diam, mencari-cari sebuah alasan kenapa aku harus mau mengabulkan permintaannya yang sudah pasti akan mengarah pada penyelewengan lagi.

“Aku harus bantu apa Mas??” tanyaku mendengus ikut merasa kasihan.

“Jangan marah ya tapi!!” Ucapnya terdiam sebentar. Lalu dia menarik nafas melanjutkan, “Aku mau diemutin sama kamu..” sambungnya dengan berani.

"HAAHH??" Ucapku tidak percaya dengan apa yang dia katakan barusan.

Mang Dedi lalu manyun, "Tuh kan marah lagi" ucapnya menyerah.

Tapi sebenarnya, kali ini aku tak marah mendengar permintaan cabulnya itu. Justru badanku malah merasa sedikit aneh dibuatnya karena tiba-tiba saja darahku berdesir panas dingin dan jantungku berdebar sangat cepat dibuatnya.

Permintaan Mang Dedi yang begitu kotor itu, malah sukses membuat badanku bergelinjang geli merasakan vaginaku berdenyut saat aku ikut terbayang adegan dimana aku sebagai seorang istri dan seorang muslimah yang taat sedang mengulum kejantanan Mang Dedi tempat umum seperti ini.

Apalagi ketika aku secara sadar betul bahwa laki-laki penjual sayur itu juga merupakan seorang non muslim yang berbeda denganku.

“Ohh.. ada apa ini??” batinku seperti menggeliat.

Aku menyapukan pandanganku ke sekitar melihat apakah ada orang yang lewat, “Di--disini Mas??” tanyaku tergugup ragu.

“Iya Dek. Sebentar saja kok..” pintanya sudah tidak sabaran.

“Ka--kalau ada orang liat gimana??” tanyaku masih sangat ragu.

Mang Dedi lalu menarik badanku merapat ke arah dinding, “Duduk disini Dek. Gak bakalan ada orang yang liat dari luar” ucapnya menjelaskan.

Aku berdiam diri sejenak, menimbang apa yang harus aku lakukan. Ragu awalnya untuk memenuhi permintaan gila Mang Dedi tersebut mengingat kondisi dan situasi yang rawan seperti ini.

Namun diam-diam aku merasa tertantang, birahiku malah naik semakin menggebu-gebu membayangkan betapa nakalnya aku jika mau menuruti keinginan gila tersebut.

Dan lagi-lagi, ada perasaan aneh yang menyembul dalam hatiku saat ingin merasakan seperti apa rasanya menakalkan diri dengan cara yang belum pernah aku lakukan sebelumnya.

“Sebentar saja!” ucapku mengangguk pelan menyetujui sambil memastikan kembali keadaan di sekitar.

Mang Dedi tersenyum girang, “Iya sebentar saja” Ucapnya menuntunku.

Bak seekor kerbau yang di cucuk hidungnya, aku kemudian menurut saja saat Mang Dedi menyuruhku berlutut tepat diantara selangkangannya.

Posisiku saat ini sedikit bersandar membelakangi tembok pos ronda yang lumayan tinggi tersebut, sehingga dari luar tak ada yang dapat menyaksikan keberadaanku yang ada di bawah Mang Dedi.

“Bukain dong sayang!” kata Mang Dedi saat aku hanya melihat saja.

Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat lagi dan adrenalinku jadi terpacu. Hatiku sedikit memberontak dan berkata bagaimana kalau seandainya ada orang yang melihat kami.

Namun aneh aku tak dapat menahan tanganku yang bergerak sendiri menurunkan resleting celana pendek yang dipakai oleh Mang Dedi. Pelan-pelan kugunakan tanganku menjangkau penis besar yang berada didalamnya tersebut dan mengeluarkannya.

Seketika penis itu meloncat keluar menampar wajahku, “Hehehe... maaf sayang sudah tegang” kekeh Mang Dedi mengelus kepalaku.

Aku menggeleng sebentar menatap tak percaya. Tubuhku langsung meremang ketika bau khas penis Mang Dedi yang menyengat dari biasanya itu menembus hidungku. Aku bahkan bisa merasakan wajahku memanas sampai ke bagian telinga belakangku.

“Ini dia!!” batinku girang saat aku kembali berjumpa dengan penis besar nan perkasa milik Mang Dedi yang tempo hari sudah memberikan kenikmatan luar biasa padaku.

Aku berdeham kecil. Tenggorokanku mendadak tersendat dan kering. Butuh kendali diri yang kuat untuk sekadar menatap batang penis besar yang berada di depanku tersebut.

"Kenapa sayang?? Kamu kan udah pernah melihat dan merasakannya." rayu Mang Dedi melihatku seperti terpatung di antara selangkangannya.

Harus kuakui memang, berapa kalipun aku melihat kejantanan Mang Dedi, aku tidak bisa berhenti dibuat takjub dan terangsang olehnya. Batang itu terlihat hitam kecoklatan dan nampak begitu perkasa sekaligus seksi dimataku.

Apalagi dengan ujungnya yang tersembunyi malu-malu di dalam kulupnya yang tidak disunat itu. Yang entah bagaimana seolah menghipnotisku untuk segera menjilat dan merasainya.

Dengan masih sedikit ragu, aku menjulurkan tanganku pelan untuk menyentuh dan memegangi penis Mang Dedi. Seperti biasa, aku reflek hanya meremas batang kejantanan yang tak disunat itu terlebih dahulu dengan sesekali memberikan pijatan-pijatan lembut sampai batang itu menjadi mengeras dan membesar.

Hangat, berdenyut dan keras. Itulah tiga kata yang bisa menggambarkan bagaimana rasanya penis Mang Dedi di dalam genggamanku tersebut. Tampak terlalu besar pula hingga aku harus mengerahkan kedua tanganku untuk memegangnya.

Kuarahkan tanganku ke bagian pangkal penis Mang Dedi dan kutarik kulupnya ke bawah dengan pelan. Sehingga kini kepala penisnya yang berwarna pink itu menyembul keluar fari tempatnya.

"Ho...Ho... udah pinter kamu melayani kontol tak disunat Dek Liya" racau Mang Dedi dengan seenaknya.

Aku tak mempedulikan omongan kotornya tersebut dan memajukan bibirku mengecup ujung penis Mang Dedi yang sedikit basah oleh cairan yang keluar dari lubang kencingnya. Rasanya amat tidak asing, sedikit ada asinnya, tapi tidak seasin itu.

Namun aku tetap mengecup penis itu tanpa merasa jijik sama sekali. Dengan mulutku, aku kemudian membasahi kepala penis Mang Dedi dengan air liur dan mengulum hanya pada bagian kepala yang berbentuk seperti jamur itu.

Licin, dan nikmat. Aku menghisap dengan kuat dan melepaskannya beberapa kali hingga membuat Mang Dedi menggelinjang geli.

"Ooughhh.." Dia mengerang memegangi kepalaku yang terbungkus hijab.

Aku kembali meraih penis Mang Dedi, kali ini langsung ku masukkan sedalam mungkin ke dalam mulutku. Kuhisap dan kuputar lidahku di dalam sana, lalu ku tarik lagi keluar untuk mengambil nafas.

Menyisakan sedikit batangnya dalam mulutku dan kembali mendorongnya masuk hingga ujung kejantanan Mang Dedi itu menumbuk pada tenggorokanku.

Aku terbatuk sebentar, melepas batang penis itu. Air mataku bahkan keluar sedikit, dan Mang Dedipun tersenyum melihatku. "Pelan-pelan aja sayang.. jangan buru-buru begitu." Ucapnya memberikan saran.

Aku lagi-lagi tak menjawab. Perlahan-lahan kumasukan kembali penis Mang Dedi pada mulutku dan ku hirup air liurku yang meleleh di batang kejantanannya itu.

Penuh rasanya mulutku, Semakin lama aku menghisap penis Mang Dedi, semakin lupa pula aku bahwa saat ini kami tengah berada di pos ronda dan aku menghisap kejantanan lelaki lain selain suamiku.

Perasaanku yang diselubungi nafsu syahwat itu membuatku semakin buta dan bernafsu memaju mundurkan kepalaku mengocok penis keras Mang Dedi yang penuh menusuk langit-langit dan tenggorokanku.

Sedang dilanda nafsu berat itu, tiba-tiba saja samar aku mendengat suara anakku Tasha yang berbicara dengan lantangnya dari kejauhan.

"Caca mau es krim Abi!!! Pokoknya mau es kriimm!!"

DEGHHH!! Aku langsung terkejut. Tiba-tiba tubuhku kehilangan tenaga dalam sekejap mata. Napasku tertahan dan jantungku berdegub sangat kencang. Aku mencoba menarik kepalaku dan mengeluarkan penis Mang Dedi dari mulutku.

Namun seketika itu aku gagal karena Mang Dedi menahan kepalaku serapat mungkin di selangkangannya, "Ssssttt... jangan bergerak Dek Liya! Ada suami dan anakmu" ucap Mang Dedi meletakkan telunjuknya di bibir.

Ternyata dugaanku benar. Ada Tasha dan suamiku yang mendekat ke arah kami saat kudengar pula nada suamiku berbicara, "Iya sayang.. nanti siang kalu kamu udah makan kita beli es krim" ucap suamiku terdengar membujuk Tasha.

"Kok sepi Mang?? Pada kemana?" Lanjut suamiku bertanya pada Mang Dedi.

Jantungku terasa semakin mau copot mendengar suara suamiku semakin dekat dengan tempatku yang sedang mengulum penis Mang Dedi. Ini benar-benar sesuatu hal yang sangat gila yang pernah aku perbuat. Berselingkuh nyari di depan suamiku sendiri.

"Iya nih Da, udah pada balik" jawab Mang Dedi dengan santainya.

Mang Dedi mengeliatkan badan dan menggerakkan pinggul memompa penisnya di mulutku. Sekuat tenaga aku mencubit pahanya melarang agar dia tidak bergerak karena takut ketahuan. Tapi Mang Dedi terus saja memegang kepalaku dan memasukkan penisnya semakin dalam pada mulutku.

"Mang, gak liat istri saya?" Tanya suamiku lagi.

"Tadi udah kesini Uda. Nyari terong katanya" balas Mang Dedi. Sementara di bawah sini aku tak henti-hentinya berusaha memberontak untuk melepaskan diri.

"Hahaha. Iya nih Mang. Istri saya emang paling suka makan terong" balas suamiku dengan bodohnya. Tidak tau kalau di depannya saat ini aku sedang mencicipi "Terong" lelaki lain.

Mang Dedi lalu terkekeh menatapku ke bawah, "Iya kayaknya Mbak Liya emang paling suka sama terong" ucapnya seolah sedang meledekku.

Bukannya merasa marah dengan candaan Mang Dedi tersebut, aku justru merasakan vaginaku semakin berdenyut-denyut melakukan perbuatan yang sangat tabu dan nakal seperti ini di depan suamiku sendiri.

Walau dia tak menyadari sama sekali, tapi itu semua sudah cukup membuat adrenalinku begitu terpacu. Wajahku semakin memanas, badanku seakan menggigil panas dingin dibuatnya. Namun kini aku malah semakin ingin pula melanjutkannya.

"Halo om baik" ucap Tasha tiba-tiba ikut menyapa Mang Dedi.

Mang Dedi lalu membalas melambaikan tangannya, "Halo Caca" jawabnya tersenyum.

Aku sempat lupa bahwa Mang Dedi dan Tasha sudah pernah bertemu sebelumnya. "Caca sudah kenal sama Om ini?" Tanya suamiku heran.

"Udah Abi.. Ini kan Om baik" jawab Tasha dengan gemasnya.

"Loh? Baik kenapa emangnya?" Tanya suamiku sekali lagi.

Sontak aku tersadar kemana arah pembicaraan ini, "Om baik mau bantuin Caca punya adek Bi.." balas Tasha dengan polosnya.

Hampir saja aku tersedak oleh penis Mang Dedi mendengar Tasha anakku dengan gamblang berbicara seperti itu pada Abinya. Aku malah ikut mengutuk diriku karena belum sempat melarang Tasha berbicara kepada suamiku perihal masalah "buat membuat adik" tempo hari.

"Oh ya??" Teriak suamiku penuh nada sindiran.

Namun Mang Dedi dengan cekatan membela dirinya, "Haha.. Becanda itu Uda!! Saya cuma bermaksud mau ngasih boneka buat jadi Adek-adekan Caca" balas Mang Dedi berkilah.

Sementara dibawah sini aku semakin gencar saja menjilat penis Mang Dedi dengan mulutku sambil sesekali mengurut batangnya yang besar. Dalam hati aku cukup girang melihat Mang Dedi seperti kewalahan di interogasi suamiku disaat bersamaan dengan serangan mulut dan lidahku pada penisnya.

"Emang Caca kenal sama Om ini dimana?" Tanya suamiku sekali lagi.

Tasha terdengar berdiam sebentar lalu menjawabnya, "Kan Om nya mandi di rumah kita Bi.." balasnya yang lagi-lagi jujur.

Baik aku dan Mang Dedi sama-sama terkejut dan semakin berkelojotan salah tingkah saat mendengar jawaban dari Tasha.

Di tengah pembicaraannya dengan anakku tersebut. Mang Dedi semakin blingsatan menerima layanan mulutku pada batang penisnya. Tubuhnya semakin menegang saat bibirku menyedot kedua biji batangnya secara bergantian.

Entah darimana aku mempelajari cara seperti itu, namun dengan nafsu yang begitu membara membuatku berpikir kalau hal tersebut perlu dilakukan untuk menambah kepuasan Mang Dedi.

"Waduh.. kapan itu?" Selidik suamiku sekali lagi.

Mang Dedi kemudian memotong, " Hehehe...Hari selasa kemarin Mas.. kebetulan saya mau pinjam jas hujan sama Mbak Liya, tapi karena gak ketemu jadi saya neduh dulu di rumah" balasnya menjelaskan seperti maling yang kedapatan.

Dibawah sini aku terus bermain-main dengan Penis Mang Dedi yang sudah sangat keras dengan aroma khasnya itu. Kemudian kujilati dari buah pelirnya terus naik kebatang dan kumainkan lidahku berputar-putar dikepala jamurnya.

"Kok istri saya ga pernah bilang ya?" Tanya suamiku belum merasa puas.

"Mungkin lupa Uda, lagian itu ga penting-penting amat. Saya kebetulan numpang mandi karena udah basah kuyup duluan" lanjut Mang Dedi membalas.

Tidak puas bermain-main dengan batang kemaluannya saja, mulutku lalu bergeser ke bawah menyusuri guratan urat yang memanjang dari ujung kepala kemaluan Mang Dedi hingga ke pangkalnya.

Semakin lama semakin membuatku bernafsu pula akibat aroma penis Mang Dedi yang memabukkan dan adrenalinku yang terpacu saat melakukan perselingkuhan secara diam-diam ketika ada suamiku tersebut.

Namun setelah tak berapa lama berbincang dengan suamiku, Mang Dedi menunduk ke arahku dan berbisik, "Aku mau keluar" ucapnya memberi aba-aba.

Seketika aku jadi gelagapan, karena sebentar lagi Mang Dedi akan memuntahkan cairan spermanya. Sedangkan aku bingung harus memuntahkan dimana, sementara penisnya saja masih tertanam di mulutku dengan begitu mantap.

"Yaudah kalau gitu saya mau pamit dulu Mang! Kalau liat istri saya, tolong bilangin saya nyari dia" Ucap suamiku terdengar tiba-tiba.

Aku sedikit bisa bernafas lega karena setidaknya suamiku akan pergi saat Mang Dedi akan mengeluarkan cairan spermanya. Sehingga aku dapat dengan cepat mengeluarkan penis Mang Dedi dari dalam mulutku.

"Oougghh. Mantep sekali!!! Aku mau ngecrot di mulutmu Dek Liya" racau Mang Dedi terlepas.

Dugaanku ternyata amat sangat salah. Karena setelah suamiku pergi, Mang Dedi mengerang dan mengeram keras menahan kepalaku di penisnya hingga membuat kemaluan besarnya itu makin masuk ke dalam menyentuh tenggorokanku.

"Mmppphh.... mmmmppphh..." protesku dengan mulut tertahan.

Dalam usahaku yang memberontak itu pulalah, Tiba-tiba saja kerongkonganku terasa tersiram oleh cairan hangat yang langsung mengalir jatuh ke dalam perutku dengan begitu banyak.

CROOTTT!!! CROOTTT!!! CROOOTTT!!! CROOTTTT!!

Aku tersadar kalau Mang Dedi telah mengeluarkan spermanya dalam mulutku sampai aku menelannya secara langsung. Tubuh Mang Dedi yang bergetar itupun langsung aku dorong sekuat tenaga sehingga dia jatuh tersungkur di lantai dengan penis yang masih menembakkan spermanya.

"PLAAAAKKKKK!!!" lagi-lagi ku tampar wajah Mang Dedi.

Bagian 11 : Terbayang



Liya​

Dalam perjalananku pulang ke rumah, aku mencoba menata hatiku yang penuh dengan rasa cemas tak terkira. Perasaan berdosa karena telah berbohong terhadap suamiku benar-benar menjadi beban buatku. Aku ingin segera bertemu dengannya untuk memastikan kalau dia tak salah paham mendengar perkataan Tasha tadi.

Aneh memang karena sekarang aku tak lagi merasa bersalah ketika berselingkuh dengan Mang Dedi. Justru kesalahpahaman kecil seperti inilah yang membuatku lebih khawatir, karena aku merasa lebih takut ketahuan dibanding melakukan penyelewengan itu sendiri.

“Kamu sudah benar-benar gila Liya” batinku menggeleng-geleng mengingat kelakuanku di pos ronda tadi.

Sebenarnya perasaan birahiku masih saja menggebu-gebu dalam dada. Terlalu sulit melupakan kejadian saat aku terpaksa menelan cairan sperma Mang Dedi ke dalam mulutku. Walau ada perasaan jijik yang membuatku sedikit mual, namun ternyata rasa cairan putih itupun tak seburuk yang kubayangkan sebelumnya. Atau mungkin aku malah sedikit menyukainya, karena sperma Mang Dedi terasa begitu gurih, asin, pahit dan sedikit manis saat aku menelannya.

Tapi sebelum aku mengakui, harga diriku bergerak lebih cepat sehingga aku dengan sengaja melayangkan tamparan ke wajah Mang Dedi. Bukan marah karena dia menumpahkan spermanya di mulutku, tapi kesal karena dia tidak meminta ijin terlebih dahulu.

Akupun meninggalkan Mang Dedi dalam keadaan terheran begitu saja. Sengaja pula tak ku bayar sayuran yang kubeli darinya karena aku merasa gemas dan kesal dengan perbuatannya tersebut.

Sifat jahil dan suka bercanda yang dimiliki Mang Dedi memang adalah alasan utama kenapa aku ingin dekat dengannya dari awal, karena aku membutuhkan hiburan saat aku merasa kesepian di tinggal suamiku. Akan tetapi kalau sudah kelewatan seperti ini, akupun merasa harus segera bertindak agar dia tak semena-mena terhadapku.

“Darimana Mi..??” sapa suamiku yang ternyata menyambut di depan pintu rumah.

Aku sedikit terkaget lalu memasang senyum palsu seperti seorang pemain sinetron, “Dari konter Bi!! Umi beli kuota” jawabku membohonginya.

“Pantesan tadi Abi nyari ke Mang Dedi gak ada..” balas suamiku mengambil barang belanjaanku dari tangan.

Kami berdua kemudian berjalan masuk ke dalam rumah menuju dapur, “Emangnya Abi ngapain cari Umi segala??” tanyaku berpura-pura.

“Itu tadi Caca merengek minta Es Krim mulu!! Abi bilang nunggu Umi balik belanja.. Eh dianya malah pengen nyusulin kamu katanya” balas suamiku menjelaskan.

“Trus anaknya mana??” tanyaku lagi.

Suamiku memonyongkan bibirnya ke dalam kamar, “Itu lagi video call-an sama neneknya. Dia lagi cerita mau punya adik” jawab suamiku.

“Uhuukk.. uhukk..” aku terbatuk kaget. “Mau punya adik darimana??” tanyaku merasa menggigil.

“Tau tuh. Katanya dari Om Baik” jawab suamiku dengan nada penuh sindiran.

Aku berpura-pura memalingkan wajah mengambil air minum, “Mang Dedi??” tanyaku berusaha sesantai mungkin.

“Iya. Umi kok tau??” balas suamiku bertanya.

“Kemaren katanya mau beliin boneka buat Caca sih. Buat jadi Adek-adekan” jawabku memberi alasan yang sama seperti alasan Mang Dedi.

Akan tetapi suamiku tampaknya sudah mulai sedikit curiga, “Umi kok gak ngomong sih kalau Mang Dedi pernah dateng ke rumah?? pake numpang mandi pula!” tanyanya penuh selidik.

“Umi lupa Bi! Lagian itu udah dua hari yang lalu..” jawabku duduk di meja makan.

Kurasakan lututku sebenarnya sangat lemas dan jantungku berdegub sangat kencang memberitahukan kebohongan demi kebohongan pada suamiku sendiri untuk menutupi perbuatan terlarangku. Namun disetiap kali suamiku memakan kebohonganku tersebut, ada perasaan puas yang begitu aneh melegakan hatiku.

“Iya tapi kenapa sampai mengizinkan dia mandi di rumah kita segala??” lanjut suamiku bertanya.

Aku menatap balik, “Kasihan Bi! Dia udah basah kuyup sampai disini” balasku menjelaskan.

“Kalau udah basah kuyup kenapa gak sekalian pulang aja??” suamiku masih belum menyerah.

Namun kali ini aku kehabisan alasan untuk menjawabnya, “Maksud Abi apaan?” tanyaku berbalik.

“Engga ada maksud apa-apa!” balas suamiku berkilah.

“Trus kenapa nanya-nanya kayak menuduh Umi gitu??” tanyaku lagi.

Kali ini suamiku yang menatap balik, “Umi merasa tertuduh??” tanyanya padaku.

Aku tiba-tiba terdiam. Otakku berusaha mencari alasan yang tepat untuk menjawab. Tapi aku semakin gugup seperti seorang penjahat yang berusaha berkilah saat di interogasi, namun akhirnya tertangkap basah juga.

“Kok diam??” tanya suamiku sekali lagi.

Aku mengangkat kedua bahuku, “Abi mau Umi jawab kayak apa??” tanyaku.

“Gak tau! Mungkin sedikit kejujuran” kata suamiku.

“Jujur tentang apa?? Umi cuma ngobrol doang sama Mang Dedi” balasku semakin berkilah.

Namun tampaknya suamiku malah semakin yakin dengan tuduhannya, “Abi gak nuduh Umi berbuat apa-apa loh tadi. Eh ternyata kalian mengobrol juga” ucapnya penuh nada sindiran.

“Emang Umi gak boleh ngobrol sama orang selain Abi gitu?? Abi aja udah jarang ngobrol sama Umi..” Ucapku tak kalah ingin menyindirnya.

Beruntung tampaknya sindiranku lah yang lebih terasa oleh suamiku, dia tergagap. “A—Abi-”

“Abi apa?? Abi kerja gitu??” ucapku memotong obrolannya. “Selama ini Umi udah nyoba tahan dan mengerti sama Abi, tapi kalau Abi kayak gini Umi juga gak bisa diam” lanjutku mencecarnya.

Suamiku masih terdiam, “Umi kesepian Bi!! Anakmu kesepian juga!! setiap hari Abi berangkat sebelum dia bangun, pulang-pulang setelah dia tidur. Gimana gak kesepian coba????” teriakku dengan lantang.

Mungkin tadi aku memulai obrolan ini dengan sebuah kebohongan karena ingin menutupi perselingkuhanku. Akan tetapi tampaknya obrolan inipun akhirnya dapat ku manfaatkan sebagai sarana meluapkan emosi dan ketidaksukaan terhadap suamiku yang terus-terusan bekerja itu.

“Ma—maafin Abi, Mi!” ucap suamiku memelas.

Aku tertawa kecut, “Dan sekarang?? Abi punya masalah kalau Umi ngobrol sama orang??” tantangku membalikkan tuduhannya tadi menjadi bumerang yang menyerangnya sendiri.

“Maaf Umi. Abi benar-benar tidak tau” balasnya menatap lembut padaku.

Aku kemudian berdiri dari meja makan, “Terserah Abi saja!” ucapku ketus meninggalkannya.

Aku lalu pergi ke dalam kamar dan merebahkan diriku diatas kasur dengan perasaan berkecamuk tak bisa dijelaskan. Marah karena aku sudah mulai hilang kendali dan tidak tahu diri. Sedih karena sudah membohongi suamiku. Dan lega karena berhasil mengungkapkan uneg-uneg yang selama ini aku tahan-tahan.

Tak kusadari tiba-tiba saja air mataku telah melompat keluar membasahi pipiku. Aku kembali merasa jijik dan hina dengan diriku sendiri. Seandainya saja waktu itu aku tidak tergoda nafsu untuk berselingkuh, mungkin saat ini aku tidak akan pernah bertengkar dengan suamiku.

Entah sampai kapan pula akan kutanggung rasa bersalah ini. Tetapi setidaknya aku masih beruntung karena suamiku belum mengetahui kalau istri yang selama ini dikenalnya sebagai seorang perempuan alim itu, sudah merelakan tubuhnya di gauli dan dinikmati oleh pria lain selain dirinya.

Sampai ketika malam menjelangpun, baik aku dan suamiku masih berdiam diri tak saling menyapa satu sama lain. Ini adalah pertengkaran kami untuk pertama kalinya selama masa enam tahun kami menjalani pernikahan. Dan sunggu rasanya sangat tidak mengenakkan dihati dan pikiranku.

“Mi! Udah tidur??” sapa suamiku dari sebelah.

Walau sedang marahan, kami berdua masih tidur diatas ranjang yang sama. “Belum.. kenapa?” tanyaku membalik badan.

“Abi mau minta maaf” Ucap suamiku menggapai tanganku. “Maafin Abi udah nuduh Umi macem-macem. Maafin Abi juga karena udah terlalu sering ninggalin Umi demi kerjaan” lanjutnya setengah berbisik.

“Itu doang??” tanyaku mengangkat alis.

Suamiku terlihat bingung, “Emangnya ada lagi Mi??” tanyanya heran.

“Ada. Minta maaf karena Abi gak pernah bisa muasin Umi di ranjang” balasku dalam hati.

“Kok diem??” tanya suamiku sekali lagi.

Aku menggeleng, “Gapapa Bi! Umi juga minta maaf karena lupa ngasih tau Abi tentang Mang Dedi” ucapku yang lagi-lagi berbohong.

“Engga, Umi gak perlu minta maaf soal itu. Abi tau Umi cuma pengen punya temen ngobrol” jawab suamiku seolah mengerti.

Aku lalu tersenyum, “Jadi gak cemburu lagi nih?” tanyaku menyindirnya.

“Eleehh.. Siapa juga yang cemburu sama tukang sayur..” jawab suamiku berkilah.

“Itu tadi apaan nuduh-nuduh istrinya kalau bukan cemburu?” sindirku lagi.

Suamiku seketika cemberut, “Abis dianya bilang mau bikinin Adek buat Caca. Abi kan cemburu!!” balasnya padaku.

“Itumah Abi aja yang salah paham sama omongan Caca.. Masa’ Mang Dedi mau bikin Umi hamil!! Yang bener aja!!” kataku tiba-tiba berdesir mengucap kata “Hamil” tersebut.

“Iya juga sih. Kagak mungkin juga ya” ucapnya mengangguk-angguk. “Yaudah deh kalau gitu Umi temenan aja sama Mang Dedi” lanjut suamiku bersemangat.

“Loh kok gitu??” tanyaku penasaran.

“Katanya Umi butuh temen ngobrol??” tawar suamiku.

Aku tersenyum meledeknya, “Yakin ga cemburu??” tanyaku sekali lagi.

“Yakin” angguk suamiku dengan cepat. “Lagian kayaknya Mang Dedi orang baik” lanjut suamiku berusaha menilai.

“Ah Masa’?? tadi aja ada yang cemburu banget..” ucapku meledek.

“Iya kayaknya. Lagian dia ga pernah godain Umi jugakan walau udah berduaan di rumah??” tanya suamiku menebak.

Entah setan apa yang datang menghampiriku saat itu, aku malah merasa ingin sedikit menggoda suamiku, “Emang Abi tau??” ucapku mendekat pelan kearahnya.

“Ga tau juga sih” balas suamiku menelan ludah. ”E--emangnya dia godain Umi??” tanya suamiku tergugup saat dengan sengaja kuelus bagian selangkangannya.

“Kalau Umi digodain gimana Bi?? cemburu gak??” tanyaku semakin memancing jawaban dari suamiku.

Mendadak hatiku dipenuhi perasaan aneh yang tak pernah kualami sebelumnya. Suatu perasaan yang sangat sukar untuk kulukiskan dengan kata-kata saat aku tertantang oleh birahi untuk menggoda suamiku dengan cara seperti ini.

“Ya.. Ce—cemburu pasti Mi!” balas suamiku menatapku dengan tatapan tidak percaya.

Aku kemudian tertawa, “Kok tegang begini??” tanyaku menggapai penisnya dari balik celana dan meremasnya pelan.

“Kerjaan Umi kan!” ucap suamiku merenguh memejamkan matanya.

“Umi gak digodain sih. Cuma dibilang cantik aja Bi” ucapku mulai mengurut-urut penis suamiku dari dalam celananya.

Namun suamiku malah semakin melenguh, “Ouughh... Tr—trus apa lagi??” tanya suamiku di sela-sela nafasnya yang semakin memburu.

“Mang Dedi bilang Umi tipe wanita dia banget” jawabku mempercepat kocokan.

Hatiku semakin girang melihat ekspresi suamiku yang tampak keenakan merasapi genggaman dan pijatan tanganku pada batang penisnya. Lambat-laun sentuhanku pada penis suamiku tersebut seakan ikut menjalarkan sensasi-sensasi aneh dalam tubuhku. Bahkan ketika aku dengan sengaja mengucap-ngucap nama Mang Dedi, sensasinya pun menjadi bertambah membuatku menggelinjang tanpa kusadari.

“Oouugghh.. enakk Mi!!” desah suamiku kembali keluar dari mulutnya.

Tak mau kalah dengan tanganku yang memberikan servis pada penisnya, suamiku tiba-tiba menyusupkan tangannya masuk ke dalam celana tidurku. Aku hanya bisa menggelinjang saat jemari suamiku itu akhirnya menekan tepat pada luaran vaginaku.

“U—umi basah??” tanya suamiku terheran.

Aku kemudian mengangguk mempercepat kocokanku pada penisnya saat tangan suamiku tersebut ikut mengalirkan getaran pada bagian tubuhku yang paling peka. Tanpa bisa kutahan-tahan lagi, cairan vaginaku terasa basah membersit keluar dari dalam lorongnya, meleleh membasah kepermukaan tangan suamiku.

Aku merasa malu sekali. Mengapa bisa seperti ini? Mengapa aku jadi bergejolak hanya karena membayangkan pujian-pujian Mang Dedi sambil menggoda suamiku. Apakah memang aku sudah setergantung ini kepada tukang sayur itu?

“Ohhh.. enakk Masshh!!” balasku mendesah tanpa sengaja membayangkan kalau bukan suamikulah yang sedang meraba tubuhku.

Namun beruntung tampaknya suamiku tak menyadari hal itu karena dia juga tengah fokus merasakan nikmat akibat kocokan tanganku yang semakin cepat pada penisnya.

“Ughhh.. mau keluar Mi!” ucap suamiku tiba-tiba saja melemahkan gerakan tangannya di vaginaku.

Dengan secepat kilat, aku reflek menggantikan tangan suamiku tersebut dengan tanganku kiriku sendiri sambil yang kanannya tetap terus mengocok penis suamiku. Aku bergerak mengikuti instingku sendiri dengan mencolok-colok lubang vaginaku merasakan nikmat itu mulai menemui ujungnya.

Dibarengi dengan erangan suamiku yang tiba-tiba keluar, akupun kemudian merasakan hantaman gelombang kenikmatan yang bersumber dari kelanjar syarafku yang paling peka, gelombang yang sudah aku kenali itupun serasa meledak begitu saja menerjang bendungan pertahanku.

“Ouuughhhh....” lenguhku begitu panjang.

Tubuhku bergetar dan menggelinjang diatas kasur seakan terbang ke awang-awang. Membuat vaginaku ikut berkedut-kedut ribuan kali seperti memancarkan kehangatan di sepanjang lorongnya. Aku merasakan orgasme yang datang kali ini sangat berbeda, karena begitu cepat dan mendadak sehingga aku tak sadar sedang berada di samping suamiku.

“U—umi gapapa??” tanya suamiku tergagap melihatku sedang dilanda puncak birahi.

Dalam sisa kesadaranku pun kemudian aku mengangguk pelan, “Gapapa Bi! Umi cuma keenakan” ucapku menatap langit-langit kamar.

Terbayang wajah Mang Dedi tersenyum menyeringai.

Bagian 12 : Tak Lagi Malu



Liya​

Aku tidak tau sejak kapan, yang jelas ini adalah pertama kalinya aku mulai merasakan resah karena tidak bertemu dengan Mang Dedi. Rasanya seperti disesak oleh sesuatu yang abstrak layaknya menanggung sebuah beban berat dalam hati.

Sudah dua hari ini sosok itu menghilang, tak berkabar bak di telan bumi. Setiap hari bahkan membuatku menggerutu dengan kesal sambil berbolak-balik menatap pada layar hp, menunggu balasan chat darinya.

“Apa dia marah karena ku tampar tempo hari??” tanyaku dalam hati.

Perlahan-lahan akupun mulai menjadi munafik, ikut mensugesti diri bahwa inilah waktu yang tepat untuk mengakhiri hubungan terlarang ini. Padahal, hampir setiap putaran waktuku dalam dua hari ini selalu memunculkan nama Mang Dedi dan Mang Dedi.

Bahkan terkadang ada bisikan dalam hati yang menyadarkanku agar tidak berlebihan menenggelamkan diri dalam perasaan terlarang ini. Tapi aku selalu tidak bisa. Atau mungkin, tak mau.

Entahlah, rasanya sekuat apapun aku mencoba menipu diri dan perasaanku, aku seakan menyadari bahwa aku memang akan selalu merindukan sosoknya yang mengundang tawa dan birahi itu.

“TING!!!”

“Maaf Dek Liya. Aku lagi sakit..” Pesan Mang Dedi datang merekahkan senyuman di bibirku.

Tapi kemudian aku malah khawatir mendengar kabarnya, “Mas sakit apa??” tanyaku membalas pesan.

“Cuma panas doang Dek” balasnya lagi.

“Mas sudah makan?? udah berobat??? yang jagain di rumah siapa??” balasku balik penuh dengan pertanyaan.

Namun Mang Dedi hanya menjawabnya singkat, “Di rumah sendirian..” ucapnya membalas.

Tiba-tiba saja, muncul keinginan dalam hatiku untuk bertemu dengan Mang Dedi yang sedang sakit itu. Entah karena merasa khawatir atau mungkin diam-diam karena aku merindukannya, tapi yang pasti hatiku menggebu-gebu membayangkan pertemuan kami di rumahnya tersebut.

Tanpa berpikir panjang, aku kemudian bertanya. “Rumah Mas dimana?? biar aku kesana..” Balasku lagi.

Selang beberapa menit kemudian, Mang Dedipun membalas pesanku dengan membagikan lokasi rumah miliknya. Aku lalu tersenyum dengan singkat, karena ternyata alamat tersebut tidak terlalu jauh dari rumahku dan dapat di tempuh dengan angkutan umum selama kurang lebih 10 menit perjalanan.

“Tunggu aku, aku mau kesana Mas..” ucapku kembali membalas pesannya.

Dengan segera aku kemudian berjalan ke dapur untuk menyiapkan makanan yang ingin ku bawa ke rumah Mang Dedi. Beruntung tadi pagi aku sempat memasak sup ayam yang secara kebetulan juga bagus untuk dimakan dalam keadaan sakit. Sambil juga menyiapkan sedikit makanan kecil seperti tahu dan tempe goreng untuk membantu menambah nutrisi dan mengisi perut Mang Dedi yang pasti tengah kekosongan karena sedang sakit seperti ini.

Dari ruang tamu, suamiku tampak sedikit heran melihatku yang siang-siang berada di dapur tersebut. “Tumben masaknya jam segini” tanya suamiku terheran.

“Iya, Umi mau pergi keluar sebentar gapapa kan Bi??” tanyaku sambil meminta izin dengan cepat.

Suamiku menghampiri dengan heran, “Emangnya Umi mau kemana siang-siang begini???” tanyanya penasaran.

“Mau ke pasarlah Bi!, udah dua hari ini gak ada Mang Dedi jadi Umi gak belanja. Kalau gak masak sekarang nanti keburu capek pulang dari pasarnya..” balasku menjelaskan.

Entah darimana alasan yang tiba-tiba saja terbesit dari dalam kepalaku itu. Namun penjelasanku tersebut cukup meyakinkan sebagai alasan bagi suamiku untuk mengizinkanku pergi. Memang iblis selalu punya cara untuk menggoda dan memberikan kesempatan untuk siapa saja yang ingin berbuat kemaksiatan.

“Mau Abi anter??” tanya suamiku menawarkan bantuan.

Aku lalu menggeleng singkat, “Gausah.. kalau Abi ikut nanti yang jagain Caca siapa??” balasku lagi.

“Tinggal bawa Caca juga beres!” jawab suamiku santai.

Namun tentu saja aku tidak bisa membiarkan mereka ikut karena aku tidak berencana pergi ke pasar, “Kalau Caca ikut, yang ada dia minta jajan terus. Umi jadi repot belanjanya” ucapku beralasan.

“Oh iya ya! Kalau Caca ikut mah bukan Umi yang belanja, tapi Caca..” balas suamiku terkekeh pergi meninggalkanku.

Tanpa perlu berlama-lama kemudian aku akhirnya selesai memasak dan menatanya kedalam kotak makanan yang sudah kusiapkan. Tak lupa pula aku memasukkan kotak makanan tersebut ke dalam totebag belanjaanku agar nantinya suamiku tidak terlalu curiga.

Aku lalu beranjak ke dalam kamar mengganti baju dan merias penampilanku. Layaknya seorang kekasih yang ingin berkunjung ke rumah pacarnya, akupun berniat ingin tampil secantik mungkin untuk bertemu dengan Mang Dedi.

Sengaja ku pakai gamis favoritku yang berwarna merah muda dengan hijab lebar yang sewarna pula. Beberapa aksesoris seperti kalung dan jam tangan pun aku pakai untuk menambah penampilanku. Tak lupa pula aku merias wajah dengan make up yang agak tebal, ditambah pilihan lipstick yang sedikit merah menyala.

“Kesukaan Mas Dedi...” ucapku dalam hati saat ku patut wajahku dari cermin.

Memang dulu saat awal-awal kami berkenalan, Mang Dedi selalu bilang kalau dia ingin melihatku sedikit berdandan dan memakai lipstick merah menyala. Dia memuji kalau aku pasti akan tambah cantik jika rajin merawat diri dan berdandan sehari-hari untuknya. Dan kini, aku berencana mengabulkan keinginannya tersebut.

“Wuidihh.. ini mau ke pasar atau kondangan Mi?? Rapi bener..!!” ledek suamiku saat aku menghampirinya di ruang tamu.

Aku tersenyum dan memutar badanku, “Gimana?? Umi udah cantik belum Bi??” tanyaku meminta pendapatnya.

“Cantik banget Mi!! Cantik gak ada duanya” jawab suamiku mengacungkan kedua jempolnya.

Aku mengulum senyum sedikit tersipu malu di puji suamiku tersebut. Namun yang terbayang kemudian justru wajah Mang Dedi yang pasti akan sangat senang melihat penampilanku sesuai dengan apa yang dia inginkan.

“Yaudah Umi jalan ya Bi!! jangan lupa jagain Caca..” ucapku menyalami suamiku.

Dalam hati ada sedikit perasaan yang bergetar saat aku dengan berani dan kurang ajarnya berpamitan sekaligus bersalaman dengan suamiku sebelum pergi kerumah selingkuhanku sendiri. Aku merasakan diriku sedikit hina melakukan hal seperti ini, namun jantungku tak dapat berbohong kalau akupun sebenarnya menantikan momen untuk bertemu Mang Dedi di rumahnya.

Di perjalanan singkat menuju rumah Mang Dedi tersebut, beberapa kali aku mencoba mengatur nafasku untuk menghilangkan rasa grogi dan cemasku. Baru kali pertama juga untukku bertandang ke rumah orang lain setelah aku pindah ke jakarta. Apalagi yang akan aku datangi justru adalah rumah laki-laki yang bisa dikatakan sebagai selingkuhanku itu. Jadi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berdebar-debar dibuatnya.

Sesuai prediksi sebelumnya, hanya butuh waktu 10 menit perjalanan ke rumah Mang Dedi yang ku tempuh dengan menaiki angkot. Cukup membingungkan juga karena ternyata rumah Mang Dedi berada cukup dalam di pojokan gang sehingga aku harus berjalan dengan kaki.

Dengan arahan dan petunjuk dari Mang Dedi, akhirnya akupun sampai di sebuah kontrakan yang berdiri berjejer tiga buah pintu dan memilik cat oranye. Dipaling ujung sebelah kiri terdapat tanda “Kontrakan Kosong.” Sedangkan yang di tengah-tengahnya nampak memiliki penghuni ditandai dengan sebuah sepeda motor yang parkir di terasnya.

Rumah Mang Dedi sendiri berada di bagian paling kanan kontrakan tersebut, nampak sebuah salib besar berwarna sedikit keemasan bertengger di daun pintunya. Di depan kontrakannya juga di tumbuhi sebuah pohon mangga cukup besar dengan adanya lesehan dari bambu di bawahnya.

“Assalamualai--” reflek salamku terhenti saat aku teringat kalau Mang Dedi bukanlah seorang muslim.

Namun seketika daun pintu rumah itupun terbuka dan menampakkan sosok Mang Dedi hanya memakai celana pendek saja, “Sudah datang kamu Dek!” sapanya tersenyum ke arahku.

“Ihh.. Mas nakal ga pake baju” ucapku pura-pura menutup wajahku dengan tangan.

Mang Dedi nampak sedikit memaksakan senyumnya, “Mari masuk Dek” ucapnya mempersilahkanku. Terlihat wajah Mang Dedi sedikit pucat dan bibirnya memutih karena sedang dalam keadaan sakit.

“Permisiiii!!” ucapku setengah berbisik sambil reflek celingak-celinguk kearah sekitar. Takut ada yang melihat aku sebagai perempuan sedang bertamu ke rumah lelaki bujangan disiang bolong begini.

“Masuk aja! Gak ada orang kok” kata Mang Dedi tersenyum melihatku.

Aku kemudian mengangguk pelan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya sambil kemudian Mang Dedi mengunci pintu. “Kok di kunci??” tanyaku sedikit kaget.

“Biar gak ada yang gangguin kitalah..” jawab Mang Dedi santai memegang tanganku dan menuntun melewati ruang tamu kontrakannya.

Dari belakang aku hanya mengikuti saja langkah Mang Dedi sambil melihat-lihat keadaan sekitar rumahnya. Satu yang membuatku kagum, karena meskipun Mang Dedi hanya hidup seorang diri, rumahnya terlihat sangat terawat begitu bersih dan wangi.

“Maaf gak ada tempat duduk..” Ucap Mang Dedi menarik tanganku duduk diatas kasur springbed tanpa dipan itu.

Kupandangi sekali lagi sekitar kamar tersebut seolah masih terasa asing, “Rapi banget. Mas udah punya istri??” Ucapku bertanya seakan masih tidak percaya.

“Ini istri aku baru dateng..” Ucap Mang Dedi memeluk tubuhku secara tiba-tiba. Badannya terasa hangat dan nafasnya tampak tak begitu beraturan.

Dengan sigap aku kemudian melepaskan pelukannya tersebut. “Jangan macem-macem!! lagi sakit juga!!” ucapku dengan nada ketus lalu berdiri.

“Aku bawa makanan buat Mas.. Mas pasti belum makan kan??” lanjutku mengeluarkan kotak makanan yang sudah aku bawa dari rumah.

“Wahh... dibawain makanan segala. Baik banget istriku” ucap Mang Dedi yang lagi-lagi memanggil aku sebagai istrinya.

Namun entah kenapa aku tidak merasa risih dan memprotes panggilannya tersebut seolah-olah akupun juga suka dipanggil seperti itu olehnya. Lagipula Mang Dedi sedang sakit dan tak punya tenaga, sehingga aku mencoba memaklumi saja perkataannya tersebut.

“Nih dimakan Mas!” ucapku membuka satu-persatu kotak makanan yang ku bawa di dekatnya.

Mang Dedi lalu merengek manja, “Suapin dong Dek!” pintanya membuka mulut.

“Makan sendiri!! udah gede juga” balasku tetap ketus dan gemas dengan gayanya yang lebay itu.

“Tapi kan aku sakit Dek. Kemaren aja aku di tampar dua kali sama kamu” ucapnya mengungkit-ungkit kejadian dua hari yang lalu.

Aku mencubit tangannya pelan, “Salah Mas yang sembarangan aja buang cairan!” kataku ketus.

“Abisnya Mas ga bisa nahan Dek. Mulut kamu enak banget” balasnya terkekeh.

Kukepalkan tanganku di wajahnya, “Ini bogem aku juga enak loh!!” ucapku dengan gemas.

Kami lalu tertawa berbarengan seperti pasangan kekasih yang tengah dimabuk asmara, tak peduli bahwa saat ini aku berada di rumah laki-laki lain sedangkan statusku saja adalah seorang istri, ibu dan perempuan baik-baik.

Tapi yang terpikirkan olehku justru hanyalah rasa senang dan berbunga saat kami berdua larut dalam tawa dan canda itu. Entah apa yang akan terjadi besok, namun kupilih untuk menikmati momen saat ini dengan sepenuh hati.

“Suapin ayo Dek!!” pinta Mang Dedi merengek-rengek.

Aku menggeleng-geleng tidak karuan melihat sikapnya yang seperti anak kecil tersebut, “Dasar ABG tua!” ucapku mengambil sendok dan menyuap nasi.

Terpaksa akhirnya akupun mulai menyuapi Mang Dedi sedikit demi sedikit makanan yang ku bawa dari rumah itu. Sambil ku tahan perasaan senang dan menggebu dalam hatiku karena aku tidak pernah memperlakukan seseorang se spesial ini. Bahkan untuk suamiku sekalipun.

“Mmmm... enak banget masakan kamu sayang!” ucap Mang Dedi pelan mengunyah makanannya.

“Yaiyalah, Uni-uni minang loh ini!!” jawabku berbangga dengan asalku.

Sambil terus mengunyah makanan, Mang Dedi bertanya. “Di padang ada gereja gak sih Dek??” tanyanya penasaran.

“Ada, tapi cuma dikota doang. Kalau di kabupaten aku gak ada. Jangankan gereja, non muslim aja gak ada” ucapku menjelaskan sedikit tentang daerahku.

Memang sampai saat ini di kabupaten tempat aku berasal belum pernah tercatat warga atau pendatang yang menetap beragama lain selain islam. Karena itu aku pun tidak pernah bertemu dengan orang yang berbeda agama sebelumnya.

“Berarti aku yang pertama kamu kenal dong??” tanya Mang Dedi tampak sumringah.

Kuanggukkan kepalaku sedikit mengiyakannya, “Mas yang pertama” ucapku tersenyum.

“Asikk.. yang pertama tuh biasanya berkesan loh Dek” ucapnya dengan nada penuh kesoktahuan.

Aku menyuapkan dia lagi sambil mencibir, “Berkesan apaan? Biasa aja tuh!” jawabku meledeknya.

“Yakin aku kalau kamu bakal inget aku terus” ucap Mang Dedi dengan percaya diri. “Apalagi sama yang gak disunat gini” lanjutnya mengelus selangkangan.

“Mas matanya udah pernah di colok sama sendok belum??” tanyaku mengancam.

Tapi mataku tak dapat menahan untuk tidak melirik ke arah selangkangan Mang Dedi yang tampak membokong seperti tak memakai celana dalam itu. Aku yakin di dalam sana batang penis besar itu tengah menegang.

“Hehehe.. Ampun istriku” ucapnya terkekeh mengangkat kedua tangannya. Lalu kemudian dia tersenyum melanjutkan,“Tapi coba sekali jujur deh Dek. Kamu suka kan sama kontolku ini??” tanyanya sekali lagi.

Entah kenapa jantungku tiba-tiba merasa berdegub sangat kencang diberikan pertanyaan yang kotor tersebut. Tak kusadari bawah alasannya memang karena apa yang dibilang oleh Mang Dedi tersebut adalah benar. Aku menyukai penis besarnya itu, penis perkasa tak di sunat yang mampu membuatku seperti panas dingin hanya dengan melihat siluet dibalik celananya saja.

“Kalau diem berarti bener..” celetuk Mang Dedi dengan senangnya.

Tapi lagi-lagi aku masih mencoba menjaga harga diriku, “Sok tau!” balasku merasakan kalau wajahku ikut memanas akibat kebohongan dan kemunafikanku sendiri.

“Udah buru abisin makanannya!!” sambungku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Kalau marah berarti bener...” ucap Mang Dedi merayuku.

Aku lalu menggeleng menahan senyum, “Enggak marah tuh!! aku seneng begini!” balasku meledeknya.

“Kalau seneng lebih bener lagi Dek..” jawab Mang Dedi seperti tak mau kalah.

Aku kemudian mengambil botol minuman dan memberikannya pada Mang Dedi, “Ah curang!” balasku melongos dari hadapannya.

“Ya berarti kamu emang suka sama kontolku..” sengir Mang Dedi.

“Apaan sih kontal kontol terus!” balasku menutup kotak makanan yang telah habis dilahap Mang Dedi saat kami dengan asyiknya mengobrol.

“Udah kamu ngaku aja Dek..” rayu Mang Dedi terkekeh.

Karena merasa sedikit kesal dengan pertanyaannya, akupun kemudian mengangguk-angguk terpaksa, “Iya-iya.. Suka-suka.. benar-benar” balasku bercanda meledeknya.

“Dih.. kok jawabnya begitu banget??” ucap Mang Dedi tidak terima.

“Ya abis mau gimana lagi??” balasku menjulurkan lidah.

Tiba-tiba saja Mang Dedi meraih pinggangku dan menarik badanku jatuh diatas kasur, “Ngomong gini coba.. Aku suka kontolmu Mas!!” pinta Mang Dedi padaku.

“Ogah!!” teriakku meledeknya.

“Kamu mah begitu. Jahat sama aku” balas Mang Dedi merajuk.

Kusunggingkan senyum membalikkan badan ke arahnya, “Jahat gimana??” tanyaku berpura-pura.

“Iyalah.. aku aja sampai di tampar dua kali” jawabnya kembali mengungkit-ungkit tamparan itu.

“Sebentar lagi tiga kali kalau Mas ngungkit-ngungkit terus” ucapku mengancamnya.

Kami kemudian sama-sama kembali tertawa diatas kasur ini dengan perasaanku yang sudah sangat nyaman dipeluk dan dirangkul oleh Mang Dedi. Seperti biasa, Mang Dedi mencairkan suasana dengan begitu mudah hingga membuatku lupa waktu ketika berlama-lama dengannya.

“Kamu cantik banget hari ini. Lipsticknya merah pula” Puji Mang Dedi padaku.

Sontak hatiku langsung berbunga-bunga dibuatnya karena merasa usahaku berdandan untuk Mang Dedi mendapat pujian yang aku harapkan.

Aku mengulum senyum bahagia, “Buat siapa coba??” ucapku memonyongkan bibir.

“Hehehe. Pengertiannya istriku” balas Mang Dedi terkekeh memanggil aku sebagai istrinya lagi.

Tapi kemudian aku pun masih saja tidak keberatan dan malah semakin senang ketika mendengarnya memanggilku dengan sebuatan “Istri”-nya tersebut. Entah mungkin ada yang salah dalam diriku saat seharusnya aku marah mendengar sebutan itu, namun aku memilih untuk membiarkan telingaku manja oleh kata itu.

“Boleh aku cium gak nih??” lanjut Mang Dedi bertanya padaku.

Kuanggukkan kepala dengan pelan, “Boleh” ucapku singkat dan tersenyum.

Seketika Mang Dedi mendekatkan mukanya ke arah wajahku dan mengecup pelan bibirku, “Manis” ucapnya berkomentar sebentar.

Lalu bibir Mang Dedi memaut bibirku kembali namun dalam tempo yang cukup lama. Bibir kami hanya menempel hangat, tak ada pagutan tak ada gerakan. Hanya saling bertukar nafas yang sudah mulai tidak beraturan karena sudah didatangi birahi dan syahwat.

Dengan lembut, Mang Dedi meraihku ke dalam pelukannya. Lama dibiarkannya tubuhku dan tubuhnya bersatu sambil ciuman kami mulai sedikit bergerak saling menaut dan mengejar bibir masing-masing.

Dengusan nafas Mang Dedi terdengar memburu didaun telingaku, entah karena dia sedang sakit atau sedang bernafsu. Akan tetapi dapat kurasakan ciumannya pada bibirku mulai agresif. Kecupan-kecupan ringannya sudah mulai menjadi pagutan dan lumayan yang seolah menghisap bibirku masuk ke dalam bibirnya.

“Oohh.. Masshh..” ucapku mulai mengeluarkan desahan lirih.

Mang Dedi kembali mencoba menciumku. Kali ini lebih rekat dengan dekapannya yang sangat erat tak mau melepas. Akupun juga tak mau menghindar, tempatku bergerak hanya bila aku membalas menyosor ciumanya itu.

Tangannya menempel di bagian tengkukku yang masih terbalut hijab, bibir kami bertemu, sementara lidah kami saling mengisi rongga kosong yang ada di mulut masing-masing.

Perlakuan Mang Dedi itu semakin membuatku lemas terbuai kenikmatan. Selama beberapa menit lamanya kami bercumbu dengan penuh gairah, lidah kami saling belit dan saling jilat, air liur kami saling bertukar dan nafas kami bersahut-sahutan.

“Eeemmm...mmmhh....ssllkk...ssssllrrp!” suara desahan tertahan terdengar dari mulutku saat berpagutan dengannya.

Selama ciumannya itu pula, tangan Mang Dedi tidak pernah diam menjelajahi tubuhku, tangan kirinya yang terhimpit oleh kepalaku masih dapat mengelus bagian leher, sedang tangan kanannya berada di bagian belakang dan meremasi bongkahan pantatku dengan gemasnya.

Perasaan aneh yang nikmat mulai terasa seiring dengan remasan-remasan Mang Dedi pada pantatku tersebut. Aku mencoba menggeliat menggerakkan diriku tapi benar-benar tidak mampu karena dekapan Mang Dedi begitu kuat mengunci tubuhku.

"Dek Liya.. aku sayang sama kamu.. aku cinta sama kamu" Ucap Mang Dedi berkata lirih menatap mataku dalam.

Aku tersipu malu karena ungkapan cintanya yang bertubi-tubi itu., "Sayangi aku semaumu Mas..." ucapku mengelus pipinya yang terasa hangat.

"Tapi untuk sekarang saja ya?! Di rumah sudah ada suamiku yang menunggu.." Lanjutku tersenyum mengingatkannya kalau aku adalah istri dari orang lain.

Namun Mang Dedi justru mengendurkan pelukannya, "Aku mau kamu seutuhnya Dek Liya" Ucapnya tiba-tiba serius.

"Ga bisa Mas! Aku masih mencintai suamiku.." jawabku tak kalah serius padanya.

"Kalau begitu kasih aku perhatian yang sama!" Pinta Mang Dedi cemberut menuntutku.

Tiba-tiba hatiku bimbang merasa bingung dan kasihan. Entah bagaimana caranya aku memberikan perlakuan yang sama kepada Mang Dedi sedangkan dia hanyalah selingkuhanku.

Tak mungkin aku akan memperlakukannya sama dengan caraku memperlakukan dan melayani suamiku sendiri. Namun melihat dia seakan cemburu dengan suamiku tersebut, tak pelak membuat hatiku luluh dan sadar bahwa dia memang benar-benar telah jatuh hati padaku.

"Aku akan kasih Mas sesuatu, belum pernah aku kasih sama siapapun termasuk suamiku sendiri" ucapku tiba-tiba teringat dengan tontonan di youtube yang pernah kulihat tempo hari.

Mang Dedi tersenyum merekah mendengarnya, "Wah.. sesuatu apaan tuh?" Ucapnya bertanya nanar penuh dengan rasa penasaran.

Aku lalu tersenyum menggodanya sambil kemudian bangkit dari kasur untuk menjangkau smartphone yang berada di dalam tas yang kubawa. Dengan secepat kilat aku mungusap layarnya untuk mencari pemutar musik yang sebelumnya sudah ku isi dengan beberapa lagu dangdut tersebut.

"Mas tunggu aja!" Ucapku merasa sangat nakal membayangkan apa yang akan kulakukan di depannya.

Begitu suara musik mulai terdengar, aku kemudian menjauhkan badanku dari hadapan Mang Dedi dan mulai menggerakkan sedikit pinggulku untuk berjoget mengikuti alunan ritme musik dangdut yang aku putar.

"Wow.." kata Mang Dedi menganga melihatku meliukkan badan di depan matanya.

Sebenarnya cara ini tak sengaja kulihat di youtube sebagai referensi dalam memuaskan suami di ranjang. Dan akupun sudah beberapa kali melatih diri agar gerakanku tidak terlalu kaku saat aku mempersembahkannya pada suamiku nanti.

Namun pada akhirnya, ternyata bukan kepada suamikulah aku mempersembahkannya. Melainkan kepada tukang sayur yang juga berstatus sebagai selingkuhanku.

"Suka gak?" Tanyaku penasaran masih bergoyang pelan di hadapan Mang Dedi.

Mang Dedi mengangguk girang menandakan kalau dia benar-benar menyukainya. Sedangkan aku merasa gemetar menahan malu merasakan detak jantungku berdebar dengan kencang melakukan goyangan-goyang erotis.

"Kamu sudah gila Liya!" Batinku berteriak menolak segala perbuatanku ini.

Rasanya begitu tabu dan penuh pelecehan, Aku yang harusnya menjadi perempuan yang menjaga iman agama itu justru malah berubah bak seorang biduan dangdut yang mengundang hasrat birahi. Aku yang harusnya menjadi seorang istri yang baik itu, justru malah menari-nari di depan lelaki lain selain suamiku sendiri.

Namun anehnya mukaku malah terasa semakin memanas dan seluruh bulu kudukku seketika merinding, tanda kegembiraan dan gairah seksualku yang sudah mulai meninggi. Ditambah lagi dengan perasaan hina pada tubuhku yang seolah bangga dan tak mau berhenti di tatap nanar oleh mata Mang Dedi.

Merasa nafsuku yang sudah berada di ubun-ubun, sedikit demi sedikit aku mulai menghilangkan rasa malu dan sungkan yang ada di dalam diriku. Sedikit demi sedikit, aku mulai memberanikan diri menampakkan lekuk tubuhku yang sedari tadi tersembunyi di balik gamis dan hijab yang ku pakai.

"Seksinya kamu Dek Liya" komentar Mang Dedi masih terpana mengelus penis yang masih tersembunyi dibalik celana pendeknya.

Aku kemudian semakin bersemangat melihat reaksi serta mendengar pujian Mang Dedi itu.

Dengan kedua tangan, aku tangkap bongkahan daging payudaraku dan memijit mereka bersama-sama dari balik gamis yang masih menutupi badanku. Di dalamnya, Puttingku ikut mengeras seolah tak mau ketinggalan merasakan sensasi seperti ingin dipertontonkan juga.

"Ougghh.. Mashh..Akuu nakall.." bisikku lirih sambil terus memainkan payudaraku diiringi muskin dangdut yang semakin menambah panasnya suasana.

Kulirik sejenak Mang Dedi yang bersandar pasrah di atas kasur sambil jakunnya naik turun menelan ludah, dengankan tangan kanannya tidak henti-henti mengelus dan meremas batang kejantanannya yang sudah semakin terlihat menonjol.

"Iyahh.. emang nakal kamu Dek.. kamu benar-benar binal.." Ucap Mang Dedi dengan kotornya.

Akan tetapi kata-kata itu justru malah membuatku semakin bernafsu dan liar. Melakukan adegan menggairahkan seperti ini saja sudah membuat aku merasa tubuhku menjadi begitu panas dan keringatku mengucur dengan derasnya. Apalagi di tambah dengan komentar-komentar lucah Mang Dedi itu.

"Lihat pantatku juga Mass.." ucapku lalu membalikkan tubuhku. Masih sambil bergoyang-goyang membelakangi Mang Dedi.

Entah darimana aku mendapat ide untuk melontarkan kalimat-kalimat mesum nan mengundang itu. Tapi yang jelas, aku semakin terangsang dan bersemangat ketika mengucapkannya di depan Mang Dedi.

Saat ini pula, aku sangat yakin kalau Mang Dedi menginginkan tubuhku untuk direngkuhnya segera. Dan akupun juga sangat menginginkan itu darinya. Namun persembahan ini baru saja dimulai, karena selanjutnya aku membuka perlahan resleting gamisku dan menurunkannya dengan gerakan yang begitu pelan.

Untuk pertama kalinya, aku dapat melihat dengan jelas arah mata Mang Dedi yang mengikuti gerakanku tengah melucuti diri dari gamis yang aku pakai. Aku merasa jika dadaku seolah mau meledak karena perasaan senang, bangga, bingung, malu, dan semua emosi lain yang bercampur menjadi satu.

Seharusnya, seorang wanita alim tak pantas berbuat seperti ini. Seorang istri sholehah juga tak sepatutnya memamerkan tubuh miliknya kepada orang lain selain suami.

Namun disinilah aku sekarang, bertelanjang diri hanya memakai dalaman di depan laki-laki lain dan merasa tersanjung karena tatapan nakalnya.

"Ayo tunjukan kenakalanmu Dek Liya" pinta Mang Dedi menyemangatiku. “Aku tau kalau sebenarnya kamu adalah wanita nakal" seringainya melanjutkan.

Malu tapi mau, sungkan tapi pengen, hina tapi bernafsu. Itulah perasaan yang aku alami ketika mendengar kalimat dan perkataan Mang Dedi padaku.

Dan masa bodoh dengan semua itu karena aku sudah sangat terangsang. Sudah tak peduli dengan image seorang perempuan alim dan istri setia. Yang jelas, saat ini aku ingin segera digumuli oleh Mang Dedi untuk mengarungi kenikmatan birahi bersama-sama sampai ke tepian samudera syahwat yang memberikan kenikmatan duniawi yang luar biasa.

"Mashh.. aku sangeee..." Ucapku merengek menahan gesekan birahi makin menyambangi badanku yang terbuka di depan mata Mang Dedi.

Masih dalam balutan lagu dangdut yang berdurasi panjang itu, aku terus melucuti diri dengan gaya yang lambat penuh godaan. Sengaja kubuat ekspresi sebinal mungkin sambil menjulurkan lidah dan menggigit bibir bawahku saat aku bergoyang meliuk-liuk.

Kali ini giliran penutup dadaku yang meluncur jatuh dengan cepat. Membuka dan mempertontonkan bongkahan daging payudara kecilku yang ikut-ikutan terbebas, melompat dengan indahnya dari sana.

Mendadak, aku merasa hembusan angin yang ada dikamar tidur Mang Dedi itu begitu dingin membangkitkan bulu kudukku dan membuat puting payudaraku mencuat, dan yang pasti vaginaku makin terasa basah.

"Cantik sekali kamu Dek Liya.." ucap Mang Dedi masih mengomentariku. “Ayo sini Dek.. sudah gak sabar aku pengen ngentotin kamu..” pinta Mang Dedi sambil melambaikan tangannya kearahku.

Namun aku menggeleng pelan dan manja, "Belum saatnya Mas" Ucapku semakin menggodanya.

Kutangkap bongkahan daging pipi pantatku dan mulai kuremas gemas di depan matanya. Kugoyangkan pinggulku dengan sangat genit sembari terus meliuk dan bergoyang erotis.

"ASTAGA..." batinku berteriak.

Melakukan gerakan-gerakan erotis secara langsung di hadapan laki-laki lain seperti ini seolah memberikan sensasi birahi yang sangat menggebu. Rasanya begitu indah, begitu menantang, dan begitu menggairahkan.

Akupun sebenarnya tahu, jika apa yang sedang kulakukan saat ini adalah sebuah perbuatan dosa, sebuah dosa yang akan membawa kenikmatan bagi diriku, dan Mang Dedi selingkuhanku. Tapi birahiku sendiri sudah menghipnotis alam bawah sadarku untuk tetap bergerak memberikan tontonan-tontonan erotis pada Mang Dedi.

"Jangan dibuka hijabnya sayang" tahan Mang Dedi saat aku akan bergerak membuka hijabku.

"Kamu lebih cantik pakai hijab seperti itu.. lebih seksi.. lebih menggairahkan.." lanjutnya mendengus-dengus meremas penisnya sendiri.

Aku tidak mengerti kenapa Mang Dedi tetap memintaku memakai hijab lebar ini. Bukankah rasanya lebih seksi kalau aku bertelanjang bulat di hadapannya tanpa tertutupi sehelai benangpun?

Namun karena ini adalah persembahan untuk Mang Dedi, jadi aku akan memenuhi permintaannya tersebut tanpa berpikir lebih panjang.

Dari yang tadinya aku ingin membuka hijabku, kini aku malah beralih meraih kedua pinggiran celana dalamku yang berada di pinggang.

"Yang ini dibuka gak Mas??" Tanya tersenyum nakal menggodanya.

Mang Dedi tercekat sebentar menelan ludah, "Oh pastinya dong sayang" jawabnya penuh kegirangan.

Perlahan-lahan kemudian akupun menggoyangkan badanku ke kiri dan ke kanan sambil sedikit demi sedikit kuturunkan balutan celana dalamku dari bagian selangkangan.

"Oughhhh..." aku bergetar. Merasakan semilir angin menyapu bagian vagina dan pantatku yang mulai terbuka di hadapan Mang Dedi sambil menengadahkan kepala dan memejamkan mata menahan nikmat.

Seketika aku sudah bertelanjang di hadapan Mang Dedi. Telanjang di depan mata lelaki lain selain suamiku. Dan telanjang di hadapan pria yang sebentar lagi akan menikmati tubuhku ini.

Tiba-tiba aku merasa tertantang. Ingin menunjukkan organ terpenting dari tubuh wanitaku itu kepada Mang Dedi. Ingin menunjukkan celah kenikmatanku yang berkedut membasah karena menantikan sodokan dan tusukan penis besarnya di vaginaku, lalu menumpahkan sperma panasnya di dalam rahimku.

"Ngangkang dong Dek.." perintah Mang Dedi memiringkan kepalanya.

Seolah mendapat hipnotis, entah kenapa aku kemudian menarik lebar-lebar kedua kakiku untuk mengangkang begitu lebar sambil berdiri di hadapan Mang Dedi.

“Woooww... becekkk...” komentarnya sekali lagi.

Aku mengangguk pasrah, “I--iya Massh…. Sudah becekkhh….” ucapku menahan diri sangat malu.

Sengaja tak kuliah wajah Mang Dedi yang tengah memperhatikan selangkanganku yang ternyata sudah melelehkan cairan begitu banyak sampai terasa hangat di pahaku.

“Kamu benar-benar wanita nakal Dek Liya. Gak cocok sama hijabmu itu.” Ucap Mang Dedi tersenyum melecehkanku.

"Taa--tapi Mas suka kan?? Ouugghhh.." balasku melenguh mempertahankan posisiku yang mengangkang sambil berdiri itu.

Mang Dedi tertawa sedikit, "Suka banget sayang. Ayo lanjutin lagi jogetnya" sambungnya kembali bersandar di pinggiran kasur.

Mendapat perintah dari Mang Dedi, aku kembali berusaha menggoda Mang Dedi sambil terus menggoyang-goyangkan pinggulku. Namun sekarang dengan objektif yang berbeda karena aku merasakan gatal di beberapa bagian sensitifku.

Sekarang rasanya bukan lagi untuk memuaskan Mang Dedi dengan persembahan erotisku, namun justru untuk memuaskan hasratku sendiri yang sudah berada di ubun-ubun.

Aku meremas payudara dan pantatku beberapa kali seperti seorang pelacur yang sedang memberikan undangan gratis kepada lelaki lain untuk dapat menidurinya.

“Entotin aku Masshh... entotin akuuhhhh....” ucapku membatin dalam hati sembari terus bergoyang erotis.

Aku seperti cacing yang kepanasan. Sekarang, karena nafsuku sudah tak tertahankan lagi, aku menjadi buta akan rasa malu ataupun sungkan. Sekarang, aku berani untuk bermain-main dengan puting payudaraku, aku berani untuk meremas pantatku, dan aku berani untuk mengobel liang vaginaku sendiri di hadapan Mang Dedi.

“Oooggghh... ooouugghhhh... sshhhh....” desahku pelan sambil menggelinjang-gelinjang keenakan.

Kutusuk vagina basahku dengan jemari-jemari tanganku sambil sesekali ku gosok bagian bibirnya. Dibagian dada, kupilin-pilin puting payudaraku berulang-ulang. Semakin lama semakin enak, enak dan enak.

Tapi kemudian aku tersadar, kulihat Mang Dedi bengong tidak percaya melihatku memainkan diri sendiri di depannya. Sungguh akupun ikut merasa malu karena aku sampai-sampai terbawa suasana oleh sentuhan-sentuhan ku sendiri.

"Memang binal kamu Dek.." Ucap Mang Dedi menggeleng-geleng.

Bagian 13 : Tujuan Dan Harapan



Liya​

“Memang binal kamu Dek” Ucap Mang Dedi menggeleng-geleng melihatku dengan tatapan tidak percaya.

Aku kemudian tersentak dari ilusi birahiku sendiri sambil tertunduk malu mendengar perkataan Mang Dedi. Tak kusadari di sebelah tempat ku berdiri terdapat sebuah cermin yang memperlihatkan tubuhku dalam ketelanjangan dan ekspresi yang begitu bernafsu.

“Itu aku??” tanyaku dalam hati.

Aku tiba-tiba memandang diri seperti orang yang kehilangan akal sehat. Rasanya sungguh tak percaya bagaimana aku menjadi binal dan senakal ini.

Wajahku yang tampak memerah, nafasku yang naik turun terengah, dan badanku yang mengkilat oleh keringat gairah, seolah memberitahu bahwa aku benar-benar sudah bertransformasi menjadi wanita pengejar syahwat dan birahi. Bukan yang baik-baik dan alim lagi.

Dalam keheningan tatapku ke arah cermin itu kurasakan ada semacam aliran listrik yang menggelitik badanku hingga menggigil kehilangan tenaga. Rasa malu itu pula membuatku secara reflek menutupi bagian-bagian tubuhku yang sedari tadi sudah aku pamerkan secara gratis kepada Mang Dedi.

“Kenapa ditutup??” tanya Mang Dedi menggodaku.

Aku menggeleng pelan tak berani menatapnya balik, “Gapapa” jawabku singkat menahan malu.

Dari sudut mataku, aku kemudian melihat Mang Dedi beranjak mendekat. Dia meraih telapak tanganku dan memegangnya dengan erat. Sejenak Mang Dedi menghembuskan nafas lirih seolah ingin memberitahukan sesuatu padaku.

“Dia akan merayu lagi..” batinku seolah bisa menebak apa yang akan dia lakukan.

Namun betapa kagetnya aku saat Mang Dedi malah membawa tanganku ke bagian bibirnya dengan begitu cepat. Mang Dedi menciumi punggung tanganku tersebut dengan mesra dan begitu hangat sedemikian rupa hingga aku bisa merasakannya sampai sejauh lututku.

Untuk sesaat Mang Dedi tak berkata-kata, dia menarik daguku dan memandangi wajahku. Tangannnya membelai bagian kepalaku yang tertutup hijab dengan lembut, kemudian merayapi pipiku yang merona kemerahan karena menahan nafsu dan syahwat itu.

“Kamu tidak perlu malu Dek Liya. Tubuhmu indah, dan sudah seharusnya kamu perlihatkan itu semua padaku” ucapnya melayangkan pujian.

Spontan aku mengulum senyum, “Bisa gak sih gak gombal terus??” ucapku memprotes.

Tapi dari dalam lubuk hati, aku begitu senang dan melayang mendengar pujian Mang Dedi yang tak pernah berhenti itu. Seolah tersihir oleh kata-kata manis yang secara tidak langsung membuatku merasa bahwa aku adalah wanita paling beruntung di dunia ini.

“Wanita cantik seperti kamu gak boleh menyentuh diri sendiri kayak tadi Dek Liya..” ucap Mang Dedi tersenyum menoel hidungku.

“Lain kali kalau sange bilang aja..." lanjutnya mengeluarkan candaan.

Aku tepuk dadanya pelan sambil tersenyum malu mendengar gurauan Mang Dedi tersebut. Rasa hangat menyebar dalam hatiku seiring perlakuan manis dan candaannya yang selalu berhasil membuatku tersenyum renyah. Rasanya, karena hal-hal kecil seperti ini pula kenapa aku selalu bisa dengan mudah mabuk dan hanyut kedalam pelukannya.

“Sini Dek Liya, rebahan sama aku! Kamu pasti capek” ucap Mang Dedi merebahkan diri diatas kasur dan menepuk bagian kosong disampingnya.

Disaat Mang Dedi telentang itu, mataku tak sengaja memandang ke arah paha dan celana pendek Mang Dedi yang terlihat agak mengembung karena isi didalamnya. Beberapa kali ku teguk ludahku sendiri karena tiba-tiba saja pikiranku jadi nakal, ingin merasakan kembali batang penis besar dan tak disunat itu di dalam mulutku sendiri.

Entah darimana datangnya keberanianku, tiba-tiba saja aku berucap, “Ma--mas mau aku kulum gak??” tanyaku sedikit gugup.

Dadaku tiba-tiba berdesir kencang, merasa sangat nakal dan sexy disaat bersamaan ketika dengan penuh sukarela ku tawarkan mulutku sendiri untuk memberikan kenikmatan. Belum lagi rasanya hatiku semakin gugup ketika Mang Dedi hanya diam menatap tak percaya padaku belum memberikan jawaban.

“Ihh.. malah diem!!” ucapku ketus menghilangkan malu.

Tapi Mang Dedi dengan santai menahan senyumnya, “Coba, kamu bilang apa tadi Dek??” tanyanya terlihat senang.

"Kamu mau ngulum ini??" Sambungnya berpura-pura mengelus penisnya di balik celana.

Ku anggukan kepalaku pelan merasa diriku sungguh amat berani saat itu. Dengan hati yang berdebar aku kemudian merangkak menghampiri Mang Dedi yang terduduk dan bersandar di tembok kontrakannya dengan selangkangannya yang terbuka mengangkang.

Tanpa berbasa basi lagi, Kuraih pinggiran karet celana pendek Mang Dedi dan ku tarik turun melewati selangkangannya. Seketika itu juga, batang penisnya yang masih nampak tertidur itu mencuat keluar seperti melambai-lambai menyapa birahiku.

Aku meneguk ludahku berkali-kali. Seketika menjadi begitu bernafsu, rasanya kemaluan besar milik penjual sayur langgananku itu seperti magnet bagi gairahku.

"Gila besar sekali!!" Batinku berteriak tetap saja merasa kaget melihat kebesaran penis Mang Dedi.

Meski sudah sebanyak dua kali aku melihatnya, tetap saja aku masih dibuat kaget dan tidak percaya. Selama ini aku tidak terlalu sadar dan memperhatikan kalau ukuran penis Mang Dedi ternyata hampir sama dengan ukuran lenganku.

Walau dalam keadaan yang masih belum tegang saja, satu genggaman tanganku saja belum cukup untuk melingkar secara penuh disana.

“Hehehe....., kenapa sayang?? Masih kaget aja sama kontolku.." ucap Mang Dedi terkekeh.

Kuurut pelan batang tersebut sambil ku tatap mata Mang Dedi, "Kok bisa si Mas?" Tanyaku sangat-sangat penasaran. Dalam genggaman tanganku tersebut, kurasakan penis Mang Dedi berdenyut dan sedikit mengangguk-angguk.

"Bisa apa Dek Liya?" Ucapnya malah menanya balik.

Kugoyangkan batang penisnya sekali, "Bisa besar kayak gini.." jawabku makin diburu nafsu.

"Hehehe. Itu emang anugerah dari tuhanku untuk bisa melaksanakan tugas memuaskan wanita-wanita kayak kamu sayang...," balasnya terkekeh mengelus kepalaku.

"Kayak aku gimana?" Tanyaku penasaran.

Kali ini Mang Dedi mengangkat bahunya, "Ya kayak kamu sayang.. terperangkap gak bisa bebas menikmati kenikmatan dunia sama sekali.." jawabnya semakin membuatku bingung.

"Ga ngerti aku Mas.." ucapku menggeleng.

Lagi-lagi Mang Dedi terkekeh, "Hehehe..., apa coba yang berubah setelah kamu kenal sama aku?" Tanyanya lagi.

"Banyak sih.." jawabku singkat tanpa berpikir.

"Pernah kepikiran gak kalau kamu bakalan kayak gini?"

Aku menggeleng, "Ga pernah, aku gapernah kepikiran jadi begini" jawabku singkat.

"Nah! Itulah tujuan aku datang ke kehidupanmu Dek Liya. Buat nyadarin kalau selama ini kamu udah menjalani kehidupan yang salah..." balas Mang Dedi berbicara banyak.

"Apa sih Mas bikin orang pusing aja!!" Ucapku ketus dibuatnya berpikir. Gairah yang tadi sudah bangkit menggebu-gebu itu terpaksa harus padam kembali dengan terpaksa.

Untuk sesaat Mang Dedi hanya tersenyum, dia menarik daguku dan membelai pipiku. "Kamu tidak perlu mengerti sayang.. cukup jadi dirimu sekarang dan ikuti saja setiap prosesnya. Percayalah aku akan membawamu ke dalam jalan keselamatan." Ucap Mang Dedi tersenyum.

Tangannnya membelai bagian kepalaku yang tertutup hijab dengan lembut, kemudian merayapi pipiku sekali lagi yang merona kemerahan karena menahan nafsu dan syahwat itu. Masih belum kumengerti apa maksud dari perkatannya tersebut, namun masa bodoh denga hal itu karena aku sudah sangat terangsang.

"Yaudah ayo dilanjutin Dek..," senyum Mang Dedi nakal menggodaku.

Diarahkannya kepalaku yang masih tertutup hijab itu ke arah penisnya sementara tangan satunya lagi memegang pangkal batang kemaluannya. Aku tahu Mang Dedi menginginkan aku untuk mengulum batang kemaluannya sesegera mungkin.

Karena itu tanpa perasaan malu lagi kubuka mulutku dan kujilati batang kemaluan Mang Dedi yang masih dalam keadaan setengah menegang itu. Jari-jariku amat telaten mengurut pangkal penisnya agar kulit kulup yang menutupi bagian kepala jamurnya bisa turun ke bawah.

"Uugghh.. angetnya mulutmu Dek... sshhhhh...," Mang Dedi mendesis saat ku caplok dengan pelan ujung penisnya memakai mulutku.

Kujilati pelan kepala jamur Mang Dedi yang berwarna coklat itu sambil sesekali ujung lidahku bermain di lubang yang ada di ujung kepala penisnya hingga ia mendesis-desis seperti orang kepedasan.

Sambil mulut dan tanganku terus bekerja memanjakan penisnya, mataku senantiasa menatap mata Mang Dedi. Sesekali aku pun melempar senyum manisku padanya jika mulutku sedang tak dipenuhi oleh alat kemaluannya. Dengan begitu, aku seolah ingin memberitahunya kalau aku begitu menikmati kulumanku pada penis besarnya.

"Mmmmmppphhh.... emmmppp...,"

Mulutku bergumam tertahan layaknya seorang anak kecil yang sedang menikmati sebuah es krim yang begitu lezat.

Sementara itu, kedua tangan Mang Dedi terus memegangi kepalaku yang berbalut hijab seolah takut aku akan melepas kulumanku dari selangkangannya. Dipeganginya kepalaku tersebut dengan agak kuat sehingga mau tak mau aku harus bisa mencuri-curi nafas di tengah kulumanku.

Ditambah lagi dengan bau kelelakian yang semakin semerbak menyentuh hidungku dari arah selangkangan dan batang Mang Dedi. Membuatku mau tak mau semakin bersemangat dibuat begitu melayang oleh baunya yang memabukkan itu.

Tidak puas hanya bermain-main dengan bagian batangnya saja, mulutku lalu bergeser ke bawah menyusuri pangkal penis Mang Dedi yang di tumbuhi bulu-bulu itu. Aku hanya bergerak secara naluri bertujuan untuk memuaskan nafsu Mang Dedi, hingga tanpa sadar mulutku bergerak semakin ke bawah sampai pada buah kemaluannya yang menggantung begitu penuh.

"Oouuuuch..., Yaahh..., bener disitu.., sayanggg!!" Desah Mang Dedi semakin blingsatan.

Aku pun semakin bersemangat nakal mendengarnya, bibirku kini tidak hanya mencium saja buah zakarnya itu, tetapi juga sesekali menyedot kantungnya ke dalam mulutku hingga Mang Dedi semakin membukakan kakinya lebar-lebar agar aku lebih leluasa memuaskannya.

Aku tahu aku telah bertindak sangat gila. Belum pernah aku menjilati kemaluan lelaki sebernafsu dan sesemangat seperti ini. Bahkan tak ada sedikitpun rasa jijik dalam diriku ketika tanpa sengaja lidahku yang menari-nari di selangkangan Mang Dedi itu menyerempet mengenai lubang anusnya. Sangat yakin aku telah mengalahkan pelacur manapun saat memberikan layanan kepada pelanggannya.

"Oooohhh... gila.., ooohhh gilaa sekali mulutmu Dek Liyaa..," racau Mang Dedi terdengar lagi.

Tubuh Mang Dedi ku lihat bergetar-getar dalam kenikmatan sambil sesekali kepalanya menengadah memejamkan mata menahan nikmat. Kulirik dan kurekam setiap ekspresi keenakan si penjual sayur langgananku tersebut karena aku merasa sudah begitu hebat melayaninya.

Beberapa saat kemudian Mang Dedi tiba-tiba bangkit dari posisinya yang menyender di tembok. Seketika dia sudah terduduk dan menjangkau bagian pantatku. Batang penisnya terdorong masuk cukup dalam hingga membuatku hampir tersedak karena menyentuh rongga kerongkonganku.

"Hehehe.. Maaf ya Dek..," ucap Mang Dedi saat melihatku terbatuk-batuk.

Tapi dengan sekuat tenaga tak kulepas kulumanku pada batang penisnya sehingga air liurku yang paling kental keluar membasahi setiap inci batangnya hingga mengkilat. Kurasakan juga air mataku sedikit menetes karena aku menahan diri untuk tidak tersedak oleh batang penis Mang Dedi.

"Mmmmpp.., emmmphhhh...," gumamku tertahan.

Sesaat Mang Dedi meraih paha dalamku dengan tangan dan membungkukkan badannya menuju ke arah selangkanganku. Posisi kamipun seketika menjadi berubah miring, saling berhadapan-hadapan diatas kasur namun dengan letak kepala yang berada di selangkangan masing-masing.

Tanpa mengeluarkan kata-kata, Mang Dedi mengalungkan tangannya di bagian pantatku, dibentangkannya kedua bongkahan daging semokku dengan lebar, lalu lidahnya mulai bekerja menjilat dan melumat gundukan kemaluanku.

"Ooouuchhhhmmmmppppp....," desahanku tertahan.

Aku semakin gelagapan karena merasa kegelian diselangkanganku sementara mulutku tersumpal batang penis Mang Dedi.

Aku ikut menyedot batang penis Mang Dedi disaat yang bersamaan dia juga menyedot dan menjilat vaginaku. Kami saling menjilat memberi kenikmatan pada kemaluan kami masing-masing dengan posisi saling mengangkang di wajah masing-masing pula.

"Mmaashh.. ngiluh.." ucapku melepas kuluman mulutku di penis Mang Dedi saat merasakan lidahnya yang hangat menerobos masuk ke dalam liang vaginaku.

Sebagai balasan rangsangannya, kugunakan kedua tanganku untuk mengurut penis Mang Dedi karena ukurannya yang begitu besar dan amat panjang tak cukup tergenggam oleh satu tanganku.

Dengan penuh bernafsu, kukulum kembali penis Mang Dedi masuk sedalam mungkin ke dalam mulutku. Walau rasanya begitu penuh didesak oleh batangnya yang keras aku tetap saja berusaha memasukkannya makin dalam.

Sangat kusukai pula saat melihat benda kejantanan tak bersunat itu mulai mengkilat oleh ludahku sendiri dan begitu licin saat tanganku mengocok maju mundur batangnya yang sudah begitu menegang dengan amat keras.

Aku lagi-lagi menggelinjang liar, saat dengan tiba-tiba ku rasakan jemari-jemari Mang Dedi seperti mengais-ngais lubang anusku dengan menekuk kedua pahaku semakin dalam ke arah wajahnya. Aku begitu terangsang dengan perlakuannya itu karena seperti merasakan kegelian di dua lubangku sekaligus.

"Masshh.. jangannn...," protesku kaget merasakan ujung jari Mang Dedi menusuk lubang pantatku.

Namun belum sempat pikiranku bereaksi terlalu jauh, aku dibuat melenguh panjang saat merasakan ujung jari Mang Dedi yang cukup besar telah tertancap sedikit dalam pada jepitan otot-otot anusku.

Tak dapat lagi kucegah tangan nakalnya itu, Apalagi saat lidah Mang Dedi masih saja bekerja menjilat dengan rakus seluruh wilayah vaginaku sambil sesekali lidah itu dimasukkannya dalam-dalam ke lubang vaginaku. Yang dapat kulakukan saat itu hanyalah menjerit tertahan sambil ku sumpal lagi mulutku dengan penis Mang Dedi untuk membalas perlakuannya padaku.

"Mmmmpphhh....., mmmmpppphhh....,"

Tubuhku bergetar hebat menahan kenikmatan yang menyergapku. Mang Dedi dengan ganas menjilat-jilat tonjolan kecil yang berada tepat diatas bibir lubang vaginaku sambil jari-jarinya terus menusuk keluar masuk lubang anusku.

Sedikit demi sedikit, jepitan kuat lubang pantatku itu mulai dapat menerima jari Mang Dedi masuk untuk lebih dalam lagi. Terasa lumayan perih pula saat jemarinya yang besar itu menyeruak masuk. Akan tetapi dengan begitu pintarnya, Mang Dedi sesekali melumasi jarinya dengan lendiri vaginaku dan membasahi lubang anusku agar semakin licin.

Disaat yang bersamaan pula, tubuhku mengejan dan berkelejat seperti cacing kepanasan. Kurasakan sapuan lidah Mang Dedi mengusap panjang pada bibir vaginaku yang kurasakan semakin ngilu. Sapuan itupun semakin berulang naik turun menjelajah, sehingga otot-otot pinggulku berkedut-kedut dan seakan membersitkan cairan dari dalam vaginaku.

"Kkkcllllaakkkk...., cklllaakkkkk...,, kklooooockkkk..., kkklllaaackkk.."

Suara dari hisapan mulutku pada penis Mang Dedi bergema sangat indah bersahutan dengan bunyi kecipak vaginaku yang tengah dijilatinya. Pun seiring dengan kelezatan yang menghantar pada seantero tubuhku tersebut, kurasakan buncah-buncah kelezatan dari dalam kewanitaanku bergelombang untuk menjebol pertahananku.

Aku tersentak, Ku pegang begitu erat penis Mang Dedi dan kukulum sedalam mungkin seolah itu adalah satu-satunya pegangan terakhirku untuk dapat selamat dari hantaman ombak orgasme besar yang akan melandaku. Ku benamkan wajahku di pangkal penisnya yang di tumbuhi bulu-bulu tipis itu sambil kemudian aku berteriak.

“Ooooooouughhhhhh.......,, akuuuuuhh...,, keluaaaaaaaaaarrrrrhh..” teriakku parau meledak dalam rintihan yang keras dan begitu panjang.

Namun seperti tidak terganggu dengan hal tersebut, kurasakan lidah Mang Dedi masih saja bekerja mengorek-ngorek dinding kewanitaanku saat kukucurkan begitu banyak cairan yang keluar dari dalamnya.

Lezat nikmat, kuat melayang-layang, geli lalu ngilu, begitulah sekiranya sensasi campuran kenikmatan yang aku rasakan saat orgasmeku melanda bak sebuah ombak tsunami. Walau rasanya aku tidak punya tenaga untuk menahan tubuhku, tapi berkat penis dan badan Mang Dedi yang ada di wajahku membiay aku bisa berpegangan menikmati orgasmeku yang akhirnya berlalu dalam beberapa menit kemudian.

Setelah akhirnya puncak kenikmatan itu mereda, ku habiskan waktuku dengan mengatur nafas dan memejamkan mata merasai sisa-sisa kenikmatannya. Mang Dedipun seakan membiarkan penisnya terus kukulum ringan dan kucium dengan penuh rasa sukacita terima kasih.

"Enak ya sayang??” tanya Mang Dedi tersenyum sudah bangkit terduduk lagi. Batang penisnya tiba-tiba terlepas dari mulutku mengikuti tubuhnya yang kini tengah bersila di samping kepalaku.

Sengaja tak kujawab pertanyaannya itu karena aku yakin dia hanya berniat menggodaiku saja. “Kayaknya sih enak banget ya??” sambungnya kemudian membelai wajahku yang masih terasa panas.

Tiba-tiba saja, kurasai bibir Mang Dedi menciumi keningku dengan lembut, beranjak ke mataku yang sedang terpejam, lalu pipi dan hidungku, hingga kemudian hinggap pada bibirku yang setengah terbuka.

“Masih kuatkan??” bisik Mang Dedi memancing-mancing kesadaranku yang juga sudah mulai pulih.

Ditekannya lembut bibirku dengan bibirnya. Kurasakan pula lidah Mang Dedi bergerak menyapu setiap inci bibirku untuk membasahi sebelum akhirnya dia melumat lembut sambil menekannya semakin dalam, menggodaku secara naluri mencium balik untuk membalasnya.

"Sabar ih Mas.., masih capeekkk..," rengekku begitu manja masih dengan mata yang ku pejamkan.

Pikirankupun masih melayang di awang-awang, mencoba mengingat-ngingat kembali apa yang barusan terjadi. Begitu nikmatnya perlakuan Mang Dedi hingga tanpa bersetubuhpun sudah dapat membuatku merakasan puncak kenikmatan.

Kudengar Mang Dedi terkekeh, "Oh iya sayang, maaf..., kamu istirahat aja dulu." Ucapnya terdengar senang.

"Kamu kalau orgasme muncrat-muncrat kayak orang kencing gitu, gimana gak capek coba. Sampai basah muka aku...," sambung Mang Dedi mulai bercanda lagi.

"Oh iya, aku boleh nusuk pantat kamu pake kontol gak?" Tanya Mang Dedi tiba-tiba.

Kali ini aku sangat kaget mendengarnya hingga aku membuka mata, "Apa? Ga boleh Mas!!" Ucapku amat sangat tidak menyetujuinya.

"Hahahhaa.. becanda sayang! Pake kaget segala mukanya.." balas Mang Dedi tertawa terbahak-bahak.

Kututup kembali mataku dan ku gulingkan badanku miring membelakanginya, "Bodo" ucapku dengan ketus.

Namun dari belakangku, Mang Dedi tiba-tiba saja merapatkan badannya ke punggungku dan mengalungkan tangannya memeluk.
"Jangan ngambek sekarang dong sayang. Aku kentang nih.." ucapnya sedikit memelas. Dielusnya pelan permukaan tanganku dan diciumnya bahuku.

"Bodo.." ucapku yang kali ini merasa senang mendengarnya merajuk.

Tapi kemudian Mang Dedi bertindak nekat dengan melompatkan badannya melewati badanku hingga kami jadinya berhadap-hadapan, "Ciluk Baaa!!" Ucapnya terkekeh setelah menyadari bawah aku tersenyum.

"Paan sih gaje...," ketusku yang berusaha berbalik membelakanginya lagi.

Tapi dengan cepat Mang Dedi menahan pinggangku dan merapatkan tubuh kami. "I Love You Dek Liya" ucapnya tiba-tiba mengecup bibirku.

"Kamu cantik dan begitu alim. Wanita idaman dan tujuan hidupku" sambungnya tersenyum tanpa beban.

Tak dapat aku mengeluarkan kata-kata karena merasa sangat senang mendengar pengakuan Mang Dedi tersebut. Jantungku berdebar-debar begitu cepat layaknya seorang remaja yang baru saja mengenal cinta.

"Emangnya Mas mau ngapain kalau berhasil dapetin aku?" Tanyaku amat penasaran.

Mang Dedi lalu tersenyum merekah, "Aku ingin menikahimu, membuatmu beranak pinak dan membawamu dalam keselamatan" jawabnya dengan mantap.

"Keselamatan?" Tanyaku heran.

"Keselamatan yang ma--mmmmpphhhh" ucapanku terpotong karena Mang Dedi tiba-tiba saja melumat bibirku.

"Sudah. Kamu tidak perlu tau sayang" ucapnya tersenyum. "Kamu percaya sama aku kan?" Lanjut Mang Dedi bertanya.

Tanpa mengerti apa maksud perkataannya tersebut, aku mengangguk pelan karena memang aku mempercayainya, "Iya Mas, aku percaya sama kamu..," jawabku dengan pelan.

"Good" Ucap Mang Dedi tersenyum sok berbahasa inggris.

Dia lalu mengecupku dengan ciuman paling hangat yang pernah aku rasakan. Begitu lembut, pelan dan nikmat penuh dengan luapan emosi yang tak bisa aku gambarkan.

Kubuka mulutku sedikit untuk membiarkan lidah Mang Dedi menyapa lidahku. Kubiarkan dengan pasrah bibirnya membelit dan menukar air liur kami dalam mulutku. Terasa sedikit bau rokok dari bibirnya yang kasar itu, namun tetap saja membuatku terus membalas dan menciumnya balik.

Ciuman Mang Dedi bertahan di bibirku untuk sementara sebelum akhirnya merambat turun ke leherku yang tertutupi oleh hijab, menghisapnya sebentar dari luar hingga aku menggelinjang merasakan geli.

Lalu merosot lagi sampai akhirnya hinggap di salah satu puting payudaraku.

“Ughh..” Aku mendengus dengan lirih.

Pertama lidahnya tepat menyapu puting payudaraku yang mencuat begitu keras, lalu bergerak memutari seluruh daerah areolanya yang kecil berwarna pink bergantian sebelah kiri dan kanannya.

Dengan liar, diraihnya salah satu payudaraku dan dihisapnya dengan kuat kedalam mulutnya yang kasar dan basah itu.

Tubuhku secara tiba-tiba bagaikan disengat listrik, terasa geli yang luar biasa bercampur sedikit nyeri saat putingku bersentuhan dengan gigi Mang Dedi di dalam mulutnya.

"Hmmmppphh... Masshh..."

Aku menggelinjang, melenguh ketika Mang Dedi menggigit-gigit kecil putingku. Dipilin-pilinnya kesana kemari, dikecupinya, dan disedotnya kuat-kuat sampai tanganku refleks meremas dan menarik kepalanya semakin membenam di kedua payudaraku.

“Kamu merasa gatel lagi gak Dek Liya??” bisik Mang Dedi tersenyum menggodaku.

Sedangkan aku hanya bisa pasrah menatapnya sayu dengan pandangan bernafsu sambil sesekali merintih, dan mengeluarkan racauan kenikmatan melawan gejolak yang mulai bangkit mengharubiru di seluruh tubuhku sekali lagi.

“Ouuughhh.. Mashhh.. dadakuuh.. geliihh..” ucapku terus mendesah.

Seperti seorang bayi yang kehausan, Mang Dedi menyusu pada puting payudaraku berganti-ganti kiri dan kanan. Tak bisa kutahan gejolak ini lantaran area payudaraku adalah salah satu bagian tubuhku yang sangat sensitif apabila disentuh dan diberikan rangsangan.

Ditambah oleh rayuan manis dan kecupan-kecupannya, membuatku merasakan gairah sedikit demi sedikit bangkit dan meletup-letup keluar dari tubuhku melalui area vaginaku yang berkedut-kedut.

Tak puas dengan hanya bermain lidah dibagian payudaraku saja, ciuman Mang Dedi sesekali turun melata dikulit perutku yang ramping. Sengaja ku picingkan mata dan kurapatkan tubuhku ke bagian kepala Mang Dedi agar nafas hangatnya semakin terasa menghembusi kulit-kulit tubuhku.

Aku bahkan merasakan rasa basah dan gatal dibagian kewanitaanku seiring tak berapa lama kemudian Mang Dedi ikut menggigit-gigit kecil area dada dan perutku dengan lembut, meninggalkan tanda-tanda merah dikulitku yang putih.

"Duhh.." dalam hati aku membatin bagaimana jika suamiku nantinya melihat cupangan-cupangan semerah ini?

Akan tetapi sebelum sempat pikiranku melanglang buana dipenuhi rasa bersalah dan khawatir. Mang Dedi malah semakin merangsek turun sembari mulutnya yang kasar itu kurasakan malah menjilat-jilat pusarku beberapa saat.

"Iiihh gelihh.. jangan disituhh Masshh..." protesku tertahan.

Mang Dedi berhenti sejenak dan membenamkan wajahnya di perutku. Nafas hangatnya yang berhembus tak beraturan itu sungguh terasa sangat nyaman. Dalam keadaan masih lemah, kuusap lembut kepalanya seakan menunjukkan bahwa aku begitu menyukai perlakuannya padaku.

“Tubuhmu sangat indah Dek Liya, rasanya aku tak pernah bosan mencicipinya..,” rayu Mang Dedi dengan kata-kata.

Hatiku melambung jauh terbang ke angkasa dengan ucapannya tersebut, makin kuikuti kemaunnya saat kurasakan kalau pahaku di renggangkannya teramat pelan.

“Wanginya badanmu Dek..,” ucapnya sekali lagi.

Mang Dedi lalu mengecup pelan pahaku di bagian pangkalnya, membuatku mengeluarkan sedikit desahan tertahan dalam tubuh yang ikut menggelinjang.

“Ahhh... sshhh...” Bagaikan keong, kurasakan bibir Mang Dedi merayap menelusuri setiap inci pahaku yang semakin jelas kemana arahnya.

Jantungku bergemuruh, berdetak seakan ingin meledak saat kurasakan denyutan vaginaku seperti berkedut merespon jilatan Mang Dedi yang sebentar lagi akan hinggap kembali disana.

Tiba-tiba saja, Mang Dedi melepaskan ciumannya begitu saja. Kubuka mataku karena sedikit kecewa harus merasakan gejolak yang baru naik itu padam kembali saat mulutnya berhenti bergerak dari tubuhku.

“Balik badan Dek..,” bisiknya pelan di telingaku.

Seperti sebuah perintah mutlak, otakku reflek merespon dan mengikuti bisikan Mang Dedi hingga aku membalik badan dan tengkurap di bawah badannya. Kurasakan jantungku berdegub-degub penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Mang Dedi di bagian belakang tubuhku itu.

“Pinter banget kamu sayang..,” Ucap Mang Dedi menyibak sedikit hijabku dan mengecupi bagian tengkukku dengan gigitan yang begitu pelan.

“Mmmnnghhh.. Mass.. aahhh..” desahku geli meremas desahku sprei.

Bibir Mang Dedi masih membuat cupang di tengkukku saat tangannya menyusup ke depan dan memilin putingku sekali lagi dari belakang. Dengan gerakan sedikit meramas, Mang Dedi bergerak memancing nafsuku dengan menggigiti bagian bahu, pundak dan punggungku bergantian.

Didaerah pantatku, aku bisa merakan penis besar milik Mang Dedi masih menegang basah menari-nari dan menggesek pelan selangkanganku seirama dengan gerakan tubuhnya. Aku dapat merasakan kebasahan dari vaginaku yang cairannya masih mengalir banyak dari bibir vagina ke selangkangan sampai pahaku bagian dalam

“Kamu sudah basah lagi Dek..,” bisik Mang Dedi merayuku.

Ku tekuk kepalaku sedikit kebawah untuk melihat apa yang tengah di perbuat oleh Mang Dedi di bagian selangkanganku sana. Tampak pada saat itu dia sedang memegang batang kemaluannya sambil sesekali mengocoknya pelan.

Kemudian Mang Dedi memasang ujung batang penisnya tepat di celah-celah bibir kemaluanku sebelum akhirnya dia mencucukkan kepala penisnya yang besar itu ke dalam lubang vaginaku yang sudah sangat licin.

"Aku masukin ya sayang??" bisik Mang Dedi dengan napasnya yang mendengus-dengus. Pertanda kalau nafsunya juga sudah semakin meningkat.

Dengan sedikit pelan, aku kemudian mengangguk lemah mempersiapkan diriku untuk dinikmati oleh Mang Dedi. Pinggulku refleks bergetar dan terangkat-angkat tanpa kontrol sama sekali, seakan menyodor-nyodorkan diri untuk dinikmati segera oleh tusukan penis besar Mang Dedi. Rasanya aku sudah semakin tidak bisa sabar dengan perlakuannya yang memancing-mancing itu.

"Silahkan Mas.." jawabku semakin melebarkan selangkanganku.

Dengan pelan Mang Dedi mendorong pantatnya hingga ujung kemaluan penisnya berhasil menerobos bibir kemaluanku. Aku merasa gemetar luar biasa ketika merasakan kepala batangnya yang besar itu mulai perlahan-lahan membelah lubang vaginaku yang masih sangat sempit.

"Uughhhh... rapetnya memekmu Dek Liyaa.." ceracau Mang Dedi tak karuan.

Walaupun pada mulanya masih ada sedikit rasa perih, tetapi perlahan namun pasti ada rasa nikmat yang juga berhasil kurasakan mulai mengalahkan perihnya selangkanganku.

Dengan geraknya yang perlahan itu, Mang Dedi tetap menggoyangkan penisnya maju hingga menggesek semakin masuk ke dalam vaginaku.

Walaupun pada mulanya masih ada sedikit rasa perih, tetapi perlahan namun pasti ada rasa nikmat yang juga berhasil kurasakan mulai mengalahkan perihnya selangkanganku.

Dengan geraknya yang perlahan itu, Mang Dedi tetap menggoyangkan penisnya maju hingga menggesek semakin masuk ke dalam vaginaku.

"Ugghhh... kegedean Mass..." ucapku memprotesnya seperti pertama kali saja aku di belah oleh penis besar itu.

Namun meskipun hanya masuk kepalanya saja, kenikmatan yang kurasa betuI-betul membuatku hampir berteriak histeris. Sungguh batang kemaluan Mang Dedi itu luar biasa nikmatnya. Liang kemaluanku bahkan serasa berdenyut-denyut saat menjepit ujung kepala jamur Mang Dedi yang bergerak maju-mundur secara pelahan.

"Oughh... nikmatnyaa..." desah Mang Dedi di belakangku.

Dia terus menerus mengayunkan pantatnya maju-mundur walau hanya sebatas ujungnya saja yang terjepit dalam liang vaginaku. Keringatku pun mengucur semakin deras mengalir membasahi setiap kulit yang ada di tubuhku.

“Pe--Pelan-pelan Masssh..," Aku menjerit saat kurasakan betapa batang penis Mang Dedi menyeruak semakin dalam.

Entah karena vaginaku yang masih terlalu sempit, atau karena penis Mang Dedi yang terlalu besar.
Hingga aku menggelengkan kepala tak percaya kalau proses penetrasi ini masih saja terasa sulit meski aku dan Mang Dedi sudah pernah bersetubuh sebelumnya.

Namun rasa perih itu perlahan-lahan mulai menghilang saat Mang Dedi menghentikan gerakan penetrasinya yang begitu sesak memenuhi liang vaginaku. Rasa sakit itu mulai berubah menjadi nikmat karena batang kemaluannya kurasakan berdenyut-denyut dalam jepitan liang vaginaku.

"Hmmppp... ennakk Mashh...," ucapku semakin mengawang.

Kurasakan bibir panas milik Mang Dedi mulai menyapu-nyapu seluruh area pundak dan punggungku dengan ganasnya. Bulu kudukku serasa merinding hingga tak sadar lagi saat Mang Dedi kembali mendorong pantatnya hingga batang penisnya yang terjepit erat dalam vaginaku semakin menyeruak masuk.

Aku yang sudah sangat terangsang pun tak sadar akhirnya menggoyangkan pantatku seolah-olah memperlancar gerakan dan tusukan penis Mang Dedi dalam lubang vaginaku.

Ku benamankan kepalaku kekasur dan ku remas kuat kain spreinya dengan liar merasakan sensasi hebat yang aku rasakan kembali. Liang kemaluanku semakin berdenyut-denyut dan ada semacam gejolak yang meletup-letup hendak pecah di dalam diriku.

Dalam keadaanku yang sedang menungging itu, batang penis Mang Dedi akhirnya melesak jauh ke dalam vaginaku dengan utuh

"Ooggghhhhmmmmmmm....," lenguhku dan Mang Dedi berbarengan.

Vaginaku terasa penuh sesak oleh penisnya yang telah menancap seutuhnya. Ada rasa perih saat kurasakan kepala penisnya seperti menghunjam di pintu rahimku. Entah kenapa, tusukan penis Mang Dedi itu terasa semakin dalam saat berada pada posisi seperti ini.

Aku pun terdiam sejenak mengatur nafas dan membiasakan vaginaku di sesak oleh penis besar Mang Dedi. Dalam diam itu juga dapat ku rasakan kehangatan batang penis Mang Dedi yang hangat dalam jepitan liang kemaluanku.

"Masih kayak perawan kamu Dek Liya...," bisik Mang Dedi manja di telingaku.

Kugerakkan kepalaku ke samping dan tersenyum mengarah padanya, "Masih perawan kalau punya Mas segede ini.." ucapku membalas.

"Emang suamimu segede apa Dek?" Tanya Mang Dedi menggodaku. "Segini ada gak?" Lanjutnya menunjukkan jari kelingkingnya di depan wajahku.

Ku tepis tangannya itu dengan gemas, "Enak aja! Itu mah kekecilan" ucapku gemas.

Kemudian dengan perlahan sekali Mang Dedi mulai mengayunkan pantatnya hingga kurasakan batang kemaluannya mundur menyusuri setiap inci liang kemaluanku.

"Yang pasti gak segede punya ku ini kan?" Balasnya berbangga diri.

Kudiamkan saja ocehan Mang Dedi tersebut karena aku merasakan nikmat yang begitu luar biasanya pada vaginaku. Aku sempat mengerang kaget dibuatnya ketika tiba-tiba Mang Dedi kembali menghentakkan penisnya masuk secara utuh sekali lagi.

"Uughh.. legit dan licin.." racau Mang Dedi mendengus.

Gerakan batang kemaluannya semakin mantap keluar masuk di dalam jepitan liang kemaluanku dengan tempo pelan. Aku merasakan betapa batang kemaluannya yang keras itu terus menggesek-gesek lubang vaginaku yang amat sangat gatal.

"Aaaaccchhh.. Massh..,, enakkk...."

Aku pun mengerang dan tubuhku bergerak liar menyambut gesekan batang penis Mang Dedi. Pantatku semakin mundur seolah-olah membalas gerakan Mang Dedi yang memajukan batang kemaluannya dengan cara yang begitu memabukkan.

Saat Mang Dedi menarik penisnya dari vaginaku, yang tersisa hanyalah ujung kepala jamurnya yang masih terjepit dalam liang kemaluanku. Lalu setelah itu didorongnya dengan kuat hingga ujungnya seolah menumbuk bibir rahimku.

"Oohhhh.. enakk bangett Masss...., enakk bangett" rintihku semakin menjadi-jadi.

Dalam posisi seperti anjing yang sedang kawin ini, tubuhku disodok-sodok Mang Dedi dengan gairah meluap-luap. Aku tersentak-sentak ke depan saat Mang Dedi dengan semangatnya menghunjamkan batang penisnya ke dalam jepitan liang vaginaku.

Lalu dengan agak kasar ditekannya punggungku hingga Payudara ku agak sesak menekan permukaan kasur. Tangan kiri Mang Dedi menekan punggungku sedangkan tangan kanannya meremas-remas buah pantatku dengan gemasnya.

Tanpa kusadari tubuhku ikut bergoyang seolah-olah menyambut dorongan batang kemaluan Mang Dedi. Pantatku bergoyang memutar mengimbangi tusukan-tusukan batang kemaluannya yang menghunjam dalam-dalam.

"Claaackkk..., clllackk......, kclaakkk..." bunyi gesekan alat kelamin Mang Dedi yang terus memompa vaginaku.

Suara benturan pantatku dengan tulang kemaluan Mang Dedi terdengar di sela-sela suara desah dan eranganku yang menambah gairah kian berkobar. Apalagi bau keringat Mang Dedi semakin tajam tercium hidungku. Membuat keperkasaan dan kejantanannya semakin menenggelamkan aku dalam kenikmatan.

"Ouuughh.. Mass.., terushh.. Terushh.. Yang kerashh.." Aku menceracau dan menggoyang pantatku kian liar saat aku merasakan detik-detik menuju puncak.

Napasku semakin terengah-engah dan merasakan kenikmatan yang kini semakin tak tertahankan. Begitu besarnya batang kemaluan penis Mang Dedi sehingga lubang vaginaku terasa sangat sempit dibuatnya.

"Akhh.... akkhgg... emmmhhpp Mmasshh.." erangku berulang-ulang. Sungguh semakin lama rasanya semakin nikmat membuatku seperti kehilangan akal sehatku sendiri.
Masih dalam pejaman mataku, Aku menggigit bibir bawahku sendiri merasakan nikmat hubungan badan kami yang semakin erat melekat. Hujaman Mang Dedi amat berbeda dengan apa yang kurasakan selama ini bersama suamiku. Kedewasaan dan pengalaman Mang Dedi yang mampu mengontrol emosi membuat Aku nyaman menikmati persebadanan terlarang kita yang entah sampai kapan akan berakhir itu.

Kekuatan Mang Dedi dalam genjotannya itupun membuatku amat salut dan begitu senang. Meski bisa dikatakan umurnya hampir menyentuh angka setengah abad, namun genjotannya masih saja sangat kuat dan hebat sampai membuat kasur dan badanku bergetar seperti kapal yang diserang badai.

“Gantian sekarang kamu diatas Dik!!” pinta Mang Dedi bergetar menahan geramannya memberi instruksi.

Lalu tanpa melepaskan batang kemaluannya dari jepitan liang vaginaku, Mang Dedi meraih kedua pinggir pinggangku dengan tangannya, secepat kilat dia menarik tubuhku bangkit dari posisi tengkurap, kemudian dia menggulingkan tubuhnya ke samping.

“Awhhhh..” pekikku kaget.

Posisi kami akhirnya berbalik. Kini tubuhku sedikit berjongkok membelakangi Mang Dedi dengan kedua kakiku berada di sisi pinggulnya. Aku terdiam sejenak merasakan kalau penis besar Mang Dedi tersebut semakin menusuk ke dalam vaginaku karena ditekan ke bawah oleh berat badanku sendiri.

“Hehehe.. digoyang Dekk..” ucap Mang menepuk pelan bagian pantatku.

Kutarik nafas sedikit sebelum kutumpukan tanganku ke lutut Mang Dedi. Dengan perlahan-lahan menahan ngilu, ku goyangkan pinggulku maju mundur menggesek menikmati sensasi gatal dan ngilu yang bercampur padu menjadi satu.

“Uugghhh....” aku sedikit mengerang.

Kurengkuh sebanyak mungkin kenikmatan dari penis Mang Dedi dengan cara mengaduk-adukkan vaginaku. Kurobah gerakan maju mundur menjadi berputar seperti orang yang sedang bermain hula-hop, sesekali juga aku bergerak naik turun memompa lalu bergerak maju mundur lagi di kemudiannya.

Aku melakukan variasi gerakan sesuka hatiku karena aku yang memegang peranan, kombinasi antara hula-hop lalu maju mundur kemudian naik turun kembali lagi berhula-hop membuat Mang Dedi melenguh seakan terbang tinggi dalam kenikmatan birahi.

“Aaaacchhh....., Mantepnya goyanganmu Dek Liya..,” Ucap Mang Dedi memegangi pinggangku.

Tak mau kalah, Mang Dedipun akhirnya ikut menggoyangkan pinggulnya sendiri melawan gerakanku, semakin cepat aku menurunkan tubuhku semakin cepat pula dia menaikkan pinggulnya hingga vaginaku tersodok dengan kerasnya.

Benar-benar luar biasa sensasi yang kurasakan. Mang Dedi benar-benar telah menyeretku menuju sorga kenikmatan yang begitu indah dan tak bisa kuraih selain dengan dirinya. Membuatku lupa dengan jati diriku yang seharusnya jadi perempuan baik-baik dan seorang istri sholehah itu.

Tak berapa lama kemudian, gerakan kami pun berubah semakin liar. Napas kami semakin menderu seolah mengisi suasana sunyi yang entah sudah menunjukkan pukul berapa. Dan dalam tubuh yang penuh gairah itu pula kurasakan desir-desir puncak kenikmatanku kembali terasa terbayang.

"Maasshhh... akkuu... sebentarrr lagiiihh..." desahku makin kencang memberitahukan.

Selang tak berapa lama Aku semakin tak bisa menahan diriku yang sudah mulai dibayangi oleh puncak kenikmatan sekali lagi. Denyutan-denyutan dalam rahimku kurasakan makin sering, makin kuat dan mendesak-desak, seperti meminta untuk segera di tuntaskan.

Begitu luar biasa pula rasa nikmat yang kuterima saat makin kuat ku ayun-ayunkan pantatku menelan batang penis Mang Dedi bulat-bulat. Aku merasa saat itu akan diamuk oleh birahi yang begitu jelas membayangi tubuhku.

Hingga dengan tiba-tiba aku mendongak kebelakang merasakan letupan dari dalam vaginaku menjalar-jalar sepanjang lorong di dalam tubuhku, seperti menyetrum setiap tali-tali syarafku yang amat peka.

"Ooouuuuuggggghhhh. Maaasshhhhhhhh....., enaakkkkk...., kelllluaaaarrrhhhh.."

Teriakku kencang saat kenikmatan itupun akhirnya meletup keluar begitu saja tanpa tertahan lagi. Seketika itu kurasakan seluruh tubuhku menggeletar lemah seperti terlolosi dari tulangnya, pandanganku mengabur dan jiwaku terasa melayang tinggi diatas awan-awan kenikmatan.

Sedetik, dua detik, sepuluh detik, entah berapa lama aku merasakan gelombang orgasmeku kembali menyapa. Membuat kesadaranku memudar dan tubuhku langsung ambruk ke atas tubuh Mang Dedi.

Beruntung saat itu Mang Dedi dengan cekatan menopang tubuh lemahku. Namun tanpa memberikanku sedikit waktu untuk bernafas, Mang Dedi lalu bergerak memutar tubuhku yang loyo dan lemah itu dengan begitu mudahnya.

Aku pun sudah tidak mampu bergerak lagi saat Mang Dedi mengangkat tubuhku dengan posisi terlentang pasrah di atas kasur. Tanpa melepas tusukan penisnya yang panjang itu, Mang Dedi membentangkan kedua pahaku selebar mungkin.

"Maaf ya sayang.. aku juga udah ga tahan pengen ngecrotin kamu..." ucap Mang Dedi setengah berdengus.

Perlahan namun pasti, Mang Dedi mulai menggenjotkan sendiri batang penisnya untuk menembus liang vaginaku yang terasa berdenyut amat sangat ngilu.

Aku tidak diberinya kesempatan untuk bicara maupun bertindak menolak. Bibirku kembali dilumat Mang Dedi sementara kemaluanku digenjot lagi dengan tusukan-tusukan nikmat dari batang kemaluannya yang amat sangat besar untuk ukuran orang Indonesia.

Setelah puas melumat bibirku, kini giliran payudaraku yang dijadikan sasaran lumatan bibir Mang Dedi dengan begitu rakusnya. Kedua puting payudaraku kembali dijadikan bulan-bulanan lidah dan mulut nakalnya hingga tubuhku mengkilat oleh air liurnya.

Secara serentak, dia juga ikut mengayunkan pantatnya maju mundur dengan tempo dan ritme yang berubah-ubah merasakan betapa jepitan liang vaginaku kian erat menjepit batangnya karena baru saja orgasme dan berkontraksi.

Aku bermaksud ingin membantunya menggerakkan pantatku untuk mengikuti gerakannya, tetapi rasa ngilu itu kian menjadi-jadi dan pompaan Mang Dedi terlalu kuat untuk kulawan hingga aku pasrah saja.

Aku benar-benar dibawah penguasaannya secara total. Kasur spring bed tanpa dipan inipun bahkan ikut bergoyang seiring dengan ayunan batang kemaluan Mang Dedi yang menghunjam ke dalam liang vaginaku semakin cepat.

Hingga tak berapa lama kemudian, Dengus napas Mang Dedi terdengar semakin bergemuruh di telingaku. Bibirnya semakin ketat melumat bibirku. Lalu kedua tangannya menopang pantatku dan menggenjot lubang kemaluanku dengan tusukan-tusukan yang begitu keras.

Aku yang tahu kalau sebentar lagi Mang Dedi akan sampai, memeluk tubuhnya begitu kuat, mengalungkan tanganku di lehernya dan kakiku di pinggangnya. Aku menggerakkan pantatku dengan sisa-sisa tenaga yang ada menantikan cairan pembawa benihnya mengaliri liang rahimku.

Benar saja, Mang Dedi kemudian mengeram seperti singa yang terluka sambil menggigit bibirku dan menghunjamkan batang kemaluannya dalam-dalam ke vaginaku.

"CROTTT!!!CROOOTT!!CROOOTT!!CROOTTT!!!CROOOTTT!!CROOTTT"

Beberapa kali sperma Mang Dedi terasa sangat hangat menyirami rahimku seolah menjadi pengobat dahaga liarku yang selalu saja tak pernah tuntas selama ini. Tubuh Mang Dedi kian berkejat-kejat liar dalam pelukanku sambil dengan ganasnya dia masih memagut bibirku.

Tubuhku pun seolah terkena aliran listrik yang dahsyat dan pantatku bergerak liar menyongsong hujaman batang penis Mang Dedi yang terasa mentok di pintu rahimku masih dengan menyemprotkan sisa-sisa air maninya.

Tiba-tiba saja, seseorang mengetuk pintu kontrakan Mang Dedi dan berteriak kencang, "WOI DEDI!!! NGANA SAKIT APA MATI??" Ucap suara seorang perempuan.

Bagian 14 : Terulang Kah?



Liya​

Aku terlonjak kaget dari pelukan Mang Dedi saat mendengar suara ketukan pada pintu kontrakannya. Pintu tersebut di gedor begitu keras, di barengi oleh suara seorang wanita yang terdengar seperti marah-marah dengan bahasa yang sama sekali tidak aku mengerti.

Segera saja ku tatap wajah Mang Dedi untuk meminta penjelasan. Namun dengan santainya Mang Dedi tersenyum melihatku yang tampak panik duluan.

“Udah biarin aja Dek!” ucap Mang Dedi mengencengkan pelukannya.

Tapi suara ketukan di pintu kontrakannya itu terdenger semakin keras, “Capat buka pintunya Dedi!! ato ta langsung dobrek ini!!” teriak suara perempuan itu.

“Marah tuh dia Mas!!” ucapku semakin panik walau tidak mengerti apa yang wanita itu katakan.

Mang lalu Dedi berdecih malas, “Kamu pakai baju dulu aja Dek! Biar aku yang buka pintu” ucapnya melepas pelukan.

“Tapi itu siapa??” tanyaku ikut penasaran.

“Hmm.., Kakak aku paling...,” jawab Mang Dedi begitu santai.

Saat itu juga jantungku serasa mau copot mengetahui kalau ternyata yang menggedor pintu tersebut adalah kakak dari Mang Dedi. Aku kaget dan langsung mencabut batang penis Mang Dedi yang sedari tadi masih tertancap nyaman dalam vaginaku dengan cepat, “Awwh...,” ucapku merasa sedikit ngilu.

“Ka—kakak kamu Mas?” sambungku bertanya dengan gugupnya.

Pikiran dan rasa maluku tiba-tiba muncul saat membayangkan kalau sebentar lagi aku mungkin akan bertemu dengan salah satu anggota keluarga Mang Dedi. Hatiku semakin panik dan perasaanku ikut bingung karena aku tidak tau bagaimana harus bersikap dan memperkenalkan diriku jika seandainya kami bertatap muka.

“Hehehee.. gausah salting gitu sayang..” celetuk Mang Dedi terkekeh.

Kupukul bahunya dengan pelan karena dia seperti menganggap remeh situasi seperti ini, “Ih serius Mas!! Aku harus gimana ini Mas??” tanyaku semakin panik.

“Gimana apanya?? kamu tinggal pake bajumu doang sayang.” balas Mang Dedi bangkit dari atas kasur dan memakai celana pendeknya.

“Atau kamu mau tetep begitu aja di depan kakak aku??” goda Mang Dedi tertawa nyeleneh.


“Dih!! serius Mas!! Nanti kalau kakak Mas liat aku gimana??” tanyaku balik.

Mang Dedi lalu tersenyum santai ke arahku, “Ya gapapa Dek! kamu kan istri aku..” balasnya tertawa.

“Emang kakak Mas gak bakal curiga??” tanyaku lagi.

“Curiga kenapa sih sayang?? udah gede ini kok. Dia pasti ngerti lah” jawab Mang Dedi mengerlingkan matanya. “Udah gapapa.. kamu pake baju aja.” lanjutnya kemudian berlalu ke arah depan.

Sambil berjalan Mang Dedi terdengar membalas perkataan kakaknya dengan suara tak kalah tinggi, “Sabar sadiki kwa!! Ada sakit ngana bataria terus” ucapnya dalam bahasa yang ikut tak kumengerti.

Dengan cepat akupun beranjak dari atas kasur menuju kamar mandi Mang Dedi. Tanpa sadar kusentuh vaginaku dengan tangan sambil menatap nanar wajahku
di depan cermin. Gelenyar panas dan ngilu masih amat terasa pada liang yang menerima sodokan penis si tukang sayur langgananku itu. Semuanya terasa seperti candu yang ingin kunikmati lagi, lagi dan lagi.

Dan aku benci itu semua. Benci karena hubungan kita adalah hubungan yang begitu terlarang.

Bagaimana aku akan menjelaskan kepada kakak Mang Dedi tentang keberadaanku ini?? Bagaimana pula cara aku memperkenalkan diri kalau seandainya dia menanyakan apa hubunganku dengan adiknya?? atau yang lebih parah, bagaimana kalau dia mengetahui apa yang telah kami perbuat barusan??

Plakk!!

Aku menampar pipiku sendiri mencoba meraih kesadaran dari rasa gugup yang menumbuhkan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan dalam hatiku. Setelah beberapa saat mengatur nafas, aku lalu merapikan make up wajahku yang sedikit berantakan akibat pergumulanku dengan Mang Dedi barusan, lalu kemudian memakai kembali pakaianku satu persatu dan beranjak keluar dari kamar mandi.

Begitu aku membuka pintu, telingaku langsung menangkap beberapa suara dari arah depan kontrakan Mang Dedi seperti riuh dengan beberapa orang.

"So tau jomblo, pas dapa suruh kaweng ngana nimau" Ucap kakak Mang Dedi dengan logat yang terdengar sangat kental seperti logat dari indonesia timur.

"Serta saki, beking siksa banya orang ngana.." Lanjut kakaknya lagi.

Lalu Mang Dedi terdengar membalas, "Sok tau ngoni samua!! Kita so nda jomblo skarang doe" ucapnya dengan nada tak kalah tinggi.

"Co mo lia depe foto?" Kata kakak Mang Dedi sekali lagi.

Karena aku penasaran, akupun melangkahkan kakiku berjalan pelan menuju tempat Mang Dedi berada dengan hati yang berdebar-debar. Aku takut kalau Mang Dedi sedang ada masalah dengan kakaknya sehingga mereka terdengar sedikit agak ribut.

"Nda perlu foto, depe orang langsung leh kita se lia" Jawab Mang Dedi yang tiba-tiba saja berjalan muncul di depanku.

Aku panik melihat hal tersebut sedangkan Mang Dedi hanya tersenyum menggenggam tanganku, “Ke—kenapa Mas??” tanyaku bingung.

Namun Mang Dedi tidak menjawab dan hanya menarik tanganku berjalan mengikutinya ke arah depan, “Ni orangnya!!” ucap Mang Dedi dengan lantang.

Aku tersentak ketika melihat kalau ternyata di ruangan itu terdapat tiga orang lagi selain Mang Dedi. Mereka tampak tak kalah kaget pula melihatku tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Rasanya kikuk, canggung dan malu saat ketiga orang yang semuanya wanita berbeda usia itu menatapku dengan tatapan tidak percaya.

“Sapa pe anak leh yang ngana di bawa ka rumah?” Tanya wanita paling muda yang ternyata adalah kakak dari Mang Dedi. Kutahu itu dari suaranya yang dari tadi paling sering terdengar.

Kakak Mang Dedi itu terlihat masih sedikit muda dengan kulit yang amat putih, jauh berbeda dari kulitnya Mang Dedi. Rambutnya panjang tidak diikat dan dicat dengan warna ke kuning-kuningan.

“Kita pe cewe nooo!!” balas Mang Dedi mengangkat tanganku.

Tiba-tiba aku menjadi kian gugup, walau tidak terlalu mengerti apa yang diucapkan oleh Mang Dedi dan kakaknya itu, namun aku dapat sedikit menerka bahwa aku sedang di perkenalkannya kepada mereka.

“Jang mangaku-mangaku ngana. Mana mungkin cewe pe pasung bagini mo mau pa ngana!!” ucap salah satu wanita lagi.

Kuperhatikan wanita yang berbicara seperti meledek itu tampak lebih tua dari kakak Mang Dedi, namun lebih muda dari yang ada di sebelahnya. Dandanan wanita itu cukup mencolok, dengan make up yang cukup tebal dan lipstick merah menyala seperti yang ku pakai, rambutnya juga hitam pekat disasak cukup tinggi, memberi kesan angkuh pada penampilannya.

“Tante boleh tanya langsung jo pa dia..” jawab Mang Dedi menunjukku.

“Kenalin Dek. Ini Tante aku namanya Julie.” ucap Mang Dedi memberitahuku kalau yang barusan berbicara ternyata adalah tantenya.

Aku mengangguk pelan sambil mengulurkan tanganku, “Liya Tante” ucapku memperkenalkan diri. Ditatapnya aku penuh selidik dan nanar dari ujung kaki sampai ujung kepala sebelum akhirnya dia menjabat tanganku, “Julie” jawabnya tersenyum.

“Kalau yang dari tadi cerewet terus, itu kakak aku Dek. panggil aja Kak Bela” lanjut Mang Dedi memperkenalkan kakaknya, kusalami dan kuperkenalkan namaku juga.

Terakhir, tinggallah wanita yang paling tua diantara mereka bertiga. “Nah.. kalau yang terkahir ini, Mama aku tercinta. Namanya Mama Martha!!” Ucap Mang Dedi lantang seperti seorang MC di acara dangdutan.

Kusapa Ibu Mang Dedi tersebut dengan penuh ramah tamah sambil mengulurkan tangan. Beliau menjawabnya sambil tersenyum tak kalah ramah kepadaku. Disambutnya uluran tanganku dan kuciumi punggung tangannya dengan sopan.

“Sa--saya Liya Bu” ucapku tergugup mengucap salam.

Namun belum sempat ku salami dengan benar, Ibu Mang Dedi tersebut memegang erat tanganku dan langsung bertanya, “Kamu beneran pacar anak saya??” ucapnya dengan nada yang tidak percaya.

"Ah.., masa mama ba bilang bagitu!!” protes Mang Dedi cemberut.

Lalu dia segera di marahi oleh ibunya, “Sudah jo badiang jo ngana!!” tatapnya tajam.

Aku terhening menatap ke arah Mang Dedi sebentar sebelum aku menjawab, “I—iya Bu, saya pacarnya Mas Dedi” balasku tersenyum.

Entah apa yang terlintas dipikiranku saat itu hingga aku dengan beraninya mengaku sebagai pacarnya Mang Dedi di depan orang tuanya sendiri. Sementara pada kenyataannya, kami berdua tak lebih dari sekedar pasangan selingkuh. Namun kulihat Mang Dedi berdengus bangga mendengar jawabanku tersebut.

“Tuh kan. Kalian saja yang gak pernah percaya!!” Ucapnya mencibir ketiga wanita yang ada didepannya. Sedangkan kakak dan tante Mang Dedi malah senyum-senyum sumringah meledek ke arahnya.

“Jangan panggil Ibu! Panggil mama saja.” ucap Ibu Mang Dedi memegang tanganku dengan kedua tangannya.

Kuperhatikan sejenak raut muka ibu Mang Dedi yang sudah bisa dibilang cukup berumur, tapi dengan potongan rambutnya yang dibuat sependek mungkin itu menambah kesan kalau dia masihlah cukup awet muda untuk ukuran wanita seusianya.

Kuanggukkan kepalaku pelan, “I--iya Ma!” jawabku gugup memaksa tersenyum.

“Kamu umur berapa sekarang??” tanya Ibu Mang Dedi sekali lagi.

“27 tahun, Ma” balasku singkat.

“Hmm... masih muda” ucap Ibu Mang Dedi mengangguk-angguk pelan.

Disebelahnya, kakak Mang Dedi bertepuk tangan, “Luar biasa pelet kau Dedi” ucapnya meledek.

“Enak saja! Ini murni karena cinta woi. Iya gak Dek??” tanya Mang Dedi menyentuh punggungku dengan pelan.

Dengan sedikit malu aku kemudian mengangguk, “I—iya Kak, Mas Dedi gak pakai pelet kok” jawabku membela Mang Dedi.

Memang bukanlah ilmu hitam ataupun pelet yang membuatku jatuh ke dalam pelukan Mang Dedi. Justru sikap dan caranya berkomunikasilah yang membuatku hanyut semakin melupakan diri. Apalagi di tambah dengan keperkasaan dan kejantanannya yang senantiasa memberikan kepuasan syahwat kepadaku, membuat aku semakin tidak bisa melepaskan diri dari daya pikat tukang sayur langgananku tersebut.

“Emang sudah edan dunia ini” timpal Tante Mang Dedi menggeleng tidak percaya.

Namun kemudian Ibu Mang Dedi tampak menyadari kalau di jari manisku terdapat sebuah cincin, “Kamu sudah menikah Liya??” tanyanya tiba-tiba mengangkat jariku.

DEGH!

Hatiku berdetak kaget, jantungku bergemuruh kencang dan tubuhku merasa panas. Rasanya aliran darahku berhenti seperti terbakar dan meledak seketika, mungkin juga saat ini wajahku sedang pucat pasi kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh ibu Mang Dedi tersebut.

“Jujur aja sama Mama! Gapapa kok” sambung Ibu Mang Dedi sekali lagi.

Aku kemudian mengalihkan pandanganku lagi kearah Mang Dedi seolah meminta bantuan darinya, akan tetapi Mang Dedi hanya mengangguk tersenyum memintaku agar menjawabnya sendiri entah harus berbohong atau jujur.

Ku hela nafasku pelan dan mengangguk ragu, “Su—sudah Ma” jawabku tergugup. Aku rasa tak ada gunanya berbohong karena pasti akan langsung ketahuan.

“Tapi tetep masih mau sama bujang lapuk ini??” tanyanya kembali menunjuk Mang Dedi. Lagi-lagi aku berdiam diri sebentar, kehabisan kata-kata.

Beruntung, akhirnya Mang Dedi memotong pembicaraan ini dan langsung saja menjawab, “Ya pasti mau lah Ma!!! Kalau gak, ngapain dia mau kesini segala. Iya gak Dek??” tanya Mang Dedi merangkul bahuku.

Aku lalu menatap bingung padanya, seolah meminta penjelasan dari perkataannya tersebut. Tapi yang kudapat dari sorot mata Mang Dedi justru sebuah permintaan untuk mengiyakan saja perkataannya mengikuti arus pembicaraan.

“I—iya Ma! Masih kok” jawabku mengangguk.

Hatiku bergemuruh dengan kencang penuh penolakan, disatu sisi aku memang masih ingin melanjutkan hubungan terlarangku ini bersama Mang Dedi, tapi di sisi lain nuraniku berkata kalau aku sudah terlalu jauh melangkah mengkhinati suamiku sendiri, bahkan dengan memberitahu ibu Mang Dedi bahwa aku masih menginginkan anaknya walau aku sudah mempunyai suamisekalipun.

Namun tanpa kuduga reaksi Ibu Mang Dedi begitu berlawanan dengan apa yang aku takutkan, ia tersenyum sumringah, “Yasudah kalau gitu gapapa” ucapnya padaku.

Cukup kaget juga mendengar persetujuan dari Ibu Mang Dedi walaupun dia tahu kalau statusku sudah menjadi istri dari orang lain. Namun entah kenapa dia tampak senang-senang saja setelah mengetahui hal tersebut.

“Mama tidak masalah selama kamu menjaga anak Mama dengan baik” sambung Ibu Mang Dedi sekali lagi.

Disebelahnya, kakak Mang Dedi ikut menimpali, “Iya Ma! Daripada kita terus yang repot jagain dia kalau ada apa-apa” ucapnya.

“Jang ngana lupa kase selamat pa dia Dedi. Gagah ini ngana beking jadi ngana pe bini” sahut tante Mang Dedi tiba-tiba tersenyum.

Mang Dedi mengelus hidungnya sambil tertawa, "Wahaha.. batenang jo tante. sementara olah ini” ucapnya dengan bangga.

Walau aku tidak mengerti sama sekali apa yang mereka bicarakan tersebut, namun hatiku amat senang mendapati kalau aku cukup di terima baik oleh keluarga Mang Dedi. Rasanya perkenalan awalku berjalan mulus meski selanjutnya tampak seperti sebuah ajang wawancara.

Ibu, Tante, dan Kakak Mang Dedi begitu mendominasi pembicaraan dengan melontarkan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang mengorek lebih jauh kehidupan pribadiku. Mulai dari tempat dan asalku berada, keseharianku, hingga yang paling gila tentang hubunganku dengan suamiku sendiri.

"So itu kwa dia suka pa ngana, lantaran depe suami pe lolo kacili." ucap Kakak Mang Dedi masih dengan bahasa daerahnya.

Mang Dedipun tertawa membalas, “Butul komaling. Liar deng binal ini parampuan satu. Nyanda pias deng depe laki" jawabnya memelukku.

“Kalian pada ngomong apaan sih??” ucapku bingung dan heran.

Kini giliran tante Mang Dedi yang menimpali, “Mereka pada bilang kamu cantik Liya” balasnya menjelaskan padaku.

Seketika aku bersemu merah mendengar hal tersebut, "Dia le lebe sanang kalo kita mo bilang binal." Sambung tante Mang Dedi lagi.

"Brenti jo. Kiapa ngoni ni dia be tatawa kita pe maitua." protes Mang Dedi pada keluarganya.

Namun ibu Mang Dedi tidak tinggal diam menyahuti, "So dapa ba cuki frey tagal itu ngana bela" ucapnya.

“Yang penting kita so rasa depe sadap ma" balas Mang meledek.

Mereka bersama-sama tertawa berbarengan tanpa aku ketahui sama sekali apa yang mereka bicarakan tersebut. Aku hanya sesekali menyahuti pertanyaan mereka jika aku mengerti apa yang mereka bicarakan, lalu sisanya aku mengikuti mereka tertawa dan mengangguk-angguk saja seperti orang bodoh.

Pembicaraan kamipun semakin asik dan mulai lugas seperti orang yang sudah akrab satu sama lain, bahkan tak jarang baik Ibu ataupun tante Mang Dedi begitu bersemangat menggodaku jika hal tersebut bersangkutan dengan urusan ranjang dan topik-topik mesum.

“Wah. Berarti tadi Mama mengganggu kalian dong ya?” ucap Ibu Mang Dedi.

Dengan santai Mang Dedi lalu menjawab, “Gak kok Ma! Udah selesai satu ronde” ucap Mang Dedi tersenyum.

“Silahkan kalau kalian mau lanjut, Mama mau balik dulu” ucap Ibu Mang Dedi mengerlingkan mata padaku. “Jangan lupa bikinin Mama cucu ya Liya” sambungnya menahan tawa menggodaku.

Aku menunduk malu mengetahui kalau ibu Mang Dedi ternyata amat paham dengan apa yang baru saja aku lakukan dengan anaknya. Rasanya seperti tertangkap basah sudah berbuat sesuatu, namun ujung-ujungnya diizinkan begitu saja.

“Wiihh.. Baru direstuin udah mau minta cucu aja nih!” sahut Kakak Mang Dedi. “Emang bisa kamu bisa ngasih Ded??” sambungnya menyenggol lengan Mang Dedi.

Dengan wajah yang di tegakkan Mang Dedi lalu menjawabnya, “Ya tentu bisa dong. Ya gak Dek?” balasnya menatapku.

“Apaan sih Mas!! malu ahh” jawabku mencubit lengannya.

Merekapun kembali tertawa terbahak-bahak begitu senang, “MAMAM!!” ucap Tante Mang Dedi meledek keponakannya itu.

Tidak berapa lama kemudian keluarga Mang Dedipun berpamitan pulang kepadaku usai berbicara panjang lebar dan bercanda riuh denganku. Tak lupa aku berjanji kepada mereka untuk sesegera mungkin mampir ke rumah besar keluarga Mang Dedi, setelah tadinya mereka mengatakan kalau mereka ingin bertemu denganku dilain hari.

Setelah kepergian keluarga Mang Dedi tersebut, Beberapa kali aku melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore, yang itu berarti sudah lebih dari tiga jam lamanya aku berada di rumah Mang Dedi.

“Udah mau pulang Dek??” tanya Mang Dedi melihatku merapikan tempat makan yang tadi ku bawa dari rumah.

Aku mengangguk pelan, “Iya Mas! Nanti aku dicariin suamiku. Sudah jam lima soalnya” balasku menjelaskan .

“Tapi aku masih pengen lagi nih” ucap Mang Dedi memelukku dari belakang. “Nanti biar aku yang nganterin kamu ke rumah deh” sambungnya sambil berbisik.

“Mas lagi sakit juga. Gausah!” balasku menolak.

“Ayolah Dek. Aku kalau sama kamu bisa sembuh kok” katanya tidak menyerah.

Kueratkan pejaman mataku dan cengkraman pada baju gamisku. Begitu menggiurkannya tawaran kenikmatan dari perlakuan Mang Dedi hingga tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku menahan gejolak birahi yang sekali lagi datang mendorong-dorong.

Aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak terpengaruh dengan kata tersebut mengingat saat ini hari sudah cukup sore. Aku pasti akan dicurigai suamiku jika aku terlambat untuk pulang. Namun sekali lagi, aku tak dapat menguasai diriku didalam pelukan dan tindakan hangat Mang Dedi tersebut.

“Tuh! Kamu sebenernya masih pengen juga kan!!” ucap Mang Dedi setengah berbisik.

Mang Dedi merayapkan tangannya ke perutku, memelukku erat hingga merapatkan tubuh kami berdua. Dadanya yang sedikit berlemak itu melekat erat di punggungku. Wajahnya diletakkan begitu saja di bahuku, diantara lekukan leher yang tertutupi oleh hijab yang ku pakai.

Membuat bulu kudukku meremang seketika, “Udah Mas!! aku mau pulang” pintaku berusaha mengatur nada suaraku yang bergetar. Menutupi debaran jantungku yang semakin tak berirama.

“Jangan pulang dulu sayang ih” sahutnya santai di telingaku.

“Tapi ini udah sore Mas!! Suamiku pasti nyariin” balasku memperingatkannya.

Namun Mang Dedi tetap saja bersetingkah menekan benda keras yang ada diselangkangannya ke bagian belakang tubuhku. Seolah sedang membuktikan bahwa dia amat bergairah saat ini.

“Biar aku yang tanggung jawab Dek Liya” balasnya tiba-tiba mendaratkan sebuah ciuman ringan di leherku.

“Oh Tuhaan jangan lagi!!” batinku hampir terlonjak.

Membuat satu desahan keluar dan lolos dari bibirku, “Ehhmmm...”

Mang Dedi tampak senang mendengarnya, apalagi ketika desahan lain segera menyusul keluar dari mulutku saat bibirnya mulai menyusuri bagian leher dan tengkukku. Lalu memperdalam kecupannya disitu sambil menggigit memberikan tanda cupang dari balik hijab lebar yang tengah ku pakai.

Hingga akhirnya dia melepas kecupannya, “Jangan pulang dulu ya?” pintanya merajuk seketika memutar tubuhku menghadapnya.

Mata Mang Dedi terlihat sayu penuh gairah menatapku. Napas kamu berdua sama-sama mulai memburu. Lalu secepat kilat, bibirnya mendarat di bibirku. Lidahnya begitu saja memasuki mulutku, berusaha melilit dan menarik lidahku.

“Ahhh... terulang lagi..,” batinku akhirnya pasrah dalam ciuman kami yang begitu bergairah.

Rasanya darahku kembali berdesir dan ciumanku terasa menuntut untuk kembali dipenuhi. Apalagi di tambah dengan tangan Mang Dedi yang merayap menjelajah bagian-bagian sensitif tubuhku, membuatku semakin kehilangan akal sehatku yang dari tadi sudah diburu waktu.

“Mas kamu nakal!!” ucapku tersenyum menepuk pundaknya.

Mang Dedi mengecupku membalasnya, “Tapi kamunya suka kan Dek Liya??” tanyanya terkekeh.

Mang Dedi lalu memposisikan kedua lengannya di bawah bokongku, dan dengan begitu saja tubuhku tiba-tiba melayang naik saat dia mengangkatku begitu mudah dalam gendongannya. Secara spontan aku mengalungkan lenganku erat di lehernya. Lalu kedua kakiku melingkar di pinggangnya, terkait sempurna pada tubuhnya yang menopang tubuhku dengan kedua tangannya agar aku tidak jatuh.

Kami lagi-lagi berciuman dengan liar. Hingga akhirnya suara smartphoneku berdering menghentikan aksi gila ini.

“Ahh mengganggu saja!!” Ucap Mang Dedi menggeram menghentikan ciumannya.

Kulirik layar hapeku sedikit melihat kalau nama “Suamiku” tertera memanggil disana.

Bagian 15 : Tusukan



Liya​

Gairah yang baru saja menyelimutiku dan Mang Dedi terpecah saat aku menatap layar ponsel pintarku. Dengan perasaan dag dig dug berdebar kencang dan ketakutan, ku picingkan mataku saat melihat kalau “Suamiku” tengah memanggil disana. Sedangkan saat ini, aku tengah berduaan dengan Mang Dedi yang mengeram penuh ketidaksukaan saat momen intim kami tersebut harus terhenti oleh nyaringnya nada deringku.

“Biarkan saja!” perintah Mang Dedi kembali melumat bibirku.

Aku kemudian menurut, kuurungkan niatku untuk mengangkat telepon tersebut karena rasanya tidak mungkin juga aku mengangkatnya dalam keadaan seperti ini. Jadi kubiarkan saja panggilan dari suamiku itu berakhir, membuat degub jantungku sedikit merasa lega.

Namun selang beberapa saat saja, ponselku tersebut kembali berbunyi. “Kayaknya penting Mas” ucapku kebingungan.

Mang Dedi mendengus kesal, “Yasudah angkat saja!” jawabnya menurunkan badanku dari gendongannya.

Aku mengigit bibir. Mendadak keraguan menyerangku, namun akhirnya aku tetap memberanikan diri memilih mengangkat telepon itu karena sudah kedua kalinya suamiku menelepon. Yang berarti hal tersebut cukup penting ataupun mendadak.

“Ha--halo! Assalamualaikum Abi” ucapku bergetar mengangkatnya

Dibalik sana, aku mendengar suara renyah suamiku. “Waalaikumsalam Umi! Umi masih di pasar ya??” tanyanya penasaran.

“Masih Abi. Emangnya kenapa?” tanyaku balik. Sejenak ku lirik ke arah Mang Dedi yang menatapku dengan memelas.

“Ini Mi, Abi lupa banget kemaren punya janji sama temen kantor” Jawab suamiku.

Aku mengangkat alis, “Lah trus Bi??”

“Iya, jadi hari ini Abi mau keluar sebentar. Nanti pulangnya malem” terang suamiku.

Entah kenapa, hatiku melonjak riang mendengar hal tersebut, “Trus Abi mau pergi sampai jam berapa???” tanyaku lagi.

“Paling jam delapan atau gak jam sembilan, Mi” jawab suamiku lagi.

Kualihkan pandanganku sejenak pada jam dinding yang ada di kamar Mang Dedi, sekitar tiga jam lagi aku mempunyai waktu bebas dengan penjual sayur langgananku tersebut. “Yasudah kalau gitu Bi” balasku tersenyum.

“Iya Mi! Umi tenang aja, Caca bakal Abi bawa kok” ucap suamiku terkekeh.

“Yaiyalah Abi! Masa Caca mau di tinggal di rumah sendirian” balasku ikut tertawa.

Tiba-tiba saja, kurasakan tangan Mang Dedi bergerak di belakangku sambil mengangkat kedua ujung gamisku keatas dengan cepat. “Aaahh!” pekikku kaget.

“Umi kenapa??” Tanya suamiku ikut kaget di seberang sana.

Kutatap tajam mata Mang Dedi yang ada di belakangku mengisyaratkan padanya untuk berhenti, “Gapapa Bi! Ini kantong belanjaan Umi sobek” jawabku berbohong.

Akan tetapi Mang Dedi tetap saja tidak mengindahkan permintaanku. Malah dia semakin bergerak agresif dengan tiba-tiba melorotkan celana dalamku dari atas pinggul dengan satu kali tarikan saja.

“Pasti keberatan ya Mi!” sahut suamiku.

Aku sedikit menggigil merasakan bagian pantatku tiba-tiba saja diterpa angin karena tidak berpenutup lagi. “I—iya Bi! Belanjaannya banyak” Ucapku sekuat tenaga berkonsentrasi dengan telepon suamiku.

Gelora syahwatku mulai melabrak nilai-nilai tabu yang berusaha aku jaga agar suamiku tidak curiga, namun sensasi luar biasa menjalari sekujur tubuhku sebanding dengan sentuhan fisik telapak tangan Mang Dedi yang merayap pada permukaan kedua daging pantatku.

“Coba kalau tadi Abi ikut, pasti Umi gak perlu capek bawa belanjaannya” ucap suamiku tak sadar apa yang sedang ku perbuat dibalik telepon ini.

Rasanya begitu pribadi, begitu rahasia, begitu tabu dan begitu sakral saat tiba-tiba kuimajinasikan kembali adegan ketika aku mengulum penis Mang Dedi, disaat yang bersamaan pula ketika suamiku juga berada di dekatku.

“Hehehe. Umi kuat kok Abi sayang!” balasku ingin bermanja.

Suamiku, tak pernah tau kalau saat ini tubuh istrinya yang tercinta ini sedang digerayangi oleh laki-laki lain. Yang secara tidak sadar pula ikut menikmati sensasi berselingkuh saat dengan berani berbicara langsung dengannya. Sungguh aku sudah kehilangan akal sehat, begitu kurang ajar dan tidak tahu malu sama sekali.

Tapi aku begitu menikmatinya, “Abi sudah mandi??” tanyaku memperpanjang pembicaraan kami.

Muncul perasaan aneh yang lebih kuat untuk membiarkan diriku digerayangi Mang Dedi sambil terus berbicara dengan suamiku. Rasa takut ketahuan dan rasa malu penuh ketabuan berbaur dengan sensasi-sensasi aneh lainnya. Membuat diriku semakin bergejolak meninggi, bahkan lebih tinggi daripada ketika aku bersetubuh tadi.

“Belum Mi. Baru aja mau mandi” suara suamiku terdengar makin kabur ditelinga.

Fokusku terpecah saat kurasakan Mang Dedi mengelusi bagian selangkanganku yang mulai basah dengan telapak tangannya. Masih di dalam pelukannya yang begitu erat, Mang Dedi menciumi bagian tengkukku pelan dengan tak membiarkan ada ruang sedikitpun dicelah tubuh kami.

“Ma—mandi dong Bi! Udah sore” kataku pendek tertahan.

Sebuah gelitikan nikmat menjalar pada tulang belakangku saat Mang Dedi ikut berbisik menimpali, “Kalau kita kapan mandinya Dek Liya??” tanyanya dengan suara bergetar.

Aku lalu menyodoknya dengan sikuku, kutahan senyumku sejenak saat diseberang sana suamiku menjawab. “Iya Mi! ini Abi baru mandiin Caca duluan” ucap suamiku terkekeh.

“Umi juga ngerasa gerah nih Bi! Nyampe rumah juga mau cepet-cepet mandi” kataku pada suami.

Dibelakangku, kudengar Mang Dedi kembali berbisik. “Biar aku yang mandiin kamu Dek” ucapnya menggodaku.

“Tapi sebelum itu kita buat kotor dulu badanmu” sambungnya kemudian memegangi pinggangku.

Kurasakan tangan Mang Dedi menarik bagian pinggangku ke belakang seakan-akan menyuruhku untuk menungging dalam keadaan berdiri. Aku menggigit bibir bawahku dengan pelan saat aku bergerak menuruti kemauannya begitu saja sambil tetap berusaha fokus dengan pembicaraanku dengan suami.

“Yasudah kalau gitu Abi mandi dulu ya Mi!!” ucap suamiku dibalik telepon.

Tak mau sensasi gila ini cepat berakhir, aku kemudian menahan suamiku, “Ntar dulu Bi! Temenin Umi bentar--eeenggh” ucapanku terpotong dengan sebuah lenguhan.

Kurasakan ujung jari Mang Dedi membelai pintu lubang anusku dengan begitu pelan. Menimbulkan rasa geli yang membuat badanku terlonjak kaget saat menerima serangan yang mendadak itu.

“Umi kenapa??” suara suamiku kembai panik.

“Enghh.. Enggak apa-apa Bi! Ada semut tadi” jawabku berusaha menatap balik ke arah Mang Dedi.

Tapi Mang Dedi malah tersenyum meletakkan jari telunjuk di bibirnya, “Ssssttt.., Jangan berisik!!” ucapnya begitu pelan.

Dengan lembut tangannya mengelus pantatku lagi sebelum tiba-tiba dia memukulnya dengan agak keras. “Awwhhh!!” teriakku cukup kencang.

“Umi kenapa sih??” tanya suamiku semakin curiga.

Aku mendengus marah, “Semutnya masuk ke dalam baju Bi!! Umi digigit” ucapku menahan rasa panas pada bagian pantatku. Tamparan Mang Dedi terasa cukup keras sehingga aku yakin kalau pantatku memerah dibuatnya.

“Makanya Umi jangan terlalu manis jadi orang. Dikerubutin semut kan!” kata suamiku terkekeh di balik telepon.

Sedangkan aku mengigit bibir bawahku ketika Mang Dedi mengelus pelan bekas tamparannya yang masih terasa agak perih itu. Badanku semakin merinding saat kucoba meresapi elusannya yang begitu nikmat dan sakit disaat yang bersamaan.

“Emangnya Umi manis ya Bi??” tanyaku manja. Seolah menjadi kebutuhan saat aku menikmati gerayangan Mang Dedi sambil berbicara dengan suamiku tersebut.

“Iya dong. Kan istrinya Abi!” balas suamiku terkekeh lagi. “Oh iya Mi! Umi mau pulang jam berapa?” sambung suamiku bertanya.

Dibawah sana, kurasakan tangan Mang Dedi meremas-remas bongkahan pantatku sambil sesekali menamparnya dengan gemas. Beberapa kali juga kurasakan ujung-ujung jemarinya dengan amat nakal singgah pada permukaan lubang pantatku.

Membuat tubuhku menggelinjang karena rasa geli, “Ja—jam…, Emmmhh…, Enam kali Bi!” ucapku menahan desahan.

Tak berhenti sampai disitu saja, Mang Dedi kemudian bergerak mundur menarik kedua pahaku agar saling berjauhan. Dia memposisikan dirinya berjongkok diantara selangkanganku yang saat ini dalam keadaan setengah mengangkang dengan pantat menungging ke belakang.

Mulut nakal penjual sayur langgananku itu juga tak tinggal diam mengecup daging pantatku yang bulat, mulus dan kencang itu.

“Masih banyak ya belanjaannya??” tanya suamiku tidak berhenti.

Sementara sambil tetap berkonsentrasi, aku berusaha menggigit bibirku sendiri agar desahanku tak terdengar saat kurasakan ada yang menyentuh lubang anusku dari belakang. Walau pandanganku cukup terbatas saat itu, namun aku begitu tau kalau benda kenyal, panas dan licin itu adalah lidahnya Mang Dedi.

“Emmmhhh.. Masih Bi!!” jawabku menengadah merasakan nikmat.

Tubuhku meliuk dan meregang merasakan rangsangan terhebat yang baru kali ini kurasakan saat lidah Mang Dedi yang panas mulai menyusuri belahan pantatku. Tanpa rasa jijik sedikitpun Mang Dedi menjilati lobang anusku, membuat tubuhku tergetar hebat oleh rasa geli-geli nikmat yang menjalar di seluruh tubuhku.

Diseberang telfon, masih saja kudengar suara suamiku mengoceh dengan kata-katanya, “Emangnya Umi beli apa aja??” tanyanya antusias.

“Biasa Bi!! Beli sayur, beli ikan..” balasku berusaha secepat mungkin.

Tekanan-tekanan lidah Mang Dedi membuatku keenakan hingga darahku terpompa dari ujung kepala sampai ujung kakiku. Sempat kaget pula ketika telapak tangannya tidak berhenti menampar pantatku pelan hingga berkali-kali. Sedangkan lidahnya terasa ingin menusuk masuk ke lubang anusku dan menari-nari nakal di pintunya.

“Pasti mau beli terong lagi” ucap suamiku.

“Ko--kok Abi tau sih?? Emmpphh..,” balasku tergugup hampir saja mendesah.

Liang vaginaku ikut berkedut-kedut geli saat rangsangan lidah Mang Dedi semakin hebat mencium dan menyedot-nyedot lubang anusku dari arah belakang. Secara otomatis, kakiku semakin melebar untuk memberikan ruang bagi kepalanya agar lebih leluasa menyeruak masuk.

Aku seperti semakin bergairah. Karena baru kali ini aku bermain gila dengan laki-laki lain sambil berbicara dengan suamiku sendiri.

“Ya tau dong Mi!! itukan kesukaan Umi!” kata suamiku.

Aku sekali lagi melenguh, “Enggghh.. Abisnya Mang Dedi gak jualan sih. Makanya Umi nyari ke sumbernya langsung” balasku semakin tak bisa menahan nafsu.

Mataku terpejam dan mulutku berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara desahan. Aku takut suamiku curiga namun menikmati sensasi penuh debaran seperti ini. Akupun tidak mau memprotes apa yang dilakukan Mang Dedi pada anusku di bawah sana meski sesekali aku merasa cukup jijik dengan perbuatannya.

“Terus nemu gak Mi?” tanya suamiku.

Aku berdehem kecil memperbaiki suaraku, “Eng—enggak nemu Bi! Gak ada yang kayak terongnya Mang Dedi” balasku tidak sadar.

Konsentrasiku sudah begitu hilang saat kurasakan tenggorokanku begitu kering. Jelas aku tidak merasa haus. TIdak, aku memang merasa haus. Tapi bukan air yang aku butuhkan, melainkan belaian tangan dan jilatan lidah Mang Dedi yang aku inginkan menyirami dahaga syahwatku yang meronta kekeringan.

“Hahahha. Emangnya terong Mang Dedi beda dari terong lain Mi??” suamiku tertawa terbahak-bahak dibalik sana.

Tiba-tiba saja kurasakan jari-jari Mang Dedi bergerak meraba permukaan vaginaku, “Ennngggghhh… beda lah Bi!” balasku melenguh terdengar seperti sedang berpikir.

“Bedanya dimana coba??” suamiku penasaran.

Aku terdiam sebentar merasakan tubuhku bergetar saat sedikit demi dikit jari telunjuk Mang Dedi bergerak mencolok-colok ke dalam vaginaku. Kenikmatanku itupun bertambah dua kali lipat karena disaat yang bersamaan lidah Mang Dedi masih menyapu-nyapu lubang pantatku.

Tanpa aku sadari, aku berjinjit mengangkat pantatku sambil kaki kananku berada dibagian bahu Mang Dedi. posisiku makin menungging ke arah kepala Mang Dedi dengan sebelah tangan bertumpu ke meja yang ada di depanku dan sebelahnya lagi menekan ponsel di telinga.

“Ba—banyak lah bedanya Bi!!” jawabku hampir lupa dengan suamiku.

Dia terdengar mendengus dibalik sana, “Terong mah sama aja kali Mi!” balasnya.

“I—iya.., tapi kalau sama Mang Dedi lebih gede, lebih seger Biihh!!” ucapku menggelinjang.

Hampir saja aku mengeluarkan lenguhan panjang saat salah satu jari Mang Dedi mengelus kerutan di lubang pantatku. Aku merinding geli ketika jari Mang Dedi itu kemudian menyusup masuk ke dalam anusku yang basah dan licin oleh air liurnya. Terasa sedikit mules pula ketika ujung jemarinya yang besar itu menusuk anusku menggantikan lidahnya yang kini menciumi daging pantatku dengan pelan.

"Wahahha.. kok jadi ambigu sih omongan Umi" ucap suamiku yang tak lagi kuhiraukan.

Dengan gerakan yang sangat lembut, jemari Mang Dedi perlahan mulai masuk semakin dalam di lubang pantatku. Aku mendesis kesakitan. Pantatku berdenyut-denyut seolah protes ingin menyingkirkan benda asing yang berusaha masuk ke dalamnya. Sensasi aneh di selangkanganku bergerak naik ke daerah perutku menyebabkan sedikit otot pantatku menegang.

"Massh.." rintihku memprotes.

Tidak sadar kalau suamiku masih mendengarkan suara ku lewat telepon, "Mas siapa Mi??" tanyanya terheran.

"Gapapa Bihh.. sshh" desisku mulai tak dapat di bendung.

Dibelakang sana, Mang Dedi berusaha meyakinkanku agar tetap tenang dan tak bersuara. Dengan lembut dia memberiku semangat dengan mendaratkan kecupan-kecupan ringan pada bongkahan daging pantatku.

“Umi kok kayak orang kepedesan sih?? Lagi makan ya??” suamiku kembali bertanya heran.

Bersamaan dengan itu aku menahan nafas merasakan jari Mang Dedi menguak anusku semakin masuk ke dalam. Rasanya pedih dan sedikit panas walau sudah terlubrikasi oleh ludah Mang Dedi sedari tadi. Hingga pada akhirnya, kurasakan satu jari Mang Dedi telah berhasil masuk secara utuh di dalam lubang anusku.

Aku kembali melenguh, “Engggghhh.. enggak Bi!! Umi lagi mules nih!” ucapku di telfon.

Ketika Mang Dedi merasa sudah cukup dalam membiarkan salah satu jarinya masuk di lubang anusku, dia menghentikan gerakannya beberapa saat, membiarkan aku mulai terbiasa dengan jarinya hingga nafasku kembali teratur.

“Emmppphh.. peelaann!” ucapku menahan tangan Mang Dedi.

Diseberang sana, suamiku semakin heran mendengarku. “Umi lagi ngapain sih ini??” tanyanya sewot.

Kurasakan jari Mang Dedi yang telah memasuki anusku tersebut bergerak. Ditekannya begitu rupa dengan gerakan agak memutar untuk melebarkan lubang yang sangat sempit itu. Dikeluarkannya jari yang sudah masuk, kemudian dimasukannya kembali, ditekan, masuk keluar dan direnggangkannya.

“Emmmmhhh.. ga ngapa-ngapain Bih!! Sshhhhhh”

Lagi-lagi aku mendesis pelan karena terasa pedih. Anehnya, ujung jemari Mang Dedi memijat suatu bagian di kedalaman anusku yang membuatku berdesir karena terasa enak. “Uu—udah dulu ya Bi! Umi mau ke toilet” sambungku melanjutkan.

“Yasudah kalau--”

TUUUTTT!!!! Panggilannya ku putuskan begitu saja, membuat suamiku tidak menyelesaikan pembicaraannya.

Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran suamiku saat ini. Dia pasti sangat keheranan dengan sikapku. Akan tetapi nafsu birahi sudah menguasai seluruh inderaku sehingga masa bodoh dengan semua itu. Untuk jaga-jaga segera ku matikan handphone ku, karena bila dia menelpon balik aku belum punya alasan yang cukup bagus untuk membohonginya.

Setelah itu, aku memalingkan wajahku menatap wajah Mang Dedi heran, “Mas jangan disitu jorok ihh!!” protesku langsung berteriak.

Memang rasa pedih itu telah berkurang. Otot-otot dinding anusku pun mulai rileks tak lagi meronta. Namun ini adalah pertama kalinya aku di perlakukan seperti ini di lubang pembuanganku tersebut.

“Tapi enakkan Dek Liya??” tanya Mang Dedi menyeringai seolah dia tahu kalau dia telah melakukan hal yang benar.

“Enak sih enak Mas, tapi itu kan---Awwwhhhhhh… ngiluu” ucapanku terpotong oleh teriakan ku sendiri.

Pantatku tersentak kaget saat lidah panas Mang Dedi tiba-tiba menyelusup ke dalam alur sempit di selangkanganku yang sudah sangat basah oleh lendirku sendiri. Mang Dedi menjilat-jilat permukaan bibir vaginaku yang sudah sangat mengembang karena birahi sambil sesekali dilepaskannya vaginaku dari mulutnya dan dia langsung menjilati anusku.

“Ouuuughhh.. Masshhh.. geliih ihhh!!” desahku semakin lancar keluar dari mulutku.

Mang Dedi memutar-mutar jarinya di dalam anusku sehingga membuatku merasa sedikit perih. Jari-jarinya yang gemuk dan panjang itu bergerak semakin bebas sedangkan aku hanya bisa mengerang sambil mempertahankan posisiku.

Sekujur tubuhku bergetar menahan sakit. Namun anehnya, rasa sakit itu malah membuatku semakin bergairah. Makin lama Mang Dedi pun makin berkonsentrasi di daerah lubang pantatku itu. Secara bergiliran, Mang Dedi memasukan jarinya dan menjilati anusku. Pun begitu dengan vaginaku yang sesekali juga diraba dan dimasuki oleh jari-jarinya yang lain.

“Massshh… kamuuhh.. ngapaiinn sihhhh??” ucapku mendelik.

Mang Dedi memasukkan jari telunjuk kanan kirinya ke dalam anusku, lalu ditariknya kearah yang berlawanan seperti ingin melonggarkan lubangnya yang begitu sempit, sambil sesekali pula dia meludahi dan membasahi anusku saat lidahnya masuk kedalam rongga pantatku. Lidahnya diputar-putar menggelitik anusku dan kurasakan ada beberapa jari lain ikut masuk juga, masuk keluar, masuk keluar dengan dijilati, begitu terus sampai aku benar-benar berkelojotan geli.

“Arrrghhh…,” desahku tidak berhenti-henti.

“Enak ya Dek??” Tanya Mang Dedi pelan. Suaranya terdengar begitu memabukkan, membuatku semakin bernafsu oleh kegiatannya yang menyodomi pantatku dengan jari-jarinya. “Lebih enakan mana?? Di pantat atau di memek??” sambungnya kembali bertanya.

Dalam hati aku cukup kebingungan dengan pertanyaan Mang Dedi tersebut. Entah apa maksudnya membanding-bandingkan dua hal yang menurutku sama sekali tidak berkaitan. Aku memang menikmati ketika vaginaku di mainkan dan disodok olehnya, namun kenikmatan tersebut tidak bisa dibandingkan dengan saat dia memainkan anusku. Bahkan rasa orgasmeku yang beberapa kali membayang terpaksa harus gagal menemui puncaknya karena rasa sakit yang mendera bagian pantatku.

“Masshhh.. udah jangan di situ lagi!!” rengekku manja pada Mang Dedi.

Namun Mang Dedi tidak mendengarkanku, “Jawab dulu!! Di pantat apa di memek??” tanyanya meminta jawaban.

“Di memek Mass!! Oooouugghhh….., di memeeekkk”

Urat maluku mendadak putus begitu saja. Aku tidak peduli bagaimana mulut seorang perempuan baik-baik sepertiku mengeluarkan kata-kata yang begitu tak senonoh di dengar oleh orang lain. Yang kutahu adalah aku terlalu bergairah akibat perbuatan Mang Dedi dan aku harus menuntaskannya.

“Hehehe. Kamu yang minta loh ya..” ujar Mang Dedi menjawab.

Dengan cepat, Mang Dedi lalu menarik pinggangku yang tengah berdiri menungging tadi kearahnya tubuhnya. Lalu kemudian dia menuntunku kembali telentang diatas kasur dengan posisi mengangkang begitu lebar.

Kuperhatikan tanpa sadar kalau Mang Dedi telah bertelanjang bulat dihadapanku dengan penisnya yang sudah menegang begitu maksimal. Aku bahkan tidak tau sejak kapan dia melepas celananya itu.

“Mau dijilat apa dimasukin kontol??” sambungnya bertanya sambil tersenyum menatapku.

Amat malu-malu aku menggigit bibir bawahku, “Dimasukin” jawabku pelan.

“Dimasukin apaan Dek??” tanyanya menggoda.

Lagi-lagi dengan tanpa malu aku memonyongkan bibirku, “Sa—sama kontol” balasku berterus terang. Vaginaku berdenyut-denyut hebat saat aku mengucapkan kata-kata kotor itu.

Aku kali ini sudah tak malu-malu lagi mengatakannya dengan vulgar saking tak tahannya menanggung gelombang birahi yang menggebu-gebu. Aku merasa seperti wanita jalang yang haus seks. Aku hampir tak percaya mendengar ucapan itu keluar dari bibirku sendiri. Tapi apa mau dikata, memang aku sangat menginginkannya segera.

“Tapi ada syaratnya dulu” ucap Mang Dedi menyeringai.

“Syarat apaa??” tanyaku penasaran.

Mang Dedi lalu beranjak mendekati tubuhku yang mengangkang tersebut dan memposisikan badannya diantara selangkanganku. “Aku mau masukin ke lubang ini” ucapnya mengarahkan kepala penisnya menggesek lubang anusku.

Seketika aku langsung merinding ketakutan membayangkan bagaimana benda sebesar penis Mang Dedi tersebut dapat muat di lubang pantatku. Terlebih lagi, aku bahkan tidak habis pikir kenapa dia harus memasukkannya di lubang pembuanganku sedangkan di vagina saja sudah terasa begitu enak.

“Mas jangan mengada-ngada deh” ucapku menggeleng memprotesnya.

Namun Mang Dedi hanya tersenyum, “Hehehe.. emangnya kenapa Dek??” tanyanya semakin gencar mengeluskan kepala penisnya ke lubang anusku.

“Jorok ih Mas!! Masukin kesini aja” pintaku manja mencoba menggapai dan memegang batang penisnya.

Mang Dedi hanya menyeringai ketika tanganku berhasil menggenggam batangnya tersebut, sambil kemudian tak berlama-lama kuarahkan kepalanya menuju bibir vaginaku yang sudah begitu basah oleh lendir. Pelan-pelan aku melenguh nikmat merasakan desakan batang penisnya yang besar itu mulai ku gerakkan menerobos liang vaginaku sendiri.

Lagi-lagi aku merasa gemetar luar biasa ketika kepala batang penis Mang Dedi mulai membelah bibir vaginaku. Lalu dengan pelan dan penuh penghayatan dia mendorong pantatnya hingga setengah dari batang Mang Dedi berhasil menerobos vaginaku dengan lumayan mudah.

"Emmmmppphhhhh"

Hampir bersamaan kami mendengus menahan nikmat saat batang penis Mang Dedi sudah terapit oleh dinding liang vaginaku yang sudah sangat licin. Mang Dedi merundukkan badannya hingga kami langsung berciuman dengan begitu menggelora. Lidah kami saling bertaut, saling mendorong dan saling melumat.

Semakin membanjirnya cairan dalam liang memekku membuat penis Mang Dedi masuk dengan lancarnya. Aku mengimbangi dengan gerakan pinggulku. Meliuk perlahan mencoba membetulkan arah dari laju penis tersebut.

Agaknya penetrasi penis Mang Dedi ke dalam vaginaku kali ini sudah sedemikan mudah dari sebelumnya. Mungkin karena otot-otot vaginaku mulai terbiasa dengan penisnya yang besar itu karena sudah beberapa kali di terobos dan direnggangkan.

“Ouuggghhh Massshhh” desahku begitu nikmat.

Perlahan-lahan batang penis itu mulai tenggelam seutuhnya dalam vaginaku, sekuat tenaga aku merenggangkan otot-otot vaginaku agar penis itu dapat menggaruk setiap kegatalan yang ada dalamnya. Aku masih saja merasakan sesak yang begitu memenuhi badanku. Serasa tak sampai-sampai. Selain besar, penis Mang Dedi sangat panjang juga. Sehingga setiap inci batangnya yang masuk, membuat Aku sampai menahan nafas terasa mentok sekali di dalam.

“Ughhh.. jepitan memekmu luar biasa Dek Liya” gumam Mang Dedi di sela-sela ciuman kami.

Badanku panas dan berkeringat luar biasa di dalam himpitan tubuhnya. Karena saat ini aku masih berpakaian lengkap dengan gamis dan hijabku yang terpasang utuh menutupi tubuh bagian atasku. Sedangkan di bawahnya, ujung dari gamisku terangkat sampai ke bagian pinggang untuk menampakkan selangkanganku yang sudah di tusuk oleh penis Mang Dedi.

Dia tidak membuang-buang waktu langsung bergerak semakin dalam mendorong penisnya. Dengan bernafsu Mang Dedi memompa keluar penisnya sejenak sebelum akhirnya ditusuk kembali semakin ke dalam.

“Enggg… maashh enakkk…”

Gerakan kami semakin lama semakin meningkat cepat dan bertambah liar. Gerakanku sudah tidak beraturan karena yang penting bagiku tusukan itu mencapai bagian-bagian peka di dalam relung kewanitaanku. Dan Mang Dedi seakan tahu persis apa yang kuinginkan, dia mengarahkan batangnya dengan tepat ke sasaran sambil terus bergoyang memompa.

Tubuhku meremang nikmat bagaikan berada di awang-awang merasakan kenikmatan yang luar biasa ini. Batang Mang Dedi menjejal penuh seluruh isi liangku, tak ada sedikitpun ruang yang tersisa hingga gesekan batang itu sangat terasa di seluruh dinding vaginaku.

“Aduuhh.. auuffhh.., nngghh.. maasshhhhh!!!”, aku merintih, melenguh dan mengerang sekali lagi merasakan semua kenikmatan ini.

Semenjak bercinta dengan Mang Dedi pula, aku merasa seolah kenikmatan darinya mampu membalik pemikiranku tentang bercinta dengan suamiku selama ini. Benar-benar berbeda. Jika dibandingkan, bercinta dengan suamiku terasa begitu aneh. Aku hanya merasa geli, capek, dan terkadang risih. Sehingga secara tak langusung, aku seolah menjadi kurang tertarik jika harus bersetubuh dengan penis kecil suamiku lagi.

Lain cerita jika aku bersama Mang Dedi dan batang penisnya yang berukuran sebesar lenganku itu, aku merasa berbeda. Ritme, teknik, dan ukuran kejantanan mereka jauh berbeda, sehingga ketika bersama tukang sayur ini, aku seolah tidak bisa menolak segala macam kenikmatan yang Dia hujamkan kedalam liang vaginaku.

“Ooouughh Mass…., mauuhh keluaarrrrr”

Kembali aku mengakui keperkasaan dan kelihaian Mang Dedi dalam bercinta. Dia begitu hebat, jantan dan entah apalagi sebutan yang pantas kuberikan padanya. Bahkan baru beberapa saat sajadia menggenjotku dengan penisnya, puncak kenikmataanku sudah mulai terbayang siap menghampiriku.

Melihat reaksiku yang sudah mulai berkelojotan nikmat, Mang Dedi bergerak semakin cepat. Penisnya bertubi-tubi menusuk daerah-daerah sensitif dalam vaginaku. Menebarkan desiran-desiran yang mulai berdatangan seperti gelombang yang akan mendobrak pertahananku. Batang penisnya yang besar dan panjang itu keluar masuk dengan cepatnya seakan tak memperdulikan liangku yang sempit itu akan terkoyak akibatnya.

“Oooohhh.. aaahhhh…., yaaahhhh… begituuhh.. Masshhhh…., cepetaaann…..,” pintaku menuntut.

Aku mencoba meraih tubuh Mang Dedi untuk mendekapnya. Dan disaat-saat kritis, aku berhasil memeluknya dengan erat. Kurengkuh seluruh tubuhnya sehingga menindih tubuhku dengan erat. Kurasakan tonjolan otot-ototnya yang masih keras dan pejal di sekujur tubuhku. Kubenamkan wajahku di samping bahunya. Pinggul kuangkat tinggi-tinggi sementara kedua kakiku mengalung di pinggangnya dan menarik kuat-kuat.

”Keeellluaar Mashhhhhhhhhhh…..,” teriakku mengejang.

Kurasakan tubuhku menggeletar dengan gerakan yang tak bisa aku kontrol, semburan demi semburan memancar kencang dari dalam diriku membasahi batang penis Mang Dedi yang semakin lancar keluar masuk membelah vaginaku yang terasa begitu ngilu.

Aku kehabisan tenaga tak bisa bergerak seperti tulangku terlolosi dari badan. Begitu lemas dan pasrah saat Mang Dedi tiba-tiba saja membalikkan tubuhku tanpa mencabut batang penisnya dari vaginaku.

Dalam kepasrahanku itu, Mang Dedi mengambil beberapa bantal yang ada di sampingnya untuk mengganjal selangkanganku. Membuat posisiku menjadi setengah menungging dengan badan dan wajah yang terkapar lemas diatas kasur.

Mang Dedi memelukku dari belakang, langsung saja melarikan tangannya menjamahi tubuhku yang masih ditutupi oleh gamisku. Dadaku di belai-belai dan di remasnya dari luar. Leherku yang di tutupi hijab juga tak luput di cium dan sesekali digigitnya dengan pelan. Membuatku agaknya menggeliat kegelian dalam nafsu yang mulai kembali muncul.

Aku memejamkan mata tak bisa memprotes saat merasakan Mang Dedi tiba-tiba membasahi liang anusku dengan cairan lendir yang meleleh begitu banyak dari dalam vaginaku. Begitu cepatnya Mang Dedi bergerak hingga tak sadar aku merasakan dia mencabut penisnya dari dalam vaginaku.

Tiba-tiba saja, kepala penisnya yang keras dan kenyal itu terasa di tusukkannya ke dalam lubang anusku. Kesadaranku saat itu belum sepenuhnya pulih sehingga aku hanya bisa menggerakkan sedikit pantatku menjauh dari batang penis Mang Dedi.

“Mashh.., jaa—jangan dimasukkin!!” pintaku dengan suara yang parau.

Nampaknya Mang Dedi tidak mengindahkan seruanku, Anusku yang masih perawan itu dipaksa untuk melebar selebar-lebanya dengan kedua tangannya. Aku merasa penuh sekali. penisnya itu berdenyut-denyut mulai masuk, seolah hidup, dan menyebarkan kehangatan. Aku pun menjerit sampai akhirnya kusadari aku menangis terisak-isak karena rasa sakit yang kuterima begitu hebatnya.

“Hoooohh… sakiiittt Mass….., caa---cabutt…,, sakitt… arrggggh”

Beberapa kali aku berusaha menghindarkan diri dari hajaran batang penis Mang Dedi yang rasanya sudah tertancap sedikit di pintu anusku. Namun karena dia menahan pinggulku kuat-kuat, akupun tidak bisa kabur dengan tenaga yang masih sangat lemah ini.

Disela-sela tusukannya tersebut, Mang Dedi berbisik di telingaku, “Jangan tegang Dek Liya, lemaskan pantatmu sedikit!” perintah Mang Dedi sambil merenggangkan daging pantatku.

Aku berusaha menuruti perintahnya. Setelah aku melemaskan sedikit ototku, terasa rasa sakit itu benar-benar sedikit berkurang. Namun masih saja terasa amat perih karena lubangnya begitu sempit tak pernah dimasuki oleh benda apaapun sebelumnya.

“Masshh. Sakittt…,,” Aku terus memohon untuk berhenti, namun Mang Dedi masih saja terus acuh.

Dengan menggigit bibir aku berusaha menahan sakit sementara Mang Dedi terus menggerakkan penisnya masuk melalui lubang anusku. Mang Dedi terus menerus mengambil cairan vaginaku untuk melumasi lubang anusku yang mulai terbiasa dengan masuknya penis besar itu ke dalamnya.

Tanpa kekuatan untuk menguasai diri sendiri dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, aku mencoba pasrah dan menyerah pada gairah seksual yang semakin menguasai tubuh dan perasaanku. Aku mulai bergerak mengikuti instruksi Mang Dedi agar sedikit melonggarkan otot anusku dalam tarikan nafas yang begitu pelan.

Lama-kelamaan rasa sakitku mulai pudar berganti menjadi rasa nikmat yang bisa dibilang aneh, karena berbeda dengan kenikmatan yang aku peroleh melalui lubang vagina, rasa perih dan enak bercampur ketika lubang anusku ditembusi oleh penis Mang Dedi.

Meskipun baru pertama kali Aku dimasuki di bagian pantat seperti ini, anehnya Aku dapat menyesuaikan diri dengan begitu cepatnya.

“Masshhh….., pelaninn dikitt!!!” pintaku yang sudah tak menolak tapi memintanya menyesuaikan.

Lubang anusku tidak lagi menegang sekuat tadi sehingga mempermudah penetrasi penis Mang Dedi yang luar biasa besar itu. Aku sendiri heran kenapa Aku dapat mengontrol otot anusku sebegitu baik, padahal Aku tak berpengalaman sama sekali.

“Uuuugghhh.. perawan pantatmu ku ambil Dek Liya” lenguh Mang Dedi yang merasakan betapa penis miliknya pasti sangat keenakan di pijit oleh otot anusku.

Sampai pada akhirnya Penis Mang Dedi itupun bergerak dalam hitungan detik berhasil menembus masuk anusku seutuhnya. "Ssshhhhhhhh... Masshhhh....," teriakku agak kencang ketika kurasakan pinggulnya menumbuk pantatku.

Rasa sakitku serentak menjadi-jadi sampai ke ubun-ubun saat kurasakan penis Mang Dedi tertancap utuh di dalam lubang anusku. Rasa sesak dan penuh memenuhi rongga pantatku yang rasanya sedikit sobek dimasuki oleh penisnya seperti tertancap oleh sebuah batang balok yang amat besar.

Dalam keadaan tersebut, Mang Dedi seakan tau kalau aku merasakan kesakitan yang begitu hebat. Sehingga kemudian dia meludahkan air liurnya yang hangat ke bibir anusku. Terasa nyaman membuat rasa sakitku menghilang untuk sementara.

“Masshhh… saakiittt. Maassshhh..” rengekku tak kuasa menahan tangisku yang masih saja keluar membasahi pipi.

Mang Dedi merundukkan badannya mencapai telingaku, “Maaf sayang.. tahan sedikit yaa??” pintanya dengan suara bergetar.

Saat itu juga, entah kenapa pandanganku menjadi agak mengabur dengan kepala yang begitu pusing menahan sakit. Nafasku terengah dan Kesadaranku perlahan memudar sebelum akhirnya tiba-tiba semuanya menjadi gelap gulita.

Comments


EmoticonEmoticon